“Siapa yang menyuruhmu membayarnya, hah?’ Kinanti meradang. Dia tidak tahu jika Gunawan telah membayar uang rumah sakit ayahnya. “Ini sebagai bukti kesungguhanku ingin menikahimu. Kinanti.”"Omong kosong! Pergi dari sini.""Aku sungguh-sungguh ingin menikahimu, Kinanti."Di dunia ini beberapa orang berpikir dapat membeli semua hal. Asalkan dia punya uang, cinta, kedudukan sekalipun bisa dibeli. Gunawan adalah salah satu tipe orang yang mengandalkan uang.“Tolong jangan buat keributan disini, ayahku sedang sakit. Kasian dia!” Kinanti takut ayahnya terbangun jika mendengar keributan mereka.“Tolong pergi dari sini,” bentak Kinanti.“Begini caramu membalas budi orang yang telah membayar biaya rumah sakit ayahmu, hah?” Bukannya pergi Gunawan malah mendekat. Dia menatap Kinanti dengan tatapan singa yang ingin menerkam mangsanya, “Kalau begitu kembalikan uangku.”“Berapa sih, uang yang kamu keluarkan untuk ayahku!” tantang Kinanti tak mau kalah. Harga diri, adalah satu-satunya yang bisa K
Perawat yang tadi dipanggil Kinanti segera datang ke ruang rawat Haidar Baskoro. Ayah Kinanti mulai membuka mata. pandangan matanya masih kosong, tidak fokus. Perawat itu berusaha mengetes sensor motorik. Mengarahkan senter kecil ke netra Haidar Baskoro.Kinanti senang, tak henti menatap Haidar Baskoro. Ayahnya mulai bisa diajak berkomunikasi oleh perawat tadi. Alat bantu pernapasan dilepas. Siti Aminah, Karenina dan Prasetyo baru datang. Mereka ikut senang dengan perkembangan Haidar Baskoro. Mendekat ke ranjang, untuk melihat kepala keluarga mereka.Melihat suaminya sudah bangun Siti Aminah berkata, “Kinanti, sekarang pulanglah. Biarkan kami yang menjaga ayah. Kamu pasti lelah belum beristirahat sejak pagi tadi.”“Aku masih ingin di sini, Bu. Menemani Ayah.”“Pulanglah Kak, ikuti perkataan Ibu.” Karenina ikut menimpali percakapan.Saat mereka sedang berbicara Gunawan menatap Prasetyo lekat-lekat. Ada kode entah sebuah perintah yang disampaikan lewat tatapan mata itu.“Baiklah Bu, ak
“Kinanti?’Suara yang familiar. Kinanti merasa mengenal pemilik suara itu. Dia menoleh, seorang lelaki mendorong pintu kaca. Setelah berada di hadapannya, barulah Kinanti tahu siapa yang memanggilnya tadi.Kinanti menunjuk ke arah si lelaki, “Abimanyu Permana?”“Iya, aku. Lupa ya? Mentang-mentang aku jarang ke perpustakaan lagi. Ngapain di sini?”“Ayahku sakit.”Keduanya saling menatap dan melempar senyum. Kinanti sedikit terhibur dengan kehadiran Abimanyu. Terkadang Tuhan menghadirkan hari yang buruk lalu mengirim penawar.“Kamu baru aja nikah?” tebak Abimanyu. Matanya memindai pakaian Kinanti dari bawah hingga atas.Kinanti tersenyum, “Mana ada pengantin buluk kayak aku,” ujarnya merendah. Kinanti cukup tahu diri walau tidak berkaca, penampilannya sangat kacau. Seharian dia belum membasuh diri.Abimanyu mengerutkan keningnya, masih penasaran entah heran. Dia menunjuk gaun putih Kinanti dan rambut disanggul yang mulai acak-acakkan.“Gaunku? Adikku baru tadi pagi, menikah. Sebelum aca
Kinanti menaiki angkutan umum, bus antar kota dengan dominasi warna hijau. Duduk di sebelah kaca, disandarkan kepalanya pada kaca. Jendelanya terbuka selebar tiga ruas jari orang dewasa. Angin semilir menerpa wajahnya, rambut hitamnya beterbangan.Perempuan bergaun putih itu menutup matanya. Lelah juga mengantuk, ingin sekali dia tidur dan segera sampai ke apartemen keluarganya. Sepanjang perjalanan kinanti memejamkan mata, tetapi pikirannya tak henti berkelana. Satu jam berada dalam angkutan umum, bus akhirnya menepi. Kinanti turun di depan halte apartemen. Tinggal berjalan beberapa meter untuk sampai.Tiiin!Tiin!Sebuah mobil BMW berwarna putih tulang menyalakan lampunya lebih terang dan membunyikan klakson mobil beberapa kali. Kinanti menoleh, menutupi wajah dengan satu tangan karena silau. Berjalan mendekat, sepertinya orang di dalam mobil ada perlu dengannya.Sejenak Kinanti menghentikan langkah. Dia mematung sekitar dua meter dari mobil itu. Firasatnya tidak enak.Melihat kina
Apartemen itu gelap, hanya lampu penerangan jalan yang menerobos lewat kaca jendela, juga lampu di koridor apartemen yang menyinari. Kinanti membiarkan pintunya tetap terbuka. Tangan kanan Kinanti meraba ke sisi dinding, sebelah kanan pintu masuk. Menyalakan saklar lampu. Berjalan menuju kamar Gio. Rasa lelahnya sedari tadi hilang, digantikan amarah yang tersulut oleh Gunawan. Soal kehamilannya saja membuat Kinanti pusing, belum ditambah hutang keluarganya pada Gunawan. Perempuan mana yang kuat bertahan dihantam cobaan bertubi-tubi sendirian?Kinanti langsung menuju kamar Gio. Matanya membulat ketika menemukan beberapa hal janggal, “Bagaimana mungkin ada kaos itu di pinggir ranjang?”Seingat Kinanti terakhir dia masuk ke apartemen Gio. Dia sudah membereskan kamar itu, “Kenapa bisa ada di sini?”Benar saja itu adalah salah satu kaos milik Gio. Ditaruh dengan asal di pinggir ranjang, hingga hampir jatuh ke lantai. Kinanti mengambil kaos abu-abu itu. Ada aroma parfum bercampur keringat
Sebaris tulisan yang ditinggalkan Gio mampu menenangkan Kinanti. Dia tidur cukup pulas. Terkadang rasa lelah yang teramat membuat seseorang jatuh pada gelap terdalam. Telepon rumah di ruang tamu berdering beberapa kali. Deringan itu tak membangunkan Kinanti.00.15 Telepon kembali berbunyi nyaring. Entah, sudah di dering yang ke berapa, Kinanti menggeliat, memicingkan mata ke arah jam bulat di dinding kamarnya.“Pukul dua belas lebih, aku ketiduran,” ucap Kinanti. Dia menggosok matanya beberapa kali, menguap lebar karena tidurnya terganggu, “siapa yang malam-malam begini menelepon?”Kinanti berusaha bangun. Hal pertama yang dilakukannya adalah mengangkat kedua tangan ke atas, meregangkan tubuh. Telepon di ruang tamu masih berdering. Dia bergegas berjalan ke sana.“Halo?”“Apa? B-bagaimana bisa?” Kinanti terkejut mendengar berita dari si penelepon. Wajahnya berubah panik, “Baik aku akan segera ke sana.”“Jam segini? Bus kota sudah gak lewat. Naik apa aku ke sana?”Kinanti berbicara seor
“Lampunya masih menyala terus. Kapan operasi ini segera berakhir!” Siti Aminah berulang kali menatap lampu merah di atas ruangan itu. Pertanyaannya entah ditujukan pada siapa. Kinanti baru saja tiba. Hanya dokter yang tahu pastinya keadaan di dalam. Namun, Tuhan yang lebih punya kuasa atas nyawa manusia. Mereka hanya bisa berdoa.“Tenanglah Bu, para dokter masih berusaha di dalam.” Kinanti berusaha menenangkan ibunya.“Sudah hampir empat puluh lima menit mereka di dalam dan tak satupun yang keluar untuk memberi kita kejelasan, Kak.”Anggota keluarga Haidar Baskoro dalam keputusasaan. Semuanya sedih, berharap dalam ketidakpastian. Mulai mengutuk nama Tuhan, karena tidak segera memberi keajaiban.“Seharusnya pernikahanku adalah awal kebahagiaan bagi keluarga kita. Setelah kesialan dari pembatalan perjodohan Kakak yang berulang kali.”“Karenina, diam.” Siti Aminah mengingatkan. Anak kedua Haidar Baskoro itu memang suka menyalahkan orang lain atas takdir yang Tuhan gariskan.Kinanti tah
Menjelang subuh mobil jenazah rumah sakit terparkir di depan apartemen. Keadaan jalan yang lengang dan hak istimewa mobil jenazah untuk lewat lebih dulu memudahkan perjalanan mereka. Penghuni apartemen ke luar untuk melihat siapa yang dibawa mobil jenazah itu.“Neng Kinanti?” Pak Sanip berpapasan dengan Kinanti saat turun dari mobil jenazah. Dia duduk di depan untuk menunjukkan jalan. Sementara Prasetyo, Karenina dan ibunya menumpang di mobil Gunawan.“Jadi Pak Haidar baskoro?” Pak Sanip tidak melanjutkan dugaanya, takut menyinggung Kinanti yang berduka.“Iya, Pak. Ayah meninggal,” sahut Kinanti dengan lemah. Dia merasa kehilangan tenaga juga semangatnya.Para tetangga membantu petugas rumah sakit mengangkat jenazah Haidar Baskoro. Berikutnya pemandian, pengkafanan juga proses lainnya akan dilaksanakan di apartemen. Seharusnya pernikahan Karenina akan menjadi hal yang membahagiakan keluarga mereka. Namun, bukannya suka cita mereka harus melewati hari dengan duka cita. Karenina tak h