Siang itu sepulang dari masjid melaksanakan sholat jum’at, Ridwan bicara berdua dengan Pamannya sebelum sampai di toko kembali. “Paman, kapan Paman punya waktu untuk ketemuan dengan Bang Randi? Katanya ada hal penting yang ingin dia bicarakan dengan Paman,” tanya Ridwan berjalan beriringan dengan Pamannya itu menuju toko. “Kan dulu Paman udah pernah bilang sama kamu untuk mengundang Randi ke rumah, nah kebetulan jika memang ada hal penting yang ingin ia sampaikan undang saja ia ke rumah besok malam,” tutur Paman Ramli. “Tapi Paman hal yang ingin ia sampaikan pada Paman itu cukup kita bertiga saja yang tahu, aku kuatir jika Tante Ayu mendengarnya akan salah paham nantinya,” ujar Ridwan. “Memangnya Randi mau ngomong soal apa? Kok sampai kamu merasa kuatir kalau Tantemu akan salah paham?” “Nanti jika kita udah ketemuan bertiga dan bicara, Paman pasti paham kenapa Bang Randi meminta bicarakan itu di luar bukan di rumah Paman.” “Oh ya udah, besok siang setelah zhuhur kamu telpon Rand
“Ya Bang, aku setuju. Nanti aku akan ajak Paman ke sana. Tapi Bang sebelumnya aku ingin tanya, apakah keinginanku ini udah Abang kasih tahu sama Kak Gita?” “Oh tentu udah dong, tadi Kak Gita ke sini dan aku juga ceritakan tentang kelakukan Tantemu itu. Kak Gita ikutan geram mendengarnya dan menyuruhku secepatnya mengajakmu untuk kerja dan tinggal bersama kami,” tutur Randi. “Oh ya udah kalau begitu, berarti besok siang udah sepakat kita ketemuannya di tempat yang kemarin itu ya, Bang?” “Iya Ridwan, aku akan tunggu kalian di sana.” “Oke Bang, hanya itu yang ingin aku sampain. Bang Randi silahkan untuk ngelanjutin kerjaannya, sampai ketemu besok. Assalamualaikum,” ucap Ridwan. “Waalaikum salam,” balas Randi sembari menutup panggilan di ponselnya. Di kenagarian P di rumah Kintani, Pak Wisnu dan Bu Anggini masih belum pejamkan mata meskipun mereka telah berbaring di pembaringan. “Abang yakin jika Kintani akan baik-baik saja di Padang?” Bu Anggini membuka pembicaraan di kamar itu.
“Loh, Mas Ridwan mau pindah ke mana?” “Ke rumah Abang dan Kakak angkatku, sekaligus bekerja di toko mereka.” jawab Ridwan. “Mas Ridwan baru 2 bulan di sini, kok udah dapat saudara angkat?” “Mereka anak Bapak dan Ibu angkatku di Kota Padang, sewaktu aku bekerja di kota itu sebelum ke sini. Kami sebenarnya telah saling kenal sejak lama meskipun baru kemarin kami bertemu dan bertatap muka,” tutur Ridwan yang sengaja menikmati kopi buatannya itu di dapur sembari bercakap-cakap dengan Bi Sumi. “Oh, jadi mereka udah lama juga tinggal dan punya usaha di Jakarta?” “Iya Bi, tapi Bi Sumi jangan bilang sama Tante ya?” “Tenang aja Mas, aku nggak akan ngomong itu sama Nyonya. Kalau boleh tahu juga apa alasan Mas memutuskan untuk pindah dan ikut saudara angkat Mas Ridwan itu?” tanya Bi Sumi sambil meneruskan kerjaannya membuat menu sarapan. “Seperti yang Bi Sumi ketahui kalau Tante Ayu nggak suka akan keberadaanku di rumah ini, meskipun pada kenyataannya aku keponakan kandung dari Paman Raml
“Baiklah kalau begitu Om setuju, jadi kapan rencananya cabang itu akan dibuka dan dijalankan?” “Besok siangpun bisa Om, tergantung Ridwan bersedianya kapan?” “Ya udah Ridwan, nanti malam selepas magrib Paman akan antar kamu ke rumah Kakak angkatmu itu,” “Nggak usah repot-repot Om, biar aku aja yang jemput Ridwan nanti ke rumah Om Ramli,” ujar Randi. “Nggak repot kok, justru aku senang sekalian bisa bertemu dan kenal dengan Gita.” “Oh ya udah, ini kartu namaku Om,” Randi menyerahkan kartu namanya agar Paman Ramli nanti mudah mencari alamat rumah mereka yang akan dituju. Cukup lama mereka ngobrol di tempat itu, hingga begitu kembali ke toko tak beberapa saat Paman Ramli pun menutup tokonya dan pulang ke rumah. Setibanya di rumah Paman Ramli meminta istrinya untuk duduk di ruang tengah, begitu pula dengan Ridwan untuk membicarakan hal berkaitan pertemuan dengan Randi tadi siang. “Ayu, setelah kami bertemu dengan seseorang yang aku katakan itu. Ternyata orang itu bukanlah pemasok m
“Oh ya udah aku mandi dulu Kak, ntar lagi magrib,” ujar Randi, Gita mengangguk setelah mencium pipi si kecil Randi pergi mandi di kamarnya. Rumah milik Gita di komplek itu cukup besar bertingkat dua, Dia dan suaminya di kamar lantai dasar sementara Randi menghuni kamar di lantai atas. Di lantai dasar selain kamar pribadi Gita ada 2 buah kamar lagi, 1 kamar tamu dan 1 lagi kamar pembantu. Sementara di lantai atas ada 2 buah kamar, yang salah satunya sekarang ditempati Randi. Gita ternyata membawa putrinya bukan menuju kamar melainkan menemui Bi Sari yang saat itu berada di ruangan dapur memasak untuk makan malam, kehadiran Nyonya rumah dan si kecil itu di dapur tentu mengagetkan Bi Sari. “Waduh, sampai kaget kirain siapa. Ada apa Nyonya?” tanya Bi Sari berhenti sejenak dari menyiapkan bahan untuk dimasak menghampiri Gita. “Masaknya nanti aja dilanjutin, Bi. Sekarang Bi Sari tolong bersihin kamar di sebelah kamar Randi di atas, nanti setelah magrib Adik angkatku akan datang ke sini
Sepeninggalnya Paman Ramli, mereka masih ngobrol di ruang tamu itu. Tampak sekali Ridwan seakan terlepas dari tempat yang dalam 2 bulan ini membuat batinnya tersiksa, begitupula dengan Gita sekeluarga mereka senang Ridwan berada di rumah itu. “Bi Sari..!” panggil Gita. “Iya Nyonya,” yang dipanggilpun menghampiri ke ruang tamu. “Tolong taruh barang-barang Ridwan ke kamar yang tadi udah Bi Sari bersihkan,” pinta Gita. “Oh, nggak usah Bi. Biar aku aja,” Ridwan mencegahnya, lalu ia berdiri dari duduk mohon pamit untuk mengantar barang-barangnya ke kamar yang dimaksud, Gita dan yang lain hanya tersenyum saja. “Ini kamarnya Mas,” ujar Bi Sari yang mengantar Ridwan ke kamar yang tadi sore ia rapikan. “Iya Bi, terima kasih,” ucap Ridwan lalu menaruh semua barang-barangnya di kamar itu, kemudian seiring dengan Bi Sari, Ridwan kembali turun ke lantai dasar menghampiri Gita dan keluarga di ruang tamu. “Terima kasih, Kak. Kamarnya sangat besar sekali,” ucap Ridwan sekaligus tak menyangka j
“Iya itu juga yang Ibu harapkan, kuliahmu harus dapat kamu selesaikan dengan baik.” “Ibu do’akan saja moga kuliah dan cita-citaku menjadi seorang dokter tercapai, hanya itu satu-satunya harapanku saat ini,” pinta Kintani. “Tentu Nak, Ibu akan selalu mendo’akanmu. Kamu udah sarapan pagi ini?” “Udah Bu, tadi aku beli lontong di warung sebelah kos-kosan.” “Ya sudah, Ibu nelpon hanya ingin nanya keadaanmu saja. Kalau memang kamu baik-baik saja di sana, Ibu pun merasa lega di sini.” “Iya Bu, aku baik-baik aja di sini.” “Assalamualaikum.” “Waalaikum salam,” Kintani menutup panggilan di ponsel dari Ibunya. Hampir setiap malam Kintani sulit pejamkan mata dan beristirahat seperti sebelum kejadian yang ia alami di kampung saat dibatalkan pertunangannya dengan Ridwan, mau tidak mau hal itu selalu muncul dalam pikirannya. Terlebih rasa sayangnya pada Ridwan sangat besar dan tulus, hingga takan mudah baginya untuk melupakan Ridwan begitu saja. Kesehariannya di kampuspun tidak seperti dulu
“Waktunya istirahat siang, Ridwan. Kamu mau makan siang di mana?” tanya Randi yang datang menghampirinya saat ia masih berjalan kian-kemari di seputaran toko melayani pembeli. “Nanti saja makan siangnya, Bang. Setelah aku melayani pembeli yang ini, aku mohon izin dulu untuk sholat zhuhur di masjid depan sana,” jawab Ridwan sambil menunjuk arah masjid yang berada di kawasan pasar tanah abang itu. “Oh ya udah kita bareng aja ke sana sekarang, biar mereka yang layani pelanggan itu,” ujar Randi meminta salah seorang karyawannya menggantikan Ridwan yang tengah melayani seorang pelanggan. Sekembalinya dari masjid Randi langsung mengajak Ridwan untuk makan siang di rumah makan Padang yang tidak jauh dari masjid itu, Randi memang selalu makan siang di luar tokonya setiap hari. Sementara karyawan yang saat ini masih bekerja melayani pelanggan secara bergantian makan siang dan istirahat, begitupula saat makan malam tiba dan berganti sif kerja. “Melihat caramu melayani pelanggan di toko, aku