Keyakinan seratus persen memenuhi hati Ayudia. Kali ini dia yakin benar Adam tidak akan memiliki alasan untuk menolak penelitiannya lagi. Ayudia sudah mempersiapkan berbagai dokumen yang akan menolong setiap argumentasinya. Dan pisau lipat di sakunya, berjaga-jaga jika ia kehabisan kesabaran dan ingin menusuk pria sialan itu.
Ayudia duduk di hadapan Adam dengan senyum penuh kepercayaan diri. Ia menyerahkan map berisi judul penelitian terbarunya dan Adam segera mengambilnya. Pria itu membaca dengan saksama dan hendak berkomentar."Judul kamu terlalu pasaran. Saya tidak menyetujuinya."Senyum kemenangan merekah di bibir Ayudia. Ia lalu mengeluarkan sebundel dokumen dari tasnya dan meletakkannya di hadapan Adam."Sebenarnya, tidak, Pak. Saya sudah melakukan pemeriksaan ulang di semua situs dan melakukan pengecekan plagiarisme. Dan hasilnya nol persen. Judul saya benar-benar otentik dan belum pernah diteliti oleh siapapun." Ujar Ayudia dengan mantap.Adam mengangkat wajahnya dan menatap Ayudia tak percaya. Mata pria itu membulat dan ia harus buru-buru menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya. Selama beberapa saat, Adam sempat terkesima dengan cara bekerja Ayudia yang benar-benar di luar ekspektasinya.Siapa yang mengira seorang mahasiswi akan membawa hasil tes plagiarismenya saat mengajukan judul penelitian? Mungkin Ayudia adalah yang pertama melakukannya. Dan tidak bisa dipungkiri, Adam sedikit takjub dengan hal itu.Melihat reaksi Adam, senyum kemenangan semakin merekah di bibir Ayudia. Ia menyodorkan sebundel dokumen lainnya dan kali ini lebih tebal dari yang sebelumnya."Apa ini?" Tanya Adam berusaha memastikan keraguannya.Tidak mungkin kan gadis ini sudah menyiapkan referensi penelitiannya? Tidak masuk akal sekali menurut Adam. Namun keraguan Adam dijawab tuntas oleh Ayudia."Ini referensi penelitian saya, Pak. Jurnal terbaru, penelitian terdahulu, dan bahkan buku yang diterbitkan dalam waktu lima tahun terakhir."Sekali lagi Adam dipukul mundur oleh kecerdasan Ayudia. Gadis ini memang tidak biasa. Setelah memarahinya di depan orang banyak, sekarang Ayudia berhasil membuat Adam kalah dalam permainannya sendiri.Ayudia benar-benar luar biasa. Tidak, bukan hanya luar biasa. Gadis ini gila!"Jadi bagaimana, Pak? Bapak tidak bisa menolak judul saya lagi sekarang." Tantang Ayudia dengan puas.Adam menghela nafas pelan dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu mengambil penanya dan menandatangani berkas itu dengan enggan."Kamu benar-benar gila, Ayu. Saya tidak mengira kamu akan bertindak sejauh ini hanya karena saya menolak usulan penelitianmu satu kali." Balas Adam.Ayudia terkekeh."Sudah saya katakan, saya akan bersama Bapak sampai selesai, Pak. Dan saya tidak akan menyerah semudah yang Bapak kira."Adam lalu menyerahkan kembali berisi formulir persetujuan judul penelitian. Ayudia membukanya dan membacanya. Lalu seolah sebuah saklar dinyalakan, wajah ambisius yang sepersekian detik tadi terbit di paras gadis itu padam. Berganti dengan senyum ramah yang biasanya ia sunggingkan kepada siapapun."Terimakasih, Pak. Kalau begitu, saya pamit dulu."Dan begitu saja, Ayudia meninggalkan Adam yang begitu terpukau sendirian. Baru pertama kali Adam merasakan ketertarikan begitu hebat pada seorang gadis. Ditambah lagi, gadis itu adalah mahasiswi yang terpaut sepuluh tahun lebih muda darinya. Dana meskipun lebih muda, gadis itu berhasil menunjukkan kecerdasannya yang luar biasa.Adam kehabisan kata-kata. Ia baru saja menemukan sebuah alasan untuk mempertahankan Ayudia di dekatnya. Karena gadis itu istimewa. Karena gadis itu membuat Adam merasakan debaran aneh ini. Dan itu semua dilakukan Ayudia bahkan tanpa ia menyadarinya.***Mungkin bagi orang lain yang melihatnya, Adam tampak seperti pria sempurna berhati dingin yang sangat sulit untuk didekati. Memang benar. Adam lah yang membuat dirinya tampak seperti itu. Ia tidak ingin karier yang ia bangun dengan susah payah, hancur begitu saja karena ia tidak bisa mengendalikan hati dan emosinya. Dan karena itu, Adam memasang pagar yang begitu tinggi di hatinya.Tapi dibalik itu semua, Adam hanyalah seorang pria yang mudah terpesona dengan kecerdasan seorang wanita. Kelemahannya adalah seorang wanita dengan otak brilian dan gairah begitu besar dalam apapun yang dikerjakan. Dan sepertinya Ayudia adalah gadis yang menjadi kelemahannya.Sejak pertemuan itu, Adam dapat merasakan pagar itu perlahan runtuh. Karena setiap kali ia bertemu dengan gadis itu, Ayudia selalu saja berhasil memukaunya lagi dan lagi. Entah dengan kecerdasannya, atau dengan argumennya, dan bahkan dengan tatapannya yang berkilat dengan ambisi.Adam sudah benar-benar gila. Bagaimana mungkin ia bisa terpesona pada mahasiswinya sendiri? Kariernya benar-benar dipertaruhkan, tapi Adam pun tidak bisa menahan dirinya untuk berhenti mengagumi Ayudia. Gadis muda dengan pemikiran yang luar biasa. Dan Adam mendapati dirinya terus menerus ingin menemui Ayudia. Dengan alasan konyol bimbingan tesis tentunya."Pak, saya sudah menyelesaikan revisi proposal penelitian saya. Apakah saya bisa menemui Bapak untuk konsultasi?"Pesan itu masuk ke dalam ponsel Adam. Dari Ayudia. Tanpa sadar bibirnya tertarik dalam sebuah senyuman yang membuat Adam tampak seperti orang bodoh. Dan Adam memang benar-benar menjadi bodoh. Ia bahkan menolak lima mahasiswa lainnya yang seharusnya ia bimbing, agar hanya Ayudia lah yang berada di sisinya. Agar Adam bisa sepenuhnya mencurahkan pikirannya untuk Ayudia."Baiklah, temui saya besok pukul tiga sore di kantor saya."Dengan cepat Adam membalas pesan dari gadis itu. Beberapa detik kemudian, balasan dari Ayudia ia terima."Siap, Pak Adam. Terimakasih."Balasan yang singkat. Bahkan terkesan datar tanpa emosi sedikit pun. Tapi entah kenapa Adam merasakan sesuatu tergelitik di perutnya."Pak Adam"Lucu sekali mendengar Ayudia memanggilnya seperti itu. Panggilan yang sama tapi entah mengapa terdengar begitu berbeda saat gadis itu yang menyebutkannya."Heh! Kamu kenapa tersenyum terus dari tadi?"Suara Robi mengagetkan Adam dari lamunannya tentang Ayudia. Adam terhenyak dan buru-buru memandang rekannya yang sejak tadi duduk di hadapannya. Entah sejak kapan Robi berada di dalam kantornya dan membawa lima buah map itu."Ah, tidak apa-apa. Kamu kenapa masuk tanpa mengetuk pintu dulu, hah?" Balas Adam salah tingkah.Robi berdecak sebal."Aku sudah mengetuk pintu dari tadi, Dam. Lima menit. Sampai tanganku pegal. Tapi kamu tidak menjawab ketukanku. Makanya aku masuk saja dan melihatmu bengong sambil tersenyum sendiri."Gawat! Adam tertangkap basah sedang memikirkan Ayudia seperti orang gila. Ia harus buru-buru berkilah dan mencari alasan agar Robi tidak curiga."Kamu mau apa kesini? Map apa itu?" Tanya Adam sedikit gugup."Aku butuh tandatanganmu untuk konferensi ekonom muda akhir tahun ini. Kamu ikut menjadi salah satu pembicara kan?"Adam mengangguk. Ah, benar. Konferensi itu. Karena terlalu sibuk dengan ketertarikannya pada Ayudia, Adam sampai lupa bahwa ada acara penting yang harus ia hadiri enam bulan lagi. Dan ia bahkan belum menyiapkan materi apapun untuk acara itu. Tidak, Adam tidak akan mempertaruhkan kariernya hanya demi rasa cinta sesaat ini.Fokus, Adam! Jangan pertaruhkan kariermu hanya untuk perasaan cinta yang bodoh!Setiap bimbingan yang dilakukan Ayudia bersama Adam terasa seperti medan perang. Setiap harinya Ayu tak pelak harus menelan puluhan artikel dan buku agar ia bisa membantah dan memberikan argumen yang kuat untuk melawan revisi tidak masuk akal dari Adam Mahendra.Memang, sifatnya sudah jauh lebih baik dibandingkan pertemuan mereka. Adam sudah sedikit lebih jinak. Tidak menerkam seperti singa di padang savanah yang kelaparan.Tapi tetap saja, tidak mudah mendapatkan persetujuan dari seorang Adam Mahendra. Pria itu seolah memiliki standar yang begitu tinggi untuk setiap aspek dalam hidupnya."Wajar saja kalau dia jadi bujang tua. Kerjanya hanya menyusahkan orang saja." Gerutu Ayudia hari itu.Maya hanya terkekeh melihat sahabatnya yang sejak tadi mengomel. Meskipun mulutnya tak berhenti mengomel, jemarinya tetap dengan cepat menari di atas papan ketik. Otaknya berputar seolah ocehan penuh amarah itu tidak sediktpun mengganggu proses berpikir seorang Ayudia."Kan aku sudah menawarkanmu un
Adam melotot mendengar perkataan terakhir Ayudia. Kurang ajar sekali gadis di depannya ini. Apa maksudnya dengan tidak ada seorang pun yang mau bekerja dengannya?Adam yakin benar sifatnya tidak seburuk itu. Ia bukan sosiopat yang tidak berhati nurani dan akan menyiksa siapapun. Bukan pula seorang mesum yang akan menggerayangi asistennya ketika tidak ada saksi mata di sekitar. Kenapa Ayudia dapat menarik kesimpulan konyol seperti itu?“Kamu terlalu memandang tinggi dirimu sendiri, Ayu. Saya akan mencari penggantimu saja. Tawaran tadi saya batalkan.” Putus Adam mantap.Ayudia mengedikkan bahunya, ia yakin bahwa pada babak pertarungan kali ini, ia akan keluar sebagai pemenangnya. “Baiklah, terserah Bapak saja.”“Pergilah. Kamu membuat suasana hati saya menjadi buruk.”Dengan penuh keanggunan, Ayudia menarik kursinya dan berdiri di hadapan Adam Mahendra. Seutas senyum kebanggaan tersungging di bibirnya. Untuk beberapa detik, Adam sempat terkesiap dengan pesona gadis muda itu. Sangat sul
Kali ini Adam Mahendra mengaku kalah. Ia dipukul telak dari permainan yang awalnya ia kira dapat dimenangkan dengan mudah. Dan yang mengalahkannya adalah mahasiswinya sendiri yang berusia sepuluh tahun lebih muda darinya.Mengingat kekalahan itu, membuat Adam merasa sangat malu. Rasanya ia bagaikan mencoreng arang ke wajahnya sendiri. Bisa dikalahkan oleh seseorang yang dianggapnya tidak memiliki level yang sama dengannya telah menciptakan goresan pada harga diri Adam.Namun aneh sekali. Di sudut lain hatinya, kekaguman Adam terhadap sosok Ayudia Cempaka semakin menggebu-gebu. Seolah ia benar-benar terpikat dengan kecerdasan gadis itu. Pesona Ayudia bukan hanya terpancar dari wajah yang seayu namanya, tapi juga otak brilian yang membuatnya tampil bersinar dibandingkan gadis lainnya. Dan Adam semakin tidak bisa menjauhkan dirinya dari kilaunya seorang Ayudia.“Jadi bagaimana? Sudah menemukan pengganti Mattheus?” suara Robi menggelegar saat ia masuk tanpa permisi ke dalam ruangan Adam.
Ayudia sengaja tampil berbeda hari ini. Jika biasanya ia hanya mengenakan celana jeans dan kemeja kasual, kali ini ia sengaja berpenampilan lebih rapi dan memukai. Tak lupa ia memulaskan sedikit riasan pada wajah manisnya. Membuatnya tampak segar dan cerah, namun tidak berlebihan.Ia mematut dirinya di depan cermin. Hari ini Ayudia memakai blus feminim dengan aksen pita di dadanya. Warna merah muda memang sangat cocok untuk kulitnya, membuat Ayudia tampak makin menarik dengan atasan itu. Rok span hitam yang sedikit ketat menjadi padanannya. Menampilkan lekuk tubuh Ayudia yang indah dan kakinya yang jenjang ditopang oleh sepatu hitam bertungkai setinggi lima sentimeter.“Wah, Ayu, kenapa kamu tidak berdandan seperti ini setiap hari?” puji Maya saat ia mengamati Ayudia yang baru selesai bersiap-siap.“Dan mendapatkan teguran dari Bu Ningsih karena pakaianku yang provokatif?” balas Ayudia spontan.Maya tergelak lagi dalam tawanya. Bu Ningsih memang cenderung konservatif. Wanita lima pulu
Melihat Adam yang buru-buru bergerak menjauhinya, sontak membuat Ayudia kaget. Seumur hidupnya, ia tidak pernah bertingkah genit pada pria manapun. Jangankan menggoda pria seperti sekarang, berpacaran saja menjadi kosakata terakhir dalam kamusnya.Dan karena itu pula, Ayudia merasa panik saat Adam beringsut menjauhinya. Ia khawatir dengan tingkahnya yang mungkin membuat Adam tidak suka. Pemikiran lain di dalam benaknya membuat Ayudia berpikir bahwa Adam akan melabelinya sebagai wanita murahan. “Maafkan saya, Pak. Apakah saya mengganggu Bapak?” ucap Ayudia spontan.Dalam sekejap, Ayudia kembali ke asalnya. Ayudia yang kaku dan kikuk jika bersinggungan dengan hal berbau romansa dengan lawan jenis.Perubahan drastis itu membuat Adam sulit mempercayai apa yang baru saja tampak di depan matanya. Kemana gadis yang tadi berusaha menggodanya? Kemana Ayudia yang tadi begitu berani mendekat pada Adam? Kemana Ayudia yang membuat hati Adam merasa tidak nyaman dan waswas?Seolah sosok gadis yang
“Terimakasih untuk makan malamnya, Pak.”Ayudia berucap dengan begitu malu saat ia turun dari mobil Adam dan hendak pulang ke kostnya. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam dan sangatlah tidak pantas bagi seorang mahasiswi untuk berpergian dengan dosennya di waktu selarut ini.Dan kekhawatiran terbit di dalam hati Ayudia. Ia takut satu pertemuan ini akan berakibat buruk padanya. Ia khawatir jika sebuah makan malam dengan Adam Mahendra akan mencoreng seluruh kredibilitas akademisnya. Walaupun Ayudia sadar benar, tidak ada apapun di antara mereka.Ia tidak menyukai Adam sedikit pun. Dan Ayudia yakin dosennya itu juga merasakan hal yang sama. Mereka saling membenci, bahkan pernah bersumpah untuk menghancurkan satu sama lain.Tetapi apa yang orang lain tahu? Jika mereka melihat Adam dan Ayudia makan berdua di kafe yang begitu romantis, bahkan orang bodoh sekalipun akan berasumsi bahwa keduanya adalah sepasang kekasih. Dan pemikiran itu membuat Ayudia merasa kalut.Apa yang akan dipi
Ayudia buru-buru menggelengkan kepalanya. Menolak pertanyaan yang malah terkesan pernyataan dari Maya.“Tidak, May! Aku tidak berkencan dengan Pak Adam! Kami hanya makan malam saja! Itu saja, tidak ada yang lebih dari itu!” cetus Ayudia mengklarifikasi kesalahpahaman yang tampak jelas di wajah Maya.“Tapi tetap saja, Yu! Makan malam berdua itu sama saja dengan kencan, entah bagaimana kamu menganggapnya. Kalian makan di kafe?” selidik Maya terus terang.“Iya.”“Tempatnya romantis?”“Iya.”“Ada live music disana?”“Iya.”Mendengar tiga kali ‘iya’ dari mulut Ayudia, sontak membuat Maya bergemuruh heboh. Ia menepukkan tangannya sembari tertawa puas. Seolah prediksi yang selama ini dipendam di hatinya berubah menjadi kenyataan.“Berarti itu kencan, Ayu!” selorohnya tanpa peduli wajah Ayudia yang sudah memerah bagaikan tomat.Tawa kembali menggelegak dari Maya. Setelah ia puas terpingkal karena reaksi Ayudia, Maya menyeka sedikit air mata yang menitik di sudut matanya.“Siapa yang memiliki
Layaknya seseorang yang tidak pernah memikirkan cinta, ajakan Adam bukannya membuat Ayudia terkesima tapi malah menakutkan baginya. Ia panik. Bingung harus memberikan jawaban apa atas pesan itu.Dilema memenuhi kepalanya. Berbagai pertanyaan yang bahkan ia tidak bisa menjawabnya.Haruskah ia menerimanya? Tapi bagaimana jika ada yang melihat mereka makan malam berdua? Pemandangan itu pasti akan menjadi gosip hangat yang menyebar bagaikan wabah flu burung di kampus.Atau mungkin lebih baik jika Ayudia menolaknya? Tapi bagaimana jika penolakan itu akan melukai hati Adam? Bagaimana jika kekecewaan malah akan membuat Adam semakin mempersulitnya untuk lulus?Ayudia begitu tenggelam dalam pertanyaan-pertanyaan itu hingga ia tidak menyadari tepukan pelan di pundaknya. Ia terkesiap ketika mendapati sosok yang paling dihindarinya sekarang malah berdiri di hadapannya.“Pak Adam?” seru Ayudia dengan suara tertahan sambil menatap sekelillingnya.Rupanya Ayudia sangat teralih dengan pikirannya send
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke
Tiga hari sudah berselang sejak kembalinya Ayudia ke Bandung. Dan selama tiga hari itu pula, ponselnya tak pernah berhenti berdering bagaikan seorang debitur yang dikejar debt collector. Siapa lagi kalau bukan para tetua di keluarganya yang meminta Ayudia untuk mempertimbangkan lagi keputusannya.Ibunya.Budenya.Dan bahkan kakak kedua dari ibunya, Pakde Warto yang selama ini tidak pernah ambil pusing dengan urusan pribadi keponakannya.Heran sekali, apa yang mendesak orang-orang tua ini hingga mereka begitu memaksa Ayudia untuk menerima perjodohan itu?Ayudia memang sudah melihat foto calon suaminya. Pria itu tampan dengan kulit hitam manis dan tubuh yang tidak terlalu tinggi. Kalau Ayudia bisa memberikan nilai, maka ia akan memberikan nilai delapan untuk penampilan Tomo.Tapi Ayudia tidak pernah mengenalnya. Bagaimana mungkin Ayudia bisa menikah dengannya? Bahkan pria itu tidak pernah muncul sekalipun di hadapannya seolah yang bersangkutan juga sama tidak tertariknya dengan perjodoh
Cerita yang dituturkan Ayudia memang terdengar tidak masuk akal. Namun bukan sepenuhnya mustahil untuk terjadi. Karena Adam sendiripun pernah mengalaminya sebanyak tiga kali.Ibu Adam adalah wanita Jawa yang begitu konservatif dan menjunjung nilai tradisional dalam hidupnya. Tentu saja melihat puteranya yang tampan dan mapan tidak kunjung menikah di pertengahan tiga puluh membuatnya khawatir. Bagi ibunya, Adam adalah sosok sempurna yang tidak mungkin kesulitan menemukan isteri dimanapun.Bagaimana tidak? Puteranya tampan, memiliki tubuh yang atletis dan proporsional, karier yang gemilang, dan finansial yang sangat mapan. Tidak ada alasan yang membuat Adam belum menemukan calon isterinya hingga di usia sekarang.Sehingga tidak mengherankan jika ibu Adam sudah mencoba menjodohkannya dengan wanita pilihan ibunya. Tidak tanggung-tanggung, bahkan sudah tiga kali Adam terjebak dalam situasi itu.Namun Adam terus saja menolak ketiganya dengan alasan yang sama.“Saya tidak menyukai mereka, Bu
Perjodohan?Ungkapan yang benar-benar konyol apalagi di zaman modern seperti ini. Khususnya bagi Ayudia yang bahkan tidak pernah memikirkan tentang percintaan apalagi pernikahan. Namun Ayudia tidak pernah mengira jika ternyata ia akan menjadi salah satu wanita yang terikat dalam situasi seperti itu.Situasi perjodohan dimana ia akan dinikahkan dengan pria yang tidak dicintainya.Malam itu adalah malam ketiga sejak Ayudia menggantungkan pertanyaan yang diberikan Adam kepadanya. Dan ia sudah menimbang-nimbang selama berhari-hari meskipun hingga detik terakhir belum juga mampu memutuskan jawabannya.Lalu sesaat sebelum ia hendak terlelap tidur, ponselnya berdering bagaikan lonceng yang membangunkannya secara tiba-tiba. Ayudia mengernyitkan dahinya saat ia melihat nama yang tertera di layar ponselnya.“Bude? Tumben sekali Bude menelepon.” Gumam Ayudia saat menyadari panggilan dari siapa yang tengah masuk ke dalam ponselnya.Ia dengan cepat menjawab panggilan itu dan Ayudia begitu bingung
Kesalahan pertama Adam adalah membiarkan tubuhnya bergerak lebih dulu dibandingkan pikirannya. Sesuatu yang tidak pernah ia lakukan hampir selama hidupnya. Namun ketika ia mendengar kata Ayudia kembali ke kampung halamannya, seketika Adam kehilangan kemampuannya untuk berpikir jernih. Hatinya merasa gelisah dan ia yakin kegelisahan itu tidak akan hilang sebelum Adam bertemu dengan sosok gadis yang dicarinya.Kesalahan kedua Adam adalah pergi begitu saja ke kota kelahiran Ayudia, tanpa mengetahui dimana kediaman gadis itu berada. Demi Tuhan, dimana Adam akan mencari seorang gadis di sebuah kota yang bahkan baru pertama kali ia datangi?Entah sudah berapa kali ia mengutuki kebodohannya selama satu jam terakhir. Karena selama satu jam terakhir pula, yang Adam lakukan adalah berkeliling ke seluruh penjuru kota untuk mencari Ayudia.Bahkan kota Magelang bukanlah sebuah kota yang besar. Luasnya hanya kurang lebih sembilan belas kilometer!Tapi mengapa sangat sulit bagi Adam untuk menemukan
Adam begitu tidak sabar menanti tiga hari itu datang. Setiap pagi ia akan menghitung sisa waktu yang ia berikan kepada Ayudia sebelum memulai harinya. Di dalam hatinya, Adam sangat ingin mendesak gadis itu untuk segera memberikan jawaban atas pertanyaannya. Namun Adam bisa apa selain menunggu?Berkat kesabarannya, tiga hari akhirnya terlewati meskipun setiap malamnya terasa begitu menyiksa Adam. Di hari keempat, sesuai dengan yang diperjanjikan oleh Ayudia, Adam menyongsong harinya dengan senyum secerah matahari.Ia tidak sabar lagi untuk menjemput jawaban yang keluar dari bibir gadis yang begitu ia sukai.Sayangnya, penantian Adam tidak berbuah manis. Berbanding terbalik dari kesabarannya selama tiga hari belakangan. Di hari keempat, tak peduli meskipun Adam sudah menunggu hingga sore hari, Ayudia tak juga menampakkan batang hidungnya.Ayudia bahkan tidak terlihat dimanapun hari itu. Tidak di selasar kampus, tidak di ruang kelas, bahkan tidak juga di kantin. Kekecewaan menghantam ha
Usai makan malam, lantunan musik dari pemain saxophone yang ada di sudut kabin terdengar semakin mendayu. Menggoda Adam untuk mengajak Ayudia berdansa meskipun gadis itu mati-matian menolaknya.“Ayo kita berdansa, Yu.” Ajak Adam mengulurkan tangannya kepada Ayudia.Ayudia mendelik dan menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Tangannya mencengkeram bangku yang ia duduki seolah menolak dengan keras ajakan Adam untuk melantai.“Tidak! Saya tidak mau, Pak. Saya tidak bisa berdansa.” Protes Ayudia tidak setuju.Namun Adam bukanlah pria yang bisa ditolak. Ia selalu punya cara untuk mewujudkan keinginannya. Entah itu dengan kata-kata manis atau bujukan penuh keyakinan. Dan Ayudia pun akhirnya luluh dengan bujukan itu.“Saya akan mengajarimu, tenang saja. Tidak perlu merasa malu. Lagipula tidak ada siapapun disini, hmm?”Ayudia menghela nafas pelan dan mengangguk lemah. Ia bisa apa? Adam sudah mengajaknya makan di tempat yang begitu indah seperti ini. Rasanya menolak ajakan dansa dari dosennya itu
Adam seolah tidak ingin menyia-nyiakan waktunya bahkan sedetik pun. Seperti janjinya, tepat pukul tujuh malam ia tiba di depan rumah kost Ayudia. Lengkap dengan pakaian super rapi dan wangi serta mobilnya yang sudah dipoles hingga mengkilap.Adam tidak ingin satu kesalahan kecil merusak kencan pertamanya dengan Ayudia malam ini. Karena itu berkali-kali ia memeriksa semuanya sebelum berangkat untuk menjemput gadis kecintaannya.Dan sungguh, Adam sama sekali tidak menyesalinya. Terlebih lagi ketika ia melihat sosok Ayudia yang tampak begitu mempesona tengah berdiri di hadapannya. Gadis itu tersenyum tipis dengan wajah yang tersipu malu. Ayudia mengenakan dress selutut berwarna merah maroon dengan model kerah sabrina berbahu terbuka. Pakaian itu membungkus tubuh ramping Ayudia dengan begitu sempurna, memperlihatkan pundaknya yang simetris bagaikan model, dan kakinya yang jenjang dan menggoda.Ditambah lagi wajah cantiknya yang dipulas dengan riasan. Tidak terlalu mencolok tapi sangat pas
Sekembalinya di kost, Ayudia benar-benar menyesali keputusannya telah menerima ajakan Adam untuk berkencan. Entah apa yang ia pikirkan tadi sehingga ia mau menyetujuinya.Mungkin karena suasana di antara mereka yang terasa begitu intens.Mungkin juga karena rasionalitas Ayudia yang selalu tumpul jika bersama Adam.Atau mungkin karena Ayudia sudah terpikat pada tatapan dua mata indah itu.Ayudia tidak bisa memahami kegamangan yang ada di dalam dirinya sendiri. Sesuatu yang sangat jarang terjadi kepadanya. Selama ini Ayudia selalu mengerti apa yang ia inginkan dan apa yang ia rasakan. Namun kini semuanya tampak begitu samar.Bagaikan tulisan tinta yang terhapus air hujan. Bagaikan pepohonan yang bersembunyi di balik kabut. Dan bagaikan kaca yang dilapisi oleh embun.Semuanya buram. Semuanya tidak jelas. Dan Ayudia merasa tidak cukup pintar untuk menerjemahkan perasaannya sendiri.“Haruskah aku menelepon dan meminta saran Maya?”Ayudia baru hendak menelepon sahabatnya, namun sekejap kemu