Cinta Sepesukuan

Cinta Sepesukuan

Oleh:  Andy Lorenza  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
10
4 Peringkat
148Bab
4.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Pertunangan dibatalkan karena Ridwan dan Kintani ternyata sepesukuan atau sesuku. Di dalam adat-istiadat Minangkabau, itu adalah pantangan tak boleh dilanggar. Berkaitan dengan itu, orang tua mereka ingin memisahkan Kintani dan Ridwan yang telah merajut jalinan kasih selama 2 tahun. Akankah cinta sejati Ridwan dan Kintani tetap bertahan? Atau sebaliknya putus ditengah jalan?

Lihat lebih banyak
Cinta Sepesukuan Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
Win Tampu
Ceritanya bagus. Nggak lebay, dan logis.
2023-08-13 20:04:34
1
user avatar
Andy Lorenza
Terima kasih udh berkunjung ke novel pertama ku ini ...
2022-05-28 09:23:38
2
user avatar
qirannia qolbi
cerita yg beda dari yg lain ...
2022-05-26 01:50:50
2
user avatar
Pujiatun NV
keren crtanya
2022-05-26 00:01:53
3
148 Bab
Bab 1. Petir Di Acara Pertunangan
Pagi itu cuaca di Kota Padang sangat cerah, Ridwan dan Kintani yang hari itu berencana pulang bareng ke kampung untuk melaksanakan acara pertunangan mereka, telah berada di beranda rumah Pak Hendra dan Bu Indri orang tua angkat dari Ridwan. “Moga acara pertunangan kalian berjalan dengan lancar,” harapan dan do’a dari Bu Indri. “Amin,” ucap Ridwan dan Kintani berbarengan. “Kami pamit untuk pulang ke kampung,” sambung Ridwan dan Kintani sembari bergantian menyalami Pak Hendra dan Bu Indri. “Iya Nak, hati-hati di jalan ya? Sampaikan salam kami pada kedua orang tua kalian,” pinta Pak Hendra, Kintani dan Ridwan anggukan kepala seraya tersenyum. Perjalanan dari Kota Padang menuju kenagarian tempat mereka dilahirkan, kurang-lebih selama 5 jam. Sekitar jam 1 siang lewat belasan menit mobil yang dikemudikan Kintani berhenti di depan rumah orang tua Ridwan, Kintani hanya turun dan singgah sebentar kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil dan berlalu menuju rumah orang tuanya. Berkaitan den
Baca selengkapnya
Bab 2. Pertunangan Dibatalkan
“Ya, Ridwan dan Kintani sama-sama bersuku Caniago. Dan itu artinya mereka bersaudara,” Paman Gindo geleng-geleng kepala lalu mengusap wajahnya.“Astaqfirullah, kenapa ini bisa terjadi!?” Pak Rustam berseru kaget.“Apa mereka telah mengetahui sejak awal mereka kenal?” kali ini Bu Suci yang bertanya.“Entahlah, aku rasa mereka tidak tahu jika mereka sesuku,” Bu Anggini yang menjawab.“Inilah kesalahan Pamannya Ridwan yang tidak memberitahu kemenakannya soal adat-istiadat kita termasuk sukunya,” ujar Paman Gindo menyalahkan Paman Ramli.“Jangan menyalahkan sepihak saja itu tidak baik, Uda Gindo sendiri pernahkah memberitahu hal itu pada Kintani? Sama sekali nggak pernahkan?” Bu Anggini yang merupakan Adik kandung dari Paman Gindo membela Pamannya Ridwan.“Nah, itulah Uda. Semut di seberang lautan tampak, tapi gajah di pelupuk mata sendiri tidak kelihatan,” tambah Pak Wisnu ikut mencecar Paman Gindo yang hanya menyalahkan Paman Ridwan, sementara dia sendiri selaku Paman dari Kintani tak p
Baca selengkapnya
Bab 3. Mereka Dipisahkan
“Penyebabnya karena ternyata kalian sepesukuan dan itu dilarang oleh adat-istiadat kita, maka dari itu kami memutuskan untuk membatalkan pertunanganmu dan Ridwan. Bukan hanya itu saja Kintani, kalian berdua terpaksa kami pisahkan dan tidak boleh lagi berhubungan seperti yang telah kalian jalin 2 tahun belakangan ini,” tutur Paman Gindo.“Kalian jahat! Kalian tak punya hati! Tega-teganya kalian akan memisahkan aku dengan Uda Ridwan!” luapan emosi Kintani tak terbendung, dia menangis tersedu-sedu tak terima dengan kenyataan itu.“Paman tahu ini bukan salah kalian, tapi ini benar-benar tidak bisa dilanjutkan. Karena bukan hanya kamu saja, tapi seluruh keluarga kita akan mendapat malu, Kintani,” Paman Gindo berusaha untuk memberi pengertian pada keponakannya yang tengah histeris itu.“Ibu...!” tak kuasa menahan rasa pilunya, Kintani berdiri dari duduk bersimpuhnya lalu berlari kepangkuan Bu Anggini yang juga berlinang air mata.Saking tak kuat menahan semua itu, Kintani pun jatuh pingsan
Baca selengkapnya
Bab 4. Kintani Sadar
“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak m
Baca selengkapnya
Bab 5. Patah Hati
“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak
Baca selengkapnya
Bab 6. Akan Pamit Merantau
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu
Baca selengkapnya
Bab 7. Tiba Di Jakarta
Hampir jam 3 sore hujan di kota itu benar-benar reda, Ridwan kembali berpamitan pada orang tua angkatnya untuk menuju pasar raya tempat selama ini ia bekerja mengais rezeki sehari-hari. Seperti biasanya Ridwan berangkat kesana dengan naik angkot yang berlalu-lalang di jalan raya yang ada di depan gang jalan masuk menuju kediamannya itu. Kurang lebih 15 menit Ridwan pun tiba dipasar raya Padang, tampa menunggu waktu lama lagi Ridwan mendatangi satu-persatu pemilik toko dan pedagang di sana yang selama ini pernah ia bantu dan memberi upah kepadanya untuk berpamitan. Ridwan memang tidak menceritakan alasan pergi merantau ke Jakarta disebabkan pertunangannya gagal di kampung, karena di samping pihak keluarga Kintani dan keluarganya minta dirahasiakan, Ridwan juga tentunya secara pribadi tak ingin membuka hal itu pada teman-temannya di pasar raya. Akan tetapi meskipun keseluruhan para pemilik toko dan pedagang yang pernah ia bantu itu tak mengetahui alasan Ridwan merantau, mereka semuany
Baca selengkapnya
Bab 8. Di Rumah Paman Ramli
Kini Paman Ramli terbilang sukses sebagai perantau karena telah memiliki toko dan rumah sendiri serta kendaraan pribadi, ia juga telah berkeluarga dengan wanita yang bukan dari keturunan Minang bernama Ayu. Paman Ramli juga telah dikarunia seorang putra yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA, karena jarang pulang ke kampung istri dan putranya tidak terlalu mengenal akan saudara-saudaranya di Tanah Minang.Lebih 1 jam mobil yang kemudikan Paman Ramli tiba di depan rumah bertingkat 2 di kawasan salah satu komplek, tampa mau dibantu wanita yang di duga sebagai pembantu rumah itu Ridwan membawa sendiri barang-barangnya ke dalam rumah.“Nah inilah rumah Paman, Ridwan.”“Besar sekali Paman, bertingkat lagi,” puji Ridwan.“Rumah Paman ini belum apa-apanya dibandingkan rumah-rumah mewah di komplek ini,” Paman Ramli merendah.“Tante Ayu dan Gilang kemana, Paman? Kok dari tadi nggak kelihatan?”“Tantemu jam segini masih di toko, sementara Gilang belum pulang dari sekolah,” jawab Paman Ramli.
Baca selengkapnya
Bab 9. Libur Semester Usai
Sementara di kenegarian P tepatnya di sebuah bangunan rumah yang besar serta tergolong mewah di desa itu, Pak Wisnu dan Bu Anggini yang merupakan kedua orang tua Kintani hidup dalam kemewahan.Orang tua Kintani memiliki banyak bidang kelapa sawit pribadi di kawasan desa itu, belum lagi tanah yang mereka beli di desa lain dan sekarang juga telah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika setiap bulannya atau setiap kali panen, Pak Wisnu dan Bu Anggini mendapatkan uang ratusan juta rupiah, karena harga kelapa sawit pada saat itu telah mencapai Rp. 2.500,- per kilogramnya.Setiap panen Pak Wisnu selalu mentransfer uang ke rekening Kintani, meskipun terkadang Kintani sendiri tidak tahu apalagi meminta. Pak Wisnu sengaja melakukan itu karena tak ingin putrinya yang kini tengah kuliah di Fakultas Kedokteran, merasa panik jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, baik menyangkut keperluan di kampus maupun untuk keperluan sehari-harinya.Sore itu pula di depan rumah mewah milik kedua
Baca selengkapnya
Bab 10. Kos-kosan Kintani
Kedatangan Kintani di kos-kosan disambut ceria oleh kedua teman dekatnya bernama Dila dan Eva, masing-masing mereka menempati ruangan kos di sisi kanan dan kiri dari ruangan kos yang ditempati Kintani. Setelah sholat magrib kedua sahabatnya itu tak sabar lagi ingin bercakap-cakap karena kurang lebih 4 minggu yang lalu mereka libur semester, mereka berdua langsung masuk ke ruangan kos Kintani. “Waduh! Kalian ngagetin aja. Nggak ngetuk pintu dulu main terobos aja,” seru Kintani terkejut yang saat itu tengah melipat mukena yang dipakainya barusan untuk sholat magrib. “He..he..he, maaf kami kangen,” ujar Dila diiring tawanya. “Aku juga kangen sama kalian, Yuk kita makan malam bareng. Kebetulan nih Ibuku buat rendang yang pastinya super lezat,” ajak Kintani kemeja makan sembari menunjukan rendang yang ia bawa dari kampung pada Dila dan Eva. “Hemmm, padahal aku udah makan tadi sore. Tapi aroma rendang buatan Ibumu ini buat aku laper lagi,” ujar Eva. “Ya udah kalau gitu yuk kita makan,
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status