LOGINLionel berdehem pelan. Hati boleh jedag jedug karena celetukan puterinya, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang.
“Liora,” panggil Lionel dengan nada berwibawa. Serempak Liora dan Meilissa menoleh.
“Papa bukan barang yang bisa dibagi-bagi, Sayang. Tapi kalau kamu mau, Papa bisa menyayangi Meilissa. Sama seperti Papa mencintaimu," katanya kemudian. Matanya yang teduh kembali menatap Meilissa.
Liora tersenyum puas, lalu menghambur ke pelukan Papanya. "I love you, Papa," ucapnya manja - mencium pipi Lionel yang langsung membalasnya dengan peluk dan cium.
Baik Liora maupun Lionel itu tidak sadar kalau Meilissa terpaku di tempatnya dengan perasaan membuncah.
Lionel bisa menyayanginya?
Meilissa menunduk, menyembunyikan merah yang semburat di pipinya.
Kalimat itu berhasil menyentuh relung hatinya yang terdalam, mengisinya dengan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.
Sedangkan Lionel?
Saat melihat rona merah di pipi Meilissa, ada desiran aneh yang muncul, namun cepat-cepat dia tepis.
"O'ya. Sepertinya kamu tidak membawa kendaraan. Bagaimana caramu pulang?" tanyanya, mencoba mengendalikan perasaannya sendiri.
Meilissa melirik jam dinding. "Saya pulang sekarang saja. Sebentar lagi, bis terakhir lewat."
Lionel mengangguk kecil, lalu bangkit dari duduknya. “Ayo, aku..., ehm…”
Meilissa dan Liora menatapnya hampir bersamaan, menunggu kelanjutan kata-kata lelaki tampan berusia empat puluh tahun itu.
Lionel merangkul bahu Liora. “Ayo, Liora. Ikut Papa. Kita antar Mei.”
"Tidak mau!" Liora menarik tangannya lalu bersedekap, berpose ala anak kecil keras kepala.
Lionel menghela napas. "Liora,... -"
"Eh, tidak usah, Om. Aku bisa sendiri," potong Meilissa sungkan. Ini sudah malam, pasti Liora lelah dan malas keluar rumah.
"Aku maunya Mei menginap disini, Papa. Jadi, kita tidak perlu mengantarnya," pinta Liora, seperti biasa merengek manja.
Lionel menghela napas. "Sepertinya Papa terlalu memanjakan kamu," keluhnya serba salah.
Pandangannya beralih ke Meilissa — yang tampak kikuk dan sungkan.
"Mei, kamu tidak mau menemani aku malam ini? Jahat sekali! Aku masih ingin bersamamu,” rengek Liora bersikeras, apa yang dia ingin harus didapat.
“Eh, bukan gitu. Tapi…” Meilissa bingung harus memberi alasan apa. Tuan rumah berkata akan mengantar pulang, apa etis dia tetap tinggal?
"Pokoknya, kamu harus menginap." Liora kumat keras kepalanya. Dia bahkan memeluk lengan Meilissa erat, tidak mengijinkan pergi.
Lionel menatap Liora lebih lama, tangannya mengusap dagunya sendiri. Antara gemas pada keras kepala Liora dan tidak tega menolak permintaan puteri tersayangnya.
“Liora,” ucapnya tenang tapi tegas, “Papa tidak ingin kamu memaksa Mei. Tapi…” Lionel mengalihkan pandangan kepada Meilissa, “Liora benar. Sebaiknya kamu menginap. Sudah terlalu malam untuk pulang. Kami senang sekali dengan kehadiranmu.”
Meilissa membuka mulut, ingin menolak. Tapi, yang keluar dari mulutnya ternyata berbeda. Tidak bisa dipungkiri rumah ini membuatnya nyaman.
“Aku…, ehm, kalau Om mengijinkan…,” Meilissa membalas tatapan Lionel malu-malu, “baiklah, Om. Aku menginap.”
“Nah, itu baru temanku,” sorak Liora, menggamit tangan Meilissa dan menarik temannya itu ke kamarnya.
"Kami duluan, Om," pamit Meilissa, berjalan sambil menoleh ke belakang.
“Bye, Girls. Tidur yang nyenyak.” Lionel melambaikan tangan, kedua sudut bibirnya terangkat secara otomatis. Dan, lagi-lagi, tatapan matanya tertuju pada punggung ramping milik Meilissa.
Di kamar Liora, Meilissa menggelengkan kepala melihat kelakuan Liora yang kekanak-kanakan. Padahal Liora yang memaksa supaya dirinya menginap, katanya ingin ngobrol.
Tapi, kenyataannya?
Begitu selesai berganti pakaian, Liora langsung melempar tubuhnya ke tempat tidur. Hanya dalam hitungan detik, suara dengkuran halus sudah terdengar. Menghela napas, Meilissa memandangi wajah Liora yang masih penuh riasan.
“Dasar anak manja. Untung kamu teman terbaikku,” gumamnya sambil tersenyum.
Meilissa lalu mengambil kapas dan pembersih riasan dari meja rias Liora, lalu dengan sangat hati-hati membersihkan wajah Liora. Dia memperlakukan Liora begitu lembut seperti seorang kakak yang sedang menjaga adiknya. Sesekali dia menyingkirkan poni Liora yang menutupi dahi, agar lebih leluasa mengusap bekas maskara dan bedak.
“Nah, begini kan bersih,” bisik Meilissa, puas pada hasil tangannya sendiri.
Tiba-tiba, suara getar ponsel memecah keheningan malam. Khawatir membangunkan Liora, Meilissa buru-buru meraih ponselnya dari atas nakas.
Layarnya menyala, menampilkan satu nama yang membuat dadanya langsung menegang.
Mama.
Firasat buruk langsung melingkupinya.
“Berapa yang akan Mama minta kali ini?” keluh Meilissa, kesal bercampur sedih. Selama ini Miranda, Mama yang sudah melahirkan dia, tidak pernah menelepon selain masalah uang.
Meilissa memejamkan mata, mengingat-ingat jumlah saldo terakhir di rekening dan uang tunai yang tersisa di dompet sembari mengumpulkan keberanian untuk mengangkat telepon.
Telepon berhenti sebentar, hanya untuk kembali bergetar. Meilissa melirik Liora yang masih tidur pulas. Tidak ingin mengganggu temanya, Meilissa memutuskan keluar kamar dengan berjingkat-jingkat.
Dia membiarkan telepon mati dan menyala, sementara langkah-langkah kakinya tanpa suara menyusuri koridor, kemudian masuk ke dapur, bertepatan dengan telepon yang kembali menyala.
Gadis itu menatap layar ponsel dengan perasaan sesak, lalu jarinya sedikit bergetar saat menggeser tombol hijau.
“Lama sekali sih?! Cepat transfer satu juta ke rekeningku! Sekarang!” Suara Miranda langsung terdengar, bahkan sebelum Meilissa sempat mengucapkan apa pun. Nadanya kasar dan tinggi.
Meilissa refleks menjauhkan ponsel dari telinga, lalu menghembuskan napas kasar sebelum kembali menempelkan ponsel di telinga.
“Hallo?” sapa Meilissa akhirnya. Dia berbicara sepelan mungkin karena hari sudah malam. Suara pelan biasanya terdengar lebih keras ditengah sunyinya malam.
“Apa kamu tuli, hah? Tadi kamu tidak mendengarku? Kirimkan uangnya sekarang!” hardik Miranda, membuat telinga Meilissa terasa pekak. Suara Miranda keras sekali hingga Meilissa tidak perlu menyalakan speaker untuk mendengarnya. “Satu juta, Mel! Mengerti!?”
“Aku tidak punya uang sebanyak itu, Mama,” jawab Meilissa getir. Uang hasil kerja partime-nya sudah hampir habis, dan tanggal gajian masih dua minggu lagi.
“Bohong! Aku tahu kamu masih ada uang di rekening. Aku tidak mau tahu, kirimkan sekarang! Aku butuh uang itu.”
Meilissa memejamkan mata, menahan diri supaya tidak berkata kasar pada Miranda. Dadanya terasa sakit saat menarik napas dan menghembuskannya.
“Mama, uangnya sudah aku pakai untuk membayar biaya hidup kita sehari-hari. Aku… –”
“Mama bilang transfer sekarang! Atau, Mama akan ke rumah temanmu. Si Liora itu. Dia anak orang kaya, pasti bisa meminjamkan uang barang satu juta saja.”
“Mama, jangan ganggu temanku!” seru Meilssa panik, sesaat dia lupa kalau Miranda tidak tahu rumah Liora.
“Kalau begitu, transfer sekarang! Aku tunggu, atau kamu akan menyesal.”
Telepon dimatikan sepihak oleh Miranda. Bahu Meilissa luruh bagai tak bertulang. Air matanya mengalir tanpa permisi.
Tengah malam begini, alih-alih menanyakan keberadaannya, Miranda malah menerornya dengan perintah transfer uang.
Dengan berat hati, Meilissa mengirimkan uang satu juta terakhir yang ada di rekeningnya ke rekening Miranda. Setelah itu dia mengirimkan bukti transfer, berikut dengan hasil tangkap layar yang menampakkan sisa saldo di rekeningnya hanya ada angka nol koma sekian.
“Sudah aku kirim uangnya, Mama. Bulan ini, tidak ada lagi dana tersisa untuk kita,” ketik Meilissa dengan raut muram, sengaja berbohong pada Miranda. Harapannya, bulan ini Miranda berhenti minta uang.
Sebenarnya dia masih menyimpan sedikit uang tunai, yang sengaja diselipkan ke berbagai tempat supaya tidak diambil oleh Miranda.
Pesan terkirim. Meilissa menatap tanda centang yang dengan cepat berubah biru. Tapi, hanya sampai di situ. Tidak ada balasan, apalagi ucapan terima kasih.
“Kalau urusan uang, cepat sekali membacanya,” sinis Meilissa, sudah tidak mampu lagi berpikir positif soal Miranda.
“Mei, kamu tidak tidur?”
Suara Lionel mengagetkan Meilissa. Dia berbalik badan dan melihat Lionel berdiri di ambang pintu dengan piyama tidur berwarna biru tua. Lelaki itu melangkah mendekat dengan ekspresi yang tidak terbaca.
“Eh, Om Lionel?” sapanya, tersenyum kikuk, “Om belum tidur?”
“Aku haus.” Lionel sengaja beralasan. Dia berjalan ke lemari penyimpanan dan mengambil dua buah gelas, lalu mengisinya dengan air.
Meilissa mengikuti Lionel dengan pandangan matanya.
“Minum?” Lionel memberikan gelas berisi air kepada Meilissa.
“Terima kasih, Om.”
“Kamu sepertinya sedang ada masalah,” pancingnya. Dia mengamati wajah Meilissa dengan seksama karena sebenarnya dia mendengar pembicaraan Meilissa dengan Miranda di telepon tadi.
Meilissa menatap ke gelas di tangannya, matanya terasa panas. “Ada sedikit, Om. Tapi, sudah beres.”
“Ada beberapa masalah yang hanya bisa diselesaikan dengan bantuan orang dewasa…,” Lionel berhenti sejenak, menunggu reaksi Meilissa.
Meilissa mendongak, menatap Lionel dengan sepasang matanya yang sayu.
Lionel tersenyum tulus. “Kalau butuh bantuan, katakan saja. Aku tidak tega melihat gadis seusia puteriku memikirkan masalah orang dewasa.”
Meilissa mengerjapkan mata sambil menatap Lionel.
Ada banyak hal yang ingin dia curahkan. Tentang cinta yang tidak pernah dia dapat dari orang tua. Soal tekanan ekonomi yang dibebankan ke bahunya. Dan juga, perasaan lelah dan khawatir akan masa depannya.
Bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu, tapi tidak tahu harus mulai dari mana.
Namun dalam diam itu, hatinya berbisik, ‘Om, bolehkah aku mencurahkan segalanya padamu?'
“Kita mampir dulu, ya?” putus Lionel kemudian.Mobil yang dia kendarai berbelok ke sebuah coffee shop yang buka dua puluh empat jam.“Ya…” angguk Meilissa, bertepatan dengan mobil berhenti di area parkir yang disediakan.“Tunggu. Sebentar saja,” ucap Lionel, langsung keluar tanpa menunggu respon Meilissa.Meilissa menatap punggung Lionel yang masuk ke dalam coffee shop. Dia heran pada dirinya sendiri. Meski canggung, tapi Meilissa menyadari satu hal. Dia tidak takut pada Lionel. Lelaki itu berbeda sekali dengan pacar-pacar Mamanya yang kurang ajar. Tatapan Lionel sopan. Gerak gerik dan tutur katanya pun lembut.Tidak lama, Lionel kembali muncul dengan satu kantung besar dan satu kantung kecil.“Makan yang ini.” Dia memberikan kantong kecil pada Meilissa, kemudian dia mengangkat kantong besar, “Bawa pulang. Jadi, kamu tidak perlu masak untuk sarapan.”Meilissa melongok kantong kecil, yang ternyata berisi satu gelas cokelat hangat dan croissant. Hatinya berdesir saat mengambil kantong i
Meski ingin, tapi ternyata Meilissa tidak sanggup bercerita.“Hm…, iya, Om. Terima kasih atas perhatiannya," kata Meilissa akhirnya. Dia memilih menyimpan kembali uneg-uneg ke dalam hatinya.Lionel menghela napas sambil menatap Meilissa dengan sorot yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.“Minum, Om? Tadi katanya haus,” ucapnya berusaha mengalihkan topik. Dia mengangkat gelas lalu sengaja memasang mimik menggemaskan sambil menggoyangkan gelasnya perlahan.Tidak ingin memaksa, Lionel mendekatkan gelas ke bibir dan meminum isinya hingga habis. "Hhh… lega….," katanya sembari mengangkat gelas, meniru gaya Meilissa.Meilissa tersenyum lebar. "Lagi, Om?" tawarnya, siap sedia mengisi ulang gelas yang sudah kosong.Lionel menggelengkan kepala. "Tidak. Terima kasih."“Kalau begitu, berikan gelasnya padaku. Aku cucikan.” Meilissa langsung mengambil alih gelas, dan bergerak ke wastafel untuk mencuci gelas-gelas tadi.Diam-diam Lionel memperhatikan gerak-gerik Meilissa. Cara mencucinya begit
Lionel berdehem pelan. Hati boleh jedag jedug karena celetukan puterinya, tapi ekspresi wajahnya tetap tenang. “Liora,” panggil Lionel dengan nada berwibawa. Serempak Liora dan Meilissa menoleh.“Papa bukan barang yang bisa dibagi-bagi, Sayang. Tapi kalau kamu mau, Papa bisa menyayangi Meilissa. Sama seperti Papa mencintaimu," katanya kemudian. Matanya yang teduh kembali menatap Meilissa.Liora tersenyum puas, lalu menghambur ke pelukan Papanya. "I love you, Papa," ucapnya manja - mencium pipi Lionel yang langsung membalasnya dengan peluk dan cium.Baik Liora maupun Lionel itu tidak sadar kalau Meilissa terpaku di tempatnya dengan perasaan membuncah.Lionel bisa menyayanginya?Meilissa menunduk, menyembunyikan merah yang semburat di pipinya.Kalimat itu berhasil menyentuh relung hatinya yang terdalam, mengisinya dengan sebuah kehangatan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.Sedangkan Lionel?Saat melihat rona merah di pipi Meilissa, ada desiran aneh yang muncul, namun cepat-cepat
Lionel tampak tercengang. Pria itu menatap Meilissa yang tegang dan kaku. Dan anehnya, sepasang mata gadis itu memancarkan sesuatu yang berbeda. Entah gugup. Tersipu. Atau, sesuatu yang tidak bisa Lionel terjemahkan dalam kata-kata.Beberapa detik seolah terhenti bagi mereka. Hanya ada debaran jantung Meilissa dan jarak yang kian menipis serta tatapan yang sulit dialihkan.Lalu—Lionel mengerjap, mencoba memulihkan diri dari situasi yang cukup mengejutkan baginya. Awalnya dia ingin mencari putrinya, siapa sangka malah Meilissa yang ada di kamar.Pria itu menarik napas panjang, menurunkan tangannya perlahan, lalu menyentakkan Meilissa dengan lembut.“Kamu baik-baik saja?” Suaranya rendah, tapi tetap terdengar hangat. Kedua tangannya berjaga di bahu Meilissa kanan dan kiri, memastikan gadis itu tidak kembali oleng.“Ehm... i-iya, Om. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku, Om.” Meilissa menundukkan kepala dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rona merah di wajahnya.Menghela napas, L
"Engh... yes... di situ... mmh…."Suara desahan seorang pria terdengar menembus dinding tipis yang membatasi antara kamar Meilissa dan mamanya.Tubuh Meilissa menegang. Bunyi decit ranjang yang bergerak secara teratur sangat mengganggu akal sehatnya."Aaah, Ron. Di sana... enak sekali… oh...." Desahan seorang wanita menyusul. Itu suara mamanya.Selanjutnya, desahan dan erangan terdengar bersahutan. Semakin lama semakin kencang dan intens.Meilissa lekas menyambar headset bluetooth dari atas meja dan menyumpal telinganya dengan benda itu. “Dasar tidak tahu malu!” gerutunya jijik. Jemarinya bergetar saat memilih lagu. Detik berikutnya, musik berirama cepat dan menghentak memenuhi telinga gadis itu, menggantikan suara-suara yang membuatnya ingin muntah.Ini bukan pertama kalinya Meilissa menyaksikan dan mendengarkan hal tidak senonoh macam ini. Ibunya kerap membawa pacar-pacarnya ke rumah dan bercinta seolah mereka adalah pemilik dunia. Tapi, tetap saja, Meilissa tidak pernah terbiasa







