Beranda / Rumah Tangga / Cinta Tiga Bidadari / Kita Sama-sama Sakit, Sayang

Share

Kita Sama-sama Sakit, Sayang

Penulis: Jannah Zein
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-13 18:17:36

Bab 3

Hafiz menyerahkan ponsel kepada laki-laki tua itu setelah sebelumnya membuka password-nya. Lelaki tua itu mengutak-atik ponsel Hafiz sebentar, kemudian mengembalikan kepada pemiliknya.

"Ini adalah nomor kontak Naura, putri bungsu Abah. Silakan kalian berkenalan, ngobrol dan saling menyesuaikan satu sama lain. Kalau boleh, izinkan dia berteman dengan istrimu, Azizah. Sebagai sesama wanita, mungkin dia memerlukan teman bicara." Laki-laki tua itu menghela napas.

 

"Terima kasih ya, Bah. Mohon maaf, apakah Naura sudah tahu sebelumnya dengan apa yang Abah bicarakan hari ini dengan Hafiz?"

"Tentu saja, Nak. Sebelumnya Abah sudah bicara dengan Naura. Naura pun sudah tahu kalau dia akan dijodohkan denganmu dan dia menyetujui perjodohan ini."

***

Hafiz mengamati layar ponsel dengan perasaan tak menentu. Sebuah nama indah tertera. Naura Allysia Salsabila. Sangat cantik, tetapi entah seperti apa orangnya. Secara khusus, dia memang belum terlalu mengenal putri bungsu kiai Nawawi itu. Terakhir bertemu dengannya sepuluh tahun yang lalu di saat walimatul ursy kakak laki-lakinya yang tertua. Saat itu, usianya masih delapan tahun dan sudah mengenakan cadar. Jelas, dia tidak tahu seperti apa rupanya.

Meskipun hatinya masih di liputi oleh keraguan, Hafiz tetap mengklik aplikasi hijau bergambar telepon itu.

[Assalamualaikum, Naura. Ini aku, Hafiz]

Hafiz menahan nafas saat centang pesannya berubah menjadi biru. Lalu terlihat Naura yang tengah mengetik.

[Wa alaikum salam. Benarkah ini Abang Muhammad Abidzar Al Hafiz?]

[Iya, Naura. Abah sudah cerita tentang Naura. Kalau boleh Abang tahu, apa alasan Naura bersedia menikah dengan Abang?]

[Bang, mendapatkan status bukan sebagai istri pertama, apakah itu aib?]

[Tidak. Apa maksudmu?]

[Apakah Adek harus punya alasan agar bisa di nikahi oleh Abang?]

[Abang hanya ingin tahu, Naura. Kamu itu cantik, muda, pintar, dan keturunan mulia pula. Tak sulit bagimu untuk mendapatkan suami yang sekufu. Kenapa malah memilih Abang yang jelas-jelas suami orang?]

[Abang terlalu berlebihan dalam menyanjung Adek. Ini tidak seperti yang Abang pikirkan]

Hafiz menata nafasnya saat membaca pesan Naura. Ah, berat rasanya melakoni ini. Sejenak dia menatap istrinya yang tengah tertidur lelap di ranjang.

"Azizah, maafkan Abang ya." Hafiz menarik tangan yang semula terulur ingin menyentuh wajah itu. Dia takut wanita itu terbangun.

[Apakah Abang ingin tahu kekurangan Adek?]

Hafiz tersentak kaget saat ponselnya kembali bergetar.

[Kenapa, Naura? Setiap manusia pasti memiliki banyak kekurangan]

[Kekurangan inilah yang membuat semua laki-laki mengurungkan niatnya untuk meminang Adek. Abang mau tahu apa kekurangan Adek? Adek ini cacat. Sepasang kaki Adek lumpuh, tidak bisa di ajak berjalan]

"Astagfirullah ... Jadi inikah alasan kiai Nawawi menjodohkan putri bungsunya denganku?" Hafiz mengusap kasar wajahnya.

***

Naura Allysia Salsabila. Nama yang sangat cantik. Entah seperti apa rupanya. Benarkah ia cacat, menderita lumpuh? Ah, Hafiz menjadi semakin bingung.

Hafiz mengakui dirinya sangat minim informasi mengenai gadis itu. Hafiz tidak dekat dengan keluarganya, meskipun Abah dan kiai Nawawi saling kenal baik. Selama ini dia lebih fokus mengurusi pesantren dan untuk urusan luar seperti silaturahmi antar pesantren masih di tangani Abah yang merupakan ulama sepuh. 

Kecamuk rasa bingung membawanya kembali ke rumah orangtuanya. 

"Ada apa, Nak?" tanya Abah.

"Apa benar yang di katakan oleh Naura, kalau dia menderita lumpuh, Abah?"

"Benar. Apakah Naura yang memberi tahu kamu?" Abah memandangnya serius.

"Iya, Abah." Hafiz mengangguk.

"Abah tidak memaksamu untuk menerima putri bungsu kiai Nawawi. Abah hanya menyuruhmu untuk berpikir," ralat Abah. 

"Kalau Hafiz menikahi Naura, bagaimana dengan Azizah?" Kali ini Hafiz berusaha melunak di hadapan abahnya.

"Istrimu itu perempuan baik-baik. Dia pasti bisa menerima Naura. Lha dulu, dengan Yasmin yang sehat wal afiat saja dia bisa menerima madunya, apalagi Naura?"

"Hafiz masih bingung, Abah. Hafiz tidak mau menyakiti Azizah lagi."

"Kemarin kami sempat adu mulut, setelah tahu kalau kiai Nawawi menawarkan putrinya." Hafiz mulai menceritakan peristiwa kemarin.

"Itu wajar, Nak. Semua wanita juga begitu. Sabar ya."

"Abah memberi nama Hafiz kepadamu bukan tanpa alasan. Abah ingin kau bisa menjadi penjaga yang baik buat orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu, terutama keluargamu."

"Hafiz memerlukan istikharah dulu, Abah," ucapnya. Akhirnya Hafiz mengalah.

"Tentu. Istikharah itu perlu."

***

Meskipun dalam keadaan marah, Azizah masih setia melayaninya. Wanita itu tetap menyediakan keperluan makan, minum, pakaian, bahkan melayani di tempat tidur.

Sejak peristiwa itu, Hafiz tidak berani lagi mengungkit-ungkit soal putri bungsu kiai Nawawi. Biarkanlah dia diam. Mungkin dia masih memerlukan waktu untuk sendiri. Bukannya dia tidak mengerti akan perasaan istrinya. Namun sepatutnya sebagai seorang manusia, kita tidak perlu seratus persen memperturutkan perasaan. Hidup ini memerlukan logika dan kita tidak boleh larut dalam rasa yang memperdaya.

Hafiz mengecup perut besar istrinya usai menuntaskan ibadah malam mereka.

"Terima kasih ya, Sayang," bisiknya. 

Perempuan itu mengangguk. Dia masih menenggelamkan dirinya di dalam selimut.

"Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan? Ke taman, mall, ke tempat yang Adek suka?" tawarnya kemudian setelah terjadi keheningan beberapa lama di antara mereka.

"Memangnya bisa? Biasanya Abang selalu sibuk dengan pekerjaan di pondok." Azizah menatap Hafiz dengan serius.

"Bisa, Sayang. Apa sih yang nggak bisa buat istriku yang tersayang?"

"Halah, gombal."

"Abang tidak pandai menggombal," bantahnya. Hafiz mencium pipi wanitanya dengan gemas.

"Abang sangat menyayangi Adek. Buat Abang, Adek adalah segalanya. Cinta Abang seratus persen untuk Adek."

Azizah terdiam. Dia tak lagi meladeni ucapan suaminya. Perempuan itu mulai memejamkan mata. 

Hafiz menatap wajah cantik itu dengan rasa iba.

Ah, andai saja masalah seperti ini tidak mengguncang rumah tangga mereka. 

Tak cukup sekali. Ini kali kedua dia menghantamkan palu ke dalam perasaan istrinya.

Tak ada sedikitpun di hati ini keinginan untuk menyakiti Azizah. Tak ada niat di hati untuk menduakan wanita pertamanya ini. Dia bahkan sempat berharap agar Azizah menjadi wanita pertama dan terakhirnya. 

Entahlah, kenapa takdir seakan berpihak dan memberi peluang padanya untuk memiliki istri lebih dari satu? Dia benar-benar tak mengerti.

Hafiz tahu, ini tak adil buat Azizah. Namun, jangan di kira hatinya tak sakit. Dia pun sakit. Jauh lebih sakit melihat Azizah terluka, sementara dia sendiri tak berdaya untuk menolak permintaan orang-orang yang sangat dia hormati.

"Kita sama-sama sakit, Sayang. Kamu tidak sendiri. Ada Abang yang juga merasakan hal yang sama meski dari sudut pandang yang berbeda," gumam Hafiz sembari membelai rambut istrinya yang sudah tertidur lelap. 

"Kita hadapi semua ini sama-sama ya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Tiga Bidadari    Cinta Terakhir

    Bab 109 (ekstra part 2)"Serius pakai ini?" tunjuk Azizah pada sebuah motor gede yang terparkir di halaman hotel. Entah darimana orang-orang mereka mendapatkan kendaraan itu."Serius dong! Memangnya kamu nggak mau naik motor?" Matanya lurus menatap istrinya."Mau dong, apalagi sama Kakak!" Perempuan itu tertawa kecil."Pintar!" sahutnya. Emir menaiki motor, kemudian di susul dengan Azizah.Sebenarnya Azizah merasa ragu. Sudah lama ia tidak mengendarai motor, karena selama di Saudi, pergi kemanapun selalu di antar sopir pribadi, di iringi oleh asisten dan para pengawal. Ruang geraknya terbatas. Apalagi motor khas laki-laki ini. Dia tidak pernah mengendarainya.Perempuan itu memeluk erat pinggang suaminya, menempelkan wajahnya di pundak lelaki itu. Azizah merasakan hatinya seperti penuh dengan wangi bunga.Mereka menyusuri jalan-jalan di sekitar hotel. Di kiri dan kanan bahu jalan, penuh dengan toko dan lapak souvenir khas Bali. Bali memang primadona. Alamnya yang indah, budaya yang kha

  • Cinta Tiga Bidadari    Lelaki Terbaik

    Bab 108 (ekstra part 1)Azizah menatap sendu dari balik kaca jendela pesawat. Kota Banjarbaru yang semakin mengecil akhirnya menghilang dari pandangan saat posisi pesawat kian meninggi. Kini mereka tengah berada di atas awan."Sayang...." Sepasang tangan kokoh melingkari pinggang rampingnya.Perempuan itu berdehem. "Iya, Kak." Azizah memutar tubuhnya menghadap sang suami. Sepasang kakinya berjinjit dengan tangan yang terulur memeluk leher itu."Aku merindukanmu," bisik Emir parau."Terlebih lagi diriku, Sayang." "Yang bener? Jangan-jangan sekarang ini malah merindukan ayahnya Ibrahim?" Sepasang mata kelamnya menatap wajah sang istri. Pipi yang merah merona itu membuatnya tak sabar mendaratkan sebuah kecupan hangat."Aku sudah tidak lagi mencintainya, tetapi juga tidak membencinya. Bagiku sekarang ayahnya Ibrahim hanya sekedar sahabat. Jikalau pun kami masih berhubungan baik, itu semua demi Ibrahim....""Percaya kok," sela Emir. Sebenarnya ia hanya ingin memancing, tapi Azizah menyika

  • Cinta Tiga Bidadari    Kenangan Terindah

    Bab 107"Ibrahim bisa bermain kembali dengan adik-adikmu lain kali, Nak. Untuk saat ini, kamu nurut ya, sama Abi. Insya Allah, kalau ada waktu dan kesempatan kita bisa kembali ke mari berkunjung ke rumah kakek dan nenekmu ini," bujuk Azizah."Apa memang tidak bisa diundur lagi, Nak?" tanya kiai Rahman. Bukan cuma Ibrahim, dia pun juga serasa tak rela jika harus berpisah kembali secepat ini dengan cucu kesayangannya."Maafkan kami, Abah, tetapi jadwal kegiatan Azizah memang hanya satu hari. Silaturahmi di pesantren Al-Istiqomah dan di rumah Abah." Perempuan itu berusaha memberi pengertian kepada mantan ayah mertuanya."Abah hanya masih kangen dengan Ibrahim. Tidak ada maksud lain," ralat lelaki tua itu."Insya Allah kami akan berkunjung kembali kesini lain kali, Abah," jawab Azizah seraya memijat kepalanya. "Bukannya sok sibuk, tetapi bagaimanapun sebagai seorang istri, harus menuruti apa kata suami. Pagi ini pesawat akan terbang dari Sydney, singgah sebentar di bandara Syamsudin Noor

  • Cinta Tiga Bidadari    My Hubb

    Bab 106Emir melangkah gontai menuju kamar tempat dia menginap. Tubuhnya benar-benar lelah, pikirannya pun terkuras. Hari ini dia menghadiri beberapa pertemuan, salah satunya adalah peresmian beroperasinya Almeera hotel di Sydney. Seharusnya di acara itu ia didampingi oleh Azizah. Namun sayang, wanita itu tengah berada di pesantren Al-Istiqomah, di tengah keluarga mantan suaminya.Mengingat itu membuat hati Emir berdenyut. Dia percaya seratus persen dengan cinta istrinya, tapi sedikit banyaknya pasti akan terjadi romansa masa lalu mereka. Bagaimanapun, Azizah dan Hafiz berpisah secara baik-baik, bukan karena pertengkaran, tetapi hanya sekedar perbedaan cara pandang terhadap sebuah rumah tangga. Kenangan indah itu akan senantiasa tersimpan di hati."Tuan, agenda besok siang adalah pertemuan dengan para investor di Bali," ujar Alex, asisten pribadinya mengingatkan."Ya, aku tahu itu, Alex. Terima kasih sudah mengingatkan," ujarnya. Akhirnya mereka tiba di depan pintu kamar."Silahkan,

  • Cinta Tiga Bidadari    Teman Yang Baik

    Bab 105Hafiz sangat menikmati kebersamaannya dengan Ibrahim. Berkali-kali lelaki itu memeluk dan menciumi putranya, putra yang selama tujuh tahun tidak pernah ditemuinya. Hafiz tidak memiliki keberanian sedikitpun untuk menjenguk putranya, meskipun dipihak Azizah dan Emir tidak pernah melarangnya untuk menjumpai putranya kapanpun ia mau. Disamping itu, jarak yang memisahkan dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan membuat Hafiz akhirnya hanya bisa menahan rindu. Kondisi keuangan keluarganya saat ini tidak memungkinkannya untuk bolak-balik Martapura-Mekkah. Terlebih, dia ingin memberikan kesempatan kepada Azizah untuk menenangkan diri dan dia pun sebenarnya juga melakukan hal yang sama.Setiap keputusan pasti memiliki konsekuensi. Tak ada perceraian yang mudah. Semua pasti akan ada dampaknya, terutama buat buah hatinya. Itulah yang harus mereka hadapi sekarang.Akan tetapi, apapun itu, nyatanya Hafiz dan Azizah sudah memiliki kehidupan masing-masing. Hafiz dengan kedua istrinya dan A

  • Cinta Tiga Bidadari    Arloji Untuk Ayah

    Bab 104Sepasang netranya menangkap sosok beberapa perempuan yang berlari kecil ke arahnya saat ia baru saja keluar dari mobil. "Azizah!"Telinganya sangat mengenali suara dari balik cadar itu. Marwiah, mantan kakak iparnya. "Kak Marwiah?" ujarnya. Kedua perempuan itu berpelukan. "Apa kabar, Kak?""Baik, Dek. Ayo masuk. Mama dan Abah sudah menunggumu sedari tadi."Kedua perempuan itu berjalan sembari tangan saling merangkul. Sementara yang lainnya mengikuti dari belakang. Rumah ini tidak banyak berubah. Ruang tamu yang luas dengan sofa yang telah disingkirkan membuat ruangan ini kian bertambah luas. Hanya ada karpet yang dihamparkan melapisi lantai seisi ruangan.Seorang laki-laki tua tampak duduk bersandar di salah satu bidang dinding. Azizah mempercepat langkahnya menghampiri laki-laki itu. Ada rasa rindu yang menyesak di hati saat mereka berdekatan. Bagaimanapun, Azizah sudah menganggap lelaki itu seperti orang tuanya sendiri. "Abah," ujar Azizah. Dia merendahkan tubuhnya sembar

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status