LOGINMengira yang datang adalah Liora, Meilissa membuka pintu dengan sambil berusaha terlihat baik-baik saja.Tangannya bergetar saat hendak membuka pintu. Debaran di jantung terasa sangat mengganggu hingga Meilissa harus berusaha keras untuk sekedar tersenyum tipis.Yang lebih mengejutkan lagi adalah orang yang berdiri di depan pintu bukan Liora, melainkan Lionel.Meilissa tertegun saat mendengar sapaan Lionel“Selamat malam, Mei. Bagaimana kondisimu malam ini?" sapa Lionel formal.Suara tenang persis sama seperti dokter yang sedang menanyai pasiennya saat sedang berada di ruang periksa.Bagi Meilissa, dunia terasa berhenti. Udara di ruangan itu seakan menyusut. Setiap tarikan napas terasa menyakitkan dada.Sebagai dokter yang berpengalaman, Lionel langsung menangkap sesuatu yang janggal.Di rumah sakit, Meilissa terlihat lebih tenang. Memang disana Meilissa tampak lemah secara fisik, tapi tidak seperti saat ini. Saat ini Meilissa terlihat tegang dan gugup.“Maaf, Om…” suara Meilissa terd
Sekarang justru Liora yang terdiam. Dia teringat pesan papanya—pesan yang masih terngiang jelas di kepalanya kalau Meilissa belum boleh tahu tentang peristiwa buruk itu.Takut keceplosan, Liora mengeluarkan ponsel dan berpura-pura sibuk menulis pesan pada entah siapa.Meilissa menunggu, berharap sahabatnya itu berkata sesuatu—apa pun asalkan bisa memberinya pencerahan.Tapi tampaknya Liora tidak berniat mengatakan apa pun. Mulutnya benar-benar terkatup seperti kerang yang menolak terbuka.Pada akhirnya, Meilissa hanya bisa menelan rasa penasaran itu sendiri. Dia melihat keluar jendela, dengan perasaan berkecamuk.Untunglah, semua itu tidak berlangsung lama. Mobil yang mereka tumpangi masuk ke halaman rumah mewah Lionel.Liora menghela napas lega. Setidaknya, di rumah ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk menghindari pertanyaan Meilissa.Bibi Emma menyambut mereka senyum lebar."Apa kabar, Nona? Saya dengar Nona baru sembuh dari sakit," sapanya sambil memeluk erat Meilissa. Pengasu
Meilissa duduk sendiri di bangku panjang dekat pintu keluar dan menunggu dengan sabar. Pandangannya mengikuti orang-orang yang keluar masuk—hingga tiba-tiba dunianya seakan berhenti berputar."Aduh!" Meilissa tersentak kaget.Pedih menyambar kulit kepalanya. Rambutnya dijambak dengan keras oleh seseorang hingga kepalanya ikut mendongak.Sakit sekali! Sampai matanya terasa berkunang-kunang.“Sialan kamu, Mei!” geram Miranda. Dia baru saja membeli beberapa keperluan Evan, ketika tidak sengaja melihat Meilissa duduk dengan santai di bangku."Sshh... Mama?!" rintih Meilissa, "Sakit... Mama, lepaskan, Ma!"Alih-alih melepaskan, Miranda justru menarik rambut Meilissa semakin kuat dan mendekatkan wajahnya ke wajah puterinya. Tangan Meilissa refleks terangkat supaya Miranda melepaskan cengkeramannya.PLAK! "AW!" Miranda menepis tangan Meilisa dengan kasar."Mengaku sakit, tapi keluyuran! Lapor polisi kalau diperkosa, tapi kondisimu baik-baik saja. Katanya dirawat di rumah sakit, malah belan
Menangkap reaksi Meilissa yang aneh, Liora refleks menyentuh tangan Lionel.“Papa, Mei…” bisiknya pelan, sementara matanya terus melihat Meilissa dengan sorot mata khawatir. Dia takut sahabatnya kembali tumbang.Lionel juga merasakan perubahan itu, tapi reaksinya lebih tenang meski batinnya, meronta-ronta ingin memeluk dan menenangkan gadis yang sudah berhasil menarik perhatiannya.Tapi, sekali lagi etika sebagai dokter menghalanginya untuk menuruti keinginan hati. Sebagai ganti, dia menoleh pada Liora dan memberi syarat dengan anggukan samar nyaris tak terlihat."Ya," angguk Liora mengerti.Tanpa disuruh dua kali, Meilissa segera mendekat dan memeluk Meilissa.Pelukan itu terasa hangat dan lembut bagi Meilissa. Tubuh yang semula kaku perlahan melunak. Napas yang terputus-putus mulai teratur. Tanpa sadar Meilissa membalas pelukan itu dengan erat seakan tubuh Liora adalah pegangan terakhir dalam hidupnya.Lionel menghela napas. Sekali lagi memberi kode pada Liora untuk mengalihkan piki
Lionel melangkah memasuki area front office dengan wajah datar dan sikap yang sepenuhnya profesional. Jas dokter yang dikenakannya rapi, langkahnya mantap, tanpa sedikit pun keraguan.“Selamat pagi, Nyonya,” sapa Lionel formal.Miranda yang sejak tadi duduk sambil menyilangkan kaki langsung mendongak saat mendengar suara berat itu. Tatapannya bergerak cepat, mengamati sosok lelaki yang masih tampan di usianya yang sudah matang saat ini.Petugas front office segera berdiri, tersenyum ramah dan berkata, "Selamat pagi, Dokter. Perkenalkan. Ini Mama dari pasien bernama Meilissa.”Kemudian petugas itu menoleh pada Miranda dan kembali bicara, “Nyonya, ini Dokter Lionel. Dokter penanggung jawab puteri anda, Meilissa.”Miranda bangkit berdiri dengan gerakan lemah gemulai khas penggoda. Senyum terukir di bibirnya yang merah menyala. Tidak lupa matanya menatap Lionel dengan cara yang biasa dia gunakan untuk menaklukkan laki-laki—tatapan penuh percaya diri, seolah yakin pesonanya tak pernah gaga
Kamar rawat VIP itu terasa terlalu tenang pagi itu. Cahaya matahari masuk melalui tirai tipis, jatuh lembut di ranjang tempat Meilissa berbaring.Wajah Meilissa sudah terlihat jauh lebih segar dibandingkan beberapa hari lalu. Infus sudah dilepas. Monitor yang berada di samping ranjang juga menunjukkan angka-angka yang stabil. Dokter bahkan sudah memberi izin pulang.Hasil tes menunjukkan semuanya baik. Tekanan darah normal. Efek zat asing yang sempat membuat tubuh Meilissa tumbang perlahan menghilang. Tidak ada komplikasi serius. Secara medis, Meilissa dinyatakan aman.Lionel duduk di dekat jendela, sibuk dengan ponsel di tangannya. Raut wajahnya tampak serius. Meilissa melihat beberapa kali jari Lionel mengetik sesuatu dengan gerakan tergesa.“Om, maaf mengganggu," sela Meilissa pelan. "Hm?" respon Lionel, tanpa menoleh. Dia membaca sesuatu di layar dengan kening berkerut."Apa aku benar-benar boleh pulang hari ini?” tanya Meilissa lagi. Dia sudah tidak sabar ingin keluar dari rumah







