Share

Cinta Tapi Gengsi
Cinta Tapi Gengsi
Author: TreeAR23

Bab1 Tak Sengaja Bertemu Nenek

Suasana hati Lovrin lumayan bersahabat dia memulai langkah perkuliahan hari itu dengan penuh semangat. Lovrin memang jarang memberikan senyum terbaiknya, terlebih saat dirinya ditinggalkan kedua orang tuanya saat masih berusia lima tahun. Kini dia hidup bersama nenek dan juga pamannya.

 “Lovrin … apa kau sudah menghabiskan sarapanmu?” tanya sang nenek pada Lovrin.

“Sudah, Nek.

"Masakan Nenek memang juara!” celetuk Lovrin yang tengah mencicipi berbagai hidangan di meja makan.

“Tetapi kau mengapa tampak kurus sekali akhir-akhir ini?” canda paman Lovrin.

“Ah, Paman. Bisa saja menggodaku.”

Mereka memang begitu setiap harinya, terbiasa bergurau satu dengan yang lainnya. Tanpa terasa Lovrin yang diasuh neneknya beranjak dewasa. Neneknya, Nyonya Farida begitu menyayangi Lovrin. Sepeninggal kedua orang tua Lovrin, dialah tempat bersandar bagi sang cucu kesayangan.

Semasa sekolah Nyonya Farida sering sekali mendapat telepon dari sekolah, yang mengabarkan berbagai tingkah nakal Lovrin. Meski demikian perempuan lanjut usia itu tetap menasehati Lovrin dengan penuh cinta.Kenakalan Lovrin dianggapnya sebagai uji kesabaran seorang nenek terhadap cucunya saja.

“Lovrin, jangan lupa nasihat Nenek padamu.”

“Nasihat yang mana, Nek?”

“Maaf aku lupa terlalu banyak nasihat Nenek padaku.” pria menyebalkan itu, lagi-lagi menggoda sang nenek.

“Cukup, jangan meledeku!”

“Sudah, berangkatlah kuliah.” teriak Nyonya Farida pada Lovrin.

Anak itu masih tidak berubah wataknya sangat cuek dan tidak pernah sekalipun bersikap manis pada siapa pun. Tak dipungkiri, sesekali dia senang memberikan kejutan berupa hal-hal konyol pada nenek dan juga pamannya.

Waktu perkuliahan memang sangat melelahkan bagi Lovrin, pasalnya dia tak seperti mahasiswa lainnya yang dengan bebas menggunakan uang mereka untuk makan di kantin kampus atau sekadar membeli minuman. Lovrin harus berhemat, bahkan sangat hemat mengingat uang yang dihasilkannya dari pekerjaan paruh waktu sebagai pengantar pizza masih terbilang kecil.

Lovrin cenderung menghindar dari pertemanan, bahkan lebih senang menyendiri di sudut perpustakaan. Ada yang menarik, ada seorang mahasiswa yang sudah lama memperhatikan gerak-gerik Lovrin saat di perpustakaan tiba-tiba datang menghampirinya.

“Hai, kamu anak yang sering menyendiri di sini bukan?”

“Aku Haikal.” ucap pria itu sambil mengulurkan tangannya pada Lovrin.

“Yup, ada masalah?” dengan nada tengil khas Lovrin cukup membuat lawan bicara kelimpungan.

“Oh tentu tidak kawan. Aku hanya ingin berteman bukan mencari lawan.”

“Maaf aku bukan orang yang tepat untuk berteman, aku sibuk.” pungkas Lovrin dengan tegas.

Ini benar-benar hal yang memalukan bagi Haikal, baru pertama kalinya dia menemui mahasiswa tengil tingkat dewa macam Lovrin. Tak patah arang Haikal yang penasaran dengan sosok Lovrin kembali berusaha menghampiri.

“Kau ternyata tengil juga ya.”

“Tak apa, aku suka berkawan dengan orang yang memiliki kepercayaan diri dan arogansi tinggi.”

Sekeras apapun suara Haikal mencoba mengakrabkan diri dengan Lovrin tetap saja dia tidak bergeming. Duduk dan membaca buku-buku horror atau sesekali mengerjakan tugas dari dosen.

“Aku punya novel horror romantis terbaik saat ini, kau mau membacanya?”

Melihat kesungguhan Haikal yang ingin berteman dengannya, membuat Lovrin melongok spontan ke arah Haikal. Lovrin tampak mengambil novel tersebut dan mempersilahkan Haikal duduk di sebelahnya.

“Sejak kapan kau suka novel horor romantis?”

“Kalau aku lihat-lihat kau benar-benar pria kesepian, tanpa teman.”

“Iya, aku memang lebih suka sendirian.”

“Aku bukan seperti mereka serba ada.”

“Jadi itu alasanmu tidak ingin berteman hanya karena kau tidak memiliki apapun?” tanya Haikal penasaran.

Lovrin tidak menjawab pertanyaan tersebut dengan pasti, tetapi apapun itu Lovrin tetaplah Lovrin dengan kepribadian tengil, cuek, dan keras kepala. Sepulang perkuliahan Haikal menawari Lovrin untuk pulang bersamanya, menaiki mobil yang dikendarai sendiri oleh Haikal. Tanpa basa-basi Lovrin menolak ajakan itu, dengan alasan dia lebih senang naik kendaraan umum.

Haikal berusaha memahami karakter teman barunya itu, pria berbadan gempal tersebut terus melaju dengan mobil sport berwarna merah menyala. Haikal tampak seperti anak bos-bos besar, hal itu bisa dilihat dari gaya berpakaian dan kendaraan yang dipakainya saat ke kampus.

Saat di perjalanan pulang dan melanjutkan rutinitasnya bekerja paruh waktu, di salah satu resto pizza yang cukup popular di kotanya, dia mampir sebentar untuk membelikan sesuatu untuk sang nenek. Lovrin ingat hari itu adalah hari ulang tahun sang nenek yang ke tujuh puluh tiga tahun.

“Aku mau beli apa ya untuk Nenek?” bisik Lovrin dalam hatinya.

“Biasanya Nenek sangat menyukai bunga. Ah, kali ini aku ingin belikan kursi pijit saja.” ungkapnya sambil membelokkan langkah ke salah satu toko alat-alat kesehatan.

Sesampainya di dalam toko Lovrin melihat-lihat harga kursi pijit yang akan dibelinya. Matanya tak berhenti berkedip saat mengetahui harga kursi tersebut yang mencapai jutaan rupiah.

“Mas, saya mau lihat-lihat ini.” Seperti suara yang tidak asing didengar oleh Lovrin.

“Lovrin!”

“Lovrin!”

“Hei, Lovrin Andrea Gustaf!” tak kunjung menyahuti teriakannya, Nyonya Farida memanggil Lovrin sambil menepuk bahu jangkung Lovrin saat itu juga.

“mengapa kau di sini, bukannya kau ada pekerjaan hari ini?”

“Iya, Nek. Aku mampir dahulu mau beli sesuatu.” Kata Lovrin sambil pura-pura memilih sesuatu barang.

“Apa kau sedang berbohong padaku?”

“Ah, sudahlah. Lupakan hari ini ulang tahunku. Fokus pada pekerjaanmu.” ungkap sang nenek pada cucu tercintanya, seolah dia tak ingin membebani cucunya dengan hadiah yang mahal.

Lovrin merasa tak sampai hati pada wanita yang sudah membesarkannya dengan penuh cinta. Tak sebanding dengan harga barang yang akan dibelinya, untuk itu Lovrin memutuskan untuk bekerja lembur seminggu ini, agar uang itu dapat membeli barang incarannya.

Di balik tingkahnya yang tengil dan cuek, ternyata Lovrin masih menyimpan rasa peduli untuk sang nenek dan pamannya. Mereka bukanlah orang kaya, yang hidup dengan mudah di kota besar, jadi bila menginginkan sesuatu harus berusaha lebih dahulu.

"Kali ini aku tidak boleh gagal!"

"Hadiah itu harus aku berikan pada Nenek." kata Lovrin sambil membakar semangat dirinya.

Dia berlari menuju resto pizza yang berada di pusat kota saat itu, tak dihiraukannya suara bising jalanan dan penatnya tubuh sehabis perkuliahan. Lovrin menguatkan setiap langkahnya agar bisa bekerja lembur malam ini, kebetulan hari itu adalah malam minggu. Dimana anak-anak muda perkotaan menghabiskan malam mereka dengan nongkrong di resto atau kafe-kafe terkenal.

"Wah, sang pengantar pizza tampan sudah datang rupanya!" gurau salah seorang karyawan di resto tersebut. 

"Kau habis darimana Lovrin?keringatmu begitu deras?" lagi-lagi karyawan tersebut berusaha memancing Lovrin yang terdiam untuk membicarakan harinya.

"Lakukan saja pekerjaanmu, tak usah merisaukanku." hanya kata itu yang terlontar dari Lovrin saat dia berusaha menyampaikan keinginannya.

"Baiklah, aku sudah bersikap ramah padamu, Lovrin." gerutu teman satu profesi Lovrin.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status