Pertunangan dibatalkan karena Ridwan dan Kintani ternyata sepesukuan atau sesuku. Di dalam adat-istiadat Minangkabau, itu adalah pantangan tak boleh dilanggar. Berkaitan dengan itu, orang tua mereka ingin memisahkan Kintani dan Ridwan yang telah merajut jalinan kasih selama 2 tahun. Akankah cinta sejati Ridwan dan Kintani tetap bertahan? Atau sebaliknya putus ditengah jalan?
View MorePagi itu cuaca di Kota Padang sangat cerah, Ridwan dan Kintani yang hari itu berencana pulang bareng ke kampung untuk melaksanakan acara pertunangan mereka, telah berada di beranda rumah Pak Hendra dan Bu Indri orang tua angkat dari Ridwan.
“Moga acara pertunangan kalian berjalan dengan lancar,” harapan dan do’a dari Bu Indri.
“Amin,” ucap Ridwan dan Kintani berbarengan.
“Kami pamit untuk pulang ke kampung,” sambung Ridwan dan Kintani sembari bergantian menyalami Pak Hendra dan Bu Indri.
“Iya Nak, hati-hati di jalan ya? Sampaikan salam kami pada kedua orang tua kalian,” pinta Pak Hendra, Kintani dan Ridwan anggukan kepala seraya tersenyum.
Perjalanan dari Kota Padang menuju kenagarian tempat mereka dilahirkan, kurang-lebih selama 5 jam. Sekitar jam 1 siang lewat belasan menit mobil yang dikemudikan Kintani berhenti di depan rumah orang tua Ridwan, Kintani hanya turun dan singgah sebentar kemudian ia masuk kembali ke dalam mobil dan berlalu menuju rumah orang tuanya.
Berkaitan dengan kesepakatan yang telah direncanakan jauh-jauh hari oleh kedua orang tua Ridwan dan Kintani untuk segera mengikat putra-putri mereka dalam ikatan pertunangan, maka Ridwan dan Kintani memutuskan untuk pulang ke kampung hari itu.
Keputusan mereka pulang ke kampung bukan tampa alasan, di samping ingin mensegerakan acara pertunangan mereka, saat itu pula bertepatan dengan libur semester kuliah Kintani. Acara pertunangan itu sendiri rencananya akan dilaksanakan besok pagi, pihak keluarga Ridwan telah menyewa kendaraan untuk pergi bersama-sama mengunjungi rumah keluarga Kintani.
Cuaca pagi itu kurang bersahabat, awan hitam berpadu kompak menutup kebiruan langit. Tak lama hujanpun turun semakin lama semakin lebat, namun hal itu bukanlah penghalang bagi keluarga Ridwan untuk melaksanakan rencana mereka berkunjung ke rumah keluarga Kintani.
Dengan mobil avanza yang disewa Ridwan beserta supirnya, berangkatlah Ridwan dan kedua orang beserta Fitria Adik kandungnya menuju rumah kediaman keluarga Kintani yang terletak di kenagarian P.
Sekitar 15 menit mobil avanza yang di dalamnya Ridwan dan keluarganya tiba di halaman rumah megah milik Pak Wisnu sekeluarga, dengan menggunakan payung mereka turun dari mobil lalu melangkah ke teras rumah.
“Asalamualaikum,” ucap Pak Rustam sekelurga.
“Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga dari dalam rumah.
“Mari silahkan masuk!” ajak Pak Wisnu diiringi anggota keluarganya menghampiri Pak Rustam sekeluarga di depan pintu.
“Terima kasih, Pak Wisnu,” ucap Pak Rustam.
Di ruangan yang telah dipersiapkan untuk acara pertunangan antara Ridwan dan Kintani itu, kedua kelompok keluarga duduk secara adat-istiadat yang hingga kini masih berlaku di kenagarian di Provinsi Sumatera Barat itu.
Bagi yang pria duduk bersila, sementara bagi kaum wanitanya duduk bersimpuh. Setelah saling memperkenalkan diri, tibalah saatnya di mana Mamak ( Paman ) dari Kintani yang memiliki kedudukan tinggi secara adat dalam keluarga Minang berpepatah petitih memulai acara.
“Bapak Rustam yang kami hormati, sebelum berlanjut ke acara inti. Ada baiknya kami bertanya dulu, apa maksud dan tujuan Bapak datang berkunjung ke sini?” tanya Gindo Pamannya Kintani.
“Yang kami hormati saudara Gindo Paman dari Kintani, adapun maksud kedatangan kami ke sini, untuk meminang kemenakan saudara menjadi menantu kami,” jawab Pak Rustam.
“Sebelumnya saya juga ingin bertanya, ke manakah Paman dari Ridwan? Kenapa dia tidak hadir di sini? Apakah Ridwan tidak memiliki Paman lagi?”
“Maafkan kami saudara Gindo, bukannya kami memandang enteng adat dengan tidak menghadirkan Paman dari putra kami di sini. Melainkan beliau jauh berada di Pulau Jawa, sebelum kami ke sini terlebih dahulu telah merembukan maksud dan tujuan kami ini, beliau memberi mandat kepada saya untuk mewakilinya menyampai maksud dan tujuan yang kami sampaikan tadi,” tutur Pak Rustam.
“Baiklah Bapak Rustam, ikan di lubuk telah jelas jantan-betinanya, sama halnya kami telah jelas juga maksud dan tujuan Bapak sekeluarga ke sini. Kami juga sebelumnya telah berembuk sebelum menyediakan ruangan ini tempat kita akan mengadakan acara ikatan pertunangan antara Ridwan putra Bapak Rustam dengan Kintani putri Bapak Wisnu kemenakan Sutan Bagindo, ada satu pertanyaan lagi yang ingin kami ajukan,” ujar Paman Gindo berpepatah petitih.
“Silahkan saudara Gindo, apa yang hendak saudara tanyakan lagi?”
“Kita di Tanah Minangkabau ini terdiri dari berbagai macam suku, tidak memiliki suku berarti tidak memiliki adat. Yang ingin kami tanyakan, apakah Ridwan putra Bapak memiliki suku yang di dasarkan dari garis keturunan Ibunya?” tanya Paman Gindo.
“Tentu saja ada saudara Gindo, karena kami merupakan orang Minang yang hingga saat ini masih menjunjung tinggi adat-istiadat dan tradisi. Berdasarkan garis keturunan Ibu maka putra kami Ridwan bersuku Caniago,” tutur Pak Rustam.
Bukan kepalang terkejutnya seluruh keluarga Kintani, itu disebabkan bukan karena adanya petir yang menggelegar di sela lebatnya hujan di luar rumah, akan tetapi karena penuturan Pak Rustam yang mengatakan jika Ridwan bersuku caniago. Terutama Sutan Bagindo Pamannya Kintani, ia sempat terlonjak saat duduk bersila di ruangan itu, namun ia berusaha untuk meredam emosinya ketika ia melirik ke arah kedua orang tua Kintani.
Paman Gindo beringsut dari duduknya menghampiri Pak Rustam duduk di arah berlawan di ruangan itu, Pak Rustam sendiri sama sekali belum tahu penyebab seluruh keluarga Kintani terkejut akan pernyataan yang ia berikan tadi.
“Uda Rustam, sebaiknya kita bicarakan ini di ruangan tengah. Di mana hanya boleh ikut serta kedua orang tua Kintani, Uda Rustam dan Uni Suci. Ridwan dan Kintani untuk sementara biar menunggu di sini,” pinta Paman Gindo berbisik dengan Pak Rustam.
“Baiklah, mari!” Pak Rustam berdiri dari duduknya setelah mengajak Bu Suci mereka ikut masuk ke ruangan tengah di mana di sana telah menunggu kedua orang tua Kintani dan Paman Gindo.
Ridwan dan Kintani yang tidak diajak ikut ke ruangan tengah tampak duduk berhadap-hadapan dengan jarak selebar ruangan depan rumah mewah milik Pak Wisnu sekeluarga itu, tak ada sepatah katapun yang terucap di bibir keduanya, mereka kelihatan bingung kenapa Paman Gindo mengajak kedua orang tua mereka ke ruangan tengah untuk membicarakan sesuatu yang tentunya dirahasiakan dari mereka berdua.
“Maaf sebelumnya, ada gerangan apa saudara Gindo meminta kami berdua ke ruangan ini?” tanya Pak Rustam.
“Celaka Uda Rustam! Ini benar-benar buruk dan berbahaya, kami sama sekali tak menyangka,” ujar Paman Gindo.
“Celaka bagaimana? Kami tidak mengerti,” kembali Pak Rustam bertanya.
“Uda Rustam pasti tahu jika di Tanah Minang ini banyak sekali terdapat suku-suku, yang mana dalam ketentuan adat-istiadat kita, dilarang untuk menjalin cinta kasih apalagi sampai menikah sepesukuan,” tutur Paman Gindo.
“Maksud saudara Gindo...,” belum selesai Pak Rustam berucap, Paman Gindo memotong.
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments