Share

09 - Tawaran

Perempuan dengan jaket tebal itu menatap lelaki di depannya kesal, pasalnya dia baru saja turun ke lantai 1 berniat untuk mencari makan malam sendirian karena Nafa sudah tidur tetapi Rey malah mengikutinya sampai di penjual nasi goreng dan ikut makan bersamanya. Apalagi Habib yang sengaja membiarkan dia pergi berdua dengan Rey, lelaki yang mengaku temannya itu beralasan mengantuk padahal dia dapat melihat jelas mata Habib yang masih segar.

“Kamu udah kenyang, Na?” tanya Rey memandang nasi goreng Ona yang masih setengah.

Ona hanya bergumam pelan dan melanjutkan makan. Ingatan Ona kembali pada percakapannya dengan Nafa kemarin sore. Ona bertanya pada Nafa tentang tawaran Rey yang mau menjadi pacar pura-puranya.

“Gini, Na, tapi lo jangan marah ya,” jawab Nafa pelan ketika Ona tanya mengenai tawaran Rey. Ona terus menatap Nafa dan menunggu perempuan itu melanjutkan ucapannya. “Tadi malam ‘kan gue ke dapur buat mi instan, di sana gue ketemu Habib dan Rey lagi ngopi bareng, terus karena gue bingung juga mau memberi saran gimana akhirnya gue cerita ke mereka tentang masalah lo. Eh, tiba-tiba Rey ngomong mau jadi pacar pura-pura lo.”

“Sinetron banget.” Hanya itu tanggapan Ona dan berlalu meninggalkan Nafa. Sebenarnya sampai sekarang Ona masih memikirkan hal itu, dia masih bimbang.

“Ngalamun aja,” ujar Rey sambil mengamati Ona. Perempuan itu tersentak dan melanjutkan makannya tanpa melihat Rey. Rey sudah merasa biasa dengan sikap Ona yang dingin dan irit bicara, perempuan itu sama sekali tidak tergoda dengan pesona Rey. Apa Rey sebaiknya berusaha mendekati Ona dan menghangatkan hatinya yang dingin itu?

Mata Rey mengamati Ona yang makan dengan perlahan, cahaya remang-remang dari lampu penjual nasi goreng membuat Ona berkali lipat lebih menarik di mata Rey, padahal sebelumnya dia sama sekali tidak tertarik dengan perempuan itu. Namun, ketika Rey melihat senyum tipis Ona dan menampakkan lesung pipi membuat Rey terpaku, apalagi kepanikan Ona ketika mati lampu di arsip bersamanya beberapa hari lalu membuat Rey semakin penasaran. Ona seperti sedang menyembunyikan sesuatu yang besar.

Tanpa sadar Rey sudah mengamati Ona terlalu lama sampai perempuan itu sudah selesai makan dan minum teh hangat. Rey tersenyum dan mengalihkan pandangan pada jalan raya yang masih ramai di jam 10 malam, kantor yang menjulang di depan penjual nasi goreng juga masih ramai dengan lampu menyala terang. Akhir bulan memang waktu yang tepat untuk lembur mengejar target bulanan.

Setelah menyelesaikan makannya Ona bangkit diikuti Rey untuk membayar makanan. Namun, ketika Ona mau menyerahkan uang, Rey sudah lebih dulu menyerahkan uang sekalian membayar makanan Ona. Ona malas berdebat dan memilih mengalah. Kemudian mereka berdua berjalan bersama menuju indekos yang berjarak tidak jauh.

“Makasih,” ujar Ona tanpa melihat Rey.

“Sama-sama,” jawab Rey sambil tersenyum padahal Ona tidak melihat wajahnya.

Udara malam membuat Ona merapatkan jaketnya, samar-samar terdengar gemuruh petir yang bertanda akan turun hujan. Langit malam yang biasanya menampilkan kelap-kelip bintang kini hanya ada awan mendung. Suara sepeda motor dan mobil mengisi keheningan perjalanan Ona dan Rey.

Rey memutar otak untuk mencari bahan obrolan tetapi kini otaknya buntu. Rey tidak menemukan ide untuk membuat Ona buka mulut. Mata Rey melihat Ona yang merapatkan jaketnya karena dingin, ada ide terlintas di benak Rey untuk bersikap sok romantis dengan menganggam tangan Ona dan meniup tangan itu supaya lebih hangat. Tetapi pikiran itu segera Rey tepis karena Ona pasti langsung menolaknya dan meninggalkannya berjalan sendirian. Rey memang harus lebih hati-hati untuk mendekati perempuan dingin itu, salah langkah sedikit bisa menutup kesempatan Rey untuk dekat dengan Ona.

Tiba-tiba ponsel di saku celana Rey berdering nyaring membuat Ona mengalihkan perhatiannya pada Rey karena merasa terganggu dengan suara itu. Rey tersenyum dan segera mengambil ponselnya yang menampilkan panggilan dari ayahnya.

“Iya, Yah?” tanya Rey. Sejenak Ona mematung mendengar Rey memanggil si penelepon Ayah, dalam hati kecilnya Ona sangat merindukan ayahnya. Sebelum rindu itu semakin membuncah Ona segera menggelengkan kepala dan lanjut berjalan.

“Kabar aku baik, Yah. Mungkin minggu depan aku bisa pulang,” jawab Rey sambil tersenyum manis.

Tidak lama kemudian Rey sudah mengakhiri percakapan via telepon dengan ayahnya dan menyusul Ona yang sudah beberapa langkah di depannya.

“Na,” panggil Rey pelan.

“Hmm.”

Rey memandang Ona ragu, Ona balas menatap Rey penuh tanya.

“Tentang tawaran saya untuk jadi pacar pura-pura kamu itu gimana?” Akhirnya pertanyaan itu keluar juga dari mulut Rey.

Ona menengang, dia sangat ingin menolak tawaran itu seperti tidak ada lelaki lain saja. Dan pacar pura-pura? Ini benar-benar seperti sinetron atau FTV yang sering Mela tonton, kesannya Ona seperti tidak laku karena harus mencari pacar pura-pura. Tetapi kalau dia menolak bagaimana dengan Ibu? Pernikahan Aisyah semakin dekat, dan Ona belum menemukan lelaki yang cocok untuk dikenalkan pada Ibu dan kerabat yang lainnya. Ona juga tidak mungkin mengajak Habib karena Ibu sudah mengenal Habib sebagai temannya. Bagaimana ini? Apa dia harus benar-benar menerima tawaran Rey?

“Kenapa lo mengajukan tawaran itu?” Ona balas bertanya.

“Karena saya juga butuh pacar untuk datang ke pernikahan mantan saya.”

Perempuan itu mengangguk, masuk akal juga alasan Rey. Tidak ada pilihan lain akhirnya Ona mengulurkan tangan kepada Rey. “Deal.”

Rey menyambut uluran tangan itu dengan senang. Senyum lebar terpatri di wajah tampan itu, apalagi binar mata Rey yang lebih indah daripada bintang yang sering Ona pandang setiap malam. Apa bintang-bintang itu sekarang berada di mata Rey?

Ona segera menarik tangannya dan kembali berjalan. Rey memandang tangan kanannya yang baru saja dipegang Ona dan tersenyum, kemudian dia menyusul Ona dan mereka berjalan menuju indekos yang sudah terlihat diujung jalan. Malam ini Rey akan bermimpi indah.

Beda halnya dengan Ona yang masih mempertanyakan keputusannya. Apa ini keputusan yang tepat? Ona masih merasa ragu dengan hal itu.

***

“Gue terima tawaran Rey untuk jadi pacar pura-pura gue,” ujar Ona sambil merapikan rambutnya di meja rias.

“Apa? Seriusan lo terima tawaran itu?” teriak Nafa bangkit dari tempat tidur. Ona memutar bola matanya. “Kesambet apa lo, Na? Lo gak kerasukan ‘kan? Lo sadar ‘kan?”

Nafa menghampiri Ona dan memegang kedua pipi temannya itu. “Apaan, sih.” Ona berusaha melepaskan pegangan Nafa.

“Gila gila gila, kalau Habib tahu kabar ini dia bisa pingsan.” Nafa melepaskan pegangan tangannya dari pipi Ona dan pergi ke kamar mandi dengan semangat. Temannya itu pasti tidak sabar bertemu dengan Habib untuk menceritakan kabar ini.

Ona menghela napas. Bagaimana jika keputusan yang dia ambil salah dan malah menjadu boomerang baginya? Apa dia siap untuk hal itu?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status