Alex sudah mendengar tentang insiden penembakan di butik putrinya dari Anton.
“Dia menembaknya tepat di kepala?” “Iya Don, pria itu mati di tempat dan sekarang Luke berada di kantor polisi.” “Aku akan urus itu nanti. Bagaimana dengan putriku?” Alex melirik Anton tajam seolah menuntut jawaban cepat. “Nona Isabella baik-baik saja. Dia ikut dengan Luke ke kantor polisi untuk memberikan keterangan.” “Oke. Jemput dia sekarang. Setelah selesai dengan urusan kepolisian, bawa dia pulang.” Alex menanggapinya dengan santai bahkan sempat-sempatnya menyesap kopi hitamnya. “Baik Don.” Anton membungkuk hormat sebelum keluar. Setelah menyesap kopinya, Alex menatap lurus ke depan dengan tatapan tajam tanpa berkedip, seperti ada sesuatu yang dipikirkannya. *** “Kau tenang saja, ayahku pasti akan membebaskan kau.” Isabella memegang tangan besar Luke, menenangkannya namun Luke hanya diam. Mereka sudah memberikan keterangan dan untuk sementara waktu, Luke akan ditahan di sana sampai penyelidikan selesai. “Apa aku akan di penjara?” Luke akhirnya bersuara. Suaranya sangat pelan. Isabella mengusap lengan Luke. “Aku ‘kan sudah bilang ayahku pasti akan membebaskan kau. Jangan khawatir.” Luke mengangkat sudut bibirnya sedikit kemudian kembali menunduk. “Nona Isabella! Apa anda baik-baik saja?” seseorang datang. “Paman Anton.” Isabella menghampiri Anton yang baru saja tiba. “Aku baik-baik saja. Aku bersyukur kau datang. Tolong bebaskan Luke, dia tidak bersalah. Dia terpaksa menembak perampok yang ingin menyakitiku.” “Saya paham nona. Ayah nona akan mengurusnya nanti, nona tidak perlu khawatir. Tapi, nona sekarang disuruh pulang dengan ayah nona.” “Oh, tapi bagaimana dengan Luke?” Isabella melirik Luke yang duduk dengan tampang memelas. “Dia hanya sebentar di sini. Sebentar lagi dia akan bebas. Nona percaya dengan Ayah nona ‘kan?” Isabella mengangguk kemudian menghampiri Luke. “Luke, aku pulang dulu. Ayahku akan mengurusnya, kau akan diperbolehkan pulang nanti. Terima kasih sudah menolongku.” Luke tersenyum, kali ini lebih lebar. “Aku percaya pada kau. Aku bersyukur kau selamat.” Setelah saling melempar senyum, Isabella meninggalkan kantor polisi bersama Anton. “Paman, sebenarnya ada sesuatu yang menjanggal di pikiranku.” Anton yang sedang mengemudi menoleh sekilas. “Apa itu nona?” “Aku rasa Luke cukup mahir menggunakan pistol padahal Paman tahu ‘kan skillnya dan dia juga mengakui bila dia belum pernah menggunakan pistol.” Isabella bercerita dengan pandangan lurus ke depan, namun dia berekspresi seolah sedang bingung, alis dan dahinya berkerut. “Dia bahkan membawa pistol kemana-mana.” “Apa nona tidak tanya padanya, kenapa dia selalu membawa pistol kemana-mana?” “Aku belum sempat tanya karena aku panik saat polisi datang.” Anton terdiam sejenak, bola matanya bergerak-gerak pelan. “Nona sebaiknya jauhin dia. Aku rasa dia bukan orang biasa-biasa saja walaupun dia sudah menolong kau.” Isabella menoleh, menatap Anton tak percaya namun bibirnya bungkam, hatinya gelisah, takut melakukan suatu kesalahan karena apa yang kaki tangan ayahnya bilang itu benar. Setibanya di rumah Alex sudah menunggu di depan pintu. “Ayah!” Isabella menghambur ke dalam pelukan ayahnya, ia lega masih diberikan kesempatan untuk bertemu ayahnya. Alex menangkup wajah anaknya. “Apa kau baik-baik saja?” bola matanya bergerak ke atas hingga ke bawah, mengamati tubuh putrinya. Takut ada lecet yang tidak terlihat. “Aku baik-baik saja Yah.” “Syukurlah kalau begitu.” Alex mengusap lembut rambut putri satu-satunya. Mereka kembali berpelukan sejenak. Alex membawa putrinya ke dalam, hubungan mereka sangat dekat dan lengket, sampai tiba dia dalam pun Isabella masih menempel dengan ayahnya. “Ayah. Ayah janji akan menolong Luke ‘kan? Jangan biarkan dia di penjara. Aku pasti akan merasa bersalah kalau dia sampai di penjara, dia sudah menolongku.” “Ayah tahu cara berbalas budi, Bella. Tidak mungkin Ayah membiarkan orang yang sudah menolong putri Ayah hidup sengsara. Ayah pastikan nanti malam dia sudah boleh pulang.” Isabella menyunggingkan senyum. “Terima kasih Ayah.” “Jadi, apa kau masih ingin dia menjadi bodyguard kau?” tanya Alex dengan mata memicing. Isabella terdiam namun manik matanya bergerak seolah sedang berpikir. “Bisa berikan aku waktu sebentar, Ayah?” “Tentu saja. Ayah juga ingin yang terbaik untukmu. Kalau untuk soal keahlian, ayah akui dia cukup bagus. Dia punya tubuh yang kuat dan kokoh, dia bisa berkelahi, bisa menggunakan pistol dan dia sudah membuktikan kalau dia bisa melindungi kau. Tapi—“ Alex menggantung kalimatnya, membuat Isabella mengigit pelan bibirnya. “Ayah masih penasaran dengan latar belakang keluarganya karena ayah tidak ingin sembarang merekrut orang untuk bekerja dengan keluarga Lancaster.” “Aku paham Ayah maka dari itu beri aku waktu. Aku akan kabarkan secepatnya.” “Baiklah kalau itu yang kau inginkan. Tapi, kau harus tetap hati-hati.” “Oke. Kalau gitu aku ke kamar ya,” “Istirahat lah.” Alex mengusap rambut putrinya seraya menyunggingkan senyum kecil. *** Sementara itu Luke masih di kantor polisi. Drrt drrt! Ponselnya bergetar, ia langsung cepat menjawabnya. “Halo,” “Di mana kau sekarang?! Bagaimana bisa kau melakukan itu? kau sangat gegabah.” Luke menebak bila papanya sudah tahu tentang berita penembakan itu. “Aku di kantor polisi sekarang. Maafkan aku tapi aku terpaksa melakukannya Pa. Isabella hampir meregang nyawa, tidak mungkin aku diam saja.” “Kenapa kau kelihatan begitu peduli padanya? Biarkan saja dia mati, hitung-hitung untuk membalas dendam atas kematian Ibu kau. Kalau begini, kau bisa saja ketahuan bila kau adalah anak keluarga Alonzo.” Luke menghela napas seraya memijat pangkal hidungnya. “Aku akan pastikan mereka tidak tahu. Aku akan mengurusnya.” “Terserah kau. Tapi, kalau kau ketahuan, jangan harap papa akan mengasihani kau.” Luke menelan ludah namun dia hanya diam. “Jadi, sekarang kau ditahan?” tanya Bill setelah beberapa saat. “Kemungkinan aku akan ditahan di sini selama beberapa hari ke depan sampai penyelidikan selesai.” “Apa kau ingin Papa membantu?” “Tidak perlu Pa, mereka akan tambah curiga bila Papa ikut terlibat. Isabella bilang Ayahnya akan membantuku bebas.” “Baguslah. Jangan sampai kepercayaan mereka pada kau hilang.” “Baik Pa.” Beberapa saat kemudian Alex datang ke kantor polisi bersama Anton. Luke buru-buru berdiri menyapa Alex. “Selamat sore Om.” Alex hanya mengangguk lalu masuk ke ruangan bersama Anton. Luke menunggu dengan cemas. Ia tahu Alex dan Anton pasti sedang melakukan negosiasi untuk membebaskan dirinya. Tak lama kemudian, Alex dan Anton keluar bersama seorang petugas kepolisian. “Selamat sore Pak Luke. Anda terbebas dari hukuman dan hari ini anda bisa langsung pulang.” Mata Luke melotot, baru kali ini dalam hidupnya ia menyaksikan orang yang memiliki kekuasaan menggunakan kekuasaannya selain papanya. “Be-benarkah Pak? Saya bebas dari hukuman?” “Iya Pak, anda bisa pulang sekarang.” “Terima kasih atas kerjasamanya Pak,” Alex menyalami petugas kepolisian tersebut. “Sama-sama Pak Alex.” Petugas kepolisian tersebut kembali masuk ke dalam ruangan. “Hm, aku tidak tahu harus berkata apa tapi aku sangat berterima kasih.” “Saya yang harusnya berterima kasih karena kau telah menyelamatkan anak saya.” “Bagaimanapun juga aku sudah janji akan melindungi Isabella. Aku tidak main-main dengan kata-kataku.” Sorotan mata penuh keyakinan itu tampak di wajah Luke. Alex diam namun ia bergerak mendekati Luke, berbicara pelan dekat ke telinganya. “Jika kau serius ingin menjadi bodyguard Isabella. Kau harus siap dengan semua risikonya. Kau harus punya kesetiaan yang besar dan bisa menjaga rahasia. Jika tidak, kau mungkin tidak bisa menghirup udara segar lagi.” Alex meninggalkan Luke yang mematung. Luke memandang punggung lebar yang dibalut mantel panjang itu dengan mata tajam yang menusuk. Bersambung"Bagaimana?" tanya Nicole pada Lucas. Mereka sedang duduk di kursi tunggu yang tersedia di depan ruang gawat darurat. Setelah membawa Clara ke rumah sakit karena Clara tiba-tiba pingsan, kondisinya kritis, maka dari itu mereka langsung menghubungi Luke untuk datang, takut-takut terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, dan Luke juga adalah cucu kesayangan Clara."Dia akan ke sini secepatnya, karena di sana tengah malam, mungkin besok siang dia baru bisa berangkat ke sini," jawab Lucas.Nicole sontak menoleh ke arah Lucas, memiringkan kepalanya dengan dahi berkerut. "Tengah malam? Bukankah Italia dan California beda 9 jam ya?"Lucas melirik jam di pergelangan tangannya yang menunjukkan pukul 1 malam. "Iya juga ya.""Memangnya Luke sekarang di mana? dia tidak di Italia?""Dia di Italia. Dia pulang ke Italia Minggu lalu.""Hmm ...." Nicole berusaha berpikir keras. "Tapi ya sudahlah itu tidak penting, yang penting sekarang adalah Luke bisa cepat sampai ke sini untuk bertemu Oma. Siapa tahu
Brak!seseorang mendobrak pintu. "Hei! jangan lari!"Luke terperanjat namun ia tidak benar menoleh, ia tidak mau menunjukkan wajahnya yang mungkin akan dikenali oleh dua pria itu. Dengan gerakan cepat, ia menggapai jendela lalu melompat keluar."Ayo kita hadang dari luar!" Salah satu pria berkata seraya menarik jaket pria lainnya keluar.Luke mendarat ke tanah dengan keras hingga tudung hoodienya terlepas. Ia segera menggenggam tangan Isabella erat sambil mengedarkan pandangan ke sekitar namun hanya ada hutan yang berbatasan dengan bagian belakang gedung."Luke, ke mana kita harus pergi? Apa kita harus masuk hutan?" tanya isabella panik."Hei, berhenti!"Keduanya menoleh sekilas namun sayangnya itu membuat wajah Luke terlihat oleh mereka. Luke baru sadar kepalanya tidak ditutup hoodie lagi, ia merutuki dirinya dalam hati."Tsk!" Luke kembali menarik tudung hoodienya lalu menarik Isabella masuk ke dalam hutan.Mereka berlari menelusuri hutan dan dua orang pria itu terus mengejar mereka
Sesampainya di sana, hari sudah gelap. Luke melangkahkan kakinya menuju gedung tua yang tampak gelap tanpa ragu. Walaupun dalam hatinya ia merasa bila gedung itu tampak tak berpenghuni.Luke masuk sambil menghidupkan flashlight ponselnya untuk penerangan di dalam. "Isabella!" suaranya menggema dalam gedung kosong yang gelap dan mencekam namun ia tidak mendapatkan balasan. Suasana di sana terasa sunyi, dingin dan menyeramkan.Luke terus melangkah, cahaya ponselnya menyorot dinding kusam yang penuh lumut dan cat terkelupas. Debu beterbangan setiap kali ia menginjak lantai semen. Udara di dalam begitu pengap, membuat napasnya terasa berat.“Isabella!” panggilnya lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Namun tetap saja sunyi. Beberapa saat kemudian, ia keluar dari gedung setelah menyadari tidak ada siapapun di sana.'Tidak ada siapapun di sini? apa Brian salah memberikan alamat? atau dia berniat menipuku?' Luke berpikir keras kemudian mengeluarkan ponselnya, mengecek kembali informasi ya
Setelah memutuskan sambungan sepihak, Luke menyimpan ponselnya lalu melangkahkan kakinya keluar dari hotel. Ia akan berkeliling kota menggunakan taksi, ia akan mencari Brian dulu karena dia lah satu-satunya kunci saat ini.Dia duduk di kursi belakang, menoleh ke luar jendela sepanjang jalan, tatapannya tajam menyapu ke jalanan yang dilewatinya."Pak, apa kau tahu tempat-tempat biasanya gangster berkumpul?"Sang supir melirik Luke dari kaca spion atas. Tatapannya seolah menyiratkan kebingungan bercampur ketakutan. "Saya tidak tahu, Mas. Tapi biasanya basecamp gangster gitu berada di tempat tersembunyi di pinggiran kota atau jauh dari keramaian."Luke mengangguk kemudian menghela napasnya pelan, merasakan kesulitan dalam pencarian Isabella karena tidak memiliki petunjuk sama sekali. Sesekali ia memeriksa ponselnya dan belum juga ada kabar dari Brian."Pak, antar saya ke Violetta cafe saja," ujar Luke akhirnya. Ia memutuskan untuk pergi ke kafe, tempat di mana Brian kerja. Siapa tahu Bri
Luke sadar bila semua mata di dalam kafe kini tertuju pada mereka. Suasana mendadak hening, penuh bisik-bisik tak jelas. Dengan rahang mengeras, ia langsung menarik paksa lengan Brian dan menyeretnya keluar.Mariana hanya bisa memandang dengan cemas. Ia menggigit bibir, bimbang apakah harus ikut campur atau tidak. “Siapa sebenarnya pria itu?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar.Begitu berada di luar, Brian sontak menarik dirinya dari genggaman Luke dengan kasar. Tatapannya menusuk.“Apa kau pikir aku ini sampah yang bisa seenaknya kau tarik begitu saja?!” bentaknya, suaranya bergetar menahan emosi. “Apa kau tidak punya sopan santun? Siapa kau sebenarnya? dan apa hubungan kau dengan Isabella?”Luke menatapnya tajam, dadanya naik turun. “Aku suaminya Isabella,” jawabnya tanpa ragu.Mata Brian terbelalak, jantungnya serasa berhenti berdetak namun sekian detik kemudian ia menggelengkan kepalanya.“Kau pikir aku bisa percaya begitu saja? Kalau memang benar, kenapa selama ini kau tidak pe
Luke tidak bisa tidur sepanjang malam, ia menunggu fajar datang. Hatinya gelisah takut rencana keberangkatannya akan diketahui Papanya.Setelah jam menunjukkan pukul setengah 6 pagi. Luke keluar dari kamar sambil menenteng tas jinjing pria hitam, melangkah mengendap-endap dengan tatapan tajam mengawasi sekitar.Ia berhasil sampai ke lift tanpa ada yang tahu, hendak menuju lantai dasar.Setibanya di lantai dasar, ia dapat melihat beberapa pelayan yang sedang mondar-mandir melakukan tugasnya."Selamat pagi, tuan Luke!" Seorang pelayan wanita menyapanya."Pagi.""Tuan, mau ke mana pagi-pagi begini?""Saya ada urusan penting," jawabnya kemudian melirik ke sekitarnya sebelum bergerak mendekat, membisikkan sesuatu pada pelayan tersebut. "Kalau nanti Papa saya nanya, bilang saja saya pergi ke Roma untuk perjalanan bisnis. Saya belum sempat memberitahunya."Pelayan itu mengernyitkan dahi sejenak sebelum akhirnya mengangguk. "Baik, Tuan." Setelah dirasa aman, Luke berjalan cepat keluar dari ru