Kedatangan Kintani di kos-kosan disambut ceria oleh kedua teman dekatnya bernama Dila dan Eva, masing-masing mereka menempati ruangan kos di sisi kanan dan kiri dari ruangan kos yang ditempati Kintani. Setelah sholat magrib kedua sahabatnya itu tak sabar lagi ingin bercakap-cakap karena kurang lebih 4 minggu yang lalu mereka libur semester, mereka berdua langsung masuk ke ruangan kos Kintani. “Waduh! Kalian ngagetin aja. Nggak ngetuk pintu dulu main terobos aja,” seru Kintani terkejut yang saat itu tengah melipat mukena yang dipakainya barusan untuk sholat magrib. “He..he..he, maaf kami kangen,” ujar Dila diiring tawanya. “Aku juga kangen sama kalian, Yuk kita makan malam bareng. Kebetulan nih Ibuku buat rendang yang pastinya super lezat,” ajak Kintani kemeja makan sembari menunjukan rendang yang ia bawa dari kampung pada Dila dan Eva. “Hemmm, padahal aku udah makan tadi sore. Tapi aroma rendang buatan Ibumu ini buat aku laper lagi,” ujar Eva. “Ya udah kalau gitu yuk kita makan,
“Bagaimana tanggapan orang tuamu mengenai Bang Ridwan?” “Maksudmu?” Kintani balik bertanya. “Ya, apakah kedua orang tuamu merestui hubungan kalian? Maaf sebelumnya karena kamu sendiri bilang jika Bang Ridwan hanya tamatan SMK dan bekerja serabutan di pasar raya.” “Oh, kedua orang tuaku nggak mempermasalahkan semua itu. Ayah dan Ibuku sejak dulu tak pernah melarang dan mengekangku berteman dengan siapa saja, termasuk menjalin hubungan dengan seorang pria. Asal pria itu jika nggak kuliah lagi, minimal dia memiliki pekerjaan bukan seorang pengangguran,” tutur Kintani. “Pandangan dan cara berfikir kedua orang tuamu sangat bijaksana, mereka sama sekali tak mempersoalkan perbedaan status sosial seseorang. Inilah yang membuat aku dan Irfan ragu untuk saling mengenal dengan kedua orang tua kami, secara Irfan tergolong lebih segalanya dibandingkan aku,” ujar Dila. “Harta kekayaan merupakan salah satu titipan Allah SWT yang setiap saat bisa saja diambil-Nya kembali, saat ini mungkin kita l
Kintani merupakan mahasiswi yang berprestasi di kampus itu, di setiap semester dia selalu mendapatkan IPK tertinggi, hal itu bukan tampa alasan karena sejak dari SMP dulu dia sosok siswi yang rajin membaca dan pandai memanfaatkan waktu luang di luar jam sekolah atau kuliahnya di perpustakaan ketimbang bermain ataupula menghabiskan waktu itu di kantin. Seperti siang itu dia dan Eva berada di dalam perpustakaan kampus di waktu jam jeda kuliah, Eva akhir-akhir ini saja mau bergabung dengan Kintani ke perpustakaan itu setelah menyadari beberapa semester sebelumnya IPK yang ia peroleh sangat rendah. “Di perpustakaan ini buku-bukunya lengkap, kamu bisa mencari mana buku yang berkaitan dengan mata kuliah yang kamu anggap dua semester lalu nilainya paling rendah,” tutur Kintani. “Ya Kintani, selama ini aku pikir cukup dengan mencari materi-materi itu melalui internet, ternyata banyak hal-hal yang nggak aku temui di sana berkaitan dengan mata kuliah dari dosen.” “Searching di internet juga
“Nggak tahu juga, soalnya aku nggak pernah bilang hal itu padanya. Aku juga ngerasa hal yang sama, kalau Fita nggak pernah juga mencintaiku sampai detik ini,” jawab Hengki lalu menyeruput jus yang tadi ia pesan di kantin itu. “Saranku mending kalian bicarakan itu secara baik-baik, jika memang rasanya nggak memungkinkan lebih baik diakhiri aja, daripada dipaksakan untuk terus lanjut yang ada nanti di antara kalian akan bermusuhan jika salah seorang dari kalian merasa sakit hati dengan hubungan yang sedang kalian jalani itu,” Irfan menasehati Hengki. “Iya Fan, ntar aku cari waktu yang tepat untuk bicarakan itu sama Fita.” “Nah, kalau semuanya udah clear dan hubungan kalian berdua nggak mungkin lanjut, baru kamu coba dekatin cewek lain,” ujar Dila. “Sip, tenang aja Dila. Secepatnya akan aku selesaikan, ya udah aku duluan, ya?” “Loh, kamu mau ke mana?” tanya Irfan saat Hengki hendak pamit pergi dari kantin itu. “Ada perlu sama teman, tadi aku udah janji sama dia,” jawab Hengki. “Oh
“Kamu harus ngerti dong, kan aku udah bilang jika Ridwan sebelum datang ke sini tengah mengalami masalah besar di kampung. Pertunangannya sengaja dibatalkan karena tradisi serta adat-istiadat di sana menentang, wajar jika Ridwan belum bisa melupakan itu dan tak bisa konsen bekerja,” tutur Paman Ramli. “Harus sampai kapan dia begitu, Bang. Hidup di Jakarta ini keras dan harus selalu siap untuk bersaing, urusan pribadi nggak boleh dibawa ke pekerjaan. Mending gaji orang lain aja jika keponakan Abang nggak akan bisa bekerja seperti yang kita harapkan,” Tante Ayu begitu ketusnya berbicara. “Hus, kamu kalau bicara jangan keras-keras nanti kedengaran sama Ridwan.” “Ya baguslah kalau ia dengar biar dia sadar jika di sini bukanlah di kampungnya, mau digaji tapi kerja nggak becus!” kembali Tante Ayu bicara ketus. “Ayu..! Untuk kamu ketahui saja, Ridwan itu keponakan kandungku bukan orang lain. Di dalam adat-istiadat kami posisi Ridwan tak jauh beda dengan putra kita sendiri, kalau bicara j
“Sama seperti Pamanmu, Kak Gita juga punya toko hanya saja bukan di kawasan pasar tanah abang blok A melainkan di jalan jati bunder, yang buka 24 jam,” jawab Randi yang mengetahui jika toko Pamannya Ridwan berada di kawasan Blok A pasar tanah abang. “Oh, jadi pasar tanah abang itu banyak ya, Bang?” “Ada 3 lokasi, pasar tanah abang di jalan jati bunder, lalu Blok A dan Blok F,” Randi menjelaskan karena Ridwan memang belum tahu banyak akan kawasan pasar tanah abang itu. “Kalau sekiranya aku ikut Abang Randi aja, gimana? Nanti aku bantu deh Bang Randi kerja di toko Kak Gita itu,” Randi terkejut mendengar permintaan dari Ridwan. “Loh, emangnya kamu nggak kerasan tinggal dan kerja bareng Pamanmu?” “Paman Ramli sih baik dan sangat ngertiin aku, akan tetapi Tante Ayu agaknya nggak suka dengan kehadiranku di rumahnya. Tadi malam aku sempat dengar pertengkaran Paman dan Tante menyangkut keberadaanku di rumah mereka, aku jadi nggak enak Bang.” “Kenapa Tantemu begitu? Setahuku kamu sosok y
“Aku mengerti Bang, aku hanya akan mengambil keputusan itu jika aku benar-benar tak sanggup lagi bertahan tinggal dengan mereka,” jawab Ridwan. “Hemmm, kamu nggak usah kuatir Ridwan. Aku dan Kak Gita akan menerimamu kapan saja kamu ingin tinggal bersama kami, kamu cukup beritahu nanti aku akan menjemputmu.” “Terima kasih, Bang,” ucap Ridwan. “Hemmm, sama-sama Ridwan. Yuk, kita makan nanti keburu dingin kurang enak,” Randi terseyum lalu mengajak Ridwan untuk menyantap pesanan yang mereka pesan di tempat itu. Sementara di toko milik Paman Ramli, Tante Ayu merasa penasaran kemana Ridwan dan menemui siapa? Karena dia sendiri tahu di Jakarta selain Ridwan tak memiliki saudara selain Paman Ramli. “Tadi Ridwan pamit mau ke mana, Bang?” “Oh, Ridwan mau ketemuan sama temannya,” jawab Paman Ramli sambil menata barang-barang dagangannya yang tak lama lagi toko itu akan ia tutup. “Teman? Bukannya Ridwan baru satu bulan di sini dan itupun nggak pernah ke mana-mana selain di toko ini dan di
Malam kian larut hujanpun tak kunjung reda sama derasnya air mata yang turun membasahi kedua pipi Kintani, dia benar-benar tak tahu apa yang harus dilakukan untuk meredam rasa yang tiba-tiba hadir menyesakan dadanya. Semakin ia berusaha menepis bayangan wajah Ridwan, semakin lekat di pelupuk matanya.Karena tak kuasa dan tak tahu berbuat apa-apalagi, Kintani berserah diri pada Allah SWT dalam do’a di sholat tengah malam yang ia lakukan, setelah hatinya tenang barulah Kintani berbaring dan dapat pejamkan mata.“Tok, tok, tok. Kintani..! Yuk, berangkat kuliah bareng,” seru Dila dan Eva yang pagi itu berdiri di depan pintu kos-kosannya bersiap berangkat kuliah.Beberapa kali mereka mengetuk pintu dan memanggil, namun tak ada sautan dari dalam, hingga akhirnya Kintani tersentak kaget saat Dila dan Eva mengedor pintunya cukup keras.“Astaqfirullah, aku kesiangan!” kejut Kintani bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju pintu.“Waduh, kamu baru bangun, Kintani?” Eva terkejut dan heran m