“Ya mau bagaimana lagi, semuanya di luar dugaan kita semua. Tak ada yang dapat kita salahkan dalam hal ini, termasuk Ridwan dan Kintani yang memang tidak tahu sejak awal mereka bertemu,” tutur Pak Rustam.
“Aku yang salah dalam hal ini, Uda. Karena sulitnya kehidupan dulu di kampung, hingga aku membawa keluargaku merantau. Sejak kecil Ridwan tak pernah aku ajarkan dan memberi pemahaman tentang adat-istiadat serta sukunya sendiri, yang semua itu merupakan kewajibanku sebagai Pamannya,” ujar Paman Ramli menyalahkan dirinya sendiri.
“Nasi telah terlanjur menjadi bubur, Ramli. Tak ada gunanya kita menyesali diri. Perkembangan zaman jualah yang menjadi salah satu penyebabnya, hingga para pemangku adat sulit memberi pemahaman pada anak, cucu, dan kemenakan mereka. Kalaupun dijelaskan dan diberi pemahaman, anak-anak sekarang mana ada yang saat bertemu dan berkenalan menanyakan tentang suku, paling mereka hanya ingin mengetahui nama serta daerah asal masing-masing,” tutur Pak Rustam yang tak mau menyalahkan Pamannya Ridwan itu.
“Lalu bagaimana solusinya, Uda?”
“Setelah kami berembuk antar kedua belah pihak, mereka terpaksa harus kami pisahkan. Ridwan musti ikut kamu merantau ke Jakarta, dan itu aku minta besok pagi ia melaksanakannya,” jawab Pak Rustam.
“Ya, itu solusi yang tepat. Aku akan menunggu Ridwan di sini.”
“Tapi dia meminta untuk singgah dulu di Kota Padang, karena pakaiannya sebagian besar berada di kediaman orang tua angkatnya. Sekalian juga dia ingin pamitan pada mereka dan teman-temannya di pasar raya,” ujar Pak Rustam menjelaskan permintaan putranya sebelum berangkat ke Jakarta.
“Baik Uda, kapanpun Ridwan berangkat kami disini akan menunggunya. Kabari saja kami nanti jika memang Ridwan telah berangkat dari Padang,” pinta Paman Ramli.
“Ya Ramli, assalamualaikum.”
“Waalaikum salam,” Paman Ramli menutup panggilan di ponselnya.
Seiring azan ashar berkumandang Kintani pun sadar dan bangun dari tempat tidurnya, Bu Anggini yang duduk tidak jauh dari kamar putrinya yang sengaja tak dikunci itu berjalan tergesa-gesa menghampiri.
“Kamu udah sadar, Nak?”
“Sebenarnya apa yang telah terjadi, Bu? Kenapa aku terbaring di kamar?” Kintani bertanya sambil sesekali meraba kepalanya yang terasa agak pusing.
“Kamu tadi pingsan, Kintani. Lalu Ibu dibantu dengan Ayah dan juga Pamanmu membawa dan membaringkanmu di kamar ini,” jawab Bu Anggini.
“Uda Ridwan masih di sini ya, Bu?” Kintani seperti orang linglung karena baru tersadar dari pingsan hingga tak ingat lagi jika Ridwan telah pulang sejak tadi.
“Sebaiknya kamu wudhu dan segera sholat ashar,” ujar Bu Anggini sengaja mengalihkan arah pembicaraan dari pertanyaan Kintani tentang Ridwan.
Kintani turun dari tempat tidurnya lalu melangkah ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya, setelah berwudhu ia pun melaksanakan sholat ashar di kamar itu, sementara Bu Anggini sholat berjama’ah dengan Pak Wisnu di ruang tengah.
Saat menutup sholatnya dengan do’a, Kintani kembali meneteskan air mata. Ia teringat kejadian tadi pagi saat acara pertunangannya dengan Ridwan dibatalkan, selama 2 tahun menjalin tali kasih dengan suka dan duka, harus berakhir dengan hal yang memilukan.
Kintani hanya keluar sejenak mengambil segelas air putih di ruangan belakang, lalu ia kembali ke dalam kamarnya, tak berselang lama Bu Anggini kembali masuk ke dalam kamar putrinya itu.
“Dari tadi siang kamu belum makan, Kintani. Ibu ambilkan, ya?”
“Nggak usah Bu, aku belum ada selera untuk makan,” cegah Kintani.
“Jangan begitu, Nak. Yang ada nanti kamu bakal sakit jika menahan makan,” ujar Bu Anggini menasehati putrinya.
“Memang masih ada ya Bu, rasa yang lebih menyakitkan dari yang aku rasakan saat ini?”
“Ini semua ujian dari Allah, Nak. Kamu harus sabar menghadapinya,” Bu Anggini kembali berusaha menenangkan hati putrinya.
“Apakah Allah juga menentang hubungan sepesukuan, Bu?” pertanyaan Kintani kali ini membuat Bu Anggini terdiam sejenak.
“Mungkin tidak, Kintani. Tapi sejak para leluhur kita dulunya, kehidupan kita telah diikat dengan segala ketentuan adat-istiadat yang masih berlaku hingga sekarang.” jawab Bu Anggini.
“Tapi kami berdua sejak awal nggak mengetahuinya, hingga terjalin kasih diantara kami.”
“Diketahui atau tidak, disengaja maupun tidak. Tetap saja hal itu menentang adat-istiadat kita, Kintani.”
“Rasanya hal yang musti kami terima ini nggak adil, Bu,” Kintani masih tak terima dengan semua ketentuan adat-istiadat itu.
“Kamu harus belajar menerima kenyataan itu, Kintani. Sebaiknya nomor kontak ponselmu kamu ganti yang baru,” pinta Bu Anggini.
“Kenapa musti begitu, Bu?”
“Karena kamu akan sulit untuk melupakan semua yang telah terlanjur terjadi tentang hubunganmu dengan Ridwan, dengan mengganti nomor kontakmu baik dia maupun kamu akan lebih mudah untuk saling melupakan.”
“Haruskah begitu, Bu?”
“Ya, kalau kalian terus berkomunikasi akan sangat sulit menerima kenyataan. sementara baik kamu ataupun Ridwan harus bisa saling melupakan karena menyangkut marwah keluarga besar kita sebagai orang Minang yang dikenal kuat adat-istiadatnya,” tutur Bu Anggini.
“Entahlah Bu, saat ini aku masih belum dapat untuk memutuskan apa yang musti aku perbuat. Rasanya seperti mimpi saja, dalam sekejab antara kami berdua harus melupakan jalinan kasih yang kami rajut selama 2 tahun ini,” ujar Kintani yang kembali tak kuasa menahan air matanya.
“Sabar sayang, mungkin Allah tidak mentakdirkan kalian untuk hidup bersama. Oh ya, barusan Ayahmu berpesan agar menemuinya di ruang tengah, dia mau bicara denganmu,” Kintani mengangguk lesu, kemudian berdiri dan melangkah ke ruang tengah di mana di sana Pak Wisnu menunggunya sejak tadi.
“Ada apa Ayah?” tanya Kintani yang telah duduk di samping Ayahnya.
“Ayah tahu ini sangat berat untuk kamu terima, tapi apa boleh buat sepahit apapun kenyataan itu harus kita telan bersama. Sejak awal Ridwan datang ke rumah kita ini, Ayah sendiri kagum padanya karena dia pria yang baik dan pekerja keras. Ayah bahkan tak mempersoalkan pekerjaan dan perbedaan status sosial keluarganya dengan keluarga kita,” tutur Pak Wisnu.
“Iya Ayah, aku tahu itu.”
“Nah, yang jadi persoalan saat ini tidak mungkinnya kita menentang ketentuan adat-istiadat dan tradisi yang telah turun-temurun dari para leluhur. Jadi Ayah harap kamu bisa mengerti Nak, dan jangan larut dalam kesedihan lagi,” pinta Pak Wisnu.
“Aku belum bisa berjanji Ayah, tapi aku akan coba berusaha untuk melupakan Uda Ridwan secara perlahan-lahan, moga saja nanti aku mampu,” ujar Kintani.
“Aku nggak menyangka sekeras itu keinginanmu Kintani hingga kamu berani menentang adat-istiadat kita yang telah diwarisi turun-temurun dari para leluhur, Aku juga tak mengerti mengapa kalian sebagai orang tuanya mendukung hal yang dapat membuat keluarga besar kita ini akan dipandang buruk di dalam kaum suku caniago,” tutur Pak Gindo. “Kami juga sama sekali tak menginginkan ini terjadi Uda Gindo, akan tetapi kami pun tak bisa melawan takdir dari Allah SWT. Kintani dan Ridwan nampaknya takan bisa dipisahkan lagi, jika Uda menyalahkan kami dalam hal ini kami akan terima asal Kintani bahagia dengan pria pilihannya,” ujar Bu Anggini pasrah. “Ya, semua ini adalah kesalahan kita termasuk Uda Gindo selaku Paman kandung Kintani yang sejak awal tak pernah memberi penjelasan tentang pemahaman adat-istiadat kita secara detil. Terjalinnya hubungan kasih antara Kintani dan Ridwan sedari semula merupakan titik awal semua ini terjadi, jika harus menanggung malu karena adat-istiadat kita semua tentun
Kabar kepulangan Kintani ke rumah orang tuanya pagi itu diketahui oleh Pak Gindo melalui sambungan telpon yang disampaikan oleh Bu Anggini, tentu saja Paman kandung dokter muda cantik itu segera datang bersama keluarganya. Pak Gindo berfikir Kintani pulang karena menyadari kesalahan telah menentang keinginan mereka untuk menjodohkannya dengan Romi, makanya Pak Gindo begitu semangat pagi itu membawa putra dan istrinya menemui Kintani. “Assalamualaikum,” ucap Pak Gindo saat tiba di depan pintu rumah Pak Wisnu. “Waalaikum salam,” sahut Pak Wisnu sekeluarga yang pagi itu duduk di ruangan depan. Pak Wisnu dan Bu Anggini menghampiri mereka lalu mempersilahkan duduk di ruangan depan itu, sementara Kintani ke belakang membuatkan minum. “Alhamdulillah jika Kintani udah kembali Wisnu, kami turut cemas karena lebih dari 3 bulan nggak ada kabarnya,” ucap Pak Gindo. “Ya, Alhamdulillah Uda. Akhirnya Kintani dapat ditemukan dan kami bawa pulang ke rumah ini,” ucap Pak Wisnu pula. “Ditemukan d
Jam 9 malam mobil yang dikemudikan Pak Wisnu dengan Ridwan duduk di sebelahnya sementara Kintani bersama Ibunya di belakang, tiba di kenagarian MK tepatnya di rumah kedua orang tua Ridwan. Pak Rustam dan Bu Suci serta Fitria terkejut melihat mobil Pak Wisnu datang kembali berkunjung, mereka lebih terkejut lagi ketika melihat Ridwan juga turun dari mobil itu. “Assalamualaikum,” ucap Pak Wisnu, Ridwan, Kintani dan Bu Anggini begitu tiba di teras rumah di hadapan Pak Rustam sekeluarga. “Waalaikum salam, ada apa ini kenapa Ridwan juga ada bersama kalian?!” sahut Pak Rustam diiringi rasa kaget dan penasarannya. “Hemmm, sabar Ayah. Sebaiknya kita persilahkan Pak Wisnu dan keluarga masuk dulu,” ujar Ridwan. “Oh iya, silahkan masuk Wisnu dan yang lainnya,” ajak Pak Rustam. Mereka pun duduk bersama di ruangan depan, sementara Fitria Adik kandung Ridwan ke belakang membuatkan minum. “Sangat menganggetkan dan mengherankan kenapa kamu bisa bersama Pak Wisnu dan keluarga, Ridwan?” tanya Pak
Bu Anggini langsung menoleh ke arah Pak Wisnu, ia berfikir suaminya itu akan marah mendengar penuturan Kintani yang menegaskan jika masalah dia tak ingin pulang bukan hanya karena perjodohannya dengan Romi saja melainkan juga karena tak ingin dipisahkan lagi dengan Ridwan. “Kintani, ini nggak akan mudah terlaksana meskipun kami berdua akan merestui kalian. Sanksi adat kita sangat berat bukan saja kalian akan terbuang dari adat tapi juga harta pusaka keluarga tidak akan bisa diwariskan terutama pada kamu Kintani,” jelas Pak Wisnu sambil menarik napas dalam-dalam. “Ayah, apapun itu sanksinya aku siap menerimanya termasuk tak mendapatkan harta warisan keluarga. Bagiku harta bukanlah segalanya karena bisa dicari asalkan mau berusaha,” Kintani kembali menegaskan. “Tapi dalam berumah tangga tak cukup hanya atas dasar cinta dan kasih sayang saja,” ujar Pak Wisnu. “Nggak apa-apa Ayah, meskipun nanti kami hidup apa adanya yang terpenting kami bahagia,” ulas Kintani. “Kamu dengar Ridwan be
Pagi di kawasan kenagarian P terlihat cerah, para warga yang umumnya pekebun sebagian sudah berangkat ke lahan perkebunan mereka. Demikian pula dengan para pekerja Pak Wisnu yang saban hari bekerja memanen buah kelapa sawit serta membersihkan lahan perkebunan, mereka pun telah bersiap-siap untuk berangkat. Kalau biasanya Pak Wisnu selalu menyusul mereka selepas tengah hari atau sesudah zhuhur, namun hari itu dia menyuruh salah seorang pekerjanya untuk mencatat banyaknya serta mengantar buah sawit yang telah dipanen ke pabrik. Adapun alasan Pak Wisnu hari itu tak dapat pergi ke lahan serta mengurus segala sesuatunya mengenai urusan kebun, karena dia dan istrinya akan ke Kota Padang menemui Kintani di rumah orang tua angkat Ridwan. “Apa nggak sebaiknya kita beritahu Uda Gindo dulu sebelum kita berangkat menyusul Kintani, Anggini?” Pak Wisnu bertanya sembari merapikan pakaian yang ia kenakan di kamar. “Nggak usah Bang, yang ada nanti dia akan ikut dan akan menimbulkan masalah di Pada
“Bapak tahu ini hal yang sulit terutama bagi kamu Kintani, tapi keberadaanmu di sini harus tetap diberitahu pada Ayah dan Ibumu di kampung. Apalagi Ibumu sekarang jatuh sakit karena sudah 3 bulan lamanya tak ada kabar tentang kamu setelah pergi dari rumah,” tutur Pak Hendra. “Tapi Pak kalau diberitahu aku ada di sini, kedua orang tuaku itu pasti akan datang dan membawaku pulang. Itu artinya aku akan tetap dijodohkan dengan pria yang sama sekali nggak aku cintai,” ujar Kintani. “Kamu tenang saja Kintani, Bapak akan membelamu nantinya jika mereka datang ke sini. Tujuan utama memberitahu keberadaanmu di sini untuk kesembuhan Ibumu, jika memang kamu tidak ingin pulang dengan alasan akan dijodohkan dan mereka nanti memaksa Bapak tidak akan membiarkannya,” tegas Pak Hendra. “Ya Kintani, Ibu juga akan membelamu. Ridwan, sekarang kamu telpon kedua orang tua Kintani. Beritahu saja jika Kintani ada di sini,” ujar Bu Indri, Ridwan mengangguk lalu meraih ponsel yang ia taruh di meja. “Hallo,