Aku masih berdiri mematung di trotoar, menatap mobil hitam mengilap yang semakin menjauh. Dadaku terasa sesak, pikiranku dipenuhi tanda tanya.
Lebih dari yang kau kira. Kata-kata pria itu terngiang di kepalaku. Aku tidak mengerti. Aku baru pertama kali datang ke kota ini. Aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Lalu, bagaimana mungkin dia mengenalku? Aku menghela napas panjang dan memijat pelipisku. Jangan dipikirkan, Alya. Fokus pada tujuanmu. Aku melangkah menuju halte bus, berencana kembali ke tempat kos sederhana yang kusewa di pinggiran kota. Aku masih harus mencari pekerjaan lain jika wawancara tadi tidak membuahkan hasil. Aku tidak bisa menggantungkan harapan pada satu kesempatan saja. Namun, sebelum aku sempat naik ke dalam bus, ponselku bergetar di dalam tas. Nomor tidak dikenal. Aku mengernyit. Siapa yang meneleponku? "Hallo?" "Sore, Nona Alya. Ini dari Mahendra Group." Aku langsung menegakkan punggung. "I-iya, Pak?" "Kami ingin menginformasikan bahwa Anda diterima bekerja sebagai asisten pribadi di perusahaan kami. Besok Anda sudah bisa mulai bekerja." Aku terdiam beberapa detik, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. "Saya… diterima?" "Ya, selamat. Harap datang besok pukul delapan pagi. Detail lebih lanjut akan kami jelaskan saat Anda tiba." Aku hampir tidak bisa menahan senyum lebarku. "Terima kasih, Pak! Saya akan datang besok pagi!" Setelah panggilan itu berakhir, aku merasakan napas lega yang seolah baru bisa kuhembuskan. Aku diterima! Ini berarti aku bisa mulai menghasilkan uang untuk membantu Ibu dan Adik. Tapi… tunggu. Asisten pribadi? Bukankah aku melamar sebagai staf administrasi biasa? Kenapa mereka malah menempatkanku sebagai asisten pribadi? Kepalaku dipenuhi tanda tanya baru. Tapi aku mencoba menepisnya. Mungkin memang kebijakan perusahaan. Yang terpenting, aku mendapatkan pekerjaan ini. --- Keesokan paginya, aku berdiri di depan gedung Mahendra Group dengan perasaan campur aduk. Aku mengenakan kemeja putih rapi dan rok hitam selutut, satu-satunya pakaian formal yang kupunya. Rambut panjangku aku ikat kuda agar terlihat lebih profesional. Setelah menarik napas panjang, aku melangkah masuk. Seorang pegawai HRD sudah menungguku di lobi. "Nona Alya, silakan ikut saya. Anda akan bertemu dengan atasan langsung Anda." Aku mengangguk dan mengikutinya ke dalam lift. Tapi saat dia menekan tombol menuju lantai tertinggi, aku mulai merasa aneh. "Maaf, saya akan bekerja di divisi mana?" tanyaku hati-hati. Wanita itu tersenyum kecil. "Anda akan menjadi asisten pribadi CEO perusahaan ini." Aku nyaris tersedak napasku sendiri. CEO?! Aku menoleh padanya dengan mata melebar. "Tapi… saya melamar sebagai staf administrasi biasa!" "Kami melihat Anda memiliki potensi lebih. Lagi pula, Tuan Mahendra sendiri yang memilih Anda untuk posisi ini." Aku semakin bingung. "Tuan Mahendra?" Sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, pintu lift terbuka. Aku mengikuti wanita itu menuju sebuah ruangan besar dengan pintu kayu megah. Ia mengetuk pintu sekali, lalu membukanya. "Tuan, asisten pribadi Anda sudah datang." Aku melangkah masuk, dan langsung merasa tubuhku menegang. Di balik meja kerja besar, duduk pria yang kemarin kutemui. Tatapan matanya tajam, ekspresinya tetap dingin. "Jadi, kau akhirnya datang," katanya pelan, tapi suaranya penuh dengan otoritas. Aku menelan ludah. "A-anda…" Dia berdiri, menyelipkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Dengan langkah pelan, dia mendekatiku. "Aku Mahendra Aditya," katanya. "CEO perusahaan ini." Aku membeku. Pria yang kemarin bertemu denganku… ternyata bos besar di sini?! "Dan mulai hari ini, kau bekerja untukku." Jantungku berdetak kencang. Aku bisa merasakan sesuatu yang besar akan terjadi. Tapi aku belum tahu apakah ini sebuah anugerah… atau awal dari masalah besar. Pagi itu, udara di Jakarta terasa berbeda—lebih lembap dan hiruk pikuknya semakin nyata dibandingkan desa yang selama ini kukenal. Aku mengenakan setelan kerja sederhana, mencoba merapikan diri agar tampak profesional meski hatiku masih berdebar kencang. Sesampainya di lobi gedung Mahendra Group, langkahku terasa berat, seakan setiap pijakan menandai awal dari sebuah perjalanan yang belum pernah kumiliki. Di ruang tunggu yang modern dan minimalis, aku menunggu panggilan untuk bertemu dengan HRD. Waktu berjalan lambat sambil kupikir kembali pertemuanku dengan pria itu di lantai 25. Tatapan dinginnya yang penuh misteri masih menghantui pikiranku, membuatku bertanya-tanya apa sebenarnya yang tersembunyi di balik sikapnya yang tegas. Aku mencoba menenangkan diri dengan mengingat bahwa aku di sini untuk bekerja, demi keluargaku. Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpakaian rapi menghampiri dan berkata, "Nona Alya, silakan ikut saya." Aku pun mengikuti tanpa banyak bertanya. Di ruang kerja yang luas dengan nuansa modern, suasana formal begitu terasa. Di ujung ruangan, di balik meja kayu yang elegan, berdiri sosok pria dengan postur tegas dan mata hitam yang dalam—Mahendra Aditya, CEO yang pernah kucium aroma maskulinnya di lift beberapa waktu lalu. "Alya, selamat datang," sapanya dengan nada yang dingin namun penuh otoritas. Aku menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat. "Terima kasih, Tuan," jawabku lirih sambil berusaha menata kata-kata agar terdengar sopan dan profesional. Dia kemudian menjelaskan tugas-tugasku sebagai asisten pribadi. "Mulai hari ini, kau akan membantu mengatur jadwal, menyiapkan dokumen, dan menemani saya dalam beberapa pertemuan penting. Pastikan segala sesuatu berjalan tepat waktu," tegasnya sambil menatapku tajam, seolah sedang menilai kemampuanku dari pandangan pertama. Meski arahan terdengar keras, ada sesaat di balik kerutan di dahi pria itu yang membuatku merasa ada kerentanan tersembunyi. Aku mencoba meresapi setiap kata yang diucapkannya, sambil mengingat kembali bayangan tatapannya di lift yang dulu membuatku bingung. “Kenapa ya, tatapan itu terasa seolah pernah mengenalku?” gumamku dalam hati. Selama sesi pengarahan singkat itu, setiap detil ruang kerjanya membuatku terpana—meja-meja berlapis kayu, dinding yang dipajang foto-foto penghargaan, hingga rak buku yang tersusun rapi. Aku merasa seolah memasuki dunia yang sangat berbeda, dunia para eksekutif yang penuh ketelitian dan strategi. Saat istirahat sejenak, aku berjalan menyusuri lorong sambil membawa secarik kopi yang baru disiapkan oleh seorang karyawan. Di sepanjang perjalanan, aku memperhatikan tiap sudut kantor dengan rasa ingin tahu yang tak terpadamkan. Di balik jendela besar, pemandangan kota Jakarta yang sibuk tampak kontras dengan keheningan ruangan kerja ini. Aku pun terpikir, “Mungkin di sini, aku akan menemukan arti baru dalam hidupku.” Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar dari balik pintu ruang rapat. Tanpa kusadari, pandanganku kembali tertuju pada Mahendra. Kali ini, ekspresinya tidak sekaku biasanya; ada sesaat keraguan yang terpancar sebelum ia kembali mengembalikan sikap dinginnya. "Alya, tolong siapkan laporan keuangan untuk rapat nanti siang," perintahnya sambil menyerahkan sebuah folder berisi dokumen. Aku merasakan sedikit getar di tanganku, campuran antara gugup dan antisipasi. Dalam sekejap, aku menyadari bahwa hari pertamaku di kantor bukan hanya soal menjalankan tugas, melainkan juga tentang mengenal sosok pria yang selama ini menyimpan misteri dalam tatapannya. Aku mulai menyusun pikiran dan merangkai kata-kata dengan hati-hati. Meski masih dipenuhi rasa ingin tahu dan keraguan, aku bertekad untuk menunjukkan kemampuanku. Sore itu, setelah beberapa jam bekerja, aku sempat melirik ke ruang CEO. Di sana, Mahendra duduk termenung sejenak sambil memandangi layar komputernya. Aku merasa ada beban yang ia pikul, yang jauh berbeda dari sikap keras yang selama ini kulihat. Ada secercah kehangatan yang samar, seolah mengisyaratkan bahwa di balik topeng ketegasan, terdapat kenangan atau luka yang belum tersembuhkan. Aku pun kembali ke mejaku, namun bayangannya terus menghantui pikiran. Setiap kali aku menoleh, ia tampak memikirkan sesuatu dengan intens. Aku bertanya-tanya, “Apa sebenarnya masa lalunya? Dan adakah kaitan antara pertemuan kita di lift dengan segala yang terjadi sekarang?” Hari itu pun berakhir dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, aku bangga karena berhasil menjalankan tugas pertamaku dengan baik. Di sisi lain, rasa penasaran tentang CEO yang tampan dan misterius itu semakin membara. Aku tahu, ini baru permulaan dari perjalanan yang penuh liku dan rahasia. Dengan hati yang masih berdebar, aku menutup hari kerja sambil berjanji pada diri sendiri bahwa besok aku akan mencoba menggali lebih jauh tentang sosok yang begitu menarik sekaligus menyimpan banyak tanya. Mungkin, di balik dinginnya sikap Mahendra, tersembunyi kisah yang selama ini ia simpan dengan rapat—kisah yang bisa mengubah segalanya.Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan