Veronika duduk melingkar di balkon kamarnya, pelukan erat pada diri sendiri sebagai perisai dari dinginnya malam. Cahaya lampu jalan yang temaram menyinari wajahnya yang tengah diliputi kebingungan.
Memori tentang kejadian di restoran berkelebat di pikirannya, menyisakan gundah. Atasannya yang selalu berwajah dingin itu tiba-tiba membela dirinya dari serangan verbal sang mantan kekasih dan sepupunya, sebuah sikap yang tak terduga. Veronika menggigit bibir bawahnya, gelisah. "Apakah dia benar-benar peduli, atau itu hanya tindakan formalitas di depan orang banyak?" gumamnya pada diri sendiri, cahaya rembulan yang samar menerpa matanya yang sayu. "Sungguh, sikapnya yang selalu dingin, tidak kusangka akan memberi kejutan seperti ini." Flashback On... Wajah Naren berubah merah ketika mendengar perkataan Noah padanya. "Kau... tidak memiliki hak untuk berkata seperti itu tentangku, Noah Rudiarth Alexander!" bentaknya, yang seketika mengejutkan semua orang di sana. "Kenapa tidak, Tuan Narendra? Bukankah yang aku katakan ini benar?" tanya balik Noah, yang membuat Narendra bangkit sambil mencengkeram jas pria itu. Melihat itu, Veronika segera menghentikan Narendra sambil menjauhkan tangan pria itu dari jas Noah. "Cukup! Kenapa kau tidak terima dengan perkataan atasanku, Tuan Narendra? Apa yang ia katakan memang benar, kan? Apa kau malu untuk mengakuinya?" tanya Veronika sambil tersenyum sinis. "Kau..." "Ada apa, Echa? Kau juga tidak terima? Kalian berdua malu?" Mendengar perkataan Veronika yang semakin berani, Echa mencengkeram pergelangan tangannya, lalu membawa Veronika menjauh sedikit. "Kau akan menyesali ini, Veronika! Kau terlalu berani, maka tunggu saja!" Meski takut, Veronika berusaha untuk tidak memperlihatkannya. "Lakukan apa pun sesuka hati kalian, Echa! Aku tidak akan pernah takut!" "Bitch!" umpat Echa sebelum akhirnya menjauh dari Veronika. "Aku membatalkan kerja sama ini, Noah Rudiarth Alexander! Aku tidak sudi bekerja sama dengan CEO arogan sepertimu!" kata Narendra, yang tentu saja mengejutkan Echa. "Benarkah? It's okay, aku tidak keberatan," sahut Noah, mengiyakan. Melihat itu, Echa langsung menarik Narendra menjauh. Entah apa yang mereka bicarakan, Veronika hanya memperhatikan keduanya dari kejauhan. Di tengah fokusnya menatap Narendra dan Echa, Veronika terkejut saat atasannya berkata, "Kau tidak bisa melupakan kekasihmu, bukan? Tapi sok mengatakan sudah melupakannya." "Apa maksud Anda?" tanya Veronika, sambil mengalihkan perhatiannya pada atasannya. "Menurutmu? Kau begitu tidak bisa mengalihkan perhatianmu pada pria itu. Buktinya, sudah kau perlihatkan." Mendengar itu, Veronika menolak dengan tegas. "Aku sudah melupakan pria itu! Aku hanya ingin tahu pembicaraan mereka!" "Untuk apa, hm? Pembicaraan mereka sangat mudah ditebak, Veronika! Sebentar lagi... mereka akan datang sambil berkata kalau kerja sama denganku masih ingin dilanjut, itu saja." "Benarkah seperti itu, Tuan?" tanya Veronika, yang dibalas acuh oleh atasannya sambil mengangkat bahu. Ia lalu meraih beef Wellington, membuat Veronika segera mencegahnya. "Ada apa?" "Apakah Anda tidak marah karena saya memesan begitu banyak makanan?" tanya Veronika sambil menatap wajah atasannya. "Kenapa harus marah? Bukankah kau yang akan membayar semuanya?" "Aku? Ba-bagaimana itu mungkin, Tuan? Aku tidak memiliki uang sebanyak itu." "Bisakah Anda bayar dulu? Potong saja dari gajiku!" kata Veronika, yang membuat atasannya justru tersenyum sambil menggelengkan kepala. Degh! Detak jantung Veronika seketika memompa cepat kala ia melihat senyum atasannya, yang baru pertama kali ia lihat. Setampan itukah? Dia lebih baik tersenyum seperti ini daripada terus cemberut seperti pantat ayam. "Berhenti memuji sekaligus menghinaku di dalam hatimu itu, Veronika!" kata Noah, yang seketika mengejutkannya. "Ak-aku tidak berkata apa pun, Tuan!" sahut Veronika, wajahnya gugup. Atasannya... kenapa bisa begitu peka? Flashback Off... Veronika seketika tertawa sendiri saat mengingat beberapa percakapannya dengan atasannya yang dingin. "Wajahnya itu sangat lucu!" katanya sambil terkekeh geli. "Pantat ayam? Ha... ha... ha..." Tak berselang lama, Veronika dikejutkan oleh suara pintu kamarnya yang digedor-gedor keras. Ia segera bangkit dan mengintip dari balik lubang kecil di pintu. Melihat wajah pamannya di sana membuat Veronika menggigil ketakutan. "Pa-paman... apa yang harus aku lakukan?" bisik Veronika pada dirinya sendiri. Tidak ada pilihan lain, Veronika memutuskan untuk bersembunyi di tempat yang sekiranya aman. Ingin menghubungi bantuan pun, Veronika yakin tak akan sempat. Di depan sana, bukan hanya pamannya, tapi beberapa anak buahnya juga sudah ikut berdiri. "Selamatkan aku, kumohon!" pintanya, sambil membekap mulutnya sendiri. "Cari dia! Aku yakin keponakanku itu sedang bersembunyi saat ini," ujar Demon lantang. "Veronika, ayo kemari, Sayang!" "Kau paman bejat! Aku membencimu, brengsek!" umpat Veronika dalam hatinya. Air matanya jatuh, saking ketakutannya. Ia tidak tahu, apakah dirinya akan aman bersembunyi di dalam lemari, atau... "Dia di sini, Boss!" teriak salah satu pengawal pamannya, sambil menarik paksa Veronika keluar dari tempat persembunyiannya. "Lepaskan aku! Kumohon!" teriak Veronika, memohon-mohon. Plak! Tamparan keras mendarat di pipinya yang mulus—tamparan dari tangan Demon. "Berani sekali kau meninggalkan rumah, hah? Kau benar-benar membuat pamanmu ini gila karena kepergianmu itu!" hardik Demon. "Lepaskan Veronika, Paman!" pinta Veronika dengan suara gemetar. "Aku akan lakukan apa pun, asal Paman melepaskanku!" "Melakukan apa pun?" tanya Demon, memastikan. Veronika mengangguk cepat. "Baiklah." Demon menyeringai, lalu melepaskan ikat pinggangnya. "A-apa yang..." Perkataan Veronika terputus ketika Demon menariknya, lalu mendorong tubuhnya ke atas tempat tidur. "Kalian... keluar! Aku ingin ditinggalkan berdua saja dengannya!" perintah Demon, yang langsung dipatuhi oleh anak buahnya. "Tidak! Aku tidak mau!" jerit Veronika ketakutan. Veronika berusaha untuk menjauh dari Demon, ketika pria itu melepaskan satu-persatu kancing bajunya. Namun, pergerakan Veronika terhenti, begitu Demon menarik kedua kakinya, lalu mengungkungnya. Veronika berusaha meronta, melepaskan diri. "Lepaskan aku, Paman!" teriak Veronika, terus berusaha dengan sisa-sisa tenaganya. "Melepaskanmu... setelah kau buat Pamanmu ini gila karena mencarimu? Tidak akan, Veronika!" kata Demon. Ia semakin mendekat. Senyum licik terpampang di wajah Demon, ketika melihat Veronika ketakutan. Lelah terus melawan, Veronika memejamkan mata, berharap keajaiban datang. Tangan Demon baru saja terulur untuk melepaskan piyama Veronika, sebelum akhirnya dicekal oleh tangan kokoh. Demon spontan menoleh, ingin melihat siapa yang berani menghentikannya. Di hadapannya berdiri seorang pria bertubuh tegap, bermata tajam, dengan rahang keras yang kini menatapnya seolah ingin membunuhnya saat itu juga. "Siapa kau? Berani sekali kau menghentikanku, hah?" hardik Demon. "Aku? Akulah pria yang akan mengantarkanmu pada kematian." "Anak muda! Kau tidak perlu ikut campur dalam urusanku, atau aku akan membunuhmu!" "Membunuhku? Seharusnya kau berpikir, bagaimana bisa lepas dariku, keparat!" Tanpa peringatan, pria itu menendang Demon, membuatnya terhuyung jatuh ke lantai, lalu segera mendekati Veronika. "Tuan Noah..." lirih Veronika sambil memeluk tubuh atasannya."Nyonya Anne, Anda tidak apa-apa?" tanya salah satu anak buahnya cemas. Ia membantu wanita tua itu berbaring di ranjang.Tubuh Anne tampak jauh lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pucat, matanya cekung dengan bayang-bayang hitam di bawahnya. Semua itu akibat beban pikiran yang terus menggerogoti, rasa bersalah yang tak kunjung pergi atas kematian tragis putra dan menantunya.Sebelumnya, Anne adalah wanita kuat yang selalu tampak tegar di hadapan siapa pun. Namun segalanya berubah sejak seseorang datang mengantarkan sebuah paket misterius ke tempat persembunyiannya.Ketika kotak itu dibuka di hadapannya, napasnya tercekat. Dua kepala manusia tergeletak di dalamnya, basah oleh darah yang mulai menghitam. Anne mengenali kedua wajah itu.Demon, putra satu-satunya yang ia miliki setelah kematian putra pertamanya, dan Margareth, menantunya.Sejak hari itu, tubuh Anne melemah, jiwanya hancur. Tak ada lagi ketegasan, hanya sisa-sisa rasa bersalah yang menyiksa tanpa ampun.Anne tak menjawab
Noah menatap wanita yang pernah mengisi hidupnya dulu. Satu tangannya menyelinap ke dalam saku celana. "Apa yang kau inginkan sebenarnya, hm? Apa kau tutup mata dengan kesalahan yang kau lakukan dulu, Carol?" tanyanya, tatapannya tajam menusuk.Carol, dengan penampilan kusut dan tak terurus, perlahan merangkak mendekat. Tubuhnya gemetar saat kedua tangannya memeluk kaki Noah erat. "Aku lakukan semua ini … demi merebut cintaku kembali, Noah.""Cinta?" Noah menunjuk dirinya sendiri, mendengus sinis. "Aku? Cinta tapi kau berkhianat? Bagaimana jalan pikiranmu itu, Carol?" Noah terkekeh pelan, tapi nadanya menyayat, penuh ejekan."Aku mengaku salah, Noah. Aku menyesal ... aku benar-benar menyesal pernah melakukan pengkhianatan itu." Pelukan Carol di kaki Noah semakin erat, seolah berharap bisa memohon pengampunan dari pria itu, meski tahu harapannya nyaris mustahil.Noah menendang Carol dengan keras, membuat tubuh wanita itu terhempas ke lantai. "Penyesalan setelah bertahun-tahun berlalu,
"Anda sudah sangat kelewatan, Nona Carol!" ucap Aldrich, sorot matanya tajam menusuk wanita di hadapannya."Aku tidak bisa menahan diriku, Aldrich! Aku tidak tahan untuk ...""Ditiduri oleh mantan suamimu?" potong Aldrich dingin. "Kau masih berharap hal seperti itu, Nona Carol? Tampaknya … kau tengah berbohong soal kehamilan hanya demi bisa tinggal di sini."Carol terkekeh, tawa miris keluar dari bibirnya. "Kau memang pintar menebak, Aldrich. Ya, aku lakukan semua itu karena aku ingin Noah kembali padaku. Aku mau Noah!"Plak!Tamparan keras Aldrich mendarat di pipi Carol. Tubuh wanita itu limbung, sudut bibirnya pecah, darah tipis mengalir."Cukup! Jangan pernah ulangi permainan kotor itu di sini," desis Aldrich, suaranya rendah tapi tajam. "Karena sekali lagi kau lakukan, aku sendiri yang akan menyingkirkanmu!"Carol menatap Aldrich, amarah dan rasa sakit bercampur di matanya. Tapi kali ini, ia memilih diam."Huh! Kau sudah mulai berani denganku, Aldrich. Kau lupa bagaimana dulu kau
Tok! Tok! Tok!Suara ketukan pintu terdengar dari luar kamar Veronika yang tengah merias diri. Lantas, wanita itu segera membukakan pintu. Senyum tak luntur sedikit pun dari wajah cantiknya. Mendapati Carol yang berdiri di depan pintu kamarnya, membuat ia mengernyit. Tapi bukan itu yang menjadi pusat perhatian Veronika, melainkan ... gaun yang tengah dipakai Carol sama persis dengan gaun pemberian Noah, suaminya.Ya. Tadi siang, Noah sudah berjanji akan mengajak Veronika dinner di sebuah restoran. Tak lupa, Noah juga mengirimkan hadiah berupa gaun berwarna biru malam yang harus dikenakannya. Namun, melihat Carol juga memakai gaun yang sama dengannya, membuat hati Veronika berdesir. "Bagaimana bisa dia memiliki gaun yang sama denganku? Apakah ... Tuan Noah membelikan gaun untuk mantan istrinya juga?" batin Veronika, bertanya-tanya. Carol tersenyum manis. Menatap Veronika dari ujung ke ujung, seolah meneliti penampilannya. "Wah! Aku tidak tahu kalau Noah membelikan kita gaun yang sama
Veronika terbangun saat merasakan sesuatu berhembus pelan di wajahnya. Bukan angin … bukan juga tiupan AC. Rasanya hangat, lembut, dan berulang-ulang. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, ia mencoba mengabaikannya, tapi anehnya, tiupan itu semakin lama justru terasa semakin dekat, berputar pelan di bibirnya, seolah sengaja.Dengan kening berkerut, Veronika membuka mata perlahan. Dan betapa terkejutnya ia ketika mendapati wajah suaminya sudah begitu dekat, nyaris menempel di wajahnya. Jantungnya seketika berdebar kencang, matanya membelalak.Tepat saat itu, suara berat dan dalam itu berbisik di telinganya. Suaranya rendah, serak, namun terasa amat dekat, menusuk hingga ke dada."Good morning, Sayang. Bagaimana tidurmu? Nyenyak? Atau … terlalu nyenyak sampai tak sadar aku di sini?"Nada suara Noah dibuat sengaja berat dan menggoda, seakan ingin menyeret Veronika keluar dari kantuknya dengan cara yang paling nakal. Tatapan mata Noah pun tak kalah berbahaya, tajam, penuh arti, dan meny
Veronika berdiri di teras balkon, membiarkan angin malam membelai lembut kulitnya yang hanya dibalut lingerie putih tipis. Malam-malam seperti ini selalu menjadi pelariannya. Tempat di mana ia bisa menyendiri, mengatur napas, dan membuang resah tanpa suara.Matanya menerawang jauh menembus gelap, sementara pikirannya kembali dipenuhi kenangan dan perubahan sikap suaminya. Noah. Pria itu … belakangan ini sikapnya begitu berbeda. Lebih hangat, lebih perhatian, seolah-olah benar-benar mencintainya.Tapi justru itu yang membuat hatinya sesak."Aku takut untuk senang, Tuan," bisiknya lirih, hampir tak terdengar oleh angin malam. "Aku takut kalau semua ini hanya sementara … hanya bayangan ilusi yang akan menghilang saat aku mulai percaya lagi."Vyora memeluk dirinya sendiri, berusaha meredam dingin yang merayap. Namun, dingin itu bukan hanya karena angin malam … melainkan karena rasa takut yang perlahan menggerogoti.Di tengah lamunannya, tiba-tiba saja ada sesuatu yang hangat menyelimuti ba