Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Pagi itu cuaca di Kota Padang sangat cerah, Ridwan dan Kintani yang hari itu berencana pulang bareng ke kampung untuk melaksanakan acara pertunangan mereka, telah berada di beranda rumah Pak Hendra dan Bu Indri orang tua angkat dari Ridwan. “Moga acara pertunangan kalian berjalan dengan lancar,” harapan dan do’a dari Bu Indri. “Amin,” ucap Ridwan dan Kintani berbarengan. “Kami pamit untuk pulang ke kampung,” sambung Ridwan dan Kintani sembari bergantian menyalami Pak Hendra dan Bu Indri. “Iya Nak, hati-hati di jalan ya? Sampaikan salam kami pada kedua orang tua kalian,” pinta Pak Hendra, Kintani dan Ridwan anggukan kepala seraya tersenyum. Perjalanan dari Kota Padang menuju kenagarian tempat mereka dilahirkan, kurang-lebih selama 5 jam. Sekitar jam 1 siang lewat belasan menit mobil yang dikemudikan Kintani berhenti di depan rumah orang tua Ridwan, Kintani hanya turun dan singgah sebentar kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil dan berlalu menuju rumah orang tuanya. Berkaitan den
“Ya, Ridwan dan Kintani sama-sama bersuku Caniago. Dan itu artinya mereka bersaudara,” Paman Gindo geleng-geleng kepala lalu mengusap wajahnya.“Astaqfirullah, kenapa ini bisa terjadi!?” Pak Rustam berseru kaget.“Apa mereka telah mengetahui sejak awal mereka kenal?” kali ini Bu Suci yang bertanya.“Entahlah, aku rasa mereka tidak tahu jika mereka sesuku,” Bu Anggini yang menjawab.“Inilah kesalahan Pamannya Ridwan yang tidak memberitahu kemenakannya soal adat-istiadat kita termasuk sukunya,” ujar Paman Gindo menyalahkan Paman Ramli.“Jangan menyalahkan sepihak saja itu tidak baik, Uda Gindo sendiri pernahkah memberitahu hal itu pada Kintani? Sama sekali nggak pernahkan?” Bu Anggini yang merupakan Adik kandung dari Paman Gindo membela Pamannya Ridwan.“Nah, itulah Uda. Semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan,” tambah Pak Wisnu ikut mencecar Paman Gindo yang hanya menyalahkan Paman Ridwan, sementara dia sendiri selaku Paman dari Kintani tak p
“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan
“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak m
“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu