Beranda / Romansa / Cinta Tanpa Isyarat / 05. Emosi yang Meledak

Share

05. Emosi yang Meledak

Penulis: Zafar_Zahra
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-14 17:10:05

"Sekarang bilangnya cuma teman lah, cuma searah lah. Besok-besok kamu bilang satu rumah juga cuma teman?" cibirnya, lolos keluar dengan tawa ringan.

Zahra menunduk, menggenggam tas ranselnya erat-erat. Ini bukan pertama kalinya sang Tante seperti ini. Ia sudah berkali-kali adu mulut dengan wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini. Muak! Jelas yang Zahra rasakan! Mau semakin melawan, tapi ia sadar kalau Sinta itu Tantenya sendiri.

Sinta membalikan badan, ia berniat ingin mengadukan kelakuan Zahra ke Faisal, adiknya. "Saya adukan kamu ke Ayahmu! Biar kamu dihukum!" katanya cepat, tanpa menoleh sedikitpun.

Buru-buru, Zahra mencekal lengan sang Tante. "Jangan, Tan! Aku sama Nandra nggak ada hubungan apa-apa!"

Tetapi Sinta sama sekali tak memperdulikan suara keponakannya. Bahkan dengan begitu tega, ia menghempaskan tangan Zahra dengan gerakan cepat dan kasar. Lalu, ia melangkah untuk mencari adiknya.

"Faisal! Anak kamu berulah lagi!" Suara Sinta menggema di seluruh sudut rumah. Memantul dan menarik perhatian orang rumah.

Dalam hitungan detik, ruang tamu yang semula hening, kini berubah menjadi riuh. Langkah kaki terdengar cepat dari beberapa arah. Faisal, Ayah Zahra, muncul dari ruang kerjanya. Sementara Fatim dan Ayu, mereka juga ikut muncul dari dapur, kedua wanita itu sedang menyiapkan hidangan makan siang.

"Ada apa, Mba?" tanya Faisal, matanya menatap Sinta dan Zahra secara bergantian.

"Anak kamu sudah berani pacaran lagi! Nggak ada kapok-kapoknya, setelah ditinggal cowok lain! Eh, sekarang malah ketahuan pacaran lagi!"

"Enggak, Yah. Aku nggak pacaran," ucapnya dengan cepat, suaranya tegas namun sedikit bergetar.

Sebelum Faisal merespon ucapan sang anak, Sinta langsung menyerobot dan memojokkan Zahra. "Terus kenapa pulang diantar cowok?"

Zahra menghela nafas panjang, ia mencoba untuk tetap tenang. Meskipun emosi di dalam dirinya mulai menumpuk.

"Aku kan udah jelasin, Tan. Kalau aku nggak dijemput. Terus Nandra datang dan tawari aku pulang bareng, akhirnya aku pulang diantar dia. Aku anggap Nandra sebagai teman, bukan pacar!" kata Zahra dengan nada tinggi di akhir kalimat. Emosinya yang ia tahan sejak tadi, kini meledak sempurna.

Bukannya mengerti dan meminta maaf, Sinta malah semakin memojokkan keponakannya sendiri. "Nah, nah! Udah berani ngelawan, ya? Pasti ini didikan Ibumu, dia emang nggak becus didik anak!"

Ucapan itu langsung menampar hati Zahra. Gadis itu diam sejenak, menatap Sinta tajam dengan wajah yang mulai berubah memerah. Tangannya mengepal, air matanya mulai menggenang, amarahnya semakin terlihat. Ia tak terima jika Sinta menyalahkan Ibunya.

"Tante jangan nyalahin Ibu!" teriaknya, suara pecah, air matanya mulai mengalir di kedua pipinya. "Ini semua nggak ada hubungannya sama Ibu! Dari dulu Tante selalu salahin Ibu, padahal Ibu nggak pernah nyenggol Tante duluan! Bahkan Ibu selalu ngalah buat Tante! Tapi kenapa Tante malah selalu menyalahkan Ibu? Kenapa?!!"

Fatim tertegun melihat anaknya yang membela dirinya di hadapan Sinta. Wanita itu merintihkan air mata saat anaknya membela ia mati-matian.

"Tante selalu anggap aku anak nakal, padahal aku bersikap gitu ya karena Tante! Aku dituduh terus, dibilang anak pembawa sial! dibilang anak terlalu bebas! Tapi kenyataannya hatiku capek, Tan! Capek denger Tante ngomong kasar ke aku atupun ke Ibu!" Zahra menyeka air matanya dengan kasar. Nafasnya memburu, seolah ada beban yang bertahun-tahun ia simpan dan kini keluar dalam satu letupan.

PLAK!!!

Suara tamparan terdengar begitu nyaring, memenuhi seluruh penjuru rumah. Sinta, wanita paruh baya itu baru saja melayangkan tamparan yang mendarat dengan begitu sempurna di pipi kiri Zahra. Emosinya semakin meledak saat mendengar bentakan dari keponakannya sendiri. Ia tak terima kritik dari siapapun, entah itu keluarganya sendiri, atupun orang lain! Baginya, yang ia katakan semuanya benar!

"Kamu sudah berani melawan orang yang lebih tua?? Ini yang Ibumu ajarkan?! JAWAB!!!" Sinta menatap Zahra dengan tatapan tajam, matanya melotot sempurna. Kedua tangannya dilipat di depan dada, serta wajahnya memerah dengan otot-otot yang terlihat begitu menonjol.

Zahra diam, gadis itu menarik kedua tangannya dan menyentuh pipinya yang memerah. Lalu, ia kembali menatap Sinta tajam, seakan tak takut sama sekali dengan wanita yang masih memelototinya.

"Cukup ya, Tan! Selama ini aku sabar lihat kelakuan Tante yang udah semena-mena ke Ibu! Selama ini aku diam ya karena menghormati orang yang lebih tua dariku! Tapi sekarang, aku sadar, percuma juga hormat ke orang yang selalu merendahkanku atau ibuku!" kata Zahra, emosi gadis itu sudah tak tertolong lagi. Ia benar-benar tak terima jika Tantenya merendahkan dirinya, terlebih lagi kepada ibunya sendiri.

"Tante mau dihargai, tapi Tante sendiri nggak menghargai orang lain, apa itu termasuk adil?! Enggak, Tan! Mungkin di mata orang lain, Tante terlihat begitu baik, disanjung sana-sini, ya karena mereka nggak tau sifat asli Tante yang selalu merendahkan keluarganya sendiri!!" Zahra kembali melanjutkan ucapannya, namun kali ini nada bicaranya begitu memanas, seakan api yang selama ini ia kubur dalam dirinya, meledak detik itu juga.

"Zahra! Kamu jangan keterlaluan! Itu Tante kamu sendiri, dia lebih tua dari kamu, jadi rendahkan nada bicaramu!" Faisal, Ayah Zahra berucap setelah melihat putrinya berani meninggikan nada bicaranya, di depan orang yang lebih tua.

Zahra yang masih tersulut emosi, gadis itu menatap dingin ke arah Ayahnya. Hatinya semakin memanas setelah mendengar sang Ayah membela orang yang jelas-jelas selalu merendahkan Ibunya.

"Ayah belain perempuan bermuka dua ini? Ayah lebih sayang kakak sendiri daripada istri Ayah?" Zahra menggeleng tak percaya, ia menunjuk, lalu kembali meneruskan ucapannya. "Wanita kayak Sinta nggak pantas dibela, Yah! Yang ada nanti dia besar kepala dan semakin semena-mena ke Ibu!" lanjutnya yang tak menyebut Sinta dengan embel-embel Tante.

Faisal menatap putrinya tajam, ia mengontrol dirinya supaya tidak lepas kendali dan berakhir menyakiti fisik anaknya. Dengan amarah yang terpendam, ia menyuruh Zahra untuk masuk ke kamar. "Sekarang kamu masuk kamar! Sebelum Ayah kehilangan kesabaran!" titahnya sambil menunjuk pintu kamar sang anak.

"Dan satu lagi, jangan pernah pacaran lagi! Kalau sampai ketahuan, kamu tau akibatnya!" lanjut Faisal saat putrinya berlalu meninggalkan ruang tamu.

Zahra berhenti sejenak, gadis itu tak menatap Ayahnya. Ia menunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "Berapa kali aku bilang, aku nggak pacaran!"

"Bagus, belajar yang rajin, jangan mikirin cowok!"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Tanpa Isyarat    07. Teringat Masa Lalu

    Selang beberapa menit, Zahra tak lagi mendengar suara sang Ibu. Mungkin saja Ibunya sudah letih menyuruh dirinya makan. Ia tak peduli sama sekali. Pandangan Zahra kembali menyapu seisi kamar. Mata indahnya berhenti di antara foto-foto yang tak jauh dari meja belajarnya. Tanpa pikir panjang, tangan lentiknya meraih bingkai foto itu. Menatapnya dalam-dalam sambil mengusap lembut wajah-wajah orang yang berada di dalam foto. "Kalau boleh memilih, aku lebih baik tinggal bersama kalian. Walau sederhana, tapi bisa buat hatiku nyaman..." Zahra terisak sambil terus mengusap lembut foto tersebut. Selepas itu, Zahra memeluk bingkai itu erat-erat. Memejamkan mata seraya mengingat kenangan yang dulu pernah ia rasakan. Kenangan indah sebelum merubah hidupnya. Di saat ia memejamkan mata, kenangan itu kembali muncul. Ia melihat dirinya sewaktu kecil sedang bermain bersama anak lelaki berambut ikal. Dalam pandangannya, Zahra kecil terlihat begitu bahagia, tertawa puas saat berhasil menjahili an

  • Cinta Tanpa Isyarat    06. Mengurung Diri

    Zahra tak menggubris ucapan dari sang Ayah. Ia memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, sebelum emosinya semakin meletup. Dengan gerakan perlahan, Zahra membuka pintu kamar, lalu menutupnya kembali dengan cukup keras. Seakan emosinya ia lampiaskan ke pintu yang tak bersalah. Di balik pintu kamar, lebih tepatnya di ruang tamu, Zahra kembali mendengar suara Sinta yang terus saja menyalahkan Fatim, Ibunya. "Jadi Ibu itu yang becus dong! Masa kamu ajari buat melawan orang yang lebih tua? Itu namanya nggak sopan! Dan lagi, jadi Ibu harus tegas, jangan manja-manjain anak, jadinya nggak kurang ajar begini!" Sinta berucap dengan nada santai dan ceplas-ceplos. Ia sama sekali tak memperdulikan perasaan orang lain. "Oh iya, maklum lah. Kan Ibumu cuma tamatan SD, mana bisa didik anak yang baik," lanjutnya lagi, kali ini ia berucap sambil menutup mulutnya, seakan sedang menganggap remeh adik iparnya. "Cukup, Kak! Selama ini Fatim selalu didik Zahra dengan baik. Aku nggak suka lihat kakak t

  • Cinta Tanpa Isyarat    05. Emosi yang Meledak

    "Sekarang bilangnya cuma teman lah, cuma searah lah. Besok-besok kamu bilang satu rumah juga cuma teman?" cibirnya, lolos keluar dengan tawa ringan. Zahra menunduk, menggenggam tas ranselnya erat-erat. Ini bukan pertama kalinya sang Tante seperti ini. Ia sudah berkali-kali adu mulut dengan wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini. Muak! Jelas yang Zahra rasakan! Mau semakin melawan, tapi ia sadar kalau Sinta itu Tantenya sendiri. Sinta membalikan badan, ia berniat ingin mengadukan kelakuan Zahra ke Faisal, adiknya. "Saya adukan kamu ke Ayahmu! Biar kamu dihukum!" katanya cepat, tanpa menoleh sedikitpun. Buru-buru, Zahra mencekal lengan sang Tante. "Jangan, Tan! Aku sama Nandra nggak ada hubungan apa-apa!" Tetapi Sinta sama sekali tak memperdulikan suara keponakannya. Bahkan dengan begitu tega, ia menghempaskan tangan Zahra dengan gerakan cepat dan kasar. Lalu, ia melangkah untuk mencari adiknya. "Faisal! Anak kamu berulah lagi!" Suara Sinta menggema di seluruh sudut r

  • Cinta Tanpa Isyarat    04. Perlakuan yang Sama

    "Gue lagi bayangin kalau pertemanan kita sampai di pelaminan." "Maksudnya lo mau nikahin gue?" Nandra mengangguk penuh semangat. "Iya, Ra. Setelah itu gue janji bakal bahagiain lo," katanya, sepertinya nadanya terdengar sungguh-sungguh. Namun Zahra belum pernah memikirkan pernikahan terlebih dahulu. "Udahlah, Ndra. Jangan bercanda terus. Kita ini masih sekolah, kejar dulu cita-cita, setelah itu boleh mikirin nikah!" kata Zahra yang tak mau membahas soal pernikahan. "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Ucapan itu, walaupun dengan nada gurauan, tetapi langsung membuat hati Zahra tersentuh. Perkataan Nandra membuat ia teringat kepada seseorang. Seseorang yang pernah mengatakan hal yang sama, namun beda orang, beda suasana dan bahkan hatinya berbeda. "Cita-cita kamu apa?" "Cita-citaku pengin nikah sama kamu, Ra." Kalimat-kalimat itu memenuhi isi pikirannya. Gadis itu juga membayangkan kenangan manis bersama seseorang yang mungkin tak pernah lagi bersama. 'Aku ka

  • Cinta Tanpa Isyarat    03. Mencoba Bersyukur

    Di bawah langit biru cerah, Zahra sedang berjalan seorang diri di sepanjang trotoar yang sempit. Kepalanya menunduk, wajahnya begitu lelah. Langkahnya pelana, tatapan matanya kosong. Ia menunduk, membiarkan pikirannya kembali tenggelam oleh kesedihan. "Gue ngerti kalau mereka nggak tahu apa-apa tentang keluargaku. Makanya tadi Triani bilang kalau gue gadis yang beruntung. Tapi.. kenyataannya enggak." Zahra bergumam di sepanjang perjalanan. "Mungkin gue gadis yang jauh dari kata beruntung." Lanjutnya lagi, kali ini kepalanya masih menunduk. Kata-katanya begitu lirih, namun tajam dan terdengar kelas. Ucapannya terus berputar dalam kepalanya, seperti suara yang menggema. Zahra menatap jalanan beraspal, seolah ingin mencari jawaban di antara aspal itu. "Tak ada manusia yang tak beruntung di dunia ini." Suara itu barat, namun terdengar lembut. Suara laki-laki yang begitu tegang, tetapi mengandung arti tersembunyi di balik kata-kata yang terucap. "Semua manusia beruntung, asalkan

  • Cinta Tanpa Isyarat    02. Andai Mereka Tahu...

    ~ Keesokan harinya...Langit pagi masih berwarna kelabu, seolah enggan mengucapkan selamat pagi. Udaranya masih dingin, menyelimuti lingkungan sekolah yang mulai ramai dengan siswa yang berdatangan. Di tengah lalu-lalang paga siswa, ada seorang gadis cantik berseragam putih abu-abu, sedang duduk sendirian di bawah pohon. Tatapan matanya kosong, pikirannya sedang terbang entah kemana. Bahunya sedikit merosot, dan wajahnya tak memancarkan semangat. "Ngelamun aja. Kesambet baru tahu rasa!"Suara lantang itu memecah lamunannya. Zahra refleks menoleh ke samping. Matanya langsung mengenali sosok yang tengah duduk di sampingnya, sambil merangkul bahunya. "Triani?" Triani Kirana Lestari. Gadis berwajah manis dengan lesung pipi yang terlihat saat dirinya tersenyum. Aura wajahnya cerah, dan semangat yang begitu membara. "Ngapain ngelamun, Ra?" tanya Triani sambil merangkul pundak Zahra. Mereka berdua begitu akrab, tanpa jarak dan penuh ketulusan. "Apa lo lagi mikirin sesuatu?" tanyanya la

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status