Share

Bab2 Kenangan Itu

Teriknya matahari benar-benar membuat Lovrin sangat kehausan, saat itu juga dia mencari es rumput laut kesukaannya. Biasanya siang-siang begitu pedagang es selalu stan by menjajakan es rumput lau di depan kampus.

“Widih, ini panas ampe nusuk kulit rasanya.”

“Tenggorokan juga udah seret, es rumput laut kesukaanku pasti ampuh ni.” celetuk Lovrin sambil menyusuri anak tangga menuju depan kampus.

Rupanya dari arah selatan, ada sebuah mobil melaju sangat kencang dan hanya membunyikan klakson, pertanda pejalan kaki harus waspada.

“Woi, ini jalan punya nenek moyang kau apa?”

“Hampir nyawaku melayang, awas kau.”

Amarahnya kembali terusik karena melihat pengendara mobil itu, berhenti pas di area parkir kampus. Saat pengendara mobil itu turun dan berbalik badan, ternyata dia adalah Haikal. Lovrin yang mengetahui itu Haikal langsung memberondong dengan pertanyaan dan umpatan.

“Kau punya sim dari kappa, hah?”

“Kau tau ini jalanan umum, ramai pejalan kaki.”

“Iya aku tau. Aku minta maaf.” ucap Haikal sembari merangkul bahu temannya Lovrin.

Lovrin agaknya masih tak terima dengan insiden yang hampir saja melukainya. Bahkan, saat Haikal mencoba merangkul dan mengajaknya ke kantin dia tetap sinis.

“Ayolah kita bisa makan dan minum dahulu di kantin.”

“Aku yang traktir.” ajak Haikal pada Lovrin yang masih bersikap acuh.

“Kau tak perlu menyogokku dengan makan dan minum. Aku sudah makan tadi.”

Penolakan itu tak diragukan lagi, keluar dari mulut seorang Lovrin. Dia tak pernah membiasakan diri untuk menerima ajakan seseorang, secara cuma-cuma atau gratis. Baginya, kebiasaan senang makan jerih payah orang lain tak akan membuat dirinya bangga.

“Eh, Lovrin. Aku tak bermaksud jahat padamu.”

“Aku ingin kita berteman itu saja.”

 “Sampai kapan kau jadi robot, tanpa berteman dengan siapa pun.” Haikal mencoba mematahkan tingkah keras kepala Lovrin.

Haikal yang juga sudah jengah melihat kelakuan Lovrin, berjalan perlahan meninggalkan Lovrin di parkiran. Lalu tak lama Lovrin berjalan, menyusul Haikal ke kantin kampus. Dia mulai bersikap ramah pada Haikal. Haikal cukup baik dan tidak terlalu buruk bila dijadikan teman.

“Tumben kau mau menyusulku kemari.”

“Apa arah angimu sudah berubah?” ledek Haikal pada Lovrin yang duduk di hadapannya.

“Diam kau!” tukas Lovrin cepat seolah tak ingin sikap ramahnya jadi bahan olokan Haikal.

Mereka memesan minuman dan makanan siang itu, karena sudah jam makan siang tentu perut mereka sudah berteriak minta diisi. Haikal menceritakan kejadian buruk yang dialaminya hari itu. Dia ingin menyelesaikan skripsi untuk segera lulus dari perkuliahan, mengingat dia adalah harapan orang tuanya, meneruskan bisnis kuliner yang jadi tumpuan keluarganya.

Ternyata bisnis kuliner itu nyaris bangkrut karena ada pembengkakkan tagihan pajak yang belum bisa dibayar oleh keluarga Haikal. Tagihan pajak yang sudah lama, sekitar lima tahun membuat usaha kuliner tidak beroperasi maksimal. Sebelum berangkat ke kampus, orang pajak menelepon Haikal untuk segera melunasi tagihan pajak.

“Bagaimana aku membayar tagihan hampir miliaran rupiah.”

“Aku berusaha agar usaha kuliner keluargaku tetap berjalan.”

“Agar tidak terjadi pemecatan karyawan besar-besaran di resto milik keluargaku.”

“Kau ada ide, Rin?

“Aku belum ada ide apa-apa.”

“Cobalah kau konsultasi dahulu atau lakukan pendekatan dengan orang pajak.”

“Wah, kalau begitu aku akan konsultasi dahulu.”

“Aku tak bisa mengandalkan ayahku, dia sedang sakit.”

Seusai pertemuan Haikal dan Lovrin, keduanya kembali mengikuti perkuliahan hingga sesi sore selesai. Lovrin adalah mahasiswa jurusan teknik arsitektur, sementara Haikal adalah mahasiswa jurusan manajemen bisnis. Meski mereka berbeda jurusan, tetapi hobi membaca novel horor membuat mereka bisa akrab.

Seperti biasa Lovrin menaiki angkutan umum untuk pulang ke rumah. Tubuh tegapnya seakan tak menunjukkan ke penatan yang teramat. Lovrin bekerja paruh waktu, bahkan nyaris waktu istirahatnya juga tersita karena kesibukan yang luar biasa. Meskipun dia bekerja hanya sebagai kurir pengantar pizza, itu tidak menjadikannya malu atau rendah diri.

“Hai sayang kau sudah pulang?” sambut Nyonya Farida sembari menonton acara televisi kesayangannya.

“Hmm … iya, Nek aku baru pulang.” Senyum tipis itu tampak manis menghiasi wajah Lovrin yang tampak lelah.

“Ayo bersihkan tubuhmu, lalu kita santap udang saus tiram kesukaanmu.” ungkap sang nenek pada Lovrin.

Saatnya makan malam dan semua berkumpul di meja makan sambil berbincang ala keluaga Lovrin.

“Rin, kapan kau akan lulus?” tanya sang paman pada Lovrin.

“Aku tak tau pasti, tetapi aku sudah mengajukan judul skripsiku.”

“Bagus, kau akan segera bekerja lebih baik daripada sekarang.”

Mendengar ucapan pamannya, Lovrin sempat diam tak meneruskan makannya. Dia benar-benar menyadari, keluarganya saat itu memang butuh pemasukan lebih karena neneknya yang sudah renta, sering bolak-balik ke rumah sakit untuk pengobatan. Sementara pamannya juga bekerja hanya sebagai karyawan pabrik minuman kemasan saja.

Lovrin teringat masa kecilnya saat berumur tiga tahun, dia selalu menghabiskan akhir pekan bersama ayah dan ibunya. Keluarga mereka sangat harmonis dan bahagia sampai berita buruk itu, menghancurkan kehidupan Lovrin dan keluarganya.

Tak ada yang menyangka, ayah dan ibu Lovrin pergi selamanya dalam kecelakaan maut enam belas tahun yang lalu. Luka itu, yang menyebabkan Lovrin harus ikut berjuang menghidupi keluarganya. Apalagi hidup di kota besar, membutuhkan pemasukan yang juga besar, agar seimbang dengan biaya hidup yang dikeluarkan.

Lovrin tak berselera lagi melanjutkan makannya, dia cenderung memilih keluar menghirup udara segar di luar rumah, agar tak menampakkan wajah sedih di hadapan nenek dan pamannya. Dia berjalan seorang diri, menyusuri keramaian kota malam itu.

Diterangi gemerlapnya lampu-lampu kota dan toko-toko yang masih buka dua puluh empat jam. Sesekali Lovrin mengehela napas panjang, dan memejamkan matanya yang sipit. Kentara rasa haru yang menyelimutinya malam itu, tat kala mengingat kedua orang tuanya yang telah tiada.

Lovrin memang sulit untuk menangis, apalagi baginya seorang laki-laki harus bisa menghadapi kepahitan hidup. Tak ada tempat untuk air mata, yang ada hanya segelumat rasa rindu untuk kedua orang tuanya. Dia termasuk pria yang rajin beribadah, dan dia masih mengingat pesan kedua orang tuanya saat itu. Mereka berpesan, agar Lovrin selalu salat tepat waktu dan berbuat kebaikan pada orang lain.

Lovrin benar-benar menikmati pemandangan kota, lantunan lagu dari pengamen jalanan menambah sahdu suasana hati Lovrin. Lovrin terbiasa seperti itu, menikmati kesendirian dan tak mau membuat orang-orang di sekitarnya merasakan kerisauan hatinya.

Malam kian larut, dan akhirnya Lovrin beranjak dari tempat duduk yang ada di pinggir jalanan kota. Dia kembali pulang ke rumah sambil membawakan dimsum kesukaan neneknya.

“Nek, Nek!” panggil Lovrin mencari-cari keberadaan neneknya.

“Lovrin, apa yang kau bawa?”

“Aku menyukainya, ini dimsum favoritku.” Sambar nenek sambil mencicipi dimsum yang telah dibawakan oleh Lovrin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status