LOGIN
Suara bentakan nyaring memecah kesunyian pagi, menggema dari dalam dapur, yang berada di ujung rumah. Seorang wanita paruh baya dengan wajah penuh amarah sedang berdiri di depan kran air. Kedua tangannya mengepal, matanya menatap tajam orang yang ada di hadapannya.
"Bisa nggak sih? Kalau buka kran air, itu jangan bolak-balik terus?! Ini keran air punyaku, aku yang bayar! Jadi, jangan terlalu boros!" katanya dengan suara yang menggelegar, membuat suasana pagi yang tadinya tenang, seketika berubah menjadi tegang. Di depannya, seorang wanita yang jauh lebih muda, dengan apron yang masih basah karena baru saja mencuci sayuran. Wanita itu membalas dengan nada datar. Namun, terdengar jelas kalau nada yang dikeluarkan oleh kakak iparnya sangat melukai hatinya. "Aku cuma cuci sayuran, mba! Bukan buang-buang air! Kamu juga sering mandi di kamar mandi itu, tapi aku nggak pernah mempermasalahkannya! Sekarang aku pakai air dari kran ini, kamu malah marah?" Wanita yang menjadi kakak iparnya, atau Tante dari anaknya. Ia sedang mengerutkan kening, matanya menyipit tajam menatap adik iparnya yang sudah berani melawannya. Kedua tangannya yang awalnya mengepal, kini disilangkan di depan dada. Dagunya sedikit terangkat, wajahnya menunjukkan amarah dan arogan yang sengaja ia tunjukkan. "Oh, jadi kamu mulai ungkit-ungkit soal kamar mandi itu?" katanya senyumannya menyeringai, menatap nyalang adik iparnya. "Dengar baik-baik, wahai adik ipar! Ini rumah milik orang tuaku! Aku sudah tinggal di sini dari kecil! Wajar saja kalau aku gunakan kamar mandi itu! Seharusnya kamu yang tahu diri! Kamu cuma numpang, cuma beban di keluarga ini!" bentaknya sambil sedikit berteriak. Dengan kesadaran penuh, dan emosi yang begitu memuncak, ia pun mendorong tubuh adik iparnya ke belakang. Tubuh Fatim terhuyung mundur, hampir saja terjatuh. Namun beruntungnya, ada seorang gadis remaja dengan rambut panjang yang tergerai, gadis itu segera melangkah cepat dan menangkap tubuh ibunya. Nafas gadis itu memburu saat melihat sang ibu diperlakukan semena-mena oleh Tantenya sendiri. "Ibu nggak apa-apa?" tanyanya khawatir. Suaranya sedikit gemetar, bukan cuma cemas, tetapi ada kemarahan yang begitu membara di dalam hatinya. Fatim, wanita yang menjadi ibunya, kini menarik nafas dalam-dalam. Mencoba menenangkan dirinya sendiri dan menyakinkan sang anak, kalau dirinya baik-baik saja. "Ibu nggak apa-apa kok, Nak," jawabnya lirih, sambil berusaha menyembunyikan rasa ketakutannya. Zahra, gadis itu kini berdiri tegak menatap Tantenya dengan tatapan tajam. Wajahnya berubah menjadi tegang, sorot matanya begitu dingin dan menusuk. Ia berusaha untuk menahan gejolak amarahnya yang bisa saja meledak. "Ada masalah apa Tante sama ibu? Sampai-sampai Tante dorong-dorong ibu?" Sinta, Tantenya Zahra hanya mengendus kesal. Matanya menatap Zahra dengan tatapan tajam, seakan tak terima dengan pertanyaan yang keluar dari mulut keponakannya sendiri. "Ibumu itu orangnya boros! Masa iya dia buka tutup kran air terus? Ya saya kesal lah sama sikap ibumu itu!" katanya dengan nada ketus. Zahra menarik nafas dalam-dalam, mencoba untuk bersikap lebih tenang. Meskipun darahnya begitu mendidih. Zahra tahu, kalau wanita yang ada di hadapannya itu lebih tua darinya. Namun, tak dapat dipungkiri kalau kesabarannya semakin menipis. "Kalau ibu salah, coba bicarakan baik-baik. Pakai hati, bukan pakai kekerasan gini! Apalagi sampai dorong-dorong orang!" ujarnya sambil berusaha menjaga nada suaranya, supaya tidak meninggi. "Dibicarakan baik-baik? Nggak bisa, Ra! Nanti malah ngelunjak! Ibumu juga keterlaluan. Kran air ini milik Tante! Saya yang bayar, jadi kalau mau pakai, yang hemat! Cari uang itu susah!" Zahra tersenyum tipis. Berusaha untuk tersenyum dibalik hatinya yang bergemuruh. Ia tahu betul, kalau sang Tante juga sering menggunakan fasilitas ibunya, tanpa izin. Termasuk kamar mandi yang setiap hari selalu mereka pakai. "Apa Tante lupa?" tanyanya, menatap Sinta tajam. "Tante sering pakai kamar mandi itu? Tante tahu kan kalau air itu ibu yang bayar! Sekarang ibu cuma pakai air ini saja, Tante marah sampai segitunya?" Sang Tante menggeleng pelan, ia tertawa getir. "Kamar mandi itu punya orang tuaku, Zahra! Bukan bukan milik ibumu! Memang kamar mandi itu sudah jadi milik kalian, tapi tetap aja. Yang bayar air itu ya, adik ku sendiri, Faisal!" ucapnya. Sebelum pergi, ia menyenggol lengan Zahra dengan kasar. Lalu berjalan pergi meninggalkan dapur, membiarkan mereka menatap punggungnya yang mulai menjauh. Zahra hanya diam sambil menatap punggung wanita itu dengan tatapan getir. Di sampingnya, sang ibu masih berdiri sambil menenangkan dirinya. Sementara bola mata Zahra mulai berkaca-kaca, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Kecewa karena harus ribut dengan keluarganya sendiri. Kenapa malah sang Tante bisa meributkan hal sekecil ini? Dan membuat keluarganya menjadi berantakan, hanya karena masalah air saja.Keesokan harinya, mentari pagi telah bersinar, meneragi bumi dengan kehangatan sinarnya. Sinar itu berhasil masuk di celah-celah jendela kamar milik seorang gadis.Di balik selimut tebal berwarna pink itu, terapat seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia terbangun ketika mendengar alarm ponselnya yang berbunyi begitu nyaring, bahkan suara itu menggema di penjuru kamarnya. Ia menggerakan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang semula sedikit tegang. Setelah nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, ia mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih terus menyala.“Astaga! Udah jam tujuh!” pekiknya keras, saat tak sengaja melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.Seketika itu rasa kantuknya perlahan menghilang begitu saja. Tanpa banyak bicara, Zahra melompat dari kasur dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk. Seakan ia tak peduli dengan rambutnya yang masih berantakan......Sementara di ruang kelua
"Kita mau ke mana, Ndra?" Zahra bertanya, suaranya sedikit bergetar, sesaat motor milik Nandra sudah berhenti. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Semuanya terasa gelap, asing, dan sunyi. Hanya ada mereka berdua ditemani oleh dinginnya angin malam dan bayangan pepohonan yang semakin terasa menyeramkan. Di depannya, berdiri rumah tua dengan jendela yang berdebu, atapnya dipenuhi oleh daun kering. Semuanya terasa begitu mencekam di mata Zahra. Tengkuk Zahra terasa begitu dingin, gadis itu refleks merapatkan tubuhnya, memeluk lengan Nandra erat-erat. Melihat sikap Zahra yang terasa aneh, Nandra pun berucap. "Nggak usah takut, Ra. Kan ada aku." Jawaban Nandra terdengar lembut, namun jawaban itu tak mampu membuat rasa takut yang ada di dalam diri Zahra menghilang begitu saja.Zahra tak mampu menjawab. Ia memejamkan mata sambil memeluk erat lengan Nandra. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu leleki itu. Ia tak sanggup melihat pemandangan rumah tua yang begitu menyeramka
“Kamu ngapain kamu ke sini?”“Gue ada tugas buat lo.”“Tugas apaan?”Orang bertopeng itu mendekatkan tubuhnya, kemudian membisikan sesatu tepat di telinga orang yang menjadi lawan bicaranya. Terlihat di sana, lawan bicaranya hanya mengangguk pelan, pertanda bahwa ia mengerti apa yang sedang dibicarakan.Setelah hampir tiga menit mereka membisikan sesuatu, orang bertopeng itu menatap lawan bicaranya sambil mengangkat kedua alisnya. “Gimana?” tanyanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi sama sekali.“Boleh. Tapi boleh lah itunya ditambahin lagi.”Orang bertopeng itu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Masalah uang aman. Yang penting lo kerjakan dulu apa yang gue suruh. Kalau sampai gagal, gue nggak akan bayar lo, paham?!” Ujarnya menekan mata ‘paham’ di akhir kalimat yang ia ucapkan.“Kalau sama gue, semuanya beres. Lo tinggal duduk manis sambil denger kabar baik dari gue,” jawabnya sambil nmenunjukkan bahwa ia mudah untuk dipercaya.“Oke. Gue tunggu kabar baik dari lo!” Kata orang ber
“Sayang,” Suara Fathan sedikit meninggi, melawan suara deru motor dan angin yang menerpa wajahnya. Ia menolah sekilas ke kaca spion, mencoba menatap wajah Zahra yang tersembunyi di balik helm yang gadis itu kenakan. “Tadi kamu lihat mukanya Triani nggak?” lanjutnya sambil bertanya.“Aku nggak merhatiin, emangnya kenapa?” tanya Zahra, suaranya terdengar samar. Karena efek dari suara berising yang ada di sekitarnya. Ia kemudian bergerak, memajukan sedikit kepalanya melewati bahu kanan Fathan. Ia berusaha mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar suara sang kekasihnya, dengan angin yang menerpa wajah cantiknya.“Eh, tunggu-tunggu.” Fathan dengan refleks merendahkan kecepatan motornya. Melihat Zahra yang seperti itu. “Jangan kayak gitu, sayang.”“Kenapa?” tanya Zahra lagi. Kini posisinya sudah kembali normal, tetapi posisi tubuhnya masih tetap sama.“Geser dikit, sayang. Bahaya kalau kamu kayak tadi,” kata Fathan dengan nada mengalun lembut, tapi sedikit tegas. Sesekali ia melirik kaca spi
Seketika itu Triani mengikuti arah pandang Zahra. Matanya membulat, jantngnya berdebar cepat, serta tangan kanannya mengetuk keningnya sendiri. “Dia? Tipe gue? Iyuhhh amit-amit! Cowok kayak dia bukan tipe gue banget, Ra!”“Tapi menurut gue Nandra tipe lo banget loh. Masa iya cowok sesempurna Nandra nggak masuk tipe lo?” tanya Zahra dengan kedua alis yang bertaut. Ia cukup heran dengan keputusan Triani yang sering kali berubah pikiran.“Sempurna? Nggak ada kata sempurna di kamus gue untuk dia! Lihat mukanya aja gue enek!” ujar Triani sambil memutar bola matanya malas. Apalagi saat ini orang yang sedang ia bicarakan berjalan menuju ke arah mereka.“Hai, Zahra!” Nandra menyapa Zahra ringan sambil melambaikan tangannya, serta senyuman manis yang ditunjukannya.“Hai juga, Ndra!” Zahra juga membalas ucapan Nandra dengan senyuman khasnya.“Ekhmm! Gue nggak disapa?”“Loh ternyata ada lo, Tri. Kirain cuma ada Zahra doang. Makanya gue nggak nyapa lo,” kata Nandra sambil menoleh, menyadari kalau
Dunia Nandra seakan berhenti berputar. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena senang, tapi karena kata diakhir kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis itu. ‘Ada hati yang sedang gue jaga’ Tanpa Zahra sadari, ternyata selama ini Nandra menaruh peraaan terhadap gadis cantik itu. Panggilan ‘sayang’ yang selalu ia ucapkan kepada Zahra adalah bukti kalau selama ini ia menaruh rasa terhadap gadis tersebut.“Oh, selamat ya. Kamu udah balikan lagi sama mantan kamu itu...”“Ndra...maaf gue nggak bisa nerima lo. Gue harap lo ngerti, ya? Dan makasih banyak, karena selama ini lo selalu ada untuk gue. Gue berharap, setelah ini pertemanan kita jangan asing, ya? Jujur, gue nyaman temenan sama lo.” Walaupun berat hati, Zahra terpaksa mengucapkan kalimat tersebut. Ia berharap, Nandra bisa mengerti dan memakluminya.“Iya. Lo tenang aja, pertemanan kita nggak mungkin asing, Ra,” Kata Nandra yang langsung merubah panggilan dari ‘aku, kamu’ menjadi ‘gue, lo’“Ya sudah. Gue duluan, ya. Ingat janga







