“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.
“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.
“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.
“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak pernah pula bertanya tentang sukumu,” sambung Pak Wisnu.
“Iya, apa yang Ayah katakan memang benar. Kami tak pernah kepikiran bertanya soal itu,” akui Kintani.
“Nah itulah penyebabnya maka terjadi hal seperti yang kita alami saat ini, semua diketahui saat kalian hendak dipertunangkan.”
“Ya Ayah, aku nggak akan menyalahkan Paman Gindo lagi.”
“Sekarang kamu makan ya, Kintani?” bujuk Bu Anggini, namun Kintani masih menolak dan mengatakan jika selera makannya belum ada.
Bu Anggini tak patah semangat karena ia tak ingin putrinya itu jatuh sakit, maka ia kembali membujuk Kintani, setelah berulang kali dibujuk akhirnya putrinya itu menurut untuk diajak kemeja makan. Sulit memang untuk menerima kenyataan yang secara tiba-tiba saja datang dan harus dihadapi, seperti halnya dengan menelan sesuap nasi yang terasa pahit di kerongkongan Kintani.
Patah hati dan pasrah sepertinya tengah dialami dua ingsan yang 2 tahun belakangan ini memadu kasih dengan penuh suka dan duka, sama sekali tak pernah terlintas di pikiran mereka akan terjadi hal seperti itu.
Dalam pasrah yang tak rela Kintani dan Ridwan musti menuruti keinginan kedua orang tua mereka masing-masing untuk dipisahkan, itu bertujuan agar mereka dapat berangsur-angsur saling melupakan kenangan indah yang pernah tercipta dalam jalinan kasih sewaktu di Kota Padang.
Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun dan telah bersiap untuk berangkat ke Kota Padang, rencana Ridwan hanya sehari saja di kota itu kemudian keesokan harinya akan menuju Ibu Kota Jakarta.
“Kenapa Ibu menangis?” tanya Ridwan sambil mengenakan sepatu di teras rumah.
“Ibu mana yang nggak sedih, Ridwan. Melepas kepergian putranya jauh merantau ke Pulau Jawa,” jawab Bu Suci yang berusaha agar air matanya tak tumpah lagi, akan tetapi air mata itu tak mampu dibendungnya.
“Aku laki-laki dan telah dewasa, Bu. Ibu jangan kuatir, aku di Jakarta kan nggak sendirian juga. Ada Paman Ramli dan keluarganya disana,” Ridwan menenangkan hati Ibunya.
“Iya Suci, lagipula setiap saat kita bisa menghubunginya melalui ponsel,” tambah Pak Rustam yang juga ikut menenangkan hati Bu Suci.
“Fitria..!”
“Ya Kak,” Fitria yang tadi berada di dalam rumah bersiap-siap untuk ke sekolah datang menghampiri Ridwan di teras.
“Selama aku pergi bantu Ibu di rumah sepulang dari sekolah, ya? Jangan lupa juga rajin-rajin belajar agar nilaimu selalu baik dan kelak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi negeri,” Ridwan menasehati Adik kandungnya itu.
“Baik Kak.”
“Sholat juga jangan sampai bolong, bantu dengan do’a moga aku nanti berhasil di perantauan dan bisa terus mengirimmu uang untuk biaya sekolah dan kuliahmu nanti.”
“Iya Kak.”
Bus yang ditunggu untuk berangkat ke Kota Padang melintas, Ridwan pun menyetopnya. Setelah berpamitan dengan menyalami kedua orang tua serta adiknya, Ridwan naik ke bus kemudian berlalu meninggalkan orang-orang dicintainya itu yang masih melambai-lambaikan tangan.
Ridwan tiba di Kota Padang di tempat kediaman orang tua angkatnya jam 1 siang, kedatangan Ridwan tentu membuat menjadi tanda tanya bagi orang tua angkatnya itu karena kembali lebih awal dari yang direncanakan.
“Loh, katanya di desa selama 1 minggu kok baru 3 hari udah kembali?” tanya Bu Indri yang siang itu duduk di teras rumah.
“Iya Bu, nanti aku ceritakan. Oh ya, Bapak mana?” Ridwan balik bertanya.
“Bapakmu selepas sholat zhuhur tadi langsung istirahat di kamar, sebentar Ibu bangunkan.”
“Oh nggak usah, Bu. Biar Bapak istirahat aja dulu, nih ada oleh-oleh dari Ayah dan Ibu di kampung,” cegah Ridwan sembari memberikan oleh-oleh berupa buah-buahan segar dari desanya.
“Wah, pakai repot bawa oleh-oleh segala.”
“Nggak apa-apa, Bu. Kebetulan buah-buahan ini lagi musim, dan buahnya lebat di belakang rumah,”
“Ya udah kamu istirahat dulu aja gih, pasti lelah dalam perjalanan tadi,” Bu Indri menyuruh Ridwan untuk istirahat di kamar yang biasa ia tempati selama tinggal di Kota Padang itu.
“Nanti saja Bu, aku nggak capek kok.”
“Ya udah kamu duduk dulu aja di sini, biar Ibu buatkan kopi,” Ibu angkat Ridwan itu tahu persis jika Ridwan gemar minum kopi.
Cuaca siang itu tidaklah secerah tadi pagi, awan hitam dalam sekejab menutupi keseluruhan birunya langit, beruntung Ridwan tiba lebih awal di rumah orang tua angkatnya itu, sebelum gerimis turun kemudian disusul hujan lebat.
Hampir setengah jam Ridwan duduk di teras bercakap-cakap dengan Ibu angkatnya sembari menikmati segelas kopi hangat, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang dari dalam rumah itu diselingi suara batuknya.
“Nah, Bapak udah bangun tuh,” ujar Ridwan.
“Oh ya udah, Ibu ke belakang lagi buatkan teh hangat untuk Bapakmu,” Bu Indri berdiri dari duduknya lalu kembali ke ruangan belakang membuatkan minum untuk Pak Hendra.
“Bapak pikir siapa tadi yang ngobrol di tengah-tengah hujan di teras rumah dengan Ibumu, eh nggak tahunya kamu, Ridwan. Kapan kamu datangnya?”
“Sekitar setengah jam yang lalu, Pak.” jawab Ridwan.
“Katanya di desa bakal seminggu kok baru 3 hari udah kembali? Gimana acara pertunangan kamu dan Kintani, sukses?” Pak Hendra bertanya kembali, Ridwan tak segera menjawab ia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan segala rasa yang tiba-tiba datang menyesak di dadanya.
“Acara pertunangan itu batal, Pak,” Ridwan menjawab dengan tatapan kosong ke arah rapatnya hujan yang turun di depan teras rumah itu.
“Apa? Batal?!” serentak Pak Hendra dan Bu Indri yang ternyata sudah tiba di teras itu berseru kaget, saking kagetnya hampir saja teh hangat yang dibawa Bu Indri untuk suaminya itu terjatuh.
“Kok bisa begitu, Ridwan?” sambung Pak Hendra. “Selama 2 tahun lebih kami saling kenal lalu menjalin hubungan, kami sama sekali nggak tahu jika ternyata kami sepesukuan. Hal itulah yang menyebabkan pertunangan kami dibatalkan,” tutur Ridwan. “Hah! Kalian sesuku?” kembali Bu Indri terkejut. “Iya Bu, kami sama-sama bersuku Caniago. Dan menurut kedua orang tua kami serta Paman dari Kintani, kami berdua merupakan saudara yang dilarang untuk menjalin hubungan kasih apalagi bertunangan dan menikah,” ujar Ridwan dengan nada yang terdengar berat. “Malang sekali nasibmu, Nak. Padahal Ibu melihat kalian pasangan yang serasi,” Bu Indri ikut sedih. “Berarti adat-istiadat di kampungmu masih kental dan terjaga dengan baik, meskipun sekarang zaman semakin canggih dan berteknologi modern. Masyarakat di sana masih menjunjung tinggi tradisi dari para leluhur, tak lapuk ditimpa hujan dan lekang diterpa panas begitulah kokohnya. Sayangnya pencerahan mengenai suku di Minangkabau jarang sekali didengu
Hampir jam 3 sore hujan di kota itu benar-benar reda, Ridwan kembali berpamitan pada orang tua angkatnya untuk menuju pasar raya tempat selama ini ia bekerja mengais rezeki sehari-hari. Seperti biasanya Ridwan berangkat kesana dengan naik angkot yang berlalu-lalang di jalan raya yang ada di depan gang jalan masuk menuju kediamannya itu. Kurang lebih 15 menit Ridwan pun tiba dipasar raya Padang, tampa menunggu waktu lama lagi Ridwan mendatangi satu-persatu pemilik toko dan pedagang di sana yang selama ini pernah ia bantu dan memberi upah kepadanya untuk berpamitan. Ridwan memang tidak menceritakan alasan pergi merantau ke Jakarta disebabkan pertunangannya gagal di kampung, karena di samping pihak keluarga Kintani dan keluarganya minta dirahasiakan, Ridwan juga tentunya secara pribadi tak ingin membuka hal itu pada teman-temannya di pasar raya. Akan tetapi meskipun keseluruhan para pemilik toko dan pedagang yang pernah ia bantu itu tak mengetahui alasan Ridwan merantau, mereka semuany
Kini Paman Ramli terbilang sukses sebagai perantau karena telah memiliki toko dan rumah sendiri serta kendaraan pribadi, ia juga telah berkeluarga dengan wanita yang bukan dari keturunan Minang bernama Ayu. Paman Ramli juga telah dikarunia seorang putra yang saat ini masih duduk di kelas 2 SMA, karena jarang pulang ke kampung istri dan putranya tidak terlalu mengenal akan saudara-saudaranya di Tanah Minang.Lebih 1 jam mobil yang kemudikan Paman Ramli tiba di depan rumah bertingkat 2 di kawasan salah satu komplek, tampa mau dibantu wanita yang di duga sebagai pembantu rumah itu Ridwan membawa sendiri barang-barangnya ke dalam rumah.“Nah inilah rumah Paman, Ridwan.”“Besar sekali Paman, bertingkat lagi,” puji Ridwan.“Rumah Paman ini belum apa-apanya dibandingkan rumah-rumah mewah di komplek ini,” Paman Ramli merendah.“Tante Ayu dan Gilang kemana, Paman? Kok dari tadi nggak kelihatan?”“Tantemu jam segini masih di toko, sementara Gilang belum pulang dari sekolah,” jawab Paman Ramli.
Sementara di kenegarian P tepatnya di sebuah bangunan rumah yang besar serta tergolong mewah di desa itu, Pak Wisnu dan Bu Anggini yang merupakan kedua orang tua Kintani hidup dalam kemewahan.Orang tua Kintani memiliki banyak bidang kelapa sawit pribadi di kawasan desa itu, belum lagi tanah yang mereka beli di desa lain dan sekarang juga telah dijadikan perkebunan kelapa sawit. Tak heran jika setiap bulannya atau setiap kali panen, Pak Wisnu dan Bu Anggini mendapatkan uang ratusan juta rupiah, karena harga kelapa sawit pada saat itu telah mencapai Rp. 2.500,- per kilogramnya.Setiap panen Pak Wisnu selalu mentransfer uang ke rekening Kintani, meskipun terkadang Kintani sendiri tidak tahu apalagi meminta. Pak Wisnu sengaja melakukan itu karena tak ingin putrinya yang kini tengah kuliah di Fakultas Kedokteran, merasa panik jika sewaktu-waktu ada keperluan mendadak, baik menyangkut keperluan di kampus maupun untuk keperluan sehari-harinya.Sore itu pula di depan rumah mewah milik kedua
Kedatangan Kintani di kos-kosan disambut ceria oleh kedua teman dekatnya bernama Dila dan Eva, masing-masing mereka menempati ruangan kos di sisi kanan dan kiri dari ruangan kos yang ditempati Kintani. Setelah sholat magrib kedua sahabatnya itu tak sabar lagi ingin bercakap-cakap karena kurang lebih 4 minggu yang lalu mereka libur semester, mereka berdua langsung masuk ke ruangan kos Kintani. “Waduh! Kalian ngagetin aja. Nggak ngetuk pintu dulu main terobos aja,” seru Kintani terkejut yang saat itu tengah melipat mukena yang dipakainya barusan untuk sholat magrib. “He..he..he, maaf kami kangen,” ujar Dila diiring tawanya. “Aku juga kangen sama kalian, Yuk kita makan malam bareng. Kebetulan nih Ibuku buat rendang yang pastinya super lezat,” ajak Kintani kemeja makan sembari menunjukan rendang yang ia bawa dari kampung pada Dila dan Eva. “Hemmm, padahal aku udah makan tadi sore. Tapi aroma rendang buatan Ibumu ini buat aku laper lagi,” ujar Eva. “Ya udah kalau gitu yuk kita makan,
“Bagaimana tanggapan orang tuamu mengenai Bang Ridwan?” “Maksudmu?” Kintani balik bertanya. “Ya, apakah kedua orang tuamu merestui hubungan kalian? Maaf sebelumnya karena kamu sendiri bilang jika Bang Ridwan hanya tamatan SMK dan bekerja serabutan di pasar raya.” “Oh, kedua orang tuaku nggak mempermasalahkan semua itu. Ayah dan Ibuku sejak dulu tak pernah melarang dan mengekangku berteman dengan siapa saja, termasuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Asal pria itu jika nggak kuliah lagi, minimal dia memiliki pekerjaan bukan seorang pengangguran,” tutur Kintani. “Pandangan dan cara berfikir kedua orang tuamu sangat bijaksana, mereka sama sekali tak mempersoalkan perbedaan status sosial seseorang. Inilah yang membuat aku dan Irfan ragu untuk saling mengenal dengan kedua orang tua kami, secara Irfan tergolong lebih segalanya dibandingkan aku,” ujar Dila. “Harta kekayaan merupakan salah satu titipan Allah SWT yang setiap saat bisa saja diambil-Nya kembali, saat ini mungkin kita l
Kintani merupakan mahasiswi yang berprestasi di kampus itu, di setiap semester dia selalu mendapatkan IPK tertinggi, hal itu bukan tampa alasan karena sejak dari SMP dulu dia sosok siswi yang rajin membaca dan pandai memanfaatkan waktu luang di luar jam sekolah atau kuliahnya di perpustakaan ketimbang bermain ataupula menghabiskan waktu itu di kantin. Seperti siang itu dia dan Eva berada di dalam perpustakaan kampus di waktu jam jeda kuliah, Eva akhir-akhir ini saja mau bergabung dengan Kintani ke perpustakaan itu setelah menyadari beberapa semester sebelumnya IPK yang ia peroleh sangat rendah. “Di perpustakaan ini buku-bukunya lengkap, kamu bisa mencari mana buku yang berkaitan dengan mata kuliah yang kamu anggap dua semester lalu nilainya paling rendah,” tutur Kintani. “Ya Kintani, selama ini aku pikir cukup dengan mencari materi-materi itu melalui internet, ternyata banyak hal-hal yang nggak aku temui di sana berkaitan dengan mata kuliah dari dosen.” “Searching di internet juga
“Nggak tahu juga, soalnya aku nggak pernah bilang hal itu padanya. Aku juga ngerasa hal yang sama, kalau Fita nggak pernah juga mencintaiku sampai detik ini,” jawab Hengki lalu menyeruput jus yang tadi ia pesan di kantin itu. “Saranku mending kalian bicarakan itu secara baik-baik, jika memang rasanya nggak memungkinkan lebih baik diakhiri aja, daripada dipaksakan untuk terus lanjut yang ada nanti di antara kalian akan bermusuhan jika salah seorang dari kalian merasa sakit hati dengan hubungan yang sedang kalian jalani itu,” Irfan menasehati Hengki. “Iya Fan, ntar aku cari waktu yang tepat untuk bicarakan itu sama Fita.” “Nah, kalau semuanya udah clear dan hubungan kalian berdua nggak mungkin lanjut, baru kamu coba dekatin cewek lain,” ujar Dila. “Sip, tenang aja Dila. Secepatnya akan aku selesaikan, ya udah aku duluan, ya?” “Loh, kamu mau ke mana?” tanya Irfan saat Hengki hendak pamit pergi dari kantin itu. “Ada perlu sama teman, tadi aku udah janji sama dia,” jawab Hengki. “Oh