"Gila, kamu gila sekali, Ayu!"
Maya bertepuk tangan heboh saat melihat sahabatnya yang duduk termenung di kantin kampus. Gosipnya sudah menyebar luas ke seantero fakultas. Adam Mahendra baru saja dilabrak oleh seorang mahasiswi. Dan mahasiswi itu tidak lain dan tidak bukan adalah Ayudia."Iya, sepertinya aku memang sudah gila, May." Ujar Ayudia dengan tatapan kosong ke depan."Loh? Kenapa? Kok kamu seperti tidak senang? Kamu baru saja jadi mahasiswa paling terkenal di kampus, Yu!" Seru Maya heboh.Ayudia meletakkan gelas yang ia pegang sejak tadi dengan heboh. Ia lalu menatap Maya dengan mendelik."May! Aku baru saja melabrak Pak Adam, May! Pembimbingku! Aduh, bisa mati aku! Lagipula kenapa aku bisa sampai kesetanan seperti itu tadi?!" Keluh Ayudia dengan kepanikannya sendiri.Gadis itu meracau dalam rasa khawatir. Sepersekian detik setelah Adam menandatangani dokumen tersebut dan meninggalkannya, Ayudia baru menyadari kesalahan apa yang ia perbuat. Ia baru saja dengan gilanya memarahi seorang Adam Mahendra.Dan itu dilakukannya di depan belasan pasang mata.Mengingat kejadian itu lagi membuat Ayudia meringis ngeri. Ia bahkan tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi pada hidupnya. Adam pasti tidak akan diam saja dan membiarkan dirinya hidup tenang."Astaga, bagaimana kalau Pak Adam marah kepadaku, May? Bisa kacau tesisku!" Ucap Ayudia lagi tidak kunjung tenang.Maya menyeruput kopi gula aren miliknya dan tertawa lagi. Ia tidak habis pikir dengan sahabatnya ini. Bagaimana mungkin Ayudia bisa terpikir untuk menyembur Adam dengan kemarahannya? Sesuatu yang bahkan tidak akan dilakukan oleh rekan kerja pria itu."Kamu juga, Yu! Kenapa kamu bisa terpikir seperti itu?" Balas Maya bingung.Ayudia menggeleng. Sejujurnya ia juga tak mengerti dengan dirinya. Saat itu hanya ada emosi memuncak pada seorang Adam Mahendra yang ada di kepala Ayudia. Mungkin karena akhir-akhir ini pekerjaannya memberikan begitu banyak tekanan kepadanya. Atau mungkin karena alasan sederhana bahwa Ayudia membenci Adam Mahendra.Entahlah.Yang jelas sekarang hanya ada penyesalan yang mengakar di hati Ayudia. Dan rasa takut akan ketidak pastian saat nanti ia bertemu Adam dalam konsultasi selanjutnya."Wih! Kamu keren sekali, Yu!" Suara seorang pria dari belakang Ayudia.Ayudia menoleh dan menatap tajam ke arah pria itu."Diam, Yoga. Aku sedang pusing!" Balas Ayudia ketus.Pria itu tertawa puas melihat Ayudia yang tampak runyam seperti benang kusut. Sementara Ayudia tenggelam dalam penyesalan luar biasa atas tingkah gegabahnya lima jam lalu.***TOK! TOK! TOK!Suara ketukan terdengar di pintu kantor Adam. Ia mempersilahkan sang tamu masuk tanpa berpikir dua kali. Sejak tadi pikirannya hanya tentang Ayudia dan tingkah kurang ajarnya. Bagaimana mungkin seorang mahasiswa berani membentak Adam? Ini pertama kali baginya dan mengingatnya lagi membuat darah Adam terasa mendidih.Pintu kantornya terbuka dan sebuah wajah menyembul dari sela pintu. Seorang pria yang tampaknya seumuran dengan Adam. Robi Prakoso, dosen muda yang mengampu mata kuliah pemasaran di Fakultas Ekonomi Universitas Bhinneka. Dan sekaligus satu-satunya rekan kerja yang berani mendekati Adam dalam jarak kurang dari satu meter."Bagaimana rasanya dimarahi pagi-pagi?" Goda Robi begitu masuk di kantor Adam.Adam melotot dan mendengus sebal ke arah lawan bicaranya. Ia sudah cukup kesal dengan ocehan Ayudia pagi tadi. Dan sekarang ia harus mendengar ledekan dari rekannya ini? Oh, tolonglah."Aku sedang tidak ingin bercanda, Robi. Kalau tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, pergilah." Balas Adam sebal.Robi tertawa lebar dan menarik kursi di hadapan Adam. Ia lalu duduk disana sembari menyilangkan kakinya dan kedua tangannya di depan dada."Jadi siapa dia?" Tanya Robi sembari menyeringai lebar."Siapa apanya?""Siapa gadis yang berani memarahi Yang Mulia Adam Mahendra?"Adam berdecak kesal dan menatap tajam ke arah Robi. Seolah berusaha mengancam temannya itu. Namun Robi tidak peduli dan melanjutkan ledekannya tanpa henti. Jarang sekali ia mendapatkan kesempatan untuk meledek Adam. Dan ia tidak akan membiarkan kesempatan emas ini lewat begitu saja."Hentikan, Robi. Sebelum aku mengusirmu dari sini." Ancam Adam lagi."Siapa namamya? Kalau tidak salah, Ayudia, huh? Mahasiswi magister yang berkacamata itu kan?"Adam memutar bola matanya dengan jengah. Robi kembali melanjutkan ledekannya."Wah, hebat sekali, Ayudia. Bukan hanya otaknya yang cerdas, ternyata mulutnya juga tajam dan mampu memukul mundur Adam Mahendra!" Seru Robi seraya bertepuk tangan heboh.Semakin lama Robi berada di ruangannya, Adam semakin merasa kesabarannya menipis. Ingin sekali ia mengusir pria di hadapannya ini. Namun Adam sangat mengenal Robi. Temannya ini tidak akan menyerah sampai Adam menampakkan satu di antara dua reaksi.Meledak marah atau diam tanpa emosi.Dan Adam akan melakukan yang kedua. Ia akan mencoba menahan amarahnya dan menampilkan wajah datar. Pasti Robi akan merasa bosan dan meninggalkan ruangannya."Lagipula, kamu itu sudah kelewatan, Dam. Kamu tahu kan, dia berkuliah dengan beasiswa. Wajar kalau dia selalu mengejarmu agar tesisnya cepat selesai." Sambung Robi."Beasiswa?" Adam sedikit tertarik mendengar topik tersebut. Karena jarang sekali ia menemukan seorang mahasiswi yang berkuliah di kampusnya dengan beasiswa. Rata-rata pasti menggunakan uang pribadi atau beasiswa kedua orangtua mereka.Mungkin Ayudia hanyalah segelintir di antara mereka. Dan itu berarti rumornya benar. Ayudia memang memiliki otak yang luar biasa cerdas.Robi mengangguk."Beasiswa apa?" Tanya Adam lagi."Sama sepertimu. Young Economic Leader Scholarship."Adam mengangguk-angguk sembari mendengarkannya dengan saksama. Oke, satu poin lagi yang membuat Ayudia semakin menarik bagi Adam. Selain sifatnya yang menyebalkan, ternyata gadis ini memiliki otak yang begitu cemerlang. Buktinya, Ayudia berhasil mendapatkan beasiswa yang terkenal sangat sulit itu.Tanpa disadari, Adam tersenyum puas mendengar fakta baru itu."Kamu kenapa tersenyum? Suka dengan Ayu?" Tanya Robi bingung.Adam tersadar dan buru-buru menggeleng cepat."Bukan! Mana mungkin aku menyukai gadis menyebalkan itu!"Dan benar, Adam tersenyum bukan karena hatinya yang tertarik pada Ayudia. Ia tersenyum karena otaknya baru saja merencanakan balas dendam luar biasa kepada Ayudia. Adam akan membuat perjalanan tesis gadis itu menjadi begitu berliku.Sangat berliku hingga ia akan menyerah dan mengganti pembimbingnya. Karena bagaimanapun juga, Ayudia harus lulus tepat waktu agar beasiswa itu tidak melayang dari tangannya. Dan Adam akan mendapatkan lagi ketenangan hidupnya. Jauh dari gadis bernama Ayudia Cempaka.Ayudia tidak dapat menyembunyikan rasa kagetnya saat ia melihat Sean berdiri di hadapannya. Pria itu mengenakan kaos olahraga tanpa lengan berwarna hitam dan celana training pendek dengan warna yang sama. Sean menyeringai lebar saat ia menyapa Ayudia yang masih tampak terkejut.“Kenapa? Ada yang aneh denganku?” tanya Sean iseng.Ayudia menggelengkan kepalanya, “Tidak. Hanya saja aku tidak menyangka akan melihatmu sepagi ini disini.”Sean mengernyitkan dahinya dan memandang Ayudia sedikit bingung, “Kenapa? Karena kamu tidak mengira bahwa seorang bule sepertiku bisa bangun pagi?”Gadis itu mengedikkan bahunya dan kembali berlari kecil, “Begitulah.”Sean segera menyamakan langkahnya dan ikut berlari di sisi Ayudia. Perbincangan di antaranya kembali mengalir bagaikan air di sungai yang bersih. Seolah Sean dan Ayudia adalah teman lama dengan sejuta topik pembicaraan yang tidak ada habisnya. Padahal keduanya baru berkenalan selama empat puluh delapan jam!“Jadi? Apakah bosmu marah kepadamu
Ayudia benar-benar tidak menyangka perkataan yang meluncur dari mulut Adam saat keduanya berada di dalam lift tadi. Ia merasa kesal dan marah. Apalagi ketika ia menyadari fakta bahwa Adam mendiskreditkan semua kerja kerasnya hanya karena Adam melihat Ayudia bercengkerama dengan Sean. Seolah semua pekerjaan yang ia lakukan secara sempurna selama sepanjang hari menjadi tidak berarti karena hal remeh itu.“Menyebalkan sekali! Apa yang dipikirkan Adam hingga dia berhak menghinaku seperti itu?!” gerutu Ayudia penuh emosi saat ia berada di dalam kamar hotelnya.“Dia tidak berhak memandangku remeh! Aku sudah bekerja sepanjang hari sebagai asistennya! Memangnya aku salah jika aku mengobrol dengan Sean?!” semburnya lagi seraya menghapus riasannya di depan kaca kamar mandi.Rasa kesal dan amarah seolah membakar dirinya. Ayudia benci dan bahkan tidak sudi untuk melihat sosok Adam Mahendra lagi. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan.Ayudia mengira emosinya akan mereda jika beberapa jam telah b
“Sean?! Apakah kamu benar-benar Sean?” Ayudia bahkan tidak mempercayai matanya sendiri saat melihat pria tampan itu mendekatinya. Ia tidak pernah menyangka, pria bule yang tampak seperti seorang backpacker itu ternyata salah satu peserta konferensi ekonom paling bergengsi ini. Begitu banyak pertanyaan yang berkelebat di kepala Ayudia, namun hanya satu yang terucap dari bibirnya.“Apa yang kamu lakukan disini?” tanya Ayudia penasaran.Sean menunjukkan tanda pengenalnya yang bertuliskan ‘Steering Committee’ lengkap dengan fotonya yang tampak begitu formal. Ayudia membelalak menatap pria di hadapannya dengan tidak percaya. “Kamu? Steering Committee konferensi ini?” seru Ayudia dengan antusiasme yang sangat kentara.Sean mengedikkan bahunya, “Begitulah. Kurasa aku harus memperkenalkan nama lengkapku kepadamu?”“Tentu saja! Aku harus tahu Sean yang sebenarnya, bukan?”Keduanya tertawa lalu berjabat tangan dan saling memperkenalkan diri.“Namaku Ayudia Cempaka. Mungkin sulit bagimu untuk
“Kenapa lama sekali?”Adam menatap Ayudia dengan sebal dan bertanya dengan begitu ketus. Membuat Ayudia bergidik ngeri karena sudah memancing emosi Yang Mulia Adam Mahendra. Pria ini bahkan emosinya lebih labil dibandingkan gadis remaja yang tengah puber. Menghadapi Adam Mahendra memang membuat Ayudia pusing setengah mati.Dan mereka baru bersama selama delapan jam!Ayudia menghela nafas pelan. Sepertinya dua minggu ke depan akan menjadi hari yang cukup berat baginya. Berkali-kali Ayudia mencoba menyemangati dirinya sendiri dengan membayangkan gedung Opera House yang ia impikan.Semangat Ayu! Ingat kamu akan pergi ke Opera House! – begitu yang ia tanamkan terus menerus sejak detik ia berada dalam satu pesawat dengan Adam.Tanpa berkata banyak, Adam beranjak dari duduknya dan berjalan mendahului Ayudia. Gadis itu mengamatinya dan mendapati Adam pergi keluar hotel. Dengan cepat Ayudia mengejarnya bagaikan anak itik yang mengikuti induknya.“Kita mau kemana, Pak?”Adam melangkah dengan b
Enam belas jam kemudianm Ayudia dan Adam akhirnya tiba di negeri Kangguru. Negara yang selalu diimpikan Ayudia untuk ia kunjungi. Akhirnya ia mendapatkan kesempatan untuk pergi ke negara yang katanya dipenuhi binatang berukuran tidak wajar ini.Namun tak peduli betapapun orang-orang mengatakan Australia bukanlah sebuah negara yang menarik, Ayudia tetap saja mengidam-idamkan untuk menjejakkan kakinya disini. Di melting pot yang menjadi tempat perantauan berjuta suku bangsa. Mulai dari Asia, Amerika, bahkan Afrika. Ayudia bahkan selalu menancapkan foto Sydney Opera House di kamarnya dengan harapan ia bisa mengunjunginya. Bahkan jika itu hanya sekali saja.“Bagus sekali ya, Pak!” seru Ayudia antusias saat keduanya sudah melewati gerbang imigrasi.Adam mendengus dan tertawa mengejek, “Jangan norak. Kita baru tiba di bandaranya, Yu. Dan tidak ada yang bagus tentang sebuah bandara.”Ayudia menatap Adam dengan sebal. Ia menyilangkan tangannya di depan dada, hendak protes kepada pria itu, “B
Ayudia sebenarnya ragu dengan tawaran yang diberikan Adam.Bukan. Bukan karena ia tidak menghargainya. Hanya saja pergi ke konferensi bergengsi hanya sebagai asisten Adam bukanlah sesuatu yang ia inginkan. Ayudia sangat ingin pergi dan menampilkan pemikirannya sendiri. Menunjukkan kemampuannya pada deretan orang jenius di luar sana.Bukannya menjadi asisten Adam dan mengekor di belakangnya sepanjang hari. Alih-alih menelurkan pemikiran emas, yang akan dilakukan Ayudia hanyalah mencatat setiap kata-kata dan diskusi yang dicetuskan Adam. Lalu memindahkannya ke dalam laporan yang akan disetorkan sebagai laporan pertanggung jawaban.Namun sisi lain otaknya terus mendorongnya untuk menerima tawaran itu.Kapan lagi kamu bisa ke Sydney gratis? Dan konferensi ini akan memberimu kesempatan untuk menjalin relasi dengan orang-orang hebat itu, Yu! – pikirnya demikian.Kebimbangan yang memenuhi kepalanya membuat Ayudia terus menimbang-nimbang. Sepanjang sore yang ia lakukan hanyalah memikirkan ke