Hampir pukul 2 pagi, mata Isabella tak kunjung bisa terpejam. Ia duduk di pinggir ranjang menghadap ke gorden balkon yang terbuka. Kamarnya gelap namun ada sedikit cahaya masuk dari lampu di balkon yang belum ia matikan. Ia tidak bisa menghilangkan bayang wajah Luke yang menatapnya tajam dan lekat sore tadi bahkan kata-kata yang ia lontarkan terus berputar di memori otaknya. Luke tampak begitu serius dan dingin saat itu membuat Isabella jadi kepikiran.
Perlahan ia beranjak dari kasur, keluar dari kamar dan mendapati ayahnya sedang membaca buku di ruang utama sambil menghisap cerutu. Alex merasakan kehadiran Isabella lantas ia melirik anaknya sejenak namun tidak mengeluarkan suaranya. Ia menutup buku yang dibacanya. Isabella memilih untuk duduk di sana. “Ayah, kenapa belum tidur?” bertanya lebih dulu. Alex menghembuskan asap yang mengepul sampai membuat Isabella mengalihkan wajah, mengerutkan hidung. “Seharusnya Ayah yang bertanya pada kau. Kenapa jam segini kau belum tidur?” Isabella mengerucutkan bibirnya. “Aku tidak bisa tidur, Ayah.” Alex menekan ujung cerutu ke asbak, mematikannya lalu meneguk whiskeynya yang tersisa sedikit. “Apa yang mengganggu pikiran kau?” “Hm, sebenarnya ada yang ingin aku tanyakan pada Ayah.” Alex menatap putrinya tanpa bersuara namun dari tatapannya seolah membuatnya seakan penasaran dengan kelanjutannya. “Papa ingat dengan keluarga Alonzo?” “Kenapa kau tiba-tiba bertanya tentang mereka?” “Aku penasaran, apakah dia memiliki putra lain selain Lucas?” semua keluarga Lancaster termasuk Isabella mengetahui fakta umum itu. Hubungan keduanya yang tidak baik setelah penolakan kerjasama bisnis dan terjadinya pertumpahan darah membuat keduanya berlomba-lomba untuk menghancurkan satu sama lain dengan cara mengorek informasi dalam-dalam untuk menjatuhkannya dan selama ini yang keluarga Lancaster ketahui keluarga Alonzo hanya memiliki satu putra yaitu Lucas Alonzo. “Setahu Ayah, Lucas adalah anak satu-satunya.” “Oh, baiklah. Aku rasa sekarang aku sudah mengantuk.” Isabella menguap sambil menutup mulutnya. “Aku pergi tidur. Ayah juga istirahat, jangan keseringan tidur larut malam dan minum alkohol. Tidak baik untuk kesehatanmu.” Alex mendengarkan tapi dia tidak menjawab. Isabella melesat masuk ke dalam kamarnya. Bola mata Alex bergerak pelan ke arah lain, tatapannya kosong dan wajahnya tak berekspresi. Entah apa yang ada di pikirannya. *** Keesokan harinya Pagi sekali Luke sudah datang ke rumah Isabella. Itu pun membuat Isabella bingung karena Isabella tidak memintanya untuk datang, ia juga belum resmi jadi bodyguardnya Isabella. Isabella tergesa-gesa keluar rumah setelah salah satu pelayan mengadu padanya. “Selamat pagi Bella!” sapa Luke dengan wajah cerah. Ia kelihatan segar pagi ini. Ia mengenakan jeans biru sebagai bawahan dan atasan sleeveless putih. Rambutnya yang masih basah disisir ke belakang hingga menunjukkan jidat lebarnya, terlihat kasual dan menawan. “Pagi Luke. Apa yang kau lakukan di sini sepagi ini?” “Aku ingin belajar menembak. Aku ingin cepat menguasainya.” “Oh, apa kau sudah buat janji dengan paman Anton? Aku rasa kau datang terlalu pagi.” Luke menggeleng, ia tampak linglung lalu mengeluarkan ponselnya. “Tunggu! Tunggu! Kau mau ngapain?” “Aku mau mengirim pesan pada paman Anton.” Isabella menghela napasnya. “Kalau kau mau berlatih menembak datanglah setiap jam 2 siang. Aku biasanya berlatih dengan paman Anton setiap jam segitu.” “Ohh begitu.” Luke menunduk. ‘Tapi dia kelihatannya seperti warga biasa yang pandai berkelahi dan tidak tahu menahu soal kehidupan mafia. Tapi pistol itu? Lain kali aku harus tanya langsung.’ Isabella hanyut dalam pikirannya membuat Luke mengernyitkan dahi. Luke berinisiatif melambaikan tangannya di depan wajah Isabella dan Isabella tak bergeming. Luke pun menjentikkan jarinya, Isabella pun tersadar. “Kau melamun?” Isabella menggeleng cepat. “Bukan apa-apa.” Ia menyunggingkan senyum kikuk. “Hm, bagaimana kalau sekarang kita jalan-jalan ke butik saja?” “Bolehkah?” “Tentu saja. Tunggu sebentar ya, aku siap-siap dulu.” Luke mengangguk sambil menyunggingkan senyum. Setelah Isabella masuk ke dalam, wajahnya berubah kembali dingin, ia mengedarkan pandangannya ke sekitar, mengamati situasi dengan mata tajam seperti elang. Beberapa saat kemudian Alex keluar membuat Luke kaget dan reflek membungkuk sopan. “Selamat pagi Om!” “Hm. Apa yang kau lakukan di sini pagi-pagi begini?” “Hmm, saya ingin berlatih menembak, Om. Tapi, karena saya belum ada janji sama Om Anton, jadi saya akan pergi dengan Isabella." “Hubungan kalian kelihatannya dekat?” Alex berbicara namun tanpa menatap sang lawan bicara. Ia berdiri tegap sambil bersedekap dada, matanya lurus menghadap ke depan, ke halaman luas rumahnya. “Hm, saya juga tidak menduganya Om. Awalnya saya hanya niat menolong Isabella dari orang jahat dan setelah itu kami mengobrol dan itu mengalir apa adanya.” Alex menoleh. “Kau bukan orang Italia?” tanya Alex sebab Luke sedari tadi menggunakan bahasa inggris yang fasih. “Oh, sepertinya karena bahasa yang saya gunakan ya Om. Ya, saya memang lahir di California dan lama di sana. Saya baru pindah ke sini beberapa bulan yang lalu karena paman saya yang mengajak saya untuk bergabung dalam bisnisnya,” bohong Luke. “Jadi kau tinggal sendiri di sini?” “Ya, saya menyewa sebuah rumah.” “Bisnis apa?” “Paman saya sedang menggeluti bisnis properti.” “Lalu kenapa kau mau jadi bodyguard anak saya kalau kau sudah punya kesibukan lain?” Alex menatap Luke dengan tatapan datar, mata mengantuknya yang terbuyun karena usia terlihat tetap mengintimidasi di mata Luke. “Hm, itu karena saya ....” “Luke! Aku sudah siap! Ayo pergi!” Isabella tiba-tiba datang menginterupsi, membuat keduanya menoleh ke belakang. “Eh, Ayah.” Isabella baru menyadari bila ada ayahnya di sana. “Kalian mau ke mana?” tanya Alex. “Kami mau jalan-jalan sebentar nanti siang akan pulang untuk berlatih.” “Anton mana? biar Anton pergi mengawal kau.” “Tidak perlu Ayah, aku hanya pergi sebentar ke butik. Aku bisa menjaga diriku sendiri lagipula ada Luke.” “Iya Om, saya janji akan menjaga Isabella.” Alex bergerak mendekati Luke lalu berbisik. “Jaga Isabella dengan baik, jangan sampai dia kenapa-kenapa. Kalau tidak, nyawa kau sebagai gantinya.” Alex menekan kalimat terakhirnya seraya menatap tajam mata hazel itu. Namun pemilik mata hazel yang indah itu tampak tidak takut dengan ancaman pria tua tersebut. Isabella masih memasang wajah bingung setelah ayahnya pergi meninggalkan mereka. “Apa yang ayah katakan pada kau?” “Bukan apa-apa. Kau udah siap?” Isabella mengangguk. “Aku bawa motor. Kita naik motor atau?” “Ya, aku ikut dengan kau.” “Pegangan yang kuat,” ucap Luke sebelum menjalankan motornya. “Aku boleh memeluk kau?” tanya Isabella. Luke mengangguk. Isabella tersenyum, ia memeluk tubuh Luke erat tanpa ragu, menyenderkan kepalanya di punggung lebar Luke dengan nyaman. Luke sangat wangi, Isabella bisa menghirup aroma parfum Luke yang menenangkan. Setibanya di sebuah butik. Isabella menjual hasil design pakaiannya di butik ini, dia juga menjualnya online. Butik dengan nama Bella fashion ini sudah berdiri sejak 2 tahun yang lalu dan sekarang sudah memiliki 3 karyawan yang membantunya. Luke melihat-lihat koleksi pakaian sambil menyentuhnya. “Semuanya bagus dan kekinian. Kamu mendesainnya semua sendiri?” “Iya, sebagian. Ada juga hasil kolaborasi dengan desainer lain.” “Kamu sangat jenius dan kreatif.” Isabella tersipu mendengar pujian itu. “Terima kasih.” “Hm, ngomong-ngomong apa di sini ada toilet? Tiba-tiba, aku ingin buang air kecil," tanya Luke seraya mengedarkan pandangannya ke sekeliling. “Oh, iya ada di belakang. Kau lurus saja ke belakang lalu belok kanan.” “Ok.” Isabella lalu menghampiri karyawannya. “Bagaimana butik beberapa hari ini? ramai?” Isabella sudah beberapa hari tidak datang ke butik jadi ia ingin tahu perkembangan butiknya. “Lumayan ramai kak, ada beberapa pesanan outfit untuk pernikahan juga.” Isabella menyunggingkan senyum. “Baguslah kalau begitu. Tapi semuanya aman ‘kan?” Tring! Lonceng di depan pintu butik berbunyi menandakan ada yang masuk. Seorang pria gempal dengan tampang seram masuk sambil menodongkan pistol, “Serahkan semua uang!” “Aaaa!” para karyawan berteriak histeris. Dengan cepat pria itu menarik Isabella sebelum Isabella bergerak, mendekapnya erat lalu menodong pistol ke kepalanya. “Cepat! atau aku tembak dia.” Isabella menutup mata rapat ketika merasakan lubang pistol menyentuh kepalanya. Ia tidak bisa bergerak, perampok itu mendekapnya kuat, sekali bergerak, nyawanya akan melayang. Saking ketakutan, para karyawan langsung membuka laci kasir lalu memasukkan uang ke dalam sebuah tas dengan tangan gemetar. Namun tiba-tiba... Dor! Darah memuncrat keluar dari kepala hingga mengenai rambut Isabella dan seketika pria gempal itu tumbang. Perlahan Isabella membuka matanya, ia mendengar tembakan pistol tapi dia tidak merasakan sakit, dia masih berdiri mematung. Saat membuka matanya, hal pertama yang dilihatnya adalah Luke tidak jauh di depannya sedang berdiri, masih dengan posisi menodongkan pistol ke depan dengan dua tangan dan dada kembang kempis. Bibir Isabella sedikit terbuka, jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya, tidak percaya dengan yang dilihatnya saat ini. "Luke," Bersambung"Bagaimana?" tanya Nicole pada Lucas. Mereka sedang duduk di kursi tunggu yang tersedia di depan ruang gawat darurat. Setelah membawa Clara ke rumah sakit karena Clara tiba-tiba pingsan, kondisinya kritis, maka dari itu mereka langsung menghubungi Luke untuk datang, takut-takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan Luke juga adalah cucu kesayangan Clara."Dia akan ke sini secepatnya, karena di sana tengah malam, mungkin besok siang dia baru bisa berangkat ke sini," jawab Lucas.Nicole sontak menoleh ke arah Lucas, memiringkan kepalanya dengan dahi berkerut. "Tengah malam? Bukankah Italia dan California beda 9 jam ya?"Lucas melirik jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 1 malam. "Iya juga ya.""Memangnya Luke sekarang di mana? dia tidak di Italia?""Dia di Italia. Dia pulang ke Italia Minggu lalu.""Hmm ...." Nicole berusaha berpikir keras. "Tapi ya sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang adalah Luke bisa cepat sampai ke sini untuk bertemu Oma. Siapa tahu
Brak!seseorang mendobrak pintu. "Hei! jangan lari!"Luke terperanjat namun ia tidak benar menoleh, ia tidak mau menunjukkan wajahnya yang mungkin akan dikenali oleh dua pria itu. Dengan gerakan cepat, ia menggapai jendela lalu melompat keluar."Ayo kita hadang dari luar!" Salah satu pria berkata seraya menarik jaket pria lainnya keluar.Luke mendarat ke tanah dengan keras hingga tudung hoodienya terlepas. Ia segera menggenggam tangan Isabella erat sambil mengedarkan pandangan ke sekitar namun hanya ada hutan yang berbatasan dengan bagian belakang gedung."Luke, ke mana kita harus pergi? Apa kita harus masuk hutan?" tanya isabella panik."Hei, berhenti!"Keduanya menoleh sekilas namun sayangnya itu membuat wajah Luke terlihat oleh mereka. Luke baru sadar kepalanya tidak ditutup hoodie lagi, ia merutuki dirinya dalam hati."Tsk!" Luke kembali menarik tudung hoodienya lalu menarik Isabella masuk ke dalam hutan.Mereka berlari menelusuri hutan dan dua orang pria itu terus mengejar mereka
Sesampainya di sana, hari sudah gelap. Luke melangkahkan kakinya menuju gedung tua yang tampak gelap tanpa ragu. Walaupun dalam hatinya ia merasa bila gedung itu tampak tak berpenghuni.Luke masuk sambil menghidupkan flashlight ponselnya untuk penerangan di dalam. "Isabella!" suaranya menggema dalam gedung kosong yang gelap dan mencekam namun ia tidak mendapatkan balasan. Suasana di sana terasa sunyi, dingin dan menyeramkan.Luke terus melangkah, cahaya ponselnya menyorot dinding kusam yang penuh lumut dan cat terkelupas. Debu beterbangan setiap kali ia menginjak lantai semen. Udara di dalam begitu pengap, membuat napasnya terasa berat.“Isabella!” panggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Namun tetap saja sunyi. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari gedung setelah menyadari tidak ada siapapun di sana.'Tidak ada siapapun di sini? apa Brian salah memberikan alamat? atau dia berniat menipuku?' Luke berpikir keras kemudian mengeluarkan ponselnya, mengecek kembali informasi ya
Setelah memutuskan sambungan sepihak, Luke menyimpan ponselnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari hotel. Ia akan berkeliling kota menggunakan taksi, ia akan mencari Brian dulu karena dia lah satu-satunya kunci saat ini.Dia duduk di kursi belakang, menoleh ke luar jendela sepanjang jalan, tatapannya tajam menyapu ke jalanan yang dilewatinya."Pak, apa kau tahu tempat-tempat biasanya gangster berkumpul?"Sang supir melirik Luke dari kaca spion atas. Tatapannya seolah menyiratkan kebingungan bercampur ketakutan. "Saya tidak tahu, Mas. Tapi biasanya basecamp gangster gitu berada di tempat tersembunyi di pinggiran kota atau jauh dari keramaian."Luke mengangguk kemudian menghela napasnya pelan, merasakan kesulitan dalam pencarian Isabella karena tidak memiliki petunjuk sama sekali. Sesekali ia memeriksa ponselnya dan belum juga ada kabar dari Brian."Pak, antar saya ke Violetta cafe saja," ujar Luke akhirnya. Ia memutuskan untuk pergi ke kafe, tempat di mana Brian kerja. Siapa tahu Bri
Luke sadar bila semua mata di dalam kafe kini tertuju pada mereka. Suasana mendadak hening, penuh bisik-bisik tak jelas. Dengan rahang mengeras, ia langsung menarik paksa lengan Brian dan menyeretnya keluar.Mariana hanya bisa memandang dengan cemas. Ia menggigit bibir, bimbang apakah harus ikut campur atau tidak. “Siapa sebenarnya pria itu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Begitu berada di luar, Brian sontak menarik dirinya dari genggaman Luke dengan kasar. Tatapannya menusuk.“Apa kau pikir aku ini sampah yang bisa seenaknya kau tarik begitu saja?!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi. “Apa kau tidak punya sopan santun? Siapa kau sebenarnya? dan apa hubungan kau dengan Isabella?”Luke menatapnya tajam, dadanya naik turun. “Aku suaminya Isabella,” jawabnya tanpa ragu.Mata Brian terbelalak, jantungnya serasa berhenti berdetak namun sekian detik kemudian ia menggelengkan kepalanya.“Kau pikir aku bisa percaya begitu saja? Kalau memang benar, kenapa selama ini kau tidak pe
Luke tidak bisa tidur sepanjang malam, ia menunggu fajar datang. Hatinya gelisah takut rencana keberangkatannya akan diketahui Papanya.Setelah jam menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Luke keluar dari kamar sambil menenteng tas jinjing pria hitam, melangkah mengendap-endap dengan tatapan tajam mengawasi sekitar.Ia berhasil sampai ke lift tanpa ada yang tahu, hendak menuju lantai dasar.Setibanya di lantai dasar, ia dapat melihat beberapa pelayan yang sedang mondar-mandir melakukan tugasnya."Selamat pagi, tuan Luke!" Seorang pelayan wanita menyapanya."Pagi.""Tuan, mau ke mana pagi-pagi begini?""Saya ada urusan penting," jawabnya kemudian melirik ke sekitarnya sebelum bergerak mendekat, membisikkan sesuatu pada pelayan tersebut. "Kalau nanti Papa saya nanya, bilang saja saya pergi ke Roma untuk perjalanan bisnis. Saya belum sempat memberitahunya."Pelayan itu mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan." Setelah dirasa aman, Luke berjalan cepat keluar dari ru