Di sisi lain, Nayla merasa ingin sekali berusaha sendiri dan membuktikan kemampuan dari bakat yang dimilikinya.
Mereka melanjutkan percakapan mereka dengan nyaman, berbagi cerita dan kenangan tentang masa lalu mereka. Tertawa dan bercanda, mereka seakan melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi di dunia luar.
Sesaat kemudian, suasana itu berubah ketika Michael bertanya tentang suami Nayla. "Bagaimana keadaan suamimu?" tanya Michael dengan suara yang sedikit berat.
Nayla merasa sedikit kikuk dengan pertanyaan itu. Dia merasa tidak nyaman membicarakan masalah pribadinya dengan Michael, meskipun dia menghargai kebaikan hati dan perhatian Michael.
"Oh, dia sedang sibuk dengan pekerjaannya," jawab Nayla dengan canggung, mencoba untuk menghindari topik tersebut.
Michael merasakan ketidaknyamanan Nayla, tapi dia tidak ingin menekannya. "Maaf, jika aku bertanya terlalu jauh," katanya dengan suara lembut, mencoba untuk memperbaiki suasana.
Nayla tersenyum tipis, merasa lega dengan pemahaman Michael. "Hum, tidak apa-apa," ucapnya, meskipun hatinya masih terasa berat dengan masalah yang harus dia hadapi. Meskipun begitu, keberadaan Michael memberinya sedikit kelegaan di tengah-tengah kesulitan yang dia alami.
Michael menggenggam tangan Nayla lalu berkata, "apapun itu, ingatlah aku ada di sini. Kamu bisa mencariku kapan saja."
Hati Nayla bergetar hebat mendengar perkataan Michael. Belom ada pria yang mengatakan hal itu kepadanya sebelum ini dan ini adalah pertama kali baginya, tetapi dia tiba-tiba sadar bahwa dia adalah wanita yang sudah menikah.
Dengan canggung, Nayla menarik tangannya sekali lagi, lalu berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.
Keheningan dan kecanggungan terjadi di dalam mobil, memenuhi ruang antara Nayla dan Michael. Meskipun mereka berusaha untuk kembali pada percakapan yang ringan, namun keadaan semakin tegang ketika mereka mendekati rumah Nayla.
Saat mobil melaju mendekati rumah Nayla, Nayla merasa detak jantungnya semakin cepat. Dia tahu bahwa dia akan segera menghadapi suaminya, Zavier, dan masalah rumah tangganya yang rumit.
Ketika mereka sampai di depan rumah, Nayla merasakan napasnya terhenti sejenak. Zavier sudah berdiri di depan pintu pagar, menatap mereka dengan ekspresi wajah yang sulit dipahami.
Nayla menelan salivanya yang terasa pahit, mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Dia berharap bahwa kedatangannya bersama Michael tidak akan menambah masalah yang sudah rumit.
Michael melihat keadaan yang tegang di sekitarnya, tetapi dia tetap mempertahankan sikap yang tenang. Dia menatap Nayla dengan pandangan yang penuh dukungan, memberinya keberanian untuk menghadapi apa pun yang akan datang.
Nayla dan Michael masih di dalam mobil ketika Michael bertanya, "Dia suamimu?" Nayla terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawab, namun sebelum dia bisa merespon, Zavier sudah menghampiri mereka dengan langkah-langkah yang mantap. Suaranya terdengar dingin dan tegas saat dia menegur Nayla.
"Ternyata ini rahasiamu, Nayla," ucap Zavier tanpa basa-basi, pandangannya tajam menusuk ke arah Nayla.
Nayla merasa ketegangan semakin memuncak di udara. Dia menelan ludah, mencoba untuk mengendalikan ketakutannya. Michael tetap tenang di sampingnya, tetapi Nayla bisa merasakan getaran ketidaknyamanan yang tak terucapkan di antara mereka.
"Maafkan saya, Zavier, ini salah paham," ucap Nayla dengan suara yang gemetar sedikit, mencoba untuk menahan ketegangan yang dirasakannya.
Zavier mengangguk singkat, namun ekspresinya tidak menunjukkan sedikit pun belas kasihan.
Dia melirik ke arah Michael, memberikan tatapan yang tajam sebelum berbicara lagi. "Siapa dia?"
Michael menjawab dengan tenang, "Saya Michael, teman Nayla. Kami bertemu di audisi tadi."
"Audisi?" Zavier menatap Michael dengan tajam sebelum kembali menatap Nayla. "Kamu punya waktu dua menit untuk menjelaskan kepadaku, Nayla. Jangan membuat jawaban yang gegabah," ucapnya dengan nada yang dingin.
Nayla hanya bisa mengangguk, merasa terjepit di antara ketakutan dan ketidakpastian. Meskipun dia berusaha untuk tetap tegar, namun dia tahu bahwa perjalanan menuju keputusan yang sulit baru saja dimulai.
Dengan suara dingin, Zavier memerintahkan Nayla untuk masuk ke dalam rumah. "Masuklah, Nayla. Kita harus bicara," ucapnya tanpa ampun.
Nayla menelan ludah, menuruti perintah suaminya dengan hati yang berat. Dia melirik sekilas ke arah Michael, memberinya tatapan minta maaf sebelum berbalik dan memasuki rumah.
Sementara Nayla melangkah dengan lesu dan masuk ke dalam rumah, Zavier mengalihkan perhatiannya pada Michael dengan ekspresi wajah yang masih dingin.
"Maafkan gangguannya, Michael. Terima kasih telah mengantarnya pulang, dia istriku. Kalian harus menjaga batas agar kesalahpahaman ini agar tidak semakin panjang," ucapnya dengan sopan, namun suaranya tetap memancarkan aura ketegasan.
Michael mengangguk dengan hormat, "Tidak apa-apa, Teman. Sampai jumpa lagi."
Setelah itu, Michael menarik tuas mundur dengan gerakan yang mantap. Dia menyadari bahwa ini adalah saat yang tepat untuk pergi, memberikan ruang kepada Nayla kembali kepada suaminya. Dengan hati yang berat, dia memutar kemudi mobil dan pergi dari tempat itu.
Zavier melayangkan tatapan tajam ke arah mobil hitam milik Michael sampai bayangan mobil itu tidak kelihatan sama sekali.
Nayla, di dalam rumah, merasa tegang dan cemas saat dia menghadapi Zavier. Dia tahu bahwa percakapan yang sulit akan segera terjadi, dan dia hanya bisa berharap untuk yang terbaik dalam menghadapi situasi yang rumit ini.
Nayla berjalan menuju kamar mandi dengan langkah yang lesu, hatinya dipenuhi oleh rasa kecewa dan kebingungan. Bagaimana mungkin Zavier bisa menyusulnya sampai ke Bogor? Pertanyaan itu bergelut dalam benaknya, tetapi dia tidak bisa menemukan jawaban yang memuaskan.
Dengan langkah gontai, dia masuk ke dalam kamar mandi dan duduk di pinggir bak mandi, meratapi keadaannya yang semakin rumit. Dia merasa hampa, merasa seperti dunianya sedang runtuh di sekitarnya.
Saat dia menatap ke arah pintu kamar adiknya yang masih tertutup, sebuah pikiran melintas di benaknya. Apakah mungkin adiknya yang memberitahu Zavier tentang keberadaannya di Bogor?
"Bagaimana ini bisa diterjadi?" Nayla memijit kening kepalanya.
***Akhir yang bahagia***Zavier tersenyum dingin, tatapannya penuh perhitungan. "Mereka bersekongkol," jawabnya dengan nada rendah namun tegas. "Mereka mencuri identitas Nayla dan membuat istriku menderita sampai lupa ingatan. Mereka mempermainkan hidupnya, menghapus kenangan berharga yang pernah kami miliki. Jika mereka pikir bisa lolos begitu saja, mereka salah besar."Asistennya tetap tenang di ujung telepon, menunggu instruksi lebih lanjut. "Apa rencana Anda, Tuan?"Zavier menatap jauh ke depan, matanya dipenuhi dengan tekad. "Rebut kembali wajahnya," katanya penuh arti, "dan biarkan dia yang palsu itu lupa ingatan. Buat dia merasakan apa yang dialami Nayla. Jika mereka berani mengambil hidup istriku, maka aku akan mengambil kembali apa yang mereka curi. Wajah yang mereka ciptakan, kenangan yang mereka bentuk... biarkan semuanya hancur dan musnah."Asistennya mengangguk di ujung telepon, memahami apa yang dimaksud oleh Zavier. "Baik, Tuan. Saya akan m
Sefia tersentak dan menoleh dengan cepat, matanya memperlihatkan keterkejutan yang jelas. "Oh, Zavier... Aku hanya... ada urusan mendadak," jawabnya tergagap. "Kamu tidak perlu khawatir. Ini hanya pertemuan singkat."Namun, Zavier tidak begitu saja percaya. Ada sesuatu dalam sikap wanita itu yang membuatnya curiga, dan keinginannya untuk mencari tahu lebih lanjut muncul dengan kuat.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia membiarkan Sefia pergi lebih dulu, tetapi tidak lama kemudian, Zavier masuk ke mobilnya dan mulai mengikuti dari belakang.Zavier menjaga jarak, memastikan bahwa Sefia tidak menyadari keberadaannya. Dia mengemudi perlahan, mengikuti mobil Sefia dengan hati-hati. Setiap belokan yang diambil wanita itu semakin mempertegas kecurigaan Zavier. "Apa yang sebenarnya dia sembunyikan?" gumamnya dalam hati."Dia memang tidak terlihat seperti Nayla yang menjadi milikku, matanya, suaranya berbeda, juga tingginya. Mengapa aku tidak pernah menyadarinya?" g
"Sara, a-aku akan memberimu bayaran tambahan... untuk... untuk apa yang terjadi tadi malam."Mendengar itu, kedua mata Sara membulat dan timbunan air mata mulai berkumpul dengan cepat.Kata-kata itu menusuk hati Sara. Seolah-olah semua yang terjadi di antara mereka hanyalah sebuah transaksi, bukan sesuatu yang memiliki makna.Wajahnya yang semula penuh cinta berubah menjadi kemarahan yang tak tertahankan. "Bayaran?" sergahnya dengan suara tajam, matanya menatap Bram dengan penuh kekecewaan."Jadi, menurutmu aku hanya seorang pelayan yang bisa dibeli? Apa yang terjadi semalam hanyalah sesuatu yang bisa kau bayar untuk menghapusnya?"Bram terdiam, tidak menyangka reaksi Sara akan sekeras itu. Ia membuka mulut, mencoba mencari kata-kata untuk meredakan situasi, tetapi Sara melanjutkan sebelum dia sempat berbicara."Aku bukan barang yang bisa kau tawar, Tuan Bram yang terhormat! Apa pun yang terjadi semalam... itu bukan hanya tentang uang
Telinganya seolah tuli terhadap kata-kata yang dilontarkan Sara. Baginya, dalam kondisi mabuk itu, Sara adalah Nayla yang kembali kepadanya, dan ini adalah kesempatan untuk merengkuh wanita yang selama ini ia dambakan."Jangan pergi lagi, Nayla... kumohon..." bisiknya penuh keputusasaan, menahan tubuh Sara di atas ranjang. Merobek pakaian yang dia kenakan dan mulai menyesapi leher jenjang milik Sara.Sara berusaha mendorong Bram menjauh, mencoba menyadarkannya dari keadaan mabuknya. "Tuan Bram, ini bukan Nayla! Kamu mabuk! Lepaskan aku!" katanya dengan suara keras dan gemetar. Namun, usahanya tidak cukup kuat untuk membuat Bram sadar.Perasaan takut dan kebingungan bercampur dalam benak Sara. Ia tahu bahwa pria ini sangat terobsesi dengan Nayla, tetapi ia tidak pernah menyangka akan berada dalam situasi seperti ini.Dalam upaya terakhir, ia mengumpulkan semua kekuatan yang ia punya dan berhasil melepaskan diri dari cengkeraman Bram, berguling dari ranjang
Wajah Nadia—atau Nayla, seperti yang sering terlintas di pikirannya—begitu mirip dengan sosok yang ia ingat sebagai istri yang ia cintai. Bukan hanya dari segi penampilan fisik, tetapi juga dari cara dia berbicara, senyuman lembutnya, dan caranya melihat ke arah Zavier seolah mengenali bagian terdalam jiwanya. Setiap tatapan mata, setiap gerakan tubuh, terasa seperti sebuah déjà vu yang tak dapat dijelaskan.Bibirnya dan ciumannya.Namun, wanita yang sekarang berada di rumahnya—yang selama ini ia yakini sebagai Nayla—terasa berbeda.Seolah-olah ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak terlihat namun bisa ia rasakan. Tatapan matanya kosong dan jauh, sentuhannya tidak lagi memberikan kehangatan yang dulu pernah mereka bagi."Apakah aku telah dibutakan oleh keputusasaanku untuk mendapatkan kembali istriku? Apakah wanita itu benar-benar Nayla?" pikir Zavier.Zavier menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, berusa
Zavier segera menoleh ke arah Nayla, yang sekarang duduk tegak di sofa dengan rambut kusut dan matanya yang setengah terbuka. Ia tahu bahwa situasinya bisa menjadi buruk jika tidak segera mengendalikan keadaan."Nayla, tenang dulu," ujarnya dengan nada menenangkan di ponselnya. "Aku sedang membantu seseorang yang membutuhkan bantuan. Tidak ada yang perlu kamu khawatirkan."Namun, kata-kata itu tidak cukup untuk menenangkan Sefia. "Membantu seseorang? Di tengah malam seperti ini? Dan suara wanita itu, kenapa dia bersamamu?" Sefia semakin naik pitam, suaranya menggambarkan kemarahan dan rasa cemburu yang membara.Zavier menghela napas panjang, menyadari bahwa penjelasan sederhana tidak akan cukup untuk meredakan amarah wanita yang mengaku sebagai istrinya itu."Nadia sedang menghadapi situasi yang rumit, dan aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Percayalah, aku tidak melakukan hal yang salah," jawabnya dengan tenang, meskipun dalam hatinya dia tahu ba