Luke sadar bila semua mata di dalam kafe kini tertuju pada mereka. Suasana mendadak hening, penuh bisik-bisik tak jelas. Dengan rahang mengeras, ia langsung menarik paksa lengan Brian dan menyeretnya keluar.Mariana hanya bisa memandang dengan cemas. Ia menggigit bibir, bimbang apakah harus ikut campur atau tidak. “Siapa sebenarnya pria itu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Begitu berada di luar, Brian sontak menarik dirinya dari genggaman Luke dengan kasar. Tatapannya menusuk.“Apa kau pikir aku ini sampah yang bisa seenaknya kau tarik begitu saja?!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi. “Apa kau tidak punya sopan santun? Siapa kau sebenarnya? dan apa hubungan kau dengan Isabella?”Luke menatapnya tajam, dadanya naik turun. “Aku suaminya Isabella,” jawabnya tanpa ragu.Mata Brian terbelalak, jantungnya serasa berhenti berdetak namun sekian detik kemudian ia menggelengkan kepalanya.“Kau pikir aku bisa percaya begitu saja? Kalau memang benar, kenapa selama ini kau tidak pe
Luke tidak bisa tidur sepanjang malam, ia menunggu fajar datang. Hatinya gelisah takut rencana keberangkatannya akan diketahui Papanya.Setelah jam menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Luke keluar dari kamar sambil menenteng tas jinjing pria hitam, melangkah mengendap-endap dengan tatapan tajam mengawasi sekitar.Ia berhasil sampai ke lift tanpa ada yang tahu, hendak menuju lantai dasar.Setibanya di lantai dasar, ia dapat melihat beberapa pelayan yang sedang mondar-mandir melakukan tugasnya."Selamat pagi, tuan Luke!" Seorang pelayan wanita menyapanya."Pagi.""Tuan, mau ke mana pagi-pagi begini?""Saya ada urusan penting," jawabnya kemudian melirik ke sekitarnya sebelum bergerak mendekat, membisikkan sesuatu pada pelayan tersebut. "Kalau nanti Papa saya nanya, bilang saja saya pergi ke Roma untuk perjalanan bisnis. Saya belum sempat memberitahunya."Pelayan itu mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan." Setelah dirasa aman, Luke berjalan cepat keluar dari ru
"Bella, ini pesanan untuk meja nomor 9.""Ok." Bella menerima pesanan yang sudah dibuat oleh Brian lalu mengantarkannya ke meja yang dituju. Isabella masih sibuk melayani pelanggan siang ini. Ia bolak-balik ke meja bar dan ke meja pelanggan untuk mencatat dan mengantarkan pesanan pelanggan. Walaupun lelah tetapi ia senang bisa melakukan sesuatu yang baru di hidupnya, lagipula dia juga mulai terbiasa setelah 2 bulan di sana.Beberapa saat kemudian, jam telah menunjukkan pukul 4 sore, sudah saatnya untuk ganti shift. Isabella melepas apron coklat yang menempel di tubuhnya lalu menggantungnya dan bersiap untuk pulang. Jam kerjanya sudah habis hari ini."Bella, kau pulang denganku 'kan?" tegur Brian yang sedang membereskan meja kerjanya. Brian mulai terbiasa memanggil Isabella dengan nama panggilan kesukaannya Isabella itu."Iya."Setelah membereskan barang-barang bawaannya, Brian keluar bersama Isabella. Brian sengaja membukakan pintu mobil untuk Isabella. Mereka saling melempar senyum s
"Kau memecat Sunny?" tanya Bill, menatap ke arah putranya yang duduk di sofa sebelahnya dengan tatapan tak percaya. Baru sehari menjadi bos tapi dia sudah berani memecat karyawan. Mereka sedang berada di ruangan pribadi Bill, duduk di sofa kulit maroon dalam ruangan Bill.Luke mengangguk tanpa takut. "Aku tidak suka dengan dia. Dia berani menggodaku.""Dia menggoda kau? tak biasanya dia seperti itu.""Aku tidak peduli, yang penting sekarang aku butuh sekretaris baru dan aku maunya laki-laki. Cerdas, pekerja keras, profesional dan bisa dipercaya," kata Luke tegas seolah perkataannya tidak bisa diganggu gugat.Bill terdiam beberapa saat, jari-jarinya mengetuk pelan lengan sofa yang terbuat dari kayu. Tatapannya tajam, seolah sedang menimbang sesuatu. “Luke, kau harus ingat. Setiap keputusan yang kau buat, sekecil apa pun itu, akan jadi bahan pembicaraan di perusahaan. Orang-orang akan menilai kau gegabah kalau kau memecat Sunny tanpa alasan jelas. Apalagi hari ini hari pertama kau di pe
Tubuh Luke lemas, ia nyaris pingsan. Tidak bisa menerima kabar duka yang begitu tiba-tiba. Akhirnya, ia memilih untuk pulang.Setibanya di rumah, ia langsung masuk kamar dan mengunci diri sampai malam tiba, ia tak kunjung keluar hingga membuat Bill curiga.Bill hanya makan seorang diri malam ini. Di meja makan besar nan mewah, ia menatap kursi kosong di sisinya."Hei, Luke di mana?" tanya Bill pada seorang pelayan yang sedang menuangkan air ke gelas Bill."Saya tidak tahu, Don.""Coba cek ke kamarnya, suruh dia makan malam. Katakan saya sudah menunggunya di sini.""Baik, Don."Beberapa saat kemudian, pelayan tersebut kembali. "Maaf, Don. Tuan Luke tidak merespon dan pintu kamarnya dikunci."Bill mendengarkan, mulutnya mengunyah namun manik matanya bergerak pelan. "Ya sudah, kau boleh pergi," kata Bill tanpa menatap ke pelayan.'Kenapa lagi anak itu?' pikir Bill seraya menusuk steak daging sapi dengan garpu sambil menatap ke depan dengan tatapan tajam.***Keesokan paginya, Luke keluar
"Aku juga sedang memikirkan hal yang sama, tapi aku nggak yakin dia bisa dipercaya.""Betul, Don. Tapi, untuk saat ini sebaiknya kita jangan gegabah dulu. Pindahkan senjata yang tersisa ke lokasi baru sambil pantau pergerakan mereka. Jika mereka menyerang kembali, baru kita bertindak.""Kau benar." Alex meluruskan tubuhnya, tegap, matanya menatap lurus ke depan tajam seperti belati.Setelah mengobrol dengan penasihat hukumnya, ia memerintahkan Anton dan yang lainnya untuk berkumpul di ruang privasi.Beberapa menit kemudian, ruang privasi itu sudah terisi penuh. Anton berdiri di sisi pintu, memastikan tak ada satu pun orang luar yang bisa mendengar pembicaraan di dalam.Alex duduk di kursi utama, tangannya bertaut di atas meja panjang berlapis kaca hitam. Suara dentingan jam dinding menjadi satu-satunya bunyi.“Kita nggak punya banyak waktu,” ucap Alex tegas. “Sisa senjata yang ada di gudang lama harus dipindahkan malam ini. Lokasi barunya—” ia menekan tombol di remote kecil, menampilk