Share

Bab 5. Patah Hati

“Ya, Kintani. Ayah juga berharap atas kejadian ini kamu tidak benci kepada Ayah dan Ibu serta Paman Gindomu, karena kami sama sekali tidak melarang dan menentangmu berhubungan dengan Ridwan, melainkan adat-istiadat kitalah yang tidak membolehkan,” tutur Pak Wisnu.

“Aku nggak akan mungkin benci pada Ayah dan Ibu, yang aku sesali Paman Gindo yang tak pernah memberi pemahaman tentang rumpun suku kita, termasuk ada larangan menjalin hubungan cinta kasih sepesukuan,” ujar Kintani.

“Pamanmu itu secara tidak langsung telah menyadari kesalahannya, hanya saja perlu juga kamu ketahui di zaman yang serba modern ini kalaupun seorang Paman begitu getol memberi nasehat dan pemahaman terhadap keponakannya tentang adat-istiadat, tetap saja anak-anak sekarang sulit menerapkan dalam pergaulan sehari-hari. Apakah pernah terpikirkan olehmu saat awal berkenalan dengan Ridwan menanyakan sukunya?” Pak Wisnu menjelas sembari bertanya, Kintani hanya gelengkan kepala.

“Begitu juga dengan Ridwan, Ayah rasa tak pernah pula bertanya tentang sukumu,” sambung Pak Wisnu.

“Iya, apa yang Ayah katakan memang benar. Kami tak pernah kepikiran bertanya soal itu,” akui Kintani.

“Nah itulah penyebabnya maka terjadi hal seperti yang kita alami saat ini, semua diketahui saat kalian hendak dipertunangkan.”

“Ya Ayah, aku nggak akan menyalahkan Paman Gindo lagi.”

“Sekarang kamu makan ya, Kintani?” bujuk Bu Anggini, namun Kintani masih menolak dan mengatakan jika selera makannya belum ada.

Bu Anggini tak patah semangat karena ia tak ingin putrinya itu jatuh sakit, maka ia kembali membujuk Kintani, setelah berulang kali dibujuk akhirnya putrinya itu menurut untuk diajak kemeja makan. Sulit memang untuk menerima kenyataan yang secara tiba-tiba saja datang dan harus dihadapi, seperti halnya dengan menelan sesuap nasi yang terasa pahit di kerongkongan Kintani.

Patah hati dan pasrah sepertinya tengah dialami dua ingsan yang 2 tahun belakangan ini memadu kasih dengan penuh suka dan duka, sama sekali tak pernah terlintas di pikiran mereka akan terjadi hal seperti itu.

Dalam pasrah yang tak rela Kintani dan Ridwan musti menuruti keinginan kedua orang tua mereka masing-masing untuk dipisahkan, itu bertujuan agar mereka dapat berangsur-angsur saling melupakan kenangan indah yang pernah tercipta dalam jalinan kasih sewaktu di Kota Padang.

Pagi-pagi sekali Ridwan telah bangun dan telah bersiap untuk berangkat ke Kota Padang, rencana Ridwan hanya sehari saja di kota itu kemudian keesokan harinya akan menuju Ibu Kota Jakarta.

“Kenapa Ibu menangis?” tanya Ridwan sambil mengenakan sepatu di teras rumah.

“Ibu mana yang nggak sedih, Ridwan. Melepas kepergian putranya jauh merantau ke Pulau Jawa,” jawab Bu Suci yang berusaha agar air matanya tak tumpah lagi, akan tetapi air mata itu tak mampu dibendungnya.

“Aku laki-laki dan telah dewasa, Bu. Ibu jangan kuatir, aku di Jakarta kan nggak sendirian juga. Ada Paman Ramli dan keluarganya disana,” Ridwan menenangkan hati Ibunya.

“Iya Suci, lagipula setiap saat kita bisa menghubunginya melalui ponsel,” tambah Pak Rustam yang juga ikut menenangkan hati Bu Suci.

“Fitria..!”

“Ya Kak,” Fitria yang tadi berada di dalam rumah bersiap-siap untuk ke sekolah datang menghampiri Ridwan di teras.

“Selama aku pergi bantu Ibu di rumah sepulang dari sekolah, ya? Jangan lupa juga rajin-rajin belajar agar nilaimu selalu baik dan kelak bisa melanjutkan ke perguruan tinggi negeri,” Ridwan menasehati Adik kandungnya itu.

“Baik Kak.”

“Sholat juga jangan sampai bolong, bantu dengan do’a moga aku nanti berhasil di perantauan dan bisa terus mengirimmu uang untuk biaya sekolah dan kuliahmu nanti.”

“Iya Kak.”

Bus yang ditunggu untuk berangkat ke Kota Padang melintas, Ridwan pun menyetopnya. Setelah berpamitan dengan menyalami kedua orang tua serta adiknya, Ridwan naik ke bus kemudian berlalu meninggalkan orang-orang dicintainya itu yang masih melambai-lambaikan tangan.

Ridwan tiba di Kota Padang di tempat kediaman orang tua angkatnya jam 1 siang, kedatangan Ridwan tentu membuat menjadi tanda tanya bagi orang tua angkatnya itu karena kembali lebih awal dari yang direncanakan.

“Loh, katanya di desa selama 1 minggu kok baru 3 hari udah kembali?” tanya Bu Indri yang siang itu duduk di teras rumah.

“Iya Bu, nanti aku ceritakan. Oh ya, Bapak mana?” Ridwan balik bertanya.

“Bapakmu selepas sholat zhuhur tadi langsung istirahat di kamar, sebentar Ibu bangunkan.”

“Oh nggak usah, Bu. Biar Bapak istirahat aja dulu, nih ada oleh-oleh dari Ayah dan Ibu di kampung,” cegah Ridwan sembari memberikan oleh-oleh berupa buah-buahan segar dari desanya.

“Wah, pakai repot bawa oleh-oleh segala.”

“Nggak apa-apa, Bu. Kebetulan buah-buahan ini lagi musim, dan buahnya lebat di belakang rumah,”

“Ya udah kamu istirahat dulu aja gih, pasti lelah dalam perjalanan tadi,” Bu Indri menyuruh Ridwan untuk istirahat di kamar yang biasa ia tempati selama tinggal di Kota Padang itu.

“Nanti saja Bu, aku nggak capek kok.”

“Ya udah kamu duduk dulu aja di sini, biar Ibu buatkan kopi,” Ibu angkat Ridwan itu tahu persis jika Ridwan gemar minum kopi.

Cuaca siang itu tidaklah secerah tadi pagi, awan hitam dalam sekejab menutupi keseluruhan birunya langit, beruntung Ridwan tiba lebih awal di rumah orang tua angkatnya itu, sebelum gerimis turun kemudian disusul hujan lebat.

Hampir setengah jam Ridwan duduk di teras bercakap-cakap dengan Ibu angkatnya sembari menikmati segelas kopi hangat, tiba-tiba terdengar suara langkah seseorang dari dalam rumah itu diselingi suara batuknya.

“Nah, Bapak udah bangun tuh,” ujar Ridwan.

“Oh ya udah, Ibu ke belakang lagi buatkan teh hangat untuk Bapakmu,” Bu Indri berdiri dari duduknya lalu kembali ke ruangan belakang membuatkan minum untuk Pak Hendra.

“Bapak pikir siapa tadi yang ngobrol di tengah-tengah hujan di teras rumah dengan Ibumu, eh nggak tahunya kamu, Ridwan. Kapan kamu datangnya?”

“Sekitar setengah jam yang lalu, Pak.” jawab Ridwan.

“Katanya di desa bakal seminggu kok baru 3 hari udah kembali? Gimana acara pertunangan kamu dan Kintani, sukses?” Pak Hendra bertanya kembali, Ridwan tak segera menjawab ia menarik napas dalam-dalam berusaha menahan segala rasa yang tiba-tiba datang menyesak di dadanya.

“Acara pertunangan itu batal, Pak,” Ridwan menjawab dengan tatapan kosong ke arah rapatnya hujan yang turun di depan teras rumah itu.

“Apa? Batal?!” serentak Pak Hendra dan Bu Indri yang ternyata sudah tiba di teras itu berseru kaget, saking kagetnya hampir saja teh hangat yang dibawa Bu Indri untuk suaminya itu terjatuh.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status