Veronika duduk membeku di dalam mobil yang terparkir di depan restoran, mata terus menatap ke pintu masuk. Napasnya berat, detak jantungnya berpacu saat dia melihat atasannya meninggalkan mobil.
"Aku takut," bisiknya lirih, "Kalau Echa tahu aku di sini, dia pasti akan cerita ke paman dan bibi." Napas Veronika memburu, rasa cemas menyelimuti seluruh pikirannya. Jemari Veronika bergerak tak karuan, meremas-remas ujung baju. Kulit wajahnya memutih, bagai tersapu kabut ketakutan saat memikirkan kembali ke rumah yang selama ini ia sebut neraka itu. "Naren, aku bisa hadapi, tapi Echa... itu yang tak bisa ku terima," gumamnya dalam hati, seraya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri. Di tengah lamunannya, suara pintu mobil yang tertutup keras membuat Veronika terkejut bukan main. Ia lantas menatap ke arah atasannya, yang membungkuk untuk menatapnya. Tatapan atasannya begitu tajam, membuat Veronika takut. Namun, ia tidak dapat membohongi dirinya kalau atasannya itu memiliki pesona yang tidak kalah dari Narendra. "Ada apa denganmu, hm? Apa kau ingin membuang-buang waktuku, Veronika?" tanya atasannya, yang seketika membuat Veronika menggelengkan kepala. "Ma-maaf, Tuan Noah," lirih Veronika. "Tapi... bisakah Anda sendiri saja masuk ke dalam? Sa-saya akan menunggu di sini!" kata Veronika sambil menundukkan pandangan. "Lalu, gunanya aku memiliki sekretaris untuk apa, hah?" tanya Noah, suaranya naik beberapa oktaf. "Apakah masalah percintaan yang belum usai? Aku membenci hal seperti itu dikaitkan pada pekerjaan, Veronika!" "Bu-bukan seperti itu, Tuan!" kata Vero, menjawab cepat. "Ini tentang..." "Sudahlah! Sekarang ikut denganku! Bisa kau jelaskan nanti semuanya di dalam," kata Noah sambil menutup pintu mobil. Ia lalu berjalan menuju kursi penumpang yang diduduki oleh Vero, membuka pintu itu, dan menarik Vero keluar. "Sa-saya tidak bisa, Tuan!" kata Vero sambil melepaskan tangan Noah. "Ini menyangkut tentang kehidupan saya, mohon untuk Anda mengerti!" kata Vero, sambil menjatuhkan air matanya tanpa sengaja, lalu segera menyekanya dengan cepat. "Benarkah? Kalau seperti ini terus, aku tidak akan mau merekrutmu sejak awal! Sekarang... keluar dari perusahaanku!" ancam Noah, yang membuat Veronika terkejut. "Jangan memecat saya, Tuan!" mohon Veronika. "Kau tidak berguna, Veronika! Aku tidak suka dengan seorang sekretaris yang bahkan tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Aku tidak suka sekretaris yang tidak bisa membantu atasannya menyelesaikan masalah atau apa pun itu. Bagaimana mungkin aku tetap ingin mempekerjakan dia?" Mendengar itu, Veronika terdiam. Benar kata atasannya, bagaimana mungkin ada sekretaris yang tidak bisa membantu atasannya, justru malah menyusahkan. "Terima kasih atas kata-kata Anda, Tuan," kata Veronika. "Aku jadi mengerti bahwa aku harus maju, tidak boleh takut pada apa pun yang mengancam." "Baik! Saya akan ikut!" kata Veronika sambil menegakkan tubuhnya. Ia berjalan, bukan di belakang Noah, tapi bersampingan dengan atasannya itu. Entah mengapa, ketika ia berjalan di samping Noah, Veronika merasa tidak takut pada apa pun. Namun, ia tidak tahu bagaimana jika dalam keadaan berpisah. Melihatnya, membuat Noah tersenyum penuh arti. Senyuman yang hanya di ketahui olehnya. Dari kejauhan, dapat Veronika lihat keberadaan Echa dan juga Narendra. Mereka berdua tampak sangat bahagia satu sama lain, saling bergandengan tangan. "Ah, iya. Kau temui saja CEO Narendra Group itu lebih dulu! Aku ingin menerima panggilan sebentar," kata Noah, yang diangguki oleh Veronika. "Ayo! Kau pasti bisa menghadapi dua makhluk itu, Veronika!" kata Veronika. Ia menyemangati dirinya sendiri sambil berjalan ke meja Naren dan Echa. "Kau..." Naren dan Echa sama-sama terkejut akan kehadiran Veronika di sana. "Untuk apa wanita sepertimu berada di ruangan VVIP ini? Kau pasti menyusup, kan?" tuduh Echa sambil menunjuk Veronika. "Penyusup? Di tempat seramai ini, kau bisa mengatakan aku seorang penyusup, Echa? Sial sekali!" umpat Veronika, sambil memanggil seorang waiters dengan anggun. "Iya, Nona. Ada sesuatu yang Anda inginkan?" tanyanya, sambil menunjukkan menu restoran tersebut. Dengan gerak anggun dan berwibawa, ia membuka buku menu dan mulai berbicara. "Saya pesan dua porsi Prawn Cocktail untuk hidangan pembuka," katanya, yang segera dicatat oleh waiters tersebut. "Tolong, siapkan juga dua porsi Grilled Salmon with Lemon Butter Sauce, dan dua porsi Beef Wellington." Waiters tersebut mengangguk. "Untuk minumannya, Nona muda?" tanyanya sambil tersenyum lembut. "Dua gelas English Breakfast Tea dan dua gelas sparkling water." Pelayan membungkukkan sedikit tubuhnya. "Baik, Nona. Kami segera siapkan." Veronika lalu menutup menu dan meletakkannya di meja, sambil melirik kedua manusia di hadapannya yang sejak tadi diam, seolah terkejut dengan perilakunya. Sesungguhnya, dalam hati Veronika, ia menyesal telah memesan begitu banyak menu yang pasti harganya begitu mahal. "Sial! Aku merasa seperti orang bodoh sekarang," batin Veronika. Meski gugup, ia tetap berusaha untuk terlihat wibawanya. "Ada apa denganmu, Veronika? Menu sebanyak itu? Apa kau sanggup untuk membayarnya? Kudengar Tuan Noah sangat membenci salmon. Bagaimana jika dia ternyata juga memiliki alergi terhadap udang? Kurasa, kau tidak ingin hal itu terjadi, kan? Bagaimana jika dia tidak ingin membayar menunya? Kau akan membayar dengan apa, hm? Apakah tubuhmu?" sindir Echa. Perkataannya sungguh mampu membuat Veronika tersudut. "Aku tahu selera atasanku, Echa! Aku tahu kalau kau hanya ingin menjatuhkanku!" ucap Veronika dengan suara yang terdengar bergetar. Tahu jika Veronika berbohong, Echa tersenyum menyeringai. Ia lalu mendekatkan wajahnya sambil berbisik, "Kau ketakutan, hm? Jangan berani melawanku, Veronika! Aku bisa menghubungi Ayahku untuk menjemputmu sekarang." Kata-kata Echa barusan mampu membuat tubuh Veronika bergetar ketakutan. Dia benar-benar lemah jika melawan Echa. Dari kejauhan, sosok yang sedari tadi menatap adegan ketiga orang di sana, menggelengkan kepala. "Ah, iya. Aku dan Narendra sudah bertunangan," kata Echa sambil memperlihatkan cincin di jarinya. Sejenak, Veronika dan Narendra saling bertatapan. Keduanya tidak dapat membohongi perasaan masing-masing. Naren, masih sangat mencintai Veronika. Tapi, dia sudah termakan kata-kata Echa yang menyebut, jika Veronika bukanlah wanita yang pantas untuknya. Veronika sudah sering tidur bersama laki-laki lain. "Benarkah?" tanya Noah, yang kedatangannya mengejutkan Veronika. Pria itu mendekati meja sambil berjabat tangan pada Narendra dan Echa, yang berdiri untuk memberikan hormat. "Selamat untuk kalian berdua. Kudengar kalian menjalin hubungan gelap, bukan? Kasihan sekali dengan wanita yang telah kau khianati!" kata Noah sambil memegangi pundak Veronika, seolah menguatkan wanita itu. Mendengar ucapan Noah, Narendra mengepalkan kedua tangannya di bawah meja. Hatinya terasa tertampar oleh kalimat Noah. "Lain kali, pikirkan dulu harga diri wanita yang kau sia-siakan sebelum memamerkan hubungan gelapmu di depan umum," ujar Noah. "Terima kasih…" bisik Veronika pelan, hanya cukup untuk didengar Noah."Nyonya Anne, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu anak buahnya cemas. Ia membantu wanita tua itu berbaring di ranjang.Tubuh Anne tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan bayang-bayang hitam di bawahnya. Semua itu akibat beban pikiran yang terus menggerogoti, rasa bersalah yang tak kunjung pergi atas kematian tragis putra dan menantunya.Sebelumnya, Anne adalah wanita kuat yang selalu tampak tegar di hadapan siapa pun. Namun segalanya berubah sejak seseorang datang mengantarkan sebuah paket misterius ke tempat persembunyiannya.Ketika kotak itu dibuka di hadapannya, napasnya tercekat. Dua kepala manusia tergeletak di dalamnya, basah oleh darah yang mulai menghitam. Anne mengenali kedua wajah itu.Demon, putra satu-satunya yang ia miliki setelah kematian putra pertamanya, dan Margareth, menantunya.Sejak hari itu, tubuh Anne melemah, jiwanya hancur. Tak ada lagi ketegasan, hanya sisa-sisa rasa bersalah yang menyiksa tanpa ampun.Anne tak menjawab
Noah menatap wanita yang pernah mengisi hidupnya dulu. Satu tangannya menyelinap ke dalam saku celana. "Apa yang kau inginkan sebenarnya, hm? Apa kau tutup mata dengan kesalahan yang kau lakukan dulu, Carol?" tanyanya, tatapannya tajam menusuk.Carol, dengan penampilan kusut dan tak terurus, perlahan merangkak mendekat. Tubuhnya gemetar saat kedua tangannya memeluk kaki Noah erat. "Aku lakukan semua ini … demi merebut cintaku kembali, Noah.""Cinta?" Noah menunjuk dirinya sendiri, mendengus sinis. "Aku? Cinta tapi kau berkhianat? Bagaimana jalan pikiranmu itu, Carol?" Noah terkekeh pelan, tapi nadanya menyayat, penuh ejekan."Aku mengaku salah, Noah. Aku menyesal ... aku benar-benar menyesal pernah melakukan pengkhianatan itu." Pelukan Carol di kaki Noah semakin erat, seolah berharap bisa memohon pengampunan dari pria itu, meski tahu harapannya nyaris mustahil.Noah menendang Carol dengan keras, membuat tubuh wanita itu terhempas ke lantai. "Penyesalan setelah bertahun-tahun berlalu,
"Anda sudah sangat kelewatan, Nona Carol!" ucap Aldrich, sorot matanya tajam menusuk wanita di hadapannya."Aku tidak bisa menahan diriku, Aldrich! Aku tidak tahan untuk ...""Ditiduri oleh mantan suamimu?" potong Aldrich dingin. "Kau masih berharap hal seperti itu, Nona Carol? Tampaknya … kau tengah berbohong soal kehamilan hanya demi bisa tinggal di sini."Carol terkekeh, tawa miris keluar dari bibirnya. "Kau memang pintar menebak, Aldrich. Ya, aku lakukan semua itu karena aku ingin Noah kembali padaku. Aku mau Noah!"Plak!Tamparan keras Aldrich mendarat di pipi Carol. Tubuh wanita itu limbung, sudut bibirnya pecah, darah tipis mengalir."Cukup! Jangan pernah ulangi permainan kotor itu di sini," desis Aldrich, suaranya rendah tapi tajam. "Karena sekali lagi kau lakukan, aku sendiri yang akan menyingkirkanmu!"Carol menatap Aldrich, amarah dan rasa sakit bercampur di matanya. Tapi kali ini, ia memilih diam."Huh! Kau sudah mulai berani denganku, Aldrich. Kau lupa bagaimana dulu kau
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Veronika yang tengah merias diri. Lantas, wanita itu segera membukakan pintu. Senyum tak luntur sedikit pun dari wajah cantiknya. Mendapati Carol yang berdiri di depan pintu kamarnya, membuat ia mengernyit. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Veronika, melainkan ... gaun yang tengah dipakai Carol sama persis dengan gaun pemberian Noah, suaminya.Ya. Tadi siang, Noah sudah berjanji akan mengajak Veronika dinner di sebuah restoran. Tak lupa, Noah juga mengirimkan hadiah berupa gaun berwarna biru malam yang harus dikenakannya. Namun, melihat Carol juga memakai gaun yang sama dengannya, membuat hati Veronika berdesir. "Bagaimana bisa dia memiliki gaun yang sama denganku? Apakah ... Tuan Noah membelikan gaun untuk mantan istrinya juga?" batin Veronika, bertanya-tanya. Carol tersenyum manis. Menatap Veronika dari ujung ke ujung, seolah meneliti penampilannya. "Wah! Aku tidak tahu kalau Noah membelikan kita gaun yang sama
Veronika terbangun saat merasakan sesuatu berhembus pelan di wajahnya. Bukan angin … bukan juga tiupan AC. Rasanya hangat, lembut, dan berulang-ulang. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, ia mencoba mengabaikannya, tapi anehnya, tiupan itu semakin lama justru terasa semakin dekat, berputar pelan di bibirnya, seolah sengaja.Dengan kening berkerut, Veronika membuka mata perlahan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah suaminya sudah begitu dekat, nyaris menempel di wajahnya. Jantungnya seketika berdebar kencang, matanya membelalak.Tepat saat itu, suara berat dan dalam itu berbisik di telinganya. Suaranya rendah, serak, namun terasa amat dekat, menusuk hingga ke dada."Good morning, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Atau … terlalu nyenyak sampai tak sadar aku di sini?"Nada suara Noah dibuat sengaja berat dan menggoda, seakan ingin menyeret Veronika keluar dari kantuknya dengan cara yang paling nakal. Tatapan mata Noah pun tak kalah berbahaya, tajam, penuh arti, dan meny
Veronika berdiri di teras balkon, membiarkan angin malam membelai lembut kulitnya yang hanya dibalut lingerie putih tipis. Malam-malam seperti ini selalu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menyendiri, mengatur napas, dan membuang resah tanpa suara.Matanya menerawang jauh menembus gelap, sementara pikirannya kembali dipenuhi kenangan dan perubahan sikap suaminya. Noah. Pria itu … belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Lebih hangat, lebih perhatian, seolah-olah benar-benar mencintainya.Tapi justru itu yang membuat hatinya sesak."Aku takut untuk senang, Tuan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh angin malam. "Aku takut kalau semua ini hanya sementara … hanya bayangan ilusi yang akan menghilang saat aku mulai percaya lagi."Vyora memeluk dirinya sendiri, berusaha meredam dingin yang merayap. Namun, dingin itu bukan hanya karena angin malam … melainkan karena rasa takut yang perlahan menggerogoti.Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat menyelimuti ba