Sepanjang acara berlangsung, aku juga tidak bisa menemukan keberadaan Naka. Berdiri di pojok ruangan seorang diri sembari menatap ponsel yang kepegang. Ingin menghubungi Naka, namun aku ragu … apakah ia akan menjawabnya?
Aku menatap ujung sepatuku, ponsel yang kupegang kumasukkan kembali ke dalam tasku. Tidak ada gairah sedikit pun untuk melakukan sesuatu, maksudku tanpa Naka, bagaimana aku menikmati pesta asing ini?
Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya, jika memang tidak bisa memberikan maaf kepadaku … jangan muncul di hadapanku. Jangan memberikan harapan palsu dengan membawaku ke pesta keluarganya.
Tidak ada siapapun yang kukenal di sini … sementara itu, Naka justru meninggalkanku sendiri. Tanpa berkata, tanpa isyarat apapun.
Aku menggelengkan kepala, apa yang kupikirkan tentangnya? Aku mengusap wajahku, mataku terpejam sesaat, aku membatin, “Tidak, tidak apa, Alice! Jika Naka tidak ingin berbicara denganmu sekarang, kamu
"Alice ...."Aku berhenti, aku menengok ke belakang. Naka sedang memandangku dengan wajah yang tak bersahabat, aku berdehem pelan.“Iya, ada apa?" Naka diam, aku masih berdiri menunggunya mengatakan sesuatu.“Jika bukan Rio yang melakukannya, lalu siapa?"Mendengar perkataannya, tubuhku kaku. Aku menatapnya dengan kedua mata yang sudah berkaca-kaca, Naka menatapku menunggu jawaban dariku.“Siapa, Alice? Tolong, katakan dengan jujur."Aku tidak tahu harus berkata apa, Naka berdiri menghampiriku membuat tubuhku bingung harus bereaksi seperti apa.Aku berkata dengan terbata-bata, "N-Naka, s-semua orang memiliki masa lalu yang buruk, tidak semua orang beruntung dengan kehidupan yang indah. Aku sudah melupakan masa laluku, aku hidup di masa depan dan selalu ingin bersamamu."Naka terkekeh, terdengar seperti ejekan darinya, "Benarkah kalau kamu sudah melupakan masa lalumu? Bagaimana setelah aku menerima semua masa lalumu, kamu melupakan dan mengkhianatiku, Alice?"
Pandanganku tertuju pada Naka, namun sedetik kemudian ia memalingkan wajahnya membuat air mataku kembali tumpah.Aku terjatuh, tubuhku terasa begitu lemas. Pandanganku memburam, aku tak menyangka masa laluku terungkap di sini, tak pernah terpikir olehku.Ujung tanganku mencengkeram dadaku kuat-kuat, sesak.Aku mendongak, Naka berdiri di depanku. Aku segera menyapu air mataku, walau tubuh masih terasa lemas, aku mencoba berdiri di hadapannya.Aku mencoba menyentuh lengannya, namun Naka menepisnya dengan kasar. Aku tertegun beberapa saat, “Naka ….”Naka menatapku dengan kekehan kecil di bibirnya, “Apa tujuanmu melakukan ini? Aku merasa jijik dengan diriku karena pernah menyukaimu.”Aku diam, mataku terpejam, hatiku terasa begitu sakit.Naka mendekatiku, ia memegang leherku membuat tubuhku sedikit meremang. Rambut panjangku ia selipkan di belakang telinga, bibirnya mendekati telingaku dan berbisik, “J
Ujung tanganku segera menyapu sisa-sisa air mata yang masih mengalir, aku melangkah pelan menuju kamar mandi di dalam kamar. Setelah menghidupkan keran air dan membasahi kedua tanganku, mataku menatap wajah di pantulan cermin. Sedetik kemudian aku menghembuskan naps lelah.Cukup lama aku diam di depan cermin, meneliti betapa kacaunya diriku saat ini.Sedang … Naka tak kunjung pulang, dan aku pulang sendiri dari pesta dengan perasaan tak tentu.Sekarang, apa yang harus kulakukan? Aku sudah menjelaskan alasan aku melakukan ini semua, tetapi sepertinya naka tak bisa mempercayainya.Apa hubunganku dan Naka berakhir di sini saja? Walau perasaan diantaraku dengannya sama-sama ada, tidak hilang.Untuk sekarang, aku meyakini bahwa perasaan Naka masih sama seperti sebelumnya.Aku tersenyum tipis sebelum berlalu pergi.*****Suara alarm membuatku terbangun, tanganku menggapai ponsel dan segera mematikannya. Aku berjalan dengan mat
Aku diam, Naka kembali berucap, “Ada apa denganmu? Mencari perhatian dari orang lain, begitu?”“Apa maksudmu? Aku sama sekali tidak mencari perhatian dari siapapun. Aku terjatuh dan kakiku sakit, apa itu masalah bagimu?” ujarku penuh dengan kekesalan.Naka terkekeh, “Aku merasa kamu sengaja menjatuhkan diri, Alice! Berhentilah melakukan ini itu untuk menarik perhatianku, itu tidak akan membuatku bersimpati!”Mataku memerah, hatiku terasa begitu sakit mendengar penuturan darinya. “Kamu selalu berpikir negatif tentangku, sekalipun aku melakukan hal yang baik, kamu tidak akan percaya. Sudahlah terserah padamu, aku muak dengan segalanya!” ujarku meluap-luap.Tanganku dicekal olehnya, aku menatap pergelangan tanganku yang memerah, “Lepaskan aku!”Naka menyelipkan rambut tipisku di telinga, ia mendekatkan bibir dan berbisik di sana, “Jangan berani keluar dari Apartemenku, sayang!”
Aku meneguk ludah, menatap ke arah lain asal tidak bertatapan mata dengan Diva. Sementara itu, deringan ponsel Diva kembali terdengar, aku memejamkan mata enggan mendengarkan.Diva menatapku, aku menggeleng mengisyaratkan untuk tidak memberitahu pada Naka bahwa aku ada di sini, di kosnya.“Hai, ada apa menelponku?”Diva melirikku, aku menggelengkan kepala, “Ah iya, Alice ada di sini. Dia sudah menceritakan segalanya padaku, jemputlah dia dan selesaikan permasalahan kalian, mengerti?”Aku mengepalkan ujung tanganku, sedang diva menahan tawa melirikku, “Ya, ya cepatlah datang dan hati-hati di jalan, ya!”Begitu telepon mati, aku langsung mencercanya. “Aku sudah bilang jangan memberitahu Naka, Diva mengapa kamu melakukan itu? Kamu itu temanku apa bukan?”Diva terbahak, ia berucap dengan sisa-sisa tawa di bibirnya, “Hei, ada apa dengan tatapanmu itu, kalian adalah temanku, mengerti? Sudahlah,
Pembicaraan di mobil kemarin tidak membuat hubungan kami membaik, Naka masih bersikap dingin padaku.Aku tak tahu harus menjelaskan apa lagi padanya.Semuanya sudah kujelaskan, tetapi tanggapannya tak sesuai harapanku.Dan perkataan pedasnya lebih sering kudengar, aku bingung … apakah ini sifat aslinya? Apakah Naka sebenarnya pemarah?Aku berucap pelan, “Tidak apa, sabar … Naka butuh waktu untuk mencerna semuanya. Jangan terlalu menekannya untuk memahami keadaanku saat itu.”Aku berjalan pelan, kakiku sudah mulai membaik, tidak terasa sakit lagi ketika dibawa untuk melangkah, tetapi tetap harus berhati-hati.Aku melintasi mahasiswa yang sedang berkumpul mengelilingi spanduk baru yang terpasang. Teriakkan nan pekikkan bahagia begitu mendominasi, aku ingin melihat isi dari spanduk tersebut, tetapi menyadari kakiku yang belum sembuh total, rasanya tidak mungkin berdesak-desakkan seperti itu.Diva memanggil namak
Setelah cukup lama menunggu, namun tak kunjung juga mendengar suaranya. Aku mendengus sebal dan melemparkan ponselku.“Sudahlah, sampai kapanpun Naka tetap tidak akan menjawabnya. Iya, baiklah aku yang salah, tetapi tetap saja dia menghindariku. Menyebalkan!”Aku memejamkan mata mengurangi emosi di dada.*****Pagi sudah tiba, terasa begitu cepat. Aku tertidur seperti orang mati, tidak sadar apapun.Aku menutup daun pintu kamar setelah siap untuk pergi ke kampus, mataku menatap pintu kamar Naka yang tertutup rapat. Aku menghela napas, tidak bisa kupungkiri bahwa hatiku kesal padanya, tetapi rasa rinduku lebih besar, lebih mendominasi.Namun apa yang bisa kulakukan, Naka menghindariku. Ia enggan untuk berkomunikasi denganku, tetapi juga melarangku untuk keluar dari kehidupannya.Aku tersenyum tipis, sebisa mungkin bersabar. Aku mencintainya, aku akan berusaha agar hubungan aku dan Naka membaik.Aku tahu, ketika Naka
Setiap hari aku berusaha untuk berbicara, melalu ponsel atau bertatap muka langsung dengannya, semua itu tidak ada hasilnya.Naka tidak memberikan kesempatan padaku. Lalu aku harus apa?Festival kampus sudah berakhir, sekarang apa alasan yang ia gunakan? Sibuk mengurusi semuanya? Benarkah itu?Di waktu senggang aku kerap sekali berpikir, apa kesalahanku begitu fatal hingga Naka tidak sudi memberikan kesempatan padaku? Apa aku begitu menjijikkan?Apa hubunganku tidak bisa diperbaiki lagi …?Memikirkan semua itu membuatku pening. Mengapa menjadi dewasa sangat menyusahkan?*****Setelah pagi tiba, aku keluar dari kamar dengan pakaian yang sudah rapi. Terakhir kali ruangan di depan tidak berantakkan, tapi pagi ini ada banyak botol kosong minuman beralkohol.Apa Naka sudah pulang?Ujung tanganku membuka daun pintu kamarnya, aku langsung mendapatinya yang tertidur dengan pulas.Kakiku melangkah mendekati, aku dud