LOGIN
"Engh... yes... di situ... mmh…."
Suara desahan seorang pria terdengar menembus dinding tipis yang membatasi antara kamar Meilissa dan mamanya.
Tubuh Meilissa menegang. Bunyi decit ranjang yang bergerak secara teratur sangat mengganggu akal sehatnya.
"Aaah, Ron. Di sana... enak sekali… oh...." Desahan seorang wanita menyusul. Itu suara mamanya.
Selanjutnya, desahan dan erangan terdengar bersahutan. Semakin lama semakin kencang dan intens.
Meilissa lekas menyambar headset bluetooth dari atas meja dan menyumpal telinganya dengan benda itu.
“Dasar tidak tahu malu!” gerutunya jijik. Jemarinya bergetar saat memilih lagu. Detik berikutnya, musik berirama cepat dan menghentak memenuhi telinga gadis itu, menggantikan suara-suara yang membuatnya ingin muntah.
Ini bukan pertama kalinya Meilissa menyaksikan dan mendengarkan hal tidak senonoh macam ini. Ibunya kerap membawa pacar-pacarnya ke rumah dan bercinta seolah mereka adalah pemilik dunia.
Tapi, tetap saja, Meilissa tidak pernah terbiasa dengan kondisi seperti ini.
“Hhh… kali ini dengan pacarnya yang mana lagi?" lirihnya, campuran marah dan sedih.
Rumah yang seharusnya menjadi tempat ternyaman, justru bagaikan neraka baginya.
Gadis itu menengok keluar jendela. ‘Masih sore. Dan mereka melakukannya seakan-akan aku tidak ada,’ batinnya nelangsa.
Meilissa duduk di lantai sambil memeluk dirinya sendiri. Matanya memandangi ponsel yang tergeletak di dekat kakinya, menunggu-nunggu sebuah telepon yang sangat dia harapkan.
Andai saja bisa, dia ingin pergi dari tempat ini.
Penantian itu berakhir saat layar ponselnya menyala. Nama Liora, sahabatnya, tertera di layar.
“Mei! Sopir sudah menuju ke rumah kamu. Okay?” Suara cerita Liora terdengar dari loudspeaker ponsel Meilissa begitu panggilan terhubung.
“Ugh, lamanya. Aku sudah menunggu dari tadi,” keluh Meilissa sambil melihat sekilas petunjuk waktu di layar ponselnya.
Hari ini adalah hari perayaan ulang tahun sahabatnya. Meilissa tentu turut diundang hadir ke pesta. Tadinya, Meilissa ingin berangkat sendiri. Namun Liora bersikeras meminta sopirnya menjemput Meilissa.
“Lima menit lagi, Mei! Sabar ya,” seru Liora lagi. “Sekarang aku mau pakai gaun dulu. Bye.” Telepon ditutup sepihak.
Menghela napas, Meilissa mulai menghitung mundur waktu di mana dia bisa kabur sejenak dari suasana yang tidak nyaman ini.
Tak lama, pesan dari sopir Liora masuk, memberitahu bahwa dirinya sudah sampai di depan rumah.
Meilissa meloncat dari duduknya. Dia menyambar tas kecilnya, lalu keluar kamar. Langkah kakinya bergerak cepat menuju pintu keluar, meninggalkan suara desahan-desahan menjijikkan itu di belakang.
BLAM!
Di depan rumah, sopir sudah menunggu dan langsung membukakan pintu untuknya.
“Terima kasih, Pak.”
Begitu pintu mobil tertutup, Meilissa menghembuskan napas lega.
Perjalanan menuju rumah Liora tidak membutuhkan waktu lama, tapi cukup untuk mengendorkan urat syaraf Meilissa.
Tiba di rumah Liora, suasana kontras menyambutnya. Rumah besar nan mewah. Pelayan yang sopan dan ramah. Lalu, sambutan hangat Liora.
“Hey! Ayo cepat. Aku sudah menyiapkan gaun untukmu di kamarku,” ucap Liora, langsung merangkul sahabatnya.
“Wow, cantiknya! Aku sampai tidak mengenalmu,” puji Meilissa spontan sembari mengikuti langkah Liora menuju kamarnya.
“Dia akan membantumu berdandan,” ujar Liora saat mereka sudah sampai di kamar.
Liora menunjuk seorang wanita muda yang berprofesi sebagai penata rias wajah dan rambut profesional.
Meilissa mengangguk sambil tersenyum canggung.
“Gaunmu ada di ruangan itu.” Liora menunjuk sebuah pintu yang letaknya masih di ruangan yang sama.
“Thanks, Li,” ucap Meilissa terharu. Seharusnya dia datang membawa kado, tapi sebaliknya temannya itu malah menyiapkan segalanya untuknya.
“Eh, Mei! Sebentar. Apa kamu tahu?” Liora mengangkat ponselnya tepat di depan hidung Meilissa.
“Apa?” Meilissa memundurkan kepalanya, ingin melihat apa yang ditunjukkan oleh temannya. Ada sebuah pesan dari cowok yang ditaksir oleh Liora.
“Dia… sebentar lagi datang!” bisik Liora, menutup mulut sambil tertawa pelan.
“Cie… cepat sambut dia. Sampaikan peluk dan cium dariku,” canda Meilissa spontan.
“Hey, dia milikku!” Liora pura-pura marah, “Kamu itu cocoknya sama Om-Om,” celetuknya asal.
Meilissa terkekeh. Tangannya melambai seperti gerakan mengusir. “Pergilah! Ingat! Jangan bermesraan dengannya di hadapanku.”
“Kalau iri, cari jodohmu malam ini.” Liora menjulurkan lidah, lalu pergi sambil tertawa keras.
Meilissa menggelengkan kepala, ikut tertawa. Candaan semacam itu sudah biasa terlontar di antara dua gadis yang bersahabat itu.
“Silahkan, Nona,” ucap penata rias, mulai mengarahkan Meilissa untuk bersiap.
Sentuhan demi sentuhan disapukan ke wajah polos Meilissa. Rambut digulung supaya bergelombang di ujung. Terakhir, gaun dan sepatu dipakai satu per satu oleh Meilissa.
“Anda cantik sekali, Nona,” puji penata rias, menatap bayangan Meilissa di cermin.
“Terima kasih,” ucap Meilissa, ikut mengagumi dirinya sendiri. Gaun mahal yang menyapu lantai, heels yang nyaman dan tas cantik melekat sempurna di tubuhnya yang langsing.
Setelah penata rias berpamitan, Meilissa kembali mematut diri di depan cermin, kemudian asyik selfie dengan berbagai pose.
Sedang asyik-asyiknya bergaya, suara laki-laki terdengar dari luar kamar.
“Liora? Sayang? Papa udah pulang!”
Deg!
Jantung Meilissa seakan berhenti berdetak mendengar suara bariton yang familiar itu.
“Astaga, Om Lionel!” pekiknya panik, bergegas mengambil tas tangan dan bersiap keluar.
Tidak ingin bertemu berdua saja dengan Lionel di kamar, Meilissa tergopoh-gopoh berlari keluar, bermaksud kabur karena pasti akan canggung bertemu dengan pria itu tanpa Liora.
Tapi….
“Aah!”
Ujung gaunnya terinjak oleh kakinya sendiri. Pintu terbuka bersamaan dengan tubuhnya yang hilang keseimbangan. Meilissa terhuyung ke depan.
Bruk!
“Aduuh!” lirihnya, saat merasakan tubuh bagian depannya mendarat di atas sesuatu yang keras dan padat.
“Ugh! Kamu ternyata berat juga.”
Meilissa membeku saat mendengar erangan seorang pria di dekat telinganya. Detik itu juga dia menoleh. Matanya membulat, wajahnya tidak sampai sejengkal dari wajah Lionel.
“Oh, ya ampun! Maaf, Om!” seru Meilissa setelah berhasil menguasai diri. Pipinya terasa panas.
Dia berusaha bangun, Lionel juga ikut bangun. Tapi, entah bagaimana, gaunnya lagi-lagi tersangkut ujung heels.
Meilissa kembali terhuyung
“Hati-hati….” Lionel meringis pelan, satu tangan refleks menahan pinggang Meilissa.
Napas Meilissa tersentak saat merasakan lengan kokoh melingkar di pinggangnya, menjaganya supaya tidak terjatuh.
“Om… Lionel…” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara. Jantungnya berdebar kencang tak terkendali.
Mereka sudah pernah bertemu beberapa kali saat beliau mengantar Liora ke kampus.
Tapi… mengapa Meilissa baru menyadari pria di hadapannya ini tampan sekali?
“Kita mampir dulu, ya?” putus Lionel kemudian.Mobil yang dia kendarai berbelok ke sebuah coffee shop yang buka dua puluh empat jam.“Ya…” angguk Meilissa, bertepatan dengan mobil berhenti di area parkir yang disediakan.“Tunggu. Sebentar saja,” ucap Lionel, langsung keluar tanpa menunggu respon Meilissa.Meilissa menatap punggung Lionel yang masuk ke dalam coffee shop. Dia heran pada dirinya sendiri. Meski canggung, tapi Meilissa menyadari satu hal. Dia tidak takut pada Lionel. Lelaki itu berbeda sekali dengan pacar-pacar Mamanya yang kurang ajar. Tatapan Lionel sopan. Gerak gerik dan tutur katanya pun lembut.Tidak lama, Lionel kembali muncul dengan satu kantung besar dan satu kantung kecil.“Makan yang ini.” Dia memberikan kantong kecil pada Meilissa, kemudian dia mengangkat kantong besar, “Bawa pulang. Jadi, kamu tidak perlu masak untuk sarapan.”Meilissa melongok kantong kecil, yang ternyata berisi satu gelas cokelat hangat dan croissant. Hatinya berdesir saat mengambil kantong i
Meski ingin, tapi ternyata Meilissa tidak sanggup bercerita.“Hm…, iya, Om. Terima kasih atas perhatiannya," kata Meilissa akhirnya. Dia memilih menyimpan kembali uneg-uneg ke dalam hatinya.Lionel menghela napas sambil menatap Meilissa dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Minum, Om? Tadi katanya haus,” ucapnya berusaha mengalihkan topik. Dia mengangkat gelas lalu sengaja memasang mimik menggemaskan sambil menggoyangkan gelasnya perlahan.Tidak ingin memaksa, Lionel mendekatkan gelas ke bibir dan meminum isinya hingga habis. "Hhh… lega….," katanya sembari mengangkat gelas, meniru gaya Meilissa.Meilissa tersenyum lebar. "Lagi, Om?" tawarnya, siap sedia mengisi ulang gelas yang sudah kosong.Lionel menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih."“Kalau begitu, berikan gelasnya padaku. Aku cucikan.” Meilissa langsung mengambil alih gelas, dan bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas-gelas tadi.Diam-diam Lionel memperhatikan gerak-gerik Meilissa. Cara mencucinya begit
Lionel berdehem pelan. Hati boleh jedag jedug karena celetukan puterinya, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. “Liora,” panggil Lionel dengan nada berwibawa. Serempak Liora dan Meilissa menoleh.“Papa bukan barang yang bisa dibagi-bagi, Sayang. Tapi kalau kamu mau, Papa bisa menyayangi Meilissa. Sama seperti Papa mencintaimu," katanya kemudian. Matanya yang teduh kembali menatap Meilissa.Liora tersenyum puas, lalu menghambur ke pelukan Papanya. "I love you, Papa," ucapnya manja - mencium pipi Lionel yang langsung membalasnya dengan peluk dan cium.Baik Liora maupun Lionel itu tidak sadar kalau Meilissa terpaku di tempatnya dengan perasaan membuncah.Lionel bisa menyayanginya?Meilissa menunduk, menyembunyikan merah yang semburat di pipinya.Kalimat itu berhasil menyentuh relung hatinya yang terdalam, mengisinya dengan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Sedangkan Lionel?Saat melihat rona merah di pipi Meilissa, ada desiran aneh yang muncul, namun cepat-cepat
Lionel tampak tercengang. Pria itu menatap Meilissa yang tegang dan kaku. Dan anehnya, sepasang mata gadis itu memancarkan sesuatu yang berbeda. Entah gugup. Tersipu. Atau, sesuatu yang tidak bisa Lionel terjemahkan dalam kata-kata.Beberapa detik seolah terhenti bagi mereka. Hanya ada debaran jantung Meilissa dan jarak yang kian menipis serta tatapan yang sulit dialihkan.Lalu—Lionel mengerjap, mencoba memulihkan diri dari situasi yang cukup mengejutkan baginya. Awalnya dia ingin mencari putrinya, siapa sangka malah Meilissa yang ada di kamar.Pria itu menarik napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, lalu menyentakkan Meilissa dengan lembut.“Kamu baik-baik saja?” Suaranya rendah, tapi tetap terdengar hangat. Kedua tangannya berjaga di bahu Meilissa kanan dan kiri, memastikan gadis itu tidak kembali oleng.“Ehm... i-iya, Om. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku, Om.” Meilissa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.Menghela napas, L
"Engh... yes... di situ... mmh…."Suara desahan seorang pria terdengar menembus dinding tipis yang membatasi antara kamar Meilissa dan mamanya.Tubuh Meilissa menegang. Bunyi decit ranjang yang bergerak secara teratur sangat mengganggu akal sehatnya."Aaah, Ron. Di sana... enak sekali… oh...." Desahan seorang wanita menyusul. Itu suara mamanya.Selanjutnya, desahan dan erangan terdengar bersahutan. Semakin lama semakin kencang dan intens.Meilissa lekas menyambar headset bluetooth dari atas meja dan menyumpal telinganya dengan benda itu. “Dasar tidak tahu malu!” gerutunya jijik. Jemarinya bergetar saat memilih lagu. Detik berikutnya, musik berirama cepat dan menghentak memenuhi telinga gadis itu, menggantikan suara-suara yang membuatnya ingin muntah.Ini bukan pertama kalinya Meilissa menyaksikan dan mendengarkan hal tidak senonoh macam ini. Ibunya kerap membawa pacar-pacarnya ke rumah dan bercinta seolah mereka adalah pemilik dunia. Tapi, tetap saja, Meilissa tidak pernah terbiasa







