LOGIN"Sekarang bilangnya cuma teman lah, cuma searah lah. Besok-besok kamu bilang satu rumah juga cuma teman?" cibirnya, lolos keluar dengan tawa ringan.
Zahra menunduk, menggenggam tas ranselnya erat-erat. Ini bukan pertama kalinya sang Tante seperti ini. Ia sudah berkali-kali adu mulut dengan wanita paruh baya yang ada di hadapannya ini. Muak! Jelas yang Zahra rasakan! Mau semakin melawan, tapi ia sadar kalau Sinta itu Tantenya sendiri. Sinta membalikan badan, ia berniat ingin mengadukan kelakuan Zahra ke Faisal, adiknya. "Saya adukan kamu ke Ayahmu! Biar kamu dihukum!" katanya cepat, tanpa menoleh sedikitpun. Buru-buru, Zahra mencekal lengan sang Tante. "Jangan, Tan! Aku sama Nandra nggak ada hubungan apa-apa!" Tetapi Sinta sama sekali tak memperdulikan suara keponakannya. Bahkan dengan begitu tega, ia menghempaskan tangan Zahra dengan gerakan cepat dan kasar. Lalu, ia melangkah untuk mencari adiknya. "Faisal! Anak kamu berulah lagi!" Suara Sinta menggema di seluruh sudut rumah. Memantul dan menarik perhatian orang rumah. Dalam hitungan detik, ruang tamu yang semula hening, kini berubah menjadi riuh. Langkah kaki terdengar cepat dari beberapa arah. Faisal, Ayah Zahra, muncul dari ruang kerjanya. Sementara Fatim dan Ayu, mereka juga ikut muncul dari dapur, kedua wanita itu sedang menyiapkan hidangan makan siang. "Ada apa, Mba?" tanya Faisal, matanya menatap Sinta dan Zahra secara bergantian. "Anak kamu sudah berani pacaran lagi! Nggak ada kapok-kapoknya, setelah ditinggal cowok lain! Eh, sekarang malah ketahuan pacaran lagi!" "Enggak, Yah. Aku nggak pacaran," ucapnya dengan cepat, suaranya tegas namun sedikit bergetar. Sebelum Faisal merespon ucapan sang anak, Sinta langsung menyerobot dan memojokkan Zahra. "Terus kenapa pulang diantar cowok?" Zahra menghela nafas panjang, ia mencoba untuk tetap tenang. Meskipun emosi di dalam dirinya mulai menumpuk. "Aku kan udah jelasin, Tan. Kalau aku nggak dijemput. Terus Nandra datang dan tawari aku pulang bareng, akhirnya aku pulang diantar dia. Aku anggap Nandra sebagai teman, bukan pacar!" kata Zahra dengan nada tinggi di akhir kalimat. Emosinya yang ia tahan sejak tadi, kini meledak sempurna. Bukannya mengerti dan meminta maaf, Sinta malah semakin memojokkan keponakannya sendiri. "Nah, nah! Udah berani ngelawan, ya? Pasti ini didikan Ibumu, dia emang nggak becus didik anak!" Ucapan itu langsung menampar hati Zahra. Gadis itu diam sejenak, menatap Sinta tajam dengan wajah yang mulai berubah memerah. Tangannya mengepal, air matanya mulai menggenang, amarahnya semakin terlihat. Ia tak terima jika Sinta menyalahkan Ibunya. "Tante jangan nyalahin Ibu!" teriaknya, suara pecah, air matanya mulai mengalir di kedua pipinya. "Ini semua nggak ada hubungannya sama Ibu! Dari dulu Tante selalu salahin Ibu, padahal Ibu nggak pernah nyenggol Tante duluan! Bahkan Ibu selalu ngalah buat Tante! Tapi kenapa Tante malah selalu menyalahkan Ibu? Kenapa?!!" Fatim tertegun melihat anaknya yang membela dirinya di hadapan Sinta. Wanita itu merintihkan air mata saat anaknya membela ia mati-matian. "Tante selalu anggap aku anak nakal, padahal aku bersikap gitu ya karena Tante! Aku dituduh terus, dibilang anak pembawa sial! dibilang anak terlalu bebas! Tapi kenyataannya hatiku capek, Tan! Capek denger Tante ngomong kasar ke aku atupun ke Ibu!" Zahra menyeka air matanya dengan kasar. Nafasnya memburu, seolah ada beban yang bertahun-tahun ia simpan dan kini keluar dalam satu letupan. PLAK!!! Suara tamparan terdengar begitu nyaring, memenuhi seluruh penjuru rumah. Sinta, wanita paruh baya itu baru saja melayangkan tamparan yang mendarat dengan begitu sempurna di pipi kiri Zahra. Emosinya semakin meledak saat mendengar bentakan dari keponakannya sendiri. Ia tak terima kritik dari siapapun, entah itu keluarganya sendiri, atupun orang lain! Baginya, yang ia katakan semuanya benar! "Kamu sudah berani melawan orang yang lebih tua?? Ini yang Ibumu ajarkan?! JAWAB!!!" Sinta menatap Zahra dengan tatapan tajam, matanya melotot sempurna. Kedua tangannya dilipat di depan dada, serta wajahnya memerah dengan otot-otot yang terlihat begitu menonjol. Zahra diam, gadis itu menarik kedua tangannya dan menyentuh pipinya yang memerah. Lalu, ia kembali menatap Sinta tajam, seakan tak takut sama sekali dengan wanita yang masih memelototinya. "Cukup ya, Tan! Selama ini aku sabar lihat kelakuan Tante yang udah semena-mena ke Ibu! Selama ini aku diam ya karena menghormati orang yang lebih tua dariku! Tapi sekarang, aku sadar, percuma juga hormat ke orang yang selalu merendahkanku atau ibuku!" kata Zahra, emosi gadis itu sudah tak tertolong lagi. Ia benar-benar tak terima jika Tantenya merendahkan dirinya, terlebih lagi kepada ibunya sendiri. "Tante mau dihargai, tapi Tante sendiri nggak menghargai orang lain, apa itu termasuk adil?! Enggak, Tan! Mungkin di mata orang lain, Tante terlihat begitu baik, disanjung sana-sini, ya karena mereka nggak tau sifat asli Tante yang selalu merendahkan keluarganya sendiri!!" Zahra kembali melanjutkan ucapannya, namun kali ini nada bicaranya begitu memanas, seakan api yang selama ini ia kubur dalam dirinya, meledak detik itu juga. "Zahra! Kamu jangan keterlaluan! Itu Tante kamu sendiri, dia lebih tua dari kamu, jadi rendahkan nada bicaramu!" Faisal, Ayah Zahra berucap setelah melihat putrinya berani meninggikan nada bicaranya, di depan orang yang lebih tua. Zahra yang masih tersulut emosi, gadis itu menatap dingin ke arah Ayahnya. Hatinya semakin memanas setelah mendengar sang Ayah membela orang yang jelas-jelas selalu merendahkan Ibunya. "Ayah belain perempuan bermuka dua ini? Ayah lebih sayang kakak sendiri daripada istri Ayah?" Zahra menggeleng tak percaya, ia menunjuk, lalu kembali meneruskan ucapannya. "Wanita kayak Sinta nggak pantas dibela, Yah! Yang ada nanti dia besar kepala dan semakin semena-mena ke Ibu!" lanjutnya yang tak menyebut Sinta dengan embel-embel Tante. Faisal menatap putrinya tajam, ia mengontrol dirinya supaya tidak lepas kendali dan berakhir menyakiti fisik anaknya. Dengan amarah yang terpendam, ia menyuruh Zahra untuk masuk ke kamar. "Sekarang kamu masuk kamar! Sebelum Ayah kehilangan kesabaran!" titahnya sambil menunjuk pintu kamar sang anak. "Dan satu lagi, jangan pernah pacaran lagi! Kalau sampai ketahuan, kamu tau akibatnya!" lanjut Faisal saat putrinya berlalu meninggalkan ruang tamu. Zahra berhenti sejenak, gadis itu tak menatap Ayahnya. Ia menunduk, mengepalkan kedua tangannya erat-erat. "Berapa kali aku bilang, aku nggak pacaran!" "Bagus, belajar yang rajin, jangan mikirin cowok!"Keesokan harinya, mentari pagi telah bersinar, meneragi bumi dengan kehangatan sinarnya. Sinar itu berhasil masuk di celah-celah jendela kamar milik seorang gadis.Di balik selimut tebal berwarna pink itu, terapat seorang gadis yang baru saja terbangun dari tidur lelapnya. Ia terbangun ketika mendengar alarm ponselnya yang berbunyi begitu nyaring, bahkan suara itu menggema di penjuru kamarnya. Ia menggerakan tubuhnya, meregangkan otot-otot yang semula sedikit tegang. Setelah nyawanya sudah terkumpul sepenuhnya, ia mengambil ponsel itu kemudian mematikan alarm yang masih terus menyala.“Astaga! Udah jam tujuh!” pekiknya keras, saat tak sengaja melihat jam yang terpampang di layar ponselnya.Seketika itu rasa kantuknya perlahan menghilang begitu saja. Tanpa banyak bicara, Zahra melompat dari kasur dan langsung bergegas ke kamar mandi. Sebelum benar-benar masuk ke kamar mandi, ia menyambar handuk. Seakan ia tak peduli dengan rambutnya yang masih berantakan......Sementara di ruang kelua
"Kita mau ke mana, Ndra?" Zahra bertanya, suaranya sedikit bergetar, sesaat motor milik Nandra sudah berhenti. Gadis itu mengedarkan pandangannya ke arah sekitar. Semuanya terasa gelap, asing, dan sunyi. Hanya ada mereka berdua ditemani oleh dinginnya angin malam dan bayangan pepohonan yang semakin terasa menyeramkan. Di depannya, berdiri rumah tua dengan jendela yang berdebu, atapnya dipenuhi oleh daun kering. Semuanya terasa begitu mencekam di mata Zahra. Tengkuk Zahra terasa begitu dingin, gadis itu refleks merapatkan tubuhnya, memeluk lengan Nandra erat-erat. Melihat sikap Zahra yang terasa aneh, Nandra pun berucap. "Nggak usah takut, Ra. Kan ada aku." Jawaban Nandra terdengar lembut, namun jawaban itu tak mampu membuat rasa takut yang ada di dalam diri Zahra menghilang begitu saja.Zahra tak mampu menjawab. Ia memejamkan mata sambil memeluk erat lengan Nandra. Menyembunyikan wajahnya di balik bahu leleki itu. Ia tak sanggup melihat pemandangan rumah tua yang begitu menyeramka
“Kamu ngapain kamu ke sini?”“Gue ada tugas buat lo.”“Tugas apaan?”Orang bertopeng itu mendekatkan tubuhnya, kemudian membisikan sesatu tepat di telinga orang yang menjadi lawan bicaranya. Terlihat di sana, lawan bicaranya hanya mengangguk pelan, pertanda bahwa ia mengerti apa yang sedang dibicarakan.Setelah hampir tiga menit mereka membisikan sesuatu, orang bertopeng itu menatap lawan bicaranya sambil mengangkat kedua alisnya. “Gimana?” tanyanya dengan nada datar dan tanpa ekspresi sama sekali.“Boleh. Tapi boleh lah itunya ditambahin lagi.”Orang bertopeng itu mengangguk sambil tersenyum tipis. “Masalah uang aman. Yang penting lo kerjakan dulu apa yang gue suruh. Kalau sampai gagal, gue nggak akan bayar lo, paham?!” Ujarnya menekan mata ‘paham’ di akhir kalimat yang ia ucapkan.“Kalau sama gue, semuanya beres. Lo tinggal duduk manis sambil denger kabar baik dari gue,” jawabnya sambil nmenunjukkan bahwa ia mudah untuk dipercaya.“Oke. Gue tunggu kabar baik dari lo!” Kata orang ber
“Sayang,” Suara Fathan sedikit meninggi, melawan suara deru motor dan angin yang menerpa wajahnya. Ia menolah sekilas ke kaca spion, mencoba menatap wajah Zahra yang tersembunyi di balik helm yang gadis itu kenakan. “Tadi kamu lihat mukanya Triani nggak?” lanjutnya sambil bertanya.“Aku nggak merhatiin, emangnya kenapa?” tanya Zahra, suaranya terdengar samar. Karena efek dari suara berising yang ada di sekitarnya. Ia kemudian bergerak, memajukan sedikit kepalanya melewati bahu kanan Fathan. Ia berusaha mendekatkan wajahnya agar bisa mendengar suara sang kekasihnya, dengan angin yang menerpa wajah cantiknya.“Eh, tunggu-tunggu.” Fathan dengan refleks merendahkan kecepatan motornya. Melihat Zahra yang seperti itu. “Jangan kayak gitu, sayang.”“Kenapa?” tanya Zahra lagi. Kini posisinya sudah kembali normal, tetapi posisi tubuhnya masih tetap sama.“Geser dikit, sayang. Bahaya kalau kamu kayak tadi,” kata Fathan dengan nada mengalun lembut, tapi sedikit tegas. Sesekali ia melirik kaca spi
Seketika itu Triani mengikuti arah pandang Zahra. Matanya membulat, jantngnya berdebar cepat, serta tangan kanannya mengetuk keningnya sendiri. “Dia? Tipe gue? Iyuhhh amit-amit! Cowok kayak dia bukan tipe gue banget, Ra!”“Tapi menurut gue Nandra tipe lo banget loh. Masa iya cowok sesempurna Nandra nggak masuk tipe lo?” tanya Zahra dengan kedua alis yang bertaut. Ia cukup heran dengan keputusan Triani yang sering kali berubah pikiran.“Sempurna? Nggak ada kata sempurna di kamus gue untuk dia! Lihat mukanya aja gue enek!” ujar Triani sambil memutar bola matanya malas. Apalagi saat ini orang yang sedang ia bicarakan berjalan menuju ke arah mereka.“Hai, Zahra!” Nandra menyapa Zahra ringan sambil melambaikan tangannya, serta senyuman manis yang ditunjukannya.“Hai juga, Ndra!” Zahra juga membalas ucapan Nandra dengan senyuman khasnya.“Ekhmm! Gue nggak disapa?”“Loh ternyata ada lo, Tri. Kirain cuma ada Zahra doang. Makanya gue nggak nyapa lo,” kata Nandra sambil menoleh, menyadari kalau
Dunia Nandra seakan berhenti berputar. Jantungnya berdebar cepat, bukan karena senang, tapi karena kata diakhir kalimat yang baru saja keluar dari mulut gadis itu. ‘Ada hati yang sedang gue jaga’ Tanpa Zahra sadari, ternyata selama ini Nandra menaruh peraaan terhadap gadis cantik itu. Panggilan ‘sayang’ yang selalu ia ucapkan kepada Zahra adalah bukti kalau selama ini ia menaruh rasa terhadap gadis tersebut.“Oh, selamat ya. Kamu udah balikan lagi sama mantan kamu itu...”“Ndra...maaf gue nggak bisa nerima lo. Gue harap lo ngerti, ya? Dan makasih banyak, karena selama ini lo selalu ada untuk gue. Gue berharap, setelah ini pertemanan kita jangan asing, ya? Jujur, gue nyaman temenan sama lo.” Walaupun berat hati, Zahra terpaksa mengucapkan kalimat tersebut. Ia berharap, Nandra bisa mengerti dan memakluminya.“Iya. Lo tenang aja, pertemanan kita nggak mungkin asing, Ra,” Kata Nandra yang langsung merubah panggilan dari ‘aku, kamu’ menjadi ‘gue, lo’“Ya sudah. Gue duluan, ya. Ingat janga







