Mag-log inLionel tampak tercengang. Pria itu menatap Meilissa yang tegang dan kaku. Dan anehnya, sepasang mata gadis itu memancarkan sesuatu yang berbeda. Entah gugup. Tersipu. Atau, sesuatu yang tidak bisa Lionel terjemahkan dalam kata-kata.
Beberapa detik seolah terhenti bagi mereka. Hanya ada debaran jantung Meilissa dan jarak yang kian menipis serta tatapan yang sulit dialihkan.
Lalu—
Lionel mengerjap, mencoba memulihkan diri dari situasi yang cukup mengejutkan baginya. Awalnya dia ingin mencari putrinya, siapa sangka malah Meilissa yang ada di kamar.
Pria itu menarik napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, lalu menyentakkan Meilissa dengan lembut.
“Kamu baik-baik saja?” Suaranya rendah, tapi tetap terdengar hangat. Kedua tangannya berjaga di bahu Meilissa kanan dan kiri, memastikan gadis itu tidak kembali oleng.
“Ehm... i-iya, Om. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku, Om.” Meilissa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.
Menghela napas, Lionel menegakkan tubuhnya. Ada senyum kecil di sudut bibirnya, samar sekali hingga nyaris tidak terlihat.
“Gaunmu bisa bikin orang celaka,” ujar Lionel sesantai mungkin, tapi berusaha tetap menjaga wibawa.
“Hehe…, iya, Om,” ujar Meilissa, tersipu malu. Dalam hati merutuki kecerobohannya.
Lionel tanpa sadar mencuri pandang. Dan detik itu juga ada sesuatu yang mengusik hatinya. Sesuatu yang dia sendiri tidak tahu apa.
Meilissa berpura-pura merapikan gaun, sementara Lionel mengusap rambutnya ke belakang, mencari kata-kata yang tepat untuk lepas dari situasi yang mendadak canggung.
Tapi ternyata—
“MEIII! LAMA SEKALI KAMUUU…!”
Teriakan Liora terdengar keras dari luar kamar. Bunyi heels bersentuhan dengan lantai terdengar mendekat.
Sontak Lionel dan Meilissa serempak menoleh ke pintu, seakan suara itu adalah penyelamat mereka.
“Liora, Sayang, happy birthday…,” seru Lionel antusias, menutupi kecanggungan.
Meilissa menoleh. Pria dewasa itu bersikap seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Maka, Meilissa pun memutuskan bersikap sama.
“Papa? Papa sudah pulang?!” Liora menghambur ke pelukan Leonard, tertawa gembira.
Lionel sedikit membungkuk, membalas pelukan putrinya. “Papa kangen,” ucapnya, melerai pelukan lalu mencium kening putrinya dengan sayang.
“Makanya, jangan lama-lama di rumah sakit. Sekarang kangen aku kan?” protes Liora manja.
Lionel tersenyum, mengusap kepala Liora lembut. “Maafkan Papa. Hari ini ada yang melahirkan prematur. Dadakan.”
Liora tersenyum lebar. “Kalau begitu, aku maafkan.”
“Anak baik,” puji Lionel, merapikan poni Liora yang hampir mencolok mata.
Meilissa menatap pemandangan itu dari tempatnya berdiri. Insiden jatuh terlupakan seketika. Senyum tipisnya merekah di bibir. Kebahagiaan sederhana seorang ayah dan anak itu terlihat begitu indah di mata Meilissa. Kehangatan merayap masuk ke hatinya, menghangatkan ruang-ruang yang selama ini dingin dan kosong.
Pesta ulang tahun sederhana pun berjalan hangat. Liora dikelilingi oleh teman-teman dekatnya. Tawa dan canda terdengar, aroma kue dan lilin menyatu dengan kegembiraan.
Lionel memilih duduk di sofa, agak terpisah dari gerombolan anak muda itu. Dia membuka tablet, sambil sesekali matanya mengawasi interaksi puterinya dengan lawan jenis.
Meski tampak tenang di permukaan, namun setiap gerakan Liora tak luput dari penglihatannya.
Lama kelamaan, perhatiannya mulai oleng. Matanya, entah berapa kali tertuju kepada Meilissa.
Merasa diperhatikan, Meilissa menoleh, dan tatapan mereka bertemu. Gadis itu tersipu, lalu langsung menunduk.
Lionel, yang menyadari reaksi itu, buru-buru menyambar gelas minumannya dan meneguknya demi mengalihkan perasaannya sendiri.
Pesta terus berlanjut. Di beberapa kesempatan, Lionel dan Meilissa saling mencuri pandang.
Tawa dan canda teman-teman Liora memenuhi ruangan, aroma kue dan lilin menyatu dengan suasana ceria.
Saat teman-temannya sudah pulang, Liora merengek pada Meilissa.
“Ayolah, Mei. Bantu aku membukanya.” Dia menunjuk pada tumpukan kado di atas meja.
Meilissa mengerucutkan bibir. Ingin menolak, tapi tidak tega pada Liora yang sangat baik padanya. Kalau tidak menolak, hari sudah malam. Sopir Liora juga sudah pulang. Bus terakhir malam ini akan lewat tiga puluh menit lagi.
Lionel diam-diam melirik Meilissa dari sofa, ingin melihat reaksi gadis itu.
“Mei, dua hari lalu ulang tahunmu. Aku belum memberimu hadiah. Bagaimana kalau aku membagi setengah hadiahku untukmu. Ya?” bujuk Liora, memasang puppy eyes andalannya.
Meilissa menghela napas. “Jangan merayuku. Aku tidak akan tergoda,” cibirnya pura-pura marah.
Liora tidak mau menyerah. Dia diam sejenak, wajahnya tampak serius.
“Kalau begitu… apa yang paling kamu inginkan untuk hadiah ulang tahunmu?” tanyanya kemudian.
“Ha?” Meilissa mengerjap, terkejut dengan pertanyaan itu. Dia tidak ingin apa pun. Sejak kecil, ulang tahunnya nyaris tidak pernah dirayakan. Boro-boro merayakan, Mamanya bahkan tidak menganggap penting hari lahirnya.
“Katakan saja. Kamu mau apa?” tanya Liora, tersenyum manis.
“Ck! Jangan begitu. Aku benar-benar tidak ingin apa pun,” Meilissa meraih satu kado dengan bungkus silver berpita merah maron, “Baiklah. Meski kamu tidak memberiku apa pun, aku tetap akan membantumu membuka kado.”
“Yey! Aku sayang kamu, Mei.” Liora memeluk Meilissa, “O'ya. Tapi, aku tetap ingin memberimu sesuatu. Kamu harus menerimanya, atau aku akan marah.”
Meilissa melotot. “Jangan berlebihan. Aku tidak butuh—”
Cup! Liora tiba-tiba mencium pipi kiri Meilissa. “Ini dari adikmu.”
Lalu dia beralih ke pipi kanan. CUP! “Ini dari kakakmu.”
Meilissa langsung terbengong-bengong. Kaget bercampur haru yang merebak hingga ke matanya.
Cup! Sebuah kecupan penuh kasih mendarat di dahi Meilissa.
“Ini dari Mama dan Papamu. Kami sayang kamu,” ucap Liora sungguh-sungguh.
Meilissa menutup mata, menahan isak yang tiba-tiba naik ke tenggorokan. Air mata menetes pelan, membasahi pipinya.
Di rumah ini, dalam pelukan dan perhatian sederhana Liora, dia merasakan sesuatu yang hangat—sebuah keluarga yang selama ini dia pikir mustahil untuk dimilikinya.
Suasana hening sesaat. Hanya terdengar napas pelan dan detik jam dinding. Leonard mengamati interaksi kedua gadis itu—putrinya yang ceria, dan gadis asing yang tampak rapuh tapi berusaha menutupinya dengan senyum.
Ada sesuatu yang bergetar samar di dadanya. Iba, terenyuh, atau apa? Dia tidak tahu.
Perasaan itu menggerakkan mulutnya secara impulsif. “Liora, jangan ganggu temanmu,” tegurnya berwibawa, seperti ayah menegur anaknya yang nakal. Matanya menatap lembut pada Meilissa.
Liora langsung manyun, bahunya merosot. “Aku tidak mengganggunya! Aku cuma ingin berbagi semua yang aku punya dengan Mei. Aku tidak menyakitinya. Iya kan, Mei?” katanya, mencari dukungan pada temannya.
Tidak ingin Liora disalahkan, Melissa buru-buru menyeka air mata. “Iya, Om. Aku menangis karena terharu. Bukan karena Liora nakal.”
“Nah, apa aku bilang?” Liora kembali memeluk Meilissa, “Aku tidak akan menyakitimu. Aku bahkan mau membagi semua milikku. Kalau kamu mau, aku akan membagi Papa untukmu.”
“Eh?” Meilissa refleks menoleh ke Lionel.
Sementara Leonard tercengang, menatap putrinya dan Meilissa secara bergantian.
Ucapan itu meluncur ringan dari bibir Liora, tapi siapa sangka memberi sensasi yang berbeda di telinga dan hati Leonard dan Meilissa.
"Astaga, Liora! Kamu tidak sadar kalau ucapanmu membuat jantungku berdebar kencang!" protes Meilissa dalam hati.
“Kita mampir dulu, ya?” putus Lionel kemudian.Mobil yang dia kendarai berbelok ke sebuah coffee shop yang buka dua puluh empat jam.“Ya…” angguk Meilissa, bertepatan dengan mobil berhenti di area parkir yang disediakan.“Tunggu. Sebentar saja,” ucap Lionel, langsung keluar tanpa menunggu respon Meilissa.Meilissa menatap punggung Lionel yang masuk ke dalam coffee shop. Dia heran pada dirinya sendiri. Meski canggung, tapi Meilissa menyadari satu hal. Dia tidak takut pada Lionel. Lelaki itu berbeda sekali dengan pacar-pacar Mamanya yang kurang ajar. Tatapan Lionel sopan. Gerak gerik dan tutur katanya pun lembut.Tidak lama, Lionel kembali muncul dengan satu kantung besar dan satu kantung kecil.“Makan yang ini.” Dia memberikan kantong kecil pada Meilissa, kemudian dia mengangkat kantong besar, “Bawa pulang. Jadi, kamu tidak perlu masak untuk sarapan.”Meilissa melongok kantong kecil, yang ternyata berisi satu gelas cokelat hangat dan croissant. Hatinya berdesir saat mengambil kantong i
Meski ingin, tapi ternyata Meilissa tidak sanggup bercerita.“Hm…, iya, Om. Terima kasih atas perhatiannya," kata Meilissa akhirnya. Dia memilih menyimpan kembali uneg-uneg ke dalam hatinya.Lionel menghela napas sambil menatap Meilissa dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Minum, Om? Tadi katanya haus,” ucapnya berusaha mengalihkan topik. Dia mengangkat gelas lalu sengaja memasang mimik menggemaskan sambil menggoyangkan gelasnya perlahan.Tidak ingin memaksa, Lionel mendekatkan gelas ke bibir dan meminum isinya hingga habis. "Hhh… lega….," katanya sembari mengangkat gelas, meniru gaya Meilissa.Meilissa tersenyum lebar. "Lagi, Om?" tawarnya, siap sedia mengisi ulang gelas yang sudah kosong.Lionel menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih."“Kalau begitu, berikan gelasnya padaku. Aku cucikan.” Meilissa langsung mengambil alih gelas, dan bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas-gelas tadi.Diam-diam Lionel memperhatikan gerak-gerik Meilissa. Cara mencucinya begit
Lionel berdehem pelan. Hati boleh jedag jedug karena celetukan puterinya, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. “Liora,” panggil Lionel dengan nada berwibawa. Serempak Liora dan Meilissa menoleh.“Papa bukan barang yang bisa dibagi-bagi, Sayang. Tapi kalau kamu mau, Papa bisa menyayangi Meilissa. Sama seperti Papa mencintaimu," katanya kemudian. Matanya yang teduh kembali menatap Meilissa.Liora tersenyum puas, lalu menghambur ke pelukan Papanya. "I love you, Papa," ucapnya manja - mencium pipi Lionel yang langsung membalasnya dengan peluk dan cium.Baik Liora maupun Lionel itu tidak sadar kalau Meilissa terpaku di tempatnya dengan perasaan membuncah.Lionel bisa menyayanginya?Meilissa menunduk, menyembunyikan merah yang semburat di pipinya.Kalimat itu berhasil menyentuh relung hatinya yang terdalam, mengisinya dengan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Sedangkan Lionel?Saat melihat rona merah di pipi Meilissa, ada desiran aneh yang muncul, namun cepat-cepat
Lionel tampak tercengang. Pria itu menatap Meilissa yang tegang dan kaku. Dan anehnya, sepasang mata gadis itu memancarkan sesuatu yang berbeda. Entah gugup. Tersipu. Atau, sesuatu yang tidak bisa Lionel terjemahkan dalam kata-kata.Beberapa detik seolah terhenti bagi mereka. Hanya ada debaran jantung Meilissa dan jarak yang kian menipis serta tatapan yang sulit dialihkan.Lalu—Lionel mengerjap, mencoba memulihkan diri dari situasi yang cukup mengejutkan baginya. Awalnya dia ingin mencari putrinya, siapa sangka malah Meilissa yang ada di kamar.Pria itu menarik napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, lalu menyentakkan Meilissa dengan lembut.“Kamu baik-baik saja?” Suaranya rendah, tapi tetap terdengar hangat. Kedua tangannya berjaga di bahu Meilissa kanan dan kiri, memastikan gadis itu tidak kembali oleng.“Ehm... i-iya, Om. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku, Om.” Meilissa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.Menghela napas, L
"Engh... yes... di situ... mmh…."Suara desahan seorang pria terdengar menembus dinding tipis yang membatasi antara kamar Meilissa dan mamanya.Tubuh Meilissa menegang. Bunyi decit ranjang yang bergerak secara teratur sangat mengganggu akal sehatnya."Aaah, Ron. Di sana... enak sekali… oh...." Desahan seorang wanita menyusul. Itu suara mamanya.Selanjutnya, desahan dan erangan terdengar bersahutan. Semakin lama semakin kencang dan intens.Meilissa lekas menyambar headset bluetooth dari atas meja dan menyumpal telinganya dengan benda itu. “Dasar tidak tahu malu!” gerutunya jijik. Jemarinya bergetar saat memilih lagu. Detik berikutnya, musik berirama cepat dan menghentak memenuhi telinga gadis itu, menggantikan suara-suara yang membuatnya ingin muntah.Ini bukan pertama kalinya Meilissa menyaksikan dan mendengarkan hal tidak senonoh macam ini. Ibunya kerap membawa pacar-pacarnya ke rumah dan bercinta seolah mereka adalah pemilik dunia. Tapi, tetap saja, Meilissa tidak pernah terbiasa







