Beranda / Romansa / Cinta Tanpa Isyarat / 01. Kenapa Berbeda?

Share

01. Kenapa Berbeda?

Penulis: Zafar_Zahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-12 21:38:53

"Kebanyakan keluarga kalau habis makan bersama, biasanya nonton televisi atau enggak ngobrol bersama dan saling bercanda. Tapi kenapa keluargaku berbeda?"

—Anissa Zahra Aulia—

*****

Suatu hari, di kota dengan sinar matahari siang yang menyengat kulit. Ada sebuah rumah dengan warna kuning cerah, rumah itu berada di komplek perumahan yang terlihat begitu sederhana. Rumah tersebut begitu mencolok, karena tak seperti rumah-rumah yang berada di area komplek itu. Rumah ini berwarna kuning cerah, dan sedikit lebih besar.

Halaman rumah itu juga terlihat begitu besar dan panjang. Dengan gerbang berwarna coklat muda yang mengelilingi sisi rumah, menjadi pagar untuk melindungi rumah itu. Tidak hanya itu saja, di halaman rumah, terdapat sebuah kebun yang ditumbuhi berbagai macam umbi-umbian. Semuanya ditata dengan sebaik mungkin. Sehingga membuat rumah itu menjadi lebih sejuk dan enak dipandang.

"Bibi, main yuk!" suara gadis kecil begitu nyaring di sekitar halaman tersebut.

"Ayo!" jawab gadis berambut panjang yang berusia 17 tahun. Gadis itu pun menggandeng keponakannya dan membawanya ke area taman.

Di taman, mereka berdua duduk di sebuah rumah kecil yang menjadi tempat bermain ataupun tepat untuk berteduh. Gadis kecil yang menjadi keponakannya mengajak Zahra, sang bibi untuk bermain masak-masakan.

Dengan sangat antusias, Latifah bertanya kepada Zahra. "Bibi masak apa?" tanya gadis kecil itu, sambil melihat bibinya yang sedang mengaduk-aduk masakan di atas wajan mainan.

"Bibi masak sayur singkong, Fah. Kalau kamu masak apa?" tanya Zahra, menatap balik keponakannya yang sedang membolak-balik masakan di atas wajan.

"Masak ayam goreng, Bi," jawabnya tanpa menoleh. Takut kalau ayam gorengnya hangus karena tak fokus.

Zahra mengangguk kecil, kemudian mereka pun terus melanjutkan masak-masakan. Sesekali mereka bergantian menjadi penjual dan pembeli.

"Nostalgia banget," gumam Zahra pelan sambil mengingat masa kecilnya yang juga bermain masak-masakan, sama seperti keponakannya.

"Bibi nggak malu main masak-masakan sama aku?" tanya Latifah, menatap Zahra dengan tatapan polosnya.

Zahra sedikit terkekeh saat melihat tatapan polos dari gadis kecil itu. "Enggak lah. Ngapain malu selagi nggak ngerugiin orang? Lagian bibi pengin nostalgia, bareng kamu, Fah," jelas Zahra dengan suara santai.

"Tadi bibi petik daun singkong, kan? Padahal itu buat dimasak, Bi," kata Latifah yang kurang setuju kalau ucapan sang bibi tidak merugikan orang lain.

Zahra tertawa kecil, lucu juga keponakannya ini. "Cuma sedikit kok. Orang rumah juga nggak mempermasalahkan. Kalau banyak lah, bisa-bisa aku dimarahi."

Latifah tertawa kencang setelah mendengar ucapan dari Zahra. "Kalau buyut marah, jangan ajak-ajak aku loh!"

"Kok gitu? Yang ajak main masak-masakan siapa?"

"Aku."

"Berarti kamu juga ikutan salah, Fah."

"Ehh, bercanda. Jangan serius banget," kata Zahra dengan nada panik saat melihat ekspresi wajah Latifah yang siap mengeluarkan jurus andalan anak-anak. Apa lagi kalau bukan menangis!

"Aku juga bercanda, Bi!" kata Latifah sambil memperlihatkan gigi putihnya ke arah Zahra.

*****

~ Malam harinya...

Di rumah yang ditempati Zahra, seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul bersama di ruang makan. Suasana di ruangan tersebut terasa begitu dingin, tak ada satupun orang yang berbicara. Semuanya diam sambil menikmati hidangan malam yang sudah tersaji di meja makan.

Zahra memperhatikan keluarganya yang begitu fokus menyantap makanannya masing-masing. Gadis itu merasa kalau suasana ruang makan terasa begitu hampa. Hanya bunyi sendok yang sesekali terdengar untuk memecah keheningan.

"Ayah, ibu..." Zahra memanggil kedua orang tuanya yang duduk tak jauh dari tempatnya.

Faisal, sang ayah menatap anaknya dengan tajam. Seakan menyuruh putrinya untuk diam saat sedang makan. "Diam, Nak. Makan jangan sambil berbicara."

Mendengar balasan dari sang ayah, Zahra langsung diam. Gadis itu tak berani berbicara lagi setelah mendapatkan teguran kecil dari ayahnya. Ia pun kembali menyantap makanannya. Dalam hatinya, ia merasa kalau keluarganya semakin hari, semakin menjauh. Padahal, raga mereka saling berdekatan.

•••

Setelah menyantap hidangan malam, semua anggota keluarga langsung menarik kursi dan beranjak meninggalkan ruang makan. Mereka berjalan menuju kamarnya masing-masing. Zahra yang melihat hal itu pun hanya bisa menghela nafas panjang.

'Kebanyakan keluarga kalau habis makan bersama, biasanya nonton televisi atau enggak ngobrol bersama dan saling bercanda. Tapi kenapa keluargaku berbeda?' batin Zahra, menatap keluarganya dengan tatapan sedu, seakan ingin merasakan keharmonisan di rumah ini.

Zahra berjalan mendekati mereka, sambil bertanya. "Kalian mau kemana?" tanyanya. Melihat satu persatu keluarganya.

Sinta, sang Tante menjawab pertanyaan dari Zahra dengan nada sinis. Menatap Zahra dengan tatapan sedikit tak suka. "Mau ke kamar lah! Saya orang sibuk! Bukan kayak ibumu," jawabnya sambil membawa-bawa ibunya.

Sebenarnya Zahra ingin sekali mencakar atau mengacak-acak rambut Tantenya. Namun, sebisa mungkin ia harus menahan rasa kekesalan di hatinya. Dengan sedikit paksaan, Zahra mengangguk pelan.

Kemudian gadis itu beralih menatap suami dari Tantenya. "Om Hadi juga?" tanyanya kepada lelaki paruh baya itu.

"Ya iya lah! Kita ini orang sibuk. Udahlah mending kita masuk aja!" bukan Hadi yang menjawab, melainkan Sinta, sang istri. Selepas berkata, Sinta menarik lengan suaminya dan masuk kedalam kamar.

Zahra melihat kepergian sepasang suami istri, ia hanya bisa menghela nafas berat. Lalu, ia beralih menatap Kakak sepupunya, Mba Ayu. "Mba Ayu sama Mas Anto juga sibuk?"

Ayu dan Anto saling pandang sejenak, sepasang kekasih itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Nak. Mas Anto mau lanjutin kerjaannya. Kalau Mba mau nidurin Latifah. Kasihan dia, pasti udah ngantuk," jawab Ayu kepada adik sepupunya dengan nada yang terbilang lembut. Sambil mengusap puncak kepala sang anak.

"Mama, Latifah mau bobo.." rengek gadis kecil itu, sambil sesekali menguap dan mengucek matanya. Pertanda bahwa ia sudah mengantuk berat.

Melihat sang anak sudah merengek, Ayu dan Anto izin untuk masuk ke dalam kamar. Setelah mereka masuk, kini Zahra beralih menatap Ayah, Ibu, Kakek dan Neneknya.

"Kalau kalian mau istirahat silahkan. Aku juga mau tidur," jawab Zahra, gadis itu sudah tak terlalu berharap banyak kepada keluarganya.

Sang Kakek tersenyum tipis, tangannya yang sudah mulai keriput mengusap lembut rambut sang cucu. "Maaf ya, Nak. Kami ngerti kalau kamu pengin bercanda bersama kita, kan? Tapi ini sudah malam, lebih baik besok aja ya?" ujar Kakek Suwarno. Suaranya lembut dan terdengar penuh kasih.

Nenek Rasyidah mengangguk sambil menimpali ucapan suaminya. "Benar kata Kakek, Nak. Badan Nenek sudah letih. Nenek juga mau istirahat."

Wanita paruh baya yang menjadi ibunya, ia mendekati Zahra sambil membelai lembut rambut anaknya. "Izinkan Kakek sama Nenek istirahat ya, Nak? Mereka kan udah sepuh. Jadi harus tidur lebih awal. Masa iya disuruh begadang, kan kasihan, Nak." Katanya, suaranya mengalun lembut, seperti musik alami dari angin kecil yang meniup pepohonan.

Zahra menghela nafas, bukan ia melarang Kakek dan Neneknya istirahat. Hanya saja ia ingin berkumpul bersama keluarganya, saling bercanda dan bermain bersama. Tetapi keinginan gadis itu tidak pernah terwujud. Keluarganya sibuk dengan urusannya masing-masing. Boro-boro kumpul, ngobrol saja sangat jarang.

"Ya udah deh. Nenek sama Kakek boleh istirahat."

Kakek dan Neneknya tersenyum. "Kamu memang anak yang baik, Nak. Kalau ada waktu, kita main bareng ya," kata sang Nenek, yang hanya mendapatkan anggukkan kepala dari Zahra.

Perlahan, Kakek, Nenek dan kedua orang tuanya berjalan menuju kamarnya masing-masing. Meninggalkan Zahra yang masih berdiri mematung. Gadis itu menatap punggung keluarga yang telah menghilang dibalik pintu kamar. Sebenarnya ia hanya ingin satu hal, dapat berkumpul lagi bersama mereka. Saling mengobrol santai sambil sesekali bercanda. Ia merindukan moment itu.

Ia menyeka air matanya, berusaha tetap ceria, meski hatinya bertolak belakang. "Daripada sedih, mending tidur aja deh."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Tanpa Isyarat    07. Teringat Masa Lalu

    Selang beberapa menit, Zahra tak lagi mendengar suara sang Ibu. Mungkin saja Ibunya sudah letih menyuruh dirinya makan. Ia tak peduli sama sekali. Pandangan Zahra kembali menyapu seisi kamar. Mata indahnya berhenti di antara foto-foto yang tak jauh dari meja belajarnya. Tanpa pikir panjang, tangan lentiknya meraih bingkai foto itu. Menatapnya dalam-dalam sambil mengusap lembut wajah-wajah orang yang berada di dalam foto. "Kalau boleh memilih, aku lebih baik tinggal bersama kalian. Walau sederhana, tapi bisa buat hatiku nyaman..." Zahra terisak sambil terus mengusap lembut foto tersebut. Selepas itu, Zahra memeluk bingkai itu erat-erat. Memejamkan mata seraya mengingat kenangan yang dulu pernah ia rasakan. Kenangan indah sebelum merubah hidupnya. Di saat ia memejamkan mata, kenangan itu kembali muncul. Ia melihat dirinya sewaktu kecil sedang bermain bersama anak lelaki berambut ikal. Dalam pandangannya, Zahra kecil terlihat begitu bahagia, tertawa puas saat berhasil menjahili an

  • Cinta Tanpa Isyarat    06. Mengurung Diri

    Zahra tak menggubris ucapan dari sang Ayah. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, sebelum emosinya semakin meletup. Dengan gerakan perlahan, Zahra membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali dengan cukup keras. Seakan emosinya ia lampiaskan ke pintu yang tak bersalah. Di balik pintu kamar, lebih tepatnya di ruang tamu, Zahra kembali mendengar suara Sinta yang terus saja menyalahkan Fatim, Ibunya. "Jadi Ibu itu yang becus dong! Masa kamu ajari buat melawan orang yang lebih tua? Itu namanya nggak sopan! Dan lagi, jadi Ibu harus tegas, jangan manja-manjain anak, jadinya nggak kurang ajar begini!" Sinta berucap dengan nada santai dan ceplas-ceplos. Ia sama sekali tak memperdulikan perasaan orang lain. "Oh iya, maklum lah. Kan Ibumu cuma tamatan SD, mana bisa didik anak yang baik," lanjutnya lagi, kali ini ia berucap sambil menutup mulutnya, seakan sedang menganggap remeh adik iparnya. "Cukup, Kak! Selama ini Fatim selalu didik Zahra dengan baik. Aku nggak suka lihat kakak t

  • Cinta Tanpa Isyarat    05. Emosi yang Meledak

    "Sekarang bilangnya cuma teman lah, cuma searah lah. Besok-besok kamu bilang satu rumah juga cuma teman?" cibirnya, lolos keluar dengan tawa ringan. Zahra menunduk, menggenggam tas ranselnya erat-erat. Ini bukan pertama kalinya sang Tante seperti ini. Ia sudah berkali-kali adu mulut dengan wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini. Muak! Jelas yang Zahra rasakan! Mau semakin melawan, tapi ia sadar kalau Sinta itu Tantenya sendiri. Sinta membalikan badan, ia berniat ingin mengadukan kelakuan Zahra ke Faisal, adiknya. "Saya adukan kamu ke Ayahmu! Biar kamu dihukum!" katanya cepat, tanpa menoleh sedikitpun. Buru-buru, Zahra mencekal lengan sang Tante. "Jangan, Tan! Aku sama Nandra nggak ada hubungan apa-apa!" Tetapi Sinta sama sekali tak memperdulikan suara keponakannya. Bahkan dengan begitu tega, ia menghempaskan tangan Zahra dengan gerakan cepat dan kasar. Lalu, ia melangkah untuk mencari adiknya. "Faisal! Anak kamu berulah lagi!" Suara Sinta menggema di seluruh sudut r

  • Cinta Tanpa Isyarat    04. Perlakuan yang Sama

    "Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan." "Maksudnya lo mau nikahin gue?" Nandra mengangguk penuh semangat. "Iya, Ra. Setelah itu gue janji bakal bahagiain lo," katanya, sepertinya nadanya terdengar sungguh-sungguh. Namun Zahra belum pernah memikirkan pernikahan terlebih dahulu. "Udahlah, Ndra. Jangan bercanda terus. Kita ini masih sekolah, kejar dulu cita-cita, setelah itu boleh mikirin nikah!" kata Zahra yang tak mau membahas soal pernikahan. "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Ucapan itu, walaupun dengan nada gurauan, tetapi langsung membuat hati Zahra tersentuh. Perkataan Nandra membuat ia teringat kepada seseorang. Seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama, namun beda orang, beda suasana dan bahkan hatinya berbeda. "Cita-cita kamu apa?" "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Kalimat-kalimat itu memenuhi isi pikirannya. Gadis itu juga membayangkan kenangan manis bersama seseorang yang mungkin tak pernah lagi bersama. 'Aku ka

  • Cinta Tanpa Isyarat    03. Mencoba Bersyukur

    Di bawah langit biru cerah, Zahra sedang berjalan seorang diri di sepanjang trotoar yang sempit. Kepalanya menunduk, wajahnya begitu lelah. Langkahnya pelana, tatapan matanya kosong. Ia menunduk, membiarkan pikirannya kembali tenggelam oleh kesedihan. "Gue ngerti kalau mereka nggak tahu apa-apa tentang keluargaku. Makanya tadi Triani bilang kalau gue gadis yang beruntung. Tapi.. kenyataannya enggak." Zahra bergumam di sepanjang perjalanan. "Mungkin gue gadis yang jauh dari kata beruntung." Lanjutnya lagi, kali ini kepalanya masih menunduk. Kata-katanya begitu lirih, namun tajam dan terdengar kelas. Ucapannya terus berputar dalam kepalanya, seperti suara yang menggema. Zahra menatap jalanan beraspal, seolah ingin mencari jawaban di antara aspal itu. "Tak ada manusia yang tak beruntung di dunia ini." Suara itu barat, namun terdengar lembut. Suara laki-laki yang begitu tegang, tetapi mengandung arti tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. "Semua manusia beruntung, asalkan

  • Cinta Tanpa Isyarat    02. Andai Mereka Tahu...

    ~ Keesokan harinya...Langit pagi masih berwarna kelabu, seolah enggan mengucapkan selamat pagi. Udaranya masih dingin, menyelimuti lingkungan sekolah yang mulai ramai dengan siswa yang berdatangan. Di tengah lalu-lalang paga siswa, ada seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu, sedang duduk sendirian di bawah pohon. Tatapan matanya kosong, pikirannya sedang terbang entah kemana. Bahunya sedikit merosot, dan wajahnya tak memancarkan semangat. "Ngelamun aja. Kesambet baru tahu rasa!"Suara lantang itu memecah lamunannya. Zahra refleks menoleh ke samping. Matanya langsung mengenali sosok yang tengah duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya. "Triani?" Triani Kirana Lestari. Gadis berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat saat dirinya tersenyum. Aura wajahnya cerah, dan semangat yang begitu membara. "Ngapain ngelamun, Ra?" tanya Triani sambil merangkul pundak Zahra. Mereka berdua begitu akrab, tanpa jarak dan penuh ketulusan. "Apa lo lagi mikirin sesuatu?" tanyanya la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status