Brak!!! Natasha pun menabrak sebuah mobil mewah yang melaju di depannya. Untung saja laju motornya tidak terlalu kencang. Jadi, mobil yang ditabrak Natasha tidak rusak parah, hanya lecet-lecet biasa.
"Astaugfirullah. Apalagi ini?" gumamnya sambil menghentikan laju motornya di salah satu sisi jalan.
Natasha pun segera turun dari motornya lalu menghampiri mobil putih yang dari bodinya saja sudah dapat diterka jika mobil itu mahal harganya. Dengan badan yang gemetaran Natasha mengetuk kaca mobil buram yang masih tertutup rapat itu. Tok. Tok. Tok. Bunyi kaca pintu di samping kabin kemudi itu saat diketuk oleh Natasha. Sret….! Kaca mobil pun turun sebagian. 'Mungkin karena tidak mau air hujan sampai masuk ke dalam,' pikir Natasha sekilas. Natasha pun melongokkan kepalanya ke dalam mobil itu. Hingga akhirnya nampaklah sosok lelaki berwajah tampan dengan kulit putih bersih dan rahang yang terlihat kokoh.
"Maaf, Mas. Maaf. Saya tidak sengaja menabrak mobil anda. Tapi, nggak parah kok cuma lecet dikit saja," cerocos Natasha panjang lebar. Bukannya membalas ucapan Natasha lelaki itu pun hanya tersenyum meremehkan. Sambil menoleh ke arah Natasha. Untuk sepersekian detik berikutnya Natasha pun terdiam. Terpesona dengan ketampanan lelaki yang ada di hadapannya.
"Loe bilang cuma lecet sedikit? Loe tau nggak berapa banyak uang yang harus gue keluarkan untuk perawatan mobil ini setiap bulannya?" tanya lelaki itu dengan dingin. Seketika rasa kagum Natasha pun luntur dan terbawa air hujan masuk ke selokan.
"Aduh, Mas. Mohon maaf sekali. Saya itu hanya seorang pengantar makanan. Bukan montir mobil spesialis. Jadi, mana saya tau berapa banyak uang yang anda keluarkan untuk perawatan mobil ini," balas Natasha jujur.
Blak! Lelaki itu pun menggebrak setir mobilnya sendiri. Sampai-sampai Natasha terlonjak kaget.
"Jangan banyak bicara!! Loe ini sudah salah. Jangan bertele-tele. Cepat ganti rugi!" bentak lelaki itu mulai naik pitam. Tubuh Natasha pun semakin bergetar. Ini adalah hal yang sedari tadi ia takutkan.
"Aduh, Mas. Saya mohon ampuni saya. Penghasilan saya tidak seberapa. Hanya cukup untuk makan saya dan anak saya. Jadi, saya mohon ampuni kesalahan saya," ujar Natasha dengan tangan yang ditangkupkan di depan dada. Badannya pun sedikit membungkuk agar lelaki itu semakin iba kepadanya. Namun, usahanya gagal. Lelaki itu pun semakin terlihat emosi.
"Gue nggak peduli! Loe harus bayar ganti rugi sekarang juga!" bentak lelaki itu dengan suara yang tidak mau kalah dengan sambaran petir di atas langit.
Di saat tubuh Natasha bergetar karena rasa ketakutannya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Ia pun segera mengeluarkan benda pipih itu. Lalu menggeser gambar dial yang tengah bergetar di tengah-tengah layar.
"Halo," ucap Natasha pada lawan bicaranya di seberang sana.
"Pesanan saya gimana ya, Mbak? Kok belum sampai-sampai juga. Padahal, saya sudah bayar lewat aplikasi lho!" protes pelanggan Natasha.
"Oh, maaf Mbak. Saya sedang di jalan. Baru saja mengalami kecelakaan sedikit. Tunggu sebentar ya. Saya akan segera datang."
"Baik. Saya tunggu. Jangan lama-lama!"
"Baik, Mbak." Tut. Sambungan pun terputus.
"Maaf, Mas. Saya harus pergi sekarang," pamit Natasha sambil memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket. Namun, karena ia sangat tergesa-gesa. Makanya, ponsel pintar itu belum sempat masuk ke dalam kantongnya. Dan akhirnya jatuh begitu saja di atas aspal yang sedang dibanjiri air hujan.
"Woi!!! Jangan kabur!!!" teriak lelaki itu sambil membuka pintu mobil mewah itu. Niatnya sih ingin mengejar Natasha. Namun, apalah daya. Hujan sedang deras-derasnya. 'Malas juga kalau harus lari-larian cuma buat ngejar uang ganti rugi yang nggak seberapa,' batin lelaki itu kemudian. Tanpa di sengaja mata si lelaki pun menangkap sebuah benda yang tergeletak tepat di bawah pintu mobilnya. Lalu dengan seringai yang khas ia mengambil benda yang sudah basah kuyup itu dengan segera.
Sedangkan Natasha dengan kecepatan yang ia bisa. Terus mengemudikan motor yang dikendarainya dengan hati-hati. Apalagi, jarak pandang diantara guyuran hujan yang sangat terbatas seperti ini. Membuatnya harus ekstra fokus menatap jalanan di depannya. Tentu saja agar kejadian beberapa menit yang lalu tidak terulang lagi. Jadi, kali ini Natasha benar-benar hati-hati.
Lima belas menit kemudian. Natasha pun sampai di kedai makanan yang sedari tadi ia tuju. Dengan cekatan, ia pun turun dari motornya. Lalu segera masuk ke dalam kedai. Sebelum masuk, Natasha melepas helm dan jas hujan yang sedari tadi ia kenakan. Natasha pun meletakkan kedua benda itu di tempat yang sudah disediakan. Sebelum ia masuk ke dalam kedai itu.
"Selamat siang, Mbak. Mau pesan apa?" tanya seorang pelayan yang sejak tadi berdiri di belakang sebuah mini bar. Menatap jaket yang dikenakan Natasha. Pelayan itu pun langsung mengerti niat Natasha datang kemari.
"Bentar, Mbak. Saya periksa aplikasi dulu ya," balas Natasha. Ia memang tidak ingat betul makanan seperti apa yang diinginkan pelanggannya. Lagian biasanya ada note khusus, seperti tambahkan atau kurangkan pedas, tambah sayur, tambah ini itu. Jadi, Natasha harus benar-benar sesuai pesanan. Agar tidak mengecewakan pelanggannya. "Bentar. Bentar, Mbak. Ponsel saya kok nggak ada?" ucap Natasha yang baru sadar kalau benda pipih yang sangat penting baginya itu tidak ada di dalam kantong jaket maupun celananya.
Berulang kali, Natasha merogoh setiap saku di yang ada di badannya. Namun, tetap saja ia tidak menemukan gawainya itu. 'Aduh. Ponsel gue mana? Apa mungkin ada di motor? Masak sih? Kayaknya gue nggak pernah meletakkan di dashboard deh. Tapi, coba cari dulu nggak ada salahnya,' ucap Natasha dalam hati.
"Bentar ya, Mbak. Saya cari ponsel saya di motor dulu," kata Natasha pada si pelayan kedai.
"Bail, Mbak. Silahkan," balas si pelayan dengan ramah.
Natasha pun segera lari ke arah motornya. Lalu ia mencari-cari benda pipih itu di kedua dashboard yang ada di bawah setirannya. Namun, nihil. Apa yang ia cari tetap tidak is temukan juga.
"Aduh. Gimana ini? Dimana ponsel gue? Apa jangan-jangan jatuh di jalan. Atau jatuh di tempat tadi? Aduh gimana ini? Pasti pelanggan gue udah uring-uringan sekarang," gumam Natasha bingung.
Akhirnya, Natasha pun memutuskan kembali dengan tangan kosong. Ia tetap tidak menemukan ponselnya. Sehingga ia tidak bisa menyelesaikan orderan terakhir untuk hari ini.
Chit. Motor Natasha pun akhirnya sampai di parkiran kantor Growber. Lalu dengan langkah gontai ia pun membawa penyimpan makanan milik perusahaan yang harus ia simpan di ruangan khusus.
"Nat, tunggu!!" teriak seseorang yang langsung membuat langkah natasha berhenti. Natasha pun menoleh, lalu menatap tampang Davin yang tengah bergegas mendekatinya.
"Ada apa Vin?" tanya Natasha tidak bersemangat.
"Loe ditunggu Pak Bos di ruangannya," jawab Davin yang membuat Natasha menghembuskan nafas beratnya. 'Ini pasti karena ada komplain pelanggan yang nggak gue selesaikan tadi,' pikir Natasha cepat.
"Pak Bos belum pulang udah malam begini?" tanya Natasha. Sebab, nggak biasanya lelaki itu masih berada di gedung berlantai tiga ini sampai sinar mentari sudah meredup seperti ini. 'Berarti, urusan gue berat nih. Sampai-sampai Pak Bos masih nungguin gue,' ujarnya masih dalam hati.
"Belum. Kayaknya dia nungguin elo deh. Emang elo kenapa hari ini? Ada pelanggan yang kecewa?" tanya Davin. Natasha pun tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecut ke arah laki-laki satu profesi itu.
"Gue ke dalam dulu ya," ucap Natasha sambil berjalan dengan lemas ke dalam kantor yang sudah terlihat sangat sepi itu. Bahkan, sepanjang Natasha masuk ke dalam. Ia tidak menemukan satu orang pun di sana. Tepat di depan ruangan Pak Raymond Natasha menghentikan langkahnya.
Tok. Tok. Tok. Dengan sisa-sisa tenaganya ia pun mengetuk pintu itu.
"Masuk!!" titah Pak Bos dari dalam ruangannya. Natasha pun segera melakukan apa yang diperintahkan atasannya itu
"Maaf, Pak. Bapak memanggil saya?" tanya Natasha basa-basi.
"Oh, iya. Natasha. Silahkan duduk!" kata Pak Raymond yang lagi-lagi memerintah anak buahnya.
"Baik, Pak." Natasha pun segera duduk di kursi depan meja Pak Raymond.
"Kamu tau kenapa kamu saya panggil kesini?" tanya Pak Raymond yang membuat Natasha mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk.
"Bapak ingin memecat saya?" balas Natasha dengan nada bertanya.
"Hahaha. Memecat? Tentu saja saya tidak bisa memecat karyawan secantik kamu," balas Pak Raymond dengan tampang genitnya.
"Lalu? Kenapa Bapak memanggil saya?"
"Saya tau kamu baru saja mengabaikan pelanggan. Padahal, dia sudah membayar lewat aplikasi kan?" ujar Pak Raymond yang kembali membuat Natasha menundukkan kepalanya.
"Maafkan saya, Pak. Ponsel saya terjatuh. Makanya saya tidak bisa menyelesaikan orderan," jawab Natasha jujur.
"Iya, saya percaya kamu." Pak Raymond pun beranjak dari kursinya lalu duduk di atas meja samping Natasha duduk.
"Terima kasih, Pak."
"Lalu ponsel kamu hilang?"
"Iya, Pak."
"Kalau kamu mau? Saya bisa membelikan ponsel yang bagus untuk kamu," ujar Pak Raymond sambil menyentuh pundak Natasha. Sontak Natasha pun mengangkat wajahnya. Lalu menepis tangan lelaki yang selama ia bekerja disini selalu Natasha hormati itu.
"Maaf, Pak. Maksud Bapak apa ya?" tanya Natasha bingung.
"Sudahlah, Nat. Saya tau kamu ini janda. Pasti sudah lama kamu tidak merasakan belaian hangat laki-laki, kan?" ujar Pak Raymond dengan tampang yang membuat Natasha ketakutan.
"Maaf, Pak. Anak saya sendirian saya harus segera pulang," kata Natasha sambil berusaha berdiri. Namun, Pak Raymond yang berdiri di sampingnya langsung menahan badan Natasha agar kembali duduk.
"Sudahlah, Nat. Jangan sungkan-sungkan sama saya. Saya sudah jatuh cinta sama kamu sejak pertama kali bertemu," kata Pak Raymond dengan kedua tangan masih memegangi pundak Natasha. Mengunci tubuh yang lebih kecil darinya itu. Lalu Pak Raymond pun mendekatkan wajahnya ke arah Natasha.
"Pak, saya mohon!!! Jangan lakukan itu, Pak. Saya mohon jangan!!!" rengek Natasha sambil berusaha melepaskan diri. Namun, usahanya gagal. Tenaganya tak sebanding dengan tenaga Pak Raymond yang jauh lebih besar.
"Kamu milik saya malam ini," gumam Pak Raymond dengan ekspresi yang tidak bisa digambarkan.
"Jangan!!!!"
Pagi itu Natasha masuk ke dalam ruang makan untuk mengambil jatah makanannya. Namun, mendadak langkahnya terhenti saat melihat Jo tengah melahap sarapannya dengan begitu nikmat. Natasha yang teringat akan kejadian semalam jadi merasa canggung. Makanya ia memilih memutar badannya untuk segera meninggalkan tempat itu."Natasha," panggil Jo yang sudah melihat wanita itu duluan sebelum badannya berhasil pergi. Natasha pun tak punya pilihan lain selain menoleh."Ada apa?" tanya Natasha dengan suara bergetar."Bukannya loe selalu sarapan sebelum berangkat ke sekolah. Kenapa loe malah pergi?" sindir Jo."Ehms…. Gue… gue cuma mau liat Eriko. Kayaknya dia udah jemput gue di luar. Jadi, gue mau langsung be
"Heh. Gue nggak mau! Kalau dia udah nggak kuat punya murid kayak gue. Ngundurin diri aja. Gampang kan?" Jo kembali berjalan ke arah yang sama. Dan pada detik itu pula, Natasha kembali menarik kerah baju Jo dengan cukup kuat. Saking kesalnya.Jo pun melangkah mundur beberapa langkah. Dan tanpa disadari kakinya sudah melewati batas kolam renang. Sedetik kemudian….Byur!!! Tak bisa dielakkan lagi. Jo pun terjatuh ke dalam kolam renang itu."To… tolong!!! Tolong!!! Gue nggak bisa berenang!!" teriak Jo sambil berusaha mengangkat kepalanya ke permukaan air."Heh. Loe pikir gue bodoh. Loe punya kolam renang, tapi nggak bisa berenang. Ck. Ck. Ck. Kali ini loe bener-bener pinter ngeles." Natasha membalikkan badannya lalu berniat pergi. Tetapi, langk
Pulang dari sekolah Natasha tak langsung pulang. Ia menyempatkan diri untuk menjenguk Karen di rumah sakit khusus jantung yang baru beberapa minggu ini merawat Karen. Natasha merasa senang melihat kondisi Karen yang jauh lebih baik dari pertemuan terakhir mereka beberapa hari lalu."Gimana enak?" tanya Natasha saat melihat sang anak memakan sate lontong Madura yang dibawanya. Karen langsung mengangguk mantap."Enak banget Bunda. Karen suka," balasnya dengan mulut penuh. Senyum Natasha semakin mengembang. Tangan kanannyanya terulur untuk mengacak rambut putri semata wayangnya itu."Kalau lagi makan, jangan sambil ngomong ya sayang. Nanti kamu tersedak." Natasha mengingatkan dengan pelan. Karen pun segera mengunyah lalu menelannya dengan cepat.
Jo berdiri tegap di tengah-tengah lapangan basket. Kedua tangannya melipat di depan dadanya yang bidang dan terlihat kokoh. Wajahnya yang putih bersih dan berkharisma, menunjukkan raut wajah siap mengalahkan lawan tandingnya. Sedangkan mata elangnya, menatap lurus sosok wanita berbusana formal dengan blazer dan celana katun yang berwarna sama dengan guru-guru di sekolahan ini.Di seberang sana Natasha berdiri dengan raut wajah tak kalah serius. Matanya yang bening menatap Jo dari balik kacamata tebal. Sementara kedua tangannya juga terlipat di depan dada."Bu. Bu Natasha yakin, beneran bisa main basket?" tanya Bu Elena tepat di depan telinga Natasha. Wanita yang terlihat anggun dengan rambutnya yang digelung itu pun menoleh."Bu Elena nggak usah khawatir. Saya sudah berlatih cukup keras," balas Natasha sambil men
Pagi ini Jo mengemas dirinya dengan begitu rapi. Entah mengapa ia ingin sekali tampil maksimal di pertandingannya dengan Natasha nanti. Saat sedang menyisir rambutnya sambil bersiul-siul riang. Tiba-tiba di benaknya terlintas sesuatu."Ehms…. Apa nanti gue pura-pura kalah aja ya sama Natasha?" gumamnya sambil mengetuk-ngetukkan sisir ke dagunya yang terbelah. Senyumnya pun mengembang saat ia teringat kejadian semalam.Tin…. Tin….Senyuman Jo pun menghilang saat mendengar sebuah klakson mobil berada tak jauh dari rumahnya. Segera Jo pun mendekati jendela. Disibaknya tirai yang masih menghalangi sinar mentari masuk ke dalam kamarnya."Mobil siapa itu?" tanya Jo pada dirinya sendiri. Matanya pun me
Tepat pukul sebelas malam Natasha baru saja sampai di rumah Jo. Badannya terasa sangat letih sekali. Sampai-sampai jalannya pun sempoyongan tak tentu arah. Untung saja ia membawa kunci sendiri. Jadi, dia bisa pulang sewaktu-waktu. Krek! Krek! Krek! Natasha memutar kunci itu di dalam lubangnya. Hingga tak butuh waktu lama pintu pun langsung terbuka lebar dan menampakkan kegelapan ruangan karena semua lampu sudah dimatikan.Sejenak Natasha menahan langkahnya. Tiba-tiba saja rasa takut menggelayuti wanita berparas cantik itu. Bahkan, bulu kuduknya berdiri seketika. Dan reflek tangan kanannya pun mengusap tengkuknya begitu saja. 'Aduh. Kok gelap banget ya,' batinnya sambil mengedarkan pandangannya ke dalam ruangan. Huft. Ia pun menghembuskan nafas beratnya."Nggak ada papa, Natasha. Jangan takut! Nggak punya uang itu hal yang lebih