Setiap bimbingan yang dilakukan Ayudia bersama Adam terasa seperti medan perang. Setiap harinya Ayu tak pelak harus menelan puluhan artikel dan buku agar ia bisa membantah dan memberikan argumen yang kuat untuk melawan revisi tidak masuk akal dari Adam Mahendra.
Memang, sifatnya sudah jauh lebih baik dibandingkan pertemuan mereka. Adam sudah sedikit lebih jinak. Tidak menerkam seperti singa di padang savanah yang kelaparan. Tapi tetap saja, tidak mudah mendapatkan persetujuan dari seorang Adam Mahendra. Pria itu seolah memiliki standar yang begitu tinggi untuk setiap aspek dalam hidupnya. "Wajar saja kalau dia jadi bujang tua. Kerjanya hanya menyusahkan orang saja." Gerutu Ayudia hari itu. Maya hanya terkekeh melihat sahabatnya yang sejak tadi mengomel. Meskipun mulutnya tak berhenti mengomel, jemarinya tetap dengan cepat menari di atas papan ketik. Otaknya berputar seolah ocehan penuh amarah itu tidak sediktpun mengganggu proses berpikir seorang Ayudia. "Kan aku sudah menawarkanmu untuk mengganti pembimbing, Yu. Kamu saja yang masih kekeuh untuk meneruskan dengan psikopat itu." Ayudia mendengus sebal dan menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi, "Aku kira dia bakalan melunak atau setidaknya jadi sedikit lebih baik, May." "Tapi ternyata?" Ayudia menanggapinya dengan memutar bola matanya jengah, "Ternyata masih sama saja. Ini sudah revisi proposalku yang kelima belas, tapi tanda-tanda untuk ACC juga belum kelihatan." Wajar jika Ayudia merasa kesal. Ia punya hak untuk merasa geram. Karena dalam satu semester, proposal penelitiannya tidak kunjung mendapatkan persetujuan untuk diseminarkan. Sementara teman-temannya satu persatu sudah mulai mendaftar dan bahkan lulus dari tahap pertama tersebut. Dan Ayudia menjadi semakin tertekan karena itu. Ia melanjutkan jenjang magisternya dengan beasiswa. Itu juga berarti ada deadline dan tenggat waktu yang terus menerus mencekiknya. Praktis, Ayudia tidak memiliki waktu untuk bersantai. Lulus tepat waktu. Itu saja yang diharapkannya. "Jadi kamu mau bagaimana, Yu?" Tanya Maya sembari menarik sebuah buku dari tumpukan dan membacanya. Ayudia menaikkan bahunya. Semangat juangnya sudah hampir padam dan cambuk setajam apapun rasanya tidak akan mampu membuatnya bergerak. Otaknya buntu karena dipenuhi amarah dan emosi negatif. "Entahlah, May. Apa sebaiknya aku ganti pembimbing saja ya?" "Mengganti pembimbing juga harus meminta tanda tangan psikopat itu, Yu. Kamu yakin Pak Adam akan membiarkanmu semudah itu?" Ayudia tersenyum lemah, "Setidaknya aku harus mencobanya, bukan? Daripada aku kehilangan beasiswaku?" Keduanya kembali terdiam dan sibuk dengan pikiran masing-masing. Maya tenggelam dalam buku bacaan yang tadi diambilnya, sementara Ayudia memejamkan matanya sejenak. Berusaha mendapatkan istirahat yang tampaknya sangat sulit ia dapatkan selama lima bulan terakhir. Lantunan irama telepon terdengar dan menyentakkan keduanya. Ayudia terburu-buru meraih ponselnya yang terkapar di atas meja dan mengernyitkan dahi begitu membaca nama yang tertera di layar. "Pak Adam? Tumben sekali dia meneleponku?" Seloroh Ayudia tanpa sadar. "Ada apa?" Tanya Maya bingung. Namun sejujurnya, Ayudia pun tengah dilanda kebingungan yang sama. Jangankan menelepon, membalas pesan pun merupakan pemandangan langka bagi seorang Adam Mahendra. Ayudia akan sangat beruntung sekali jika Adam membalas pesannya dalam waktu kurang dari sepuluh jam. Karena biasanya, pesan dari setiap mahasiswa hanya akan dibaca atau bahkan tidak terlihat sama sekali oleh Adam. Dan kali ini ia meneleponnya? Menelepon mahasiswinya? Apa yang terjadi hingga Adam melakukan itu? Apa yang begitu mendesak sehingga mengharuskan Adam untuk menelepon mahasiswinya? "Halo, selamat siang, Pak."sapa Ayudia dengan sopan. "Temui saya di kantor pukul dua siang ini." *** Wajah Adam Mahendra tampak begitu muram di balik tumpukan dokumen di mejanya. Entah apa yang melandanya sehingga suasana hatinya begitu buruk. Dan melihatnya saja membuat Ayudia merasa heran sekaligus jengah. Adam yang sedang badmood adalah mimpi buruk bagi setiap orang. “Silahkan masuk.” Ujarnya singkat. Matanya tetap terpaku pada barisan kalimat yang berderet di setiap lembaran bukunya. Ayudia menarik kursi dan duduk di atasnya dengan gugup. Jemarinya memilin ujung kemejanya tanpa sadar. Pikirannya sibuk menerka apa yang akan Adam katakan kepadanya hingga ia memanggil Ayudia kemari. “Bapak memanggil saya?” ucap Ayudia pada akhirnya. Adam mengangguk dan menutup bukunya. Ia lalu menyenderkan tubuhnya dan menatap Ayudia lurus ke arah mata gadis itu. “Saya butuh bantuanmu.” Hanya tiga kata yang diucapkan oleh Adam. Itupun dengan tanpa emosi sedikitpun. Begitu datar dan dingin layaknya seorang Adam Mahendra. Namun tiga kata itu sukses membuat Ayudia kebingungan. Gadis itu bahkan sampai mengerjapkan matanya beberapa kali karena kesulitan untuk mempercayainya. Seorang Adam Mahendra? Meminta tolong kepada mahasiswanya? Mukjizat apa yang sedang ia saksikan sekarang? “Bantuan apa, Pak?” cetus Ayudia tidak mengerti. Adam memijat keningnya yang berdenyut seolah sebuah masalah besar baru saja menimpanya. “Bisakah kamu menjadi asisten saya?” ucap Adam akhirnya setelah sempat ragu untuk beberapa menit. Di dalam pikirannya, Adam berkali-kali menghitung probabilitas apakah meminta Ayudia menjadi asistennya adalah pilihan yang tepat. Namun pada akhirnya, Adam tetap pada keputusan awalnya untuk menjadikan Ayudia kandidat pertama pengganti Mattheus. “Asisten? Maksud Bapak asisten dosen? Bukannya selama ini Mas Mattheus yang membantu Bapak?” tanya Ayudia langsung. “Mattheus mengundurkan diri. Dia mendapatkan beasiswa ke Australia untuk melanjutkan studi S2nya.” Ayudia mengangguk begitu saja. Namun terlintas sebuah ide jahat di kepalanya ketika ia menyadari bahwa kini posisinya dan Adam tidaklah berjenjang begitu jauh. Dalam kesempatan ini, Adam bahkan lebih membutuhkan bantuannya ketimbang Ayudia. Karena Ayudia paham benar jadwal Adam yang sangat padat dan akan sulit baginya untuk membagi waktu dan menghadiri setiap kelasnya. Karena itu pula Adam sangat membutuhkan seorang asisten untuk membantunya. “Baiklah, Pak. Saya mau menjadi asisten Bapak. Tapi dengan satu syarat.” Tutur Ayudia berani. Adam mendelik. Menaikkan sebelah alisnya dan menatap Ayudia dengan penuh selidik. “Berani sekali, Ayudia. Saya adalah dosen pembimbingmu dan kamu malah mengajukan syarat kepada saya? Kalau kamu tidak bersedia, maka saya akan mencari penggantimu yang lain. Ada banyak yang ingin menggantikan posisimu sekarang.” Ayudia menyilangkan tangannya dengan penuh kemenangan, “Silahkan saja, Pak. Saya berani bertaruh tidak akan ada yang mau mengisi posisi itu.” Adam mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap lurus ke dalam mata Ayudia yang bergolak dalam api keberanian. “Dan apa alasannya? Mana mungkin ada mahasiswa yang ingin menolak kesempatan ini.” Ayudia terkekeh, “Saya bisa memberikan seratus alasan, Pak. Tapi mungkin Bapak cukup mendengar tiga.” Kini Adam yang menyilangkan tangannya, menunggu jawaban dari gadis angkuh di hadapannya itu, “Katakan ketiga alasan itu.” Ayudia mengangkat satu jarinya, “Pertama, hampir semua mahasiswa S2 sudah direkrut sebagai asisten dosen yang lain. Beberapa yang tersisa bisa saya katakan memiliki kemampuan akademis yang tidak begitu baik. Dan saya yakin Bapak tidak akan tahan bekerja dengan orang yang seperti itu.” Satu pukulan telak bagi Adam. Gadis itu mengangkat satu jarinya yang lain, “Kedua, mahasiswa S1 tingkat akhir sudah terlalu sibuk dengan magang dan tugas akhir mereka. Mereka tidak akan sempat membantu Bapak mengajar.” Satu pukulan lainnya bersarang di hati Adam. “Dan terakhir...” cetus Ayudia menghentikan kalimatnya di tengah-tengah, membuat Adam kehilangan kesabarannya. “Apa yang terakhir?!” potong Adam cepat. Sebelum menyelesaikan kalimatnya, Ayudia terkekeh melihat wajah Adam yang tampak begitu kesal. Belum pernah ia melihat Adam Mahendra menunjukkan reaksi yang lebih masif dibandingkan hari ini. “Dan yang terakhir, tidak ada seorang pun yang sanggup bekerja dengan Bapak.”Ayudia tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat ia melihat Sean berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan kaos olahraga tanpa lengan berwarna hitam dan celana training pendek dengan warna yang sama. Sean menyeringai lebar saat ia menyapa Ayudia yang masih tampak terkejut.“Kenapa? Ada yang aneh denganku?” tanya Sean iseng.Ayudia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Hanya saja aku tidak menyangka akan melihatmu sepagi ini disini.”Sean mengernyitkan dahinya dan memandang Ayudia sedikit bingung, “Kenapa? Karena kamu tidak mengira bahwa seorang bule sepertiku bisa bangun pagi?”Gadis itu mengedikkan bahunya dan kembali berlari kecil, “Begitulah.”Sean segera menyamakan langkahnya dan ikut berlari di sisi Ayudia. Perbincangan di antaranya kembali mengalir bagaikan air di sungai yang bersih. Seolah Sean dan Ayudia adalah teman lama dengan sejuta topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Padahal keduanya baru berkenalan selama empat puluh delapan jam!“Jadi? Apakah bosmu marah kepadamu
Ayudia benar-benar tidak menyangka perkataan yang meluncur dari mulut Adam saat keduanya berada di dalam lift tadi. Ia merasa kesal dan marah. Apalagi ketika ia menyadari fakta bahwa Adam mendiskreditkan semua kerja kerasnya hanya karena Adam melihat Ayudia bercengkerama dengan Sean. Seolah semua pekerjaan yang ia lakukan secara sempurna selama sepanjang hari menjadi tidak berarti karena hal remeh itu.“Menyebalkan sekali! Apa yang dipikirkan Adam hingga dia berhak menghinaku seperti itu?!” gerutu Ayudia penuh emosi saat ia berada di dalam kamar hotelnya.“Dia tidak berhak memandangku remeh! Aku sudah bekerja sepanjang hari sebagai asistennya! Memangnya aku salah jika aku mengobrol dengan Sean?!” semburnya lagi seraya menghapus riasannya di depan kaca kamar mandi.Rasa kesal dan amarah seolah membakar dirinya. Ayudia benci dan bahkan tidak sudi untuk melihat sosok Adam Mahendra lagi. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan.Ayudia mengira emosinya akan mereda jika beberapa jam telah b
“Sean?! Apakah kamu benar-benar Sean?” Ayudia bahkan tidak mempercayai matanya sendiri saat melihat pria tampan itu mendekatinya. Ia tidak pernah menyangka, pria bule yang tampak seperti seorang backpacker itu ternyata salah satu peserta konferensi ekonom paling bergengsi ini. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala Ayudia, namun hanya satu yang terucap dari bibirnya.“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Ayudia penasaran.Sean menunjukkan tanda pengenalnya yang bertuliskan ‘Steering Committee’ lengkap dengan fotonya yang tampak begitu formal. Ayudia membelalak menatap pria di hadapannya dengan tidak percaya. “Kamu? Steering Committee konferensi ini?” seru Ayudia dengan antusiasme yang sangat kentara.Sean mengedikkan bahunya, “Begitulah. Kurasa aku harus memperkenalkan nama lengkapku kepadamu?”“Tentu saja! Aku harus tahu Sean yang sebenarnya, bukan?”Keduanya tertawa lalu berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.“Namaku Ayudia Cempaka. Mungkin sulit bagimu untuk
“Kenapa lama sekali?”Adam menatap Ayudia dengan sebal dan bertanya dengan begitu ketus. Membuat Ayudia bergidik ngeri karena sudah memancing emosi Yang Mulia Adam Mahendra. Pria ini bahkan emosinya lebih labil dibandingkan gadis remaja yang tengah puber. Menghadapi Adam Mahendra memang membuat Ayudia pusing setengah mati.Dan mereka baru bersama selama delapan jam!Ayudia menghela nafas pelan. Sepertinya dua minggu ke depan akan menjadi hari yang cukup berat baginya. Berkali-kali Ayudia mencoba menyemangati dirinya sendiri dengan membayangkan gedung Opera House yang ia impikan.Semangat Ayu! Ingat kamu akan pergi ke Opera House! – begitu yang ia tanamkan terus menerus sejak detik ia berada dalam satu pesawat dengan Adam.Tanpa berkata banyak, Adam beranjak dari duduknya dan berjalan mendahului Ayudia. Gadis itu mengamatinya dan mendapati Adam pergi keluar hotel. Dengan cepat Ayudia mengejarnya bagaikan anak itik yang mengikuti induknya.“Kita mau kemana, Pak?”Adam melangkah dengan b
Enam belas jam kemudianm Ayudia dan Adam akhirnya tiba di negeri Kangguru. Negara yang selalu diimpikan Ayudia untuk ia kunjungi. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negara yang katanya dipenuhi binatang berukuran tidak wajar ini.Namun tak peduli betapapun orang-orang mengatakan Australia bukanlah sebuah negara yang menarik, Ayudia tetap saja mengidam-idamkan untuk menjejakkan kakinya disini. Di melting pot yang menjadi tempat perantauan berjuta suku bangsa. Mulai dari Asia, Amerika, bahkan Afrika. Ayudia bahkan selalu menancapkan foto Sydney Opera House di kamarnya dengan harapan ia bisa mengunjunginya. Bahkan jika itu hanya sekali saja.“Bagus sekali ya, Pak!” seru Ayudia antusias saat keduanya sudah melewati gerbang imigrasi.Adam mendengus dan tertawa mengejek, “Jangan norak. Kita baru tiba di bandaranya, Yu. Dan tidak ada yang bagus tentang sebuah bandara.”Ayudia menatap Adam dengan sebal. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, hendak protes kepada pria itu, “B
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke