LOGIN"Kebanyakan keluarga kalau habis makan bersama, biasanya nonton televisi atau enggak ngobrol bersama dan saling bercanda. Tapi kenapa keluargaku berbeda?"
—Anissa Zahra Aulia— ***** Suatu hari, di kota dengan sinar matahari siang yang menyengat kulit. Ada sebuah rumah dengan warna kuning cerah, rumah itu berada di komplek perumahan yang terlihat begitu sederhana. Rumah tersebut begitu mencolok, karena tak seperti rumah-rumah yang berada di area komplek itu. Rumah ini berwarna kuning cerah, dan sedikit lebih besar. Halaman rumah itu juga terlihat begitu besar dan panjang. Dengan gerbang berwarna coklat muda yang mengelilingi sisi rumah, menjadi pagar untuk melindungi rumah itu. Tidak hanya itu saja, di halaman rumah, terdapat sebuah kebun yang ditumbuhi berbagai macam umbi-umbian. Semuanya ditata dengan sebaik mungkin. Sehingga membuat rumah itu menjadi lebih sejuk dan enak dipandang. "Bibi, main yuk!" suara gadis kecil begitu nyaring di sekitar halaman tersebut. "Ayo!" jawab gadis berambut panjang yang berusia 17 tahun. Gadis itu pun menggandeng keponakannya dan membawanya ke area taman. Di taman, mereka berdua duduk di sebuah rumah kecil yang menjadi tempat bermain ataupun tepat untuk berteduh. Gadis kecil yang menjadi keponakannya mengajak Zahra, sang bibi untuk bermain masak-masakan. Dengan sangat antusias, Latifah bertanya kepada Zahra. "Bibi masak apa?" tanya gadis kecil itu, sambil melihat bibinya yang sedang mengaduk-aduk masakan di atas wajan mainan. "Bibi masak sayur singkong, Fah. Kalau kamu masak apa?" tanya Zahra, menatap balik keponakannya yang sedang membolak-balik masakan di atas wajan. "Masak ayam goreng, Bi," jawabnya tanpa menoleh. Takut kalau ayam gorengnya hangus karena tak fokus. Zahra mengangguk kecil, kemudian mereka pun terus melanjutkan masak-masakan. Sesekali mereka bergantian menjadi penjual dan pembeli. "Nostalgia banget," gumam Zahra pelan sambil mengingat masa kecilnya yang juga bermain masak-masakan, sama seperti keponakannya. "Bibi nggak malu main masak-masakan sama aku?" tanya Latifah, menatap Zahra dengan tatapan polosnya. Zahra sedikit terkekeh saat melihat tatapan polos dari gadis kecil itu. "Enggak lah. Ngapain malu selagi nggak ngerugiin orang? Lagian bibi pengin nostalgia, bareng kamu, Fah," jelas Zahra dengan suara santai. "Tadi bibi petik daun singkong, kan? Padahal itu buat dimasak, Bi," kata Latifah yang kurang setuju kalau ucapan sang bibi tidak merugikan orang lain. Zahra tertawa kecil, lucu juga keponakannya ini. "Cuma sedikit kok. Orang rumah juga nggak mempermasalahkan. Kalau banyak lah, bisa-bisa aku dimarahi." Latifah tertawa kencang setelah mendengar ucapan dari Zahra. "Kalau buyut marah, jangan ajak-ajak aku loh!" "Kok gitu? Yang ajak main masak-masakan siapa?" "Aku." "Berarti kamu juga ikutan salah, Fah." "Ehh, bercanda. Jangan serius banget," kata Zahra dengan nada panik saat melihat ekspresi wajah Latifah yang siap mengeluarkan jurus andalan anak-anak. Apa lagi kalau bukan menangis! "Aku juga bercanda, Bi!" kata Latifah sambil memperlihatkan gigi putihnya ke arah Zahra. ***** ~ Malam harinya... Di rumah yang ditempati Zahra, seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul bersama di ruang makan. Suasana di ruangan tersebut terasa begitu dingin, tak ada satupun orang yang berbicara. Semuanya diam sambil menikmati hidangan malam yang sudah tersaji di meja makan. Zahra memperhatikan keluarganya yang begitu fokus menyantap makanannya masing-masing. Gadis itu merasa kalau suasana ruang makan terasa begitu hampa. Hanya bunyi sendok yang sesekali terdengar untuk memecah keheningan. "Ayah, ibu..." Zahra memanggil kedua orang tuanya yang duduk tak jauh dari tempatnya. Faisal, sang ayah menatap anaknya dengan tajam. Seakan menyuruh putrinya untuk diam saat sedang makan. "Diam, Nak. Makan jangan sambil berbicara." Mendengar balasan dari sang ayah, Zahra langsung diam. Gadis itu tak berani berbicara lagi setelah mendapatkan teguran kecil dari ayahnya. Ia pun kembali menyantap makanannya. Dalam hatinya, ia merasa kalau keluarganya semakin hari, semakin menjauh. Padahal, raga mereka saling berdekatan. ••• Setelah menyantap hidangan malam, semua anggota keluarga langsung menarik kursi dan beranjak meninggalkan ruang makan. Mereka berjalan menuju kamarnya masing-masing. Zahra yang melihat hal itu pun hanya bisa menghela nafas panjang. 'Kebanyakan keluarga kalau habis makan bersama, biasanya nonton televisi atau enggak ngobrol bersama dan saling bercanda. Tapi kenapa keluargaku berbeda?' batin Zahra, menatap keluarganya dengan tatapan sedu, seakan ingin merasakan keharmonisan di rumah ini. Zahra berjalan mendekati mereka, sambil bertanya. "Kalian mau kemana?" tanyanya. Melihat satu persatu keluarganya. Sinta, sang Tante menjawab pertanyaan dari Zahra dengan nada sinis. Menatap Zahra dengan tatapan sedikit tak suka. "Mau ke kamar lah! Saya orang sibuk! Bukan kayak ibumu," jawabnya sambil membawa-bawa ibunya. Sebenarnya Zahra ingin sekali mencakar atau mengacak-acak rambut Tantenya. Namun, sebisa mungkin ia harus menahan rasa kekesalan di hatinya. Dengan sedikit paksaan, Zahra mengangguk pelan. Kemudian gadis itu beralih menatap suami dari Tantenya. "Om Hadi juga?" tanyanya kepada lelaki paruh baya itu. "Ya iya lah! Kita ini orang sibuk. Udahlah mending kita masuk aja!" bukan Hadi yang menjawab, melainkan Sinta, sang istri. Selepas berkata, Sinta menarik lengan suaminya dan masuk kedalam kamar. Zahra melihat kepergian sepasang suami istri, ia hanya bisa menghela nafas berat. Lalu, ia beralih menatap Kakak sepupunya, Mba Ayu. "Mba Ayu sama Mas Anto juga sibuk?" Ayu dan Anto saling pandang sejenak, sepasang kekasih itu mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Nak. Mas Anto mau lanjutin kerjaannya. Kalau Mba mau nidurin Latifah. Kasihan dia, pasti udah ngantuk," jawab Ayu kepada adik sepupunya dengan nada yang terbilang lembut. Sambil mengusap puncak kepala sang anak. "Mama, Latifah mau bobo.." rengek gadis kecil itu, sambil sesekali menguap dan mengucek matanya. Pertanda bahwa ia sudah mengantuk berat. Melihat sang anak sudah merengek, Ayu dan Anto izin untuk masuk ke dalam kamar. Setelah mereka masuk, kini Zahra beralih menatap Ayah, Ibu, Kakek dan Neneknya. "Kalau kalian mau istirahat silahkan. Aku juga mau tidur," jawab Zahra, gadis itu sudah tak terlalu berharap banyak kepada keluarganya. Sang Kakek tersenyum tipis, tangannya yang sudah mulai keriput mengusap lembut rambut sang cucu. "Maaf ya, Nak. Kami ngerti kalau kamu pengin bercanda bersama kita, kan? Tapi ini sudah malam, lebih baik besok aja ya?" ujar Kakek Suwarno. Suaranya lembut dan terdengar penuh kasih. Nenek Rasyidah mengangguk sambil menimpali ucapan suaminya. "Benar kata Kakek, Nak. Badan Nenek sudah letih. Nenek juga mau istirahat." Wanita paruh baya yang menjadi ibunya, ia mendekati Zahra sambil membelai lembut rambut anaknya. "Izinkan Kakek sama Nenek istirahat ya, Nak? Mereka kan udah sepuh. Jadi harus tidur lebih awal. Masa iya disuruh begadang, kan kasihan, Nak." Katanya, suaranya mengalun lembut, seperti musik alami dari angin kecil yang meniup pepohonan. Zahra menghela nafas, bukan ia melarang Kakek dan Neneknya istirahat. Hanya saja ia ingin berkumpul bersama keluarganya, saling bercanda dan bermain bersama. Tetapi keinginan gadis itu tidak pernah terwujud. Keluarganya sibuk dengan urusannya masing-masing. Boro-boro kumpul, ngobrol saja sangat jarang. "Ya udah deh. Nenek sama Kakek boleh istirahat." Kakek dan Neneknya tersenyum. "Kamu memang anak yang baik, Nak. Kalau ada waktu, kita main bareng ya," kata sang Nenek, yang hanya mendapatkan anggukkan kepala dari Zahra. Perlahan, Kakek, Nenek dan kedua orang tuanya berjalan menuju kamarnya masing-masing. Meninggalkan Zahra yang masih berdiri mematung. Gadis itu menatap punggung keluarga yang telah menghilang dibalik pintu kamar. Sebenarnya ia hanya ingin satu hal, dapat berkumpul lagi bersama mereka. Saling mengobrol santai sambil sesekali bercanda. Ia merindukan moment itu. Ia menyeka air matanya, berusaha tetap ceria, meski hatinya bertolak belakang. "Daripada sedih, mending tidur aja deh."Keesokan harinya, mentari pagi telah bersinar, meneragi bumi dengan kehangatan sinarnya. Sinar itu berhasil masuk di celah-celah jendela kamar milik seorang gadis.Di balik selimut tebal berwarna pink itu, terapat seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia terbangun ketika mendengar alarm ponselnya yang berbunyi begitu nyaring, bahkan suara itu menggema di penjuru kamarnya. Ia menggerakan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang semula sedikit tegang. Setelah nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, ia mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih terus menyala.“Astaga! Udah jam tujuh!” pekiknya keras, saat tak sengaja melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.Seketika itu rasa kantuknya perlahan menghilang begitu saja. Tanpa banyak bicara, Zahra melompat dari kasur dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk. Seakan ia tak peduli dengan rambutnya yang masih berantakan......Sementara di ruang kelua
"Kita mau ke mana, Ndra?" Zahra bertanya, suaranya sedikit bergetar, sesaat motor milik Nandra sudah berhenti. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Semuanya terasa gelap, asing, dan sunyi. Hanya ada mereka berdua ditemani oleh dinginnya angin malam dan bayangan pepohonan yang semakin terasa menyeramkan. Di depannya, berdiri rumah tua dengan jendela yang berdebu, atapnya dipenuhi oleh daun kering. Semuanya terasa begitu mencekam di mata Zahra. Tengkuk Zahra terasa begitu dingin, gadis itu refleks merapatkan tubuhnya, memeluk lengan Nandra erat-erat. Melihat sikap Zahra yang terasa aneh, Nandra pun berucap. "Nggak usah takut, Ra. Kan ada aku." Jawaban Nandra terdengar lembut, namun jawaban itu tak mampu membuat rasa takut yang ada di dalam diri Zahra menghilang begitu saja.Zahra tak mampu menjawab. Ia memejamkan mata sambil memeluk erat lengan Nandra. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu leleki itu. Ia tak sanggup melihat pemandangan rumah tua yang begitu menyeramka
“Kamu ngapain kamu ke sini?”“Gue ada tugas buat lo.”“Tugas apaan?”Orang bertopeng itu mendekatkan tubuhnya, kemudian membisikan sesatu tepat di telinga orang yang menjadi lawan bicaranya. Terlihat di sana, lawan bicaranya hanya mengangguk pelan, pertanda bahwa ia mengerti apa yang sedang dibicarakan.Setelah hampir tiga menit mereka membisikan sesuatu, orang bertopeng itu menatap lawan bicaranya sambil mengangkat kedua alisnya. “Gimana?” tanyanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi sama sekali.“Boleh. Tapi boleh lah itunya ditambahin lagi.”Orang bertopeng itu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Masalah uang aman. Yang penting lo kerjakan dulu apa yang gue suruh. Kalau sampai gagal, gue nggak akan bayar lo, paham?!” Ujarnya menekan mata ‘paham’ di akhir kalimat yang ia ucapkan.“Kalau sama gue, semuanya beres. Lo tinggal duduk manis sambil denger kabar baik dari gue,” jawabnya sambil nmenunjukkan bahwa ia mudah untuk dipercaya.“Oke. Gue tunggu kabar baik dari lo!” Kata orang ber
“Sayang,” Suara Fathan sedikit meninggi, melawan suara deru motor dan angin yang menerpa wajahnya. Ia menolah sekilas ke kaca spion, mencoba menatap wajah Zahra yang tersembunyi di balik helm yang gadis itu kenakan. “Tadi kamu lihat mukanya Triani nggak?” lanjutnya sambil bertanya.“Aku nggak merhatiin, emangnya kenapa?” tanya Zahra, suaranya terdengar samar. Karena efek dari suara berising yang ada di sekitarnya. Ia kemudian bergerak, memajukan sedikit kepalanya melewati bahu kanan Fathan. Ia berusaha mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar suara sang kekasihnya, dengan angin yang menerpa wajah cantiknya.“Eh, tunggu-tunggu.” Fathan dengan refleks merendahkan kecepatan motornya. Melihat Zahra yang seperti itu. “Jangan kayak gitu, sayang.”“Kenapa?” tanya Zahra lagi. Kini posisinya sudah kembali normal, tetapi posisi tubuhnya masih tetap sama.“Geser dikit, sayang. Bahaya kalau kamu kayak tadi,” kata Fathan dengan nada mengalun lembut, tapi sedikit tegas. Sesekali ia melirik kaca spi
Seketika itu Triani mengikuti arah pandang Zahra. Matanya membulat, jantngnya berdebar cepat, serta tangan kanannya mengetuk keningnya sendiri. “Dia? Tipe gue? Iyuhhh amit-amit! Cowok kayak dia bukan tipe gue banget, Ra!”“Tapi menurut gue Nandra tipe lo banget loh. Masa iya cowok sesempurna Nandra nggak masuk tipe lo?” tanya Zahra dengan kedua alis yang bertaut. Ia cukup heran dengan keputusan Triani yang sering kali berubah pikiran.“Sempurna? Nggak ada kata sempurna di kamus gue untuk dia! Lihat mukanya aja gue enek!” ujar Triani sambil memutar bola matanya malas. Apalagi saat ini orang yang sedang ia bicarakan berjalan menuju ke arah mereka.“Hai, Zahra!” Nandra menyapa Zahra ringan sambil melambaikan tangannya, serta senyuman manis yang ditunjukannya.“Hai juga, Ndra!” Zahra juga membalas ucapan Nandra dengan senyuman khasnya.“Ekhmm! Gue nggak disapa?”“Loh ternyata ada lo, Tri. Kirain cuma ada Zahra doang. Makanya gue nggak nyapa lo,” kata Nandra sambil menoleh, menyadari kalau
Dunia Nandra seakan berhenti berputar. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena senang, tapi karena kata diakhir kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis itu. ‘Ada hati yang sedang gue jaga’ Tanpa Zahra sadari, ternyata selama ini Nandra menaruh peraaan terhadap gadis cantik itu. Panggilan ‘sayang’ yang selalu ia ucapkan kepada Zahra adalah bukti kalau selama ini ia menaruh rasa terhadap gadis tersebut.“Oh, selamat ya. Kamu udah balikan lagi sama mantan kamu itu...”“Ndra...maaf gue nggak bisa nerima lo. Gue harap lo ngerti, ya? Dan makasih banyak, karena selama ini lo selalu ada untuk gue. Gue berharap, setelah ini pertemanan kita jangan asing, ya? Jujur, gue nyaman temenan sama lo.” Walaupun berat hati, Zahra terpaksa mengucapkan kalimat tersebut. Ia berharap, Nandra bisa mengerti dan memakluminya.“Iya. Lo tenang aja, pertemanan kita nggak mungkin asing, Ra,” Kata Nandra yang langsung merubah panggilan dari ‘aku, kamu’ menjadi ‘gue, lo’“Ya sudah. Gue duluan, ya. Ingat janga







