Alya, seorang gadis desa yang polos dan sederhana, tiba-tiba harus bekerja di kota besar demi melunasi hutang keluarganya. Nasib mempertemukannya dengan Arkan Mahendra, CEO muda yang arogan dan dingin, pewaris utama Mahendra Group. Tanpa disangka, Arkan ternyata adalah pria yang pernah Alya tolong bertahun-tahun lalu saat ia mengalami kecelakaan di desanya. Kini, pria itu berdiri di hadapannya, tetapi tak lagi seperti dulu—sikapnya berubah dingin dan penuh amarah. Namun, sekeras apa pun Arkan berusaha mengabaikan Alya, ada sesuatu dalam diri gadis itu yang terus menariknya. Saat sebuah kesepakatan gila membuat mereka harus terikat dalam pernikahan kontrak, perasaan yang dulu terkubur perlahan kembali. Akankah Alya bisa meluluhkan hati Arkan yang membatu? Ataukah ia hanya akan menjadi boneka dalam permainan pria itu?
Lihat lebih banyakAngin pagi kota besar terasa berbeda dari desaku. Tidak ada aroma sawah yang basah oleh embun, tidak ada suara ayam berkokok atau ibu-ibu bercengkrama di depan rumah. Yang ada hanya suara kendaraan yang tak henti-hentinya menderu, hiruk-pikuk manusia, serta gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit.
Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungku yang berdebar tak karuan. Di hadapanku, berdiri Mahendra Group, salah satu perusahaan terbesar di negeri ini. Gedungnya begitu megah, dengan dinding kaca besar yang memantulkan cahaya matahari pagi. Aku mendongak, merasa begitu kecil di tengah kemegahan ini. "Jangan ragu, Alya," gumamku pada diri sendiri. "Ini demi Ibu dan Adik." Aku merapatkan genggamanku pada tali tas selempang kecil yang kubawa. Aku datang ke kota ini bukan karena ingin, tetapi karena keadaan memaksaku. Hutang keluarga kami menumpuk setelah Ayah meninggal, dan satu-satunya cara agar bisa bertahan adalah dengan bekerja. Dan hari ini, aku mendapat kesempatan langka: wawancara kerja di Mahendra Group. Dengan langkah ragu, aku memasuki gedung. Lantai marmer putih berkilauan di bawah lampu kristal yang tergantung di langit-langit. Orang-orang berlalu-lalang dengan cepat, mengenakan pakaian formal dan membawa berkas-berkas penting. Aku menelan ludah. Apa aku bisa bekerja di tempat sebesar ini? Aku mendekati meja resepsionis. Seorang wanita dengan seragam blazer hitam berdiri di sana, sibuk mengetik sesuatu di komputernya. "Permisi," kataku pelan. Wanita itu melirikku sekilas, lalu menaikkan alisnya. "Ya?" "Aku datang untuk wawancara kerja," ujarku sambil menyerahkan surat panggilan wawancara yang kuterima kemarin. Ia mengambil surat itu, membaca sekilas, lalu melirik penampilanku dari atas ke bawah. Aku tahu aku tampak berbeda dari pelamar lainnya. Blus putih polos dan rok panjang yang kukenakan mungkin terlalu sederhana dibandingkan pakaian pegawai di sini yang tampak mahal dan elegan. "Lantai 25," katanya singkat. "Langsung ke ruang wawancara." Aku mengangguk cepat. "Terima kasih." Dengan langkah hati-hati, aku berjalan menuju lift. Ketika pintu lift terbuka, aku melangkah masuk bersama beberapa orang lainnya. Aku mencoba berdiri diam di sudut, berusaha tidak menarik perhatian. Saat sampai di lantai 25, aku keluar dan menemukan lorong luas dengan dinding kaca yang memberikan pemandangan kota dari ketinggian. Aku berjalan pelan, membaca papan nama di depan setiap ruangan. Namun, sebelum aku sempat mengetuk pintu ruang wawancara, suara ‘ting’ dari lift kembali terdengar. Aku menoleh. Seorang pria melangkah keluar. Jantungku seketika berdegup lebih kencang. Dia… luar biasa tampan. Tinggi, tegap, dengan jas hitam yang terjahit sempurna di tubuhnya. Rahangnya tegas, hidungnya tinggi, dan mata hitamnya menatap lurus ke depan dengan ekspresi dingin. Rambutnya disisir rapi ke belakang, memperlihatkan dahinya yang sempurna. Tatapannya tajam dan penuh wibawa. Orang-orang yang berlalu-lalang di lorong itu secara refleks menundukkan kepala saat pria itu lewat. Aku menelan ludah. Siapa dia? Saat langkah pria itu mendekat, ia tiba-tiba menghentikan langkahnya. Ia menatapku. Alisku mengernyit. Kenapa dia melihatku seperti itu? "Apa kau pegawai baru?" suaranya rendah dan dalam. Aku mengerjap, mencoba menguasai diri. "A-aku datang untuk wawancara kerja, Tuan," jawabku gugup. Tatapan pria itu semakin tajam. Matanya menelisik wajahku dengan seksama, seakan sedang mencari sesuatu. Lalu, ekspresinya berubah—dari datar menjadi dingin, nyaris seperti kemarahan. "Kau..." Ia melangkah lebih dekat hingga aku bisa mencium aroma maskulin khasnya. "Apa kau tidak mengenaliku?" Aku mengerutkan kening. "Mengenalimu?" Aku menatapnya lebih lama, mencoba mengingat, tetapi tak ada satu pun ingatan yang muncul di kepalaku. Alih-alih menjawab, pria itu mencibir. "Tentu saja. Seharusnya aku tidak berharap terlalu banyak." Aku semakin bingung. Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh, pria itu sudah berbalik dan berjalan pergi dengan langkah tegap. Aku hanya bisa berdiri mematung, didera kebingungan yang semakin dalam. Setelah pria itu pergi, aku masih berdiri mematung di tempat. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang dingin, sesuatu yang membuat dadaku terasa sesak meskipun aku tidak tahu alasannya. Siapa dia? Aku mencoba mengingat apakah aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, tapi tidak ada satu pun kenangan yang muncul di kepalaku. Lagipula, aku baru pertama kali datang ke kota ini. Tidak mungkin aku mengenal pria seperti dia. Aku menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan pikiranku yang bercabang. Aku harus fokus. Aku datang ke sini untuk wawancara kerja, bukan untuk memikirkan pria asing yang bahkan tidak aku kenal. Aku menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu ruangan wawancara. Setelah mendapat izin untuk masuk, aku membuka pintu dengan hati-hati. Ruangan itu cukup luas, dengan jendela besar yang memberikan pemandangan kota. Seorang pria paruh baya dengan kemeja rapi duduk di balik meja, ditemani seorang wanita yang sepertinya adalah asisten HRD. Aku menundukkan kepala dengan sopan. "Selamat pagi, Pak, Bu." Pria itu mengamati berkas yang kubawa. "Silakan duduk, Nona Alya." Aku duduk dengan hati-hati, merasakan gugup yang semakin menjadi-jadi. "Jadi, Nona Alya berasal dari desa, ya?" pria itu membaca data yang kuberikan. Aku mengangguk. "Iya, Pak. Saya baru pindah ke kota untuk mencari pekerjaan." Pria itu mengangguk pelan, lalu melanjutkan pertanyaannya. Aku berusaha menjawab dengan tenang, meskipun sesekali tanganku sedikit berkeringat. Aku harus mendapatkan pekerjaan ini. Aku tidak boleh gagal. Wawancara berlangsung sekitar lima belas menit. Aku tidak tahu apakah jawabanku cukup meyakinkan, tapi pria itu tampak mempertimbangkannya. "Kami akan menghubungi Anda kembali jika ada keputusan," katanya akhirnya. Aku mengangguk. "Terima kasih atas kesempatannya, Pak." Setelah keluar dari ruangan, aku menghela napas lega. Aku melangkah ke luar gedung dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu apakah aku akan diterima atau tidak, tapi setidaknya aku sudah mencoba. Namun, ketika aku berjalan melewati trotoar, sebuah mobil mewah berhenti tepat di depanku. Aku tertegun. Mobil hitam mengilap dengan kaca gelap itu tampak begitu mencolok di antara kendaraan lainnya. Pintu mobil terbuka, dan seseorang keluar. Jantungku berdebar. Pria itu lagi. Pria tampan dengan jas hitam yang kutemui di lantai 25. Aku menegang saat dia berjalan mendekat, ekspresinya tetap dingin dan tidak terbaca. "Alya," katanya pelan, tapi penuh tekanan. Aku membelalakkan mata. Bagaimana dia tahu namaku? "Kau mengenalku?" tanyaku lirih. Dia menatapku lama, sebelum akhirnya menghela napas pelan. "Lebih dari yang kau kira." Aku semakin bingung. Tapi sebelum aku bisa bertanya lebih jauh, pria itu sudah berjalan kembali ke dalam mobilnya. Aku hanya bisa berdiri diam, didera kebingungan yang semakin dalam. Siapa dia sebenarnya? Dan kenapa aku merasa ada sesuatu yang belum aku ketahui?Malam itu, aku duduk di dalam mobil Om Martin, jari-jariku bermain di ujung gaun yang kukenakan. Hawa dingin dari AC menyelimuti tubuhku, tapi pikiranku justru terasa panas, berputar-putar memikirkan semua yang telah terjadi hari ini."Kamu capek?" suara Om Martin terdengar lembut, membuyarkan lamunanku. Aku menoleh dan melihatnya tersenyum, tatapan matanya yang teduh membuat dadaku berdesir.Aku menggeleng pelan. "Nggak, aku cuma... banyak mikir aja."Dia mengangguk seakan mengerti. "Kalau ada yang ingin diceritakan, aku siap mendengar."Aku menghela napas, mencoba menyusun kata-kata. "Aku cuma merasa aneh. Rasanya... terlalu nyaman berada di dekat Om. Seperti ada sesuatu yang mengisi ruang kosong di hatiku. Tapi di sisi lain, aku takut kalau ini hanya perasaan sesaat."Om Martin terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku juga merasakannya, Laura. Aku tahu aku bukan ayahmu, dan aku tidak akan pernah bisa menggantikannya. Tapi kalau keberadaanku bisa membuatmu merasa lebih baik, aku berse
Laura menatap sosok di hadapannya dengan napas tertahan. Jantungnya berdebar kencang saat dia mencoba memahami apa yang baru saja terjadi. Orang itu berdiri di ambang pintu, matanya menatap Laura dengan campuran perasaan yang sulit dijelaskan."Kamu... kenapa bisa ada di sini?" suara Laura bergetar.Pria itu tersenyum kecil, langkahnya mendekat. "Aku selalu ada di sekitarmu, hanya saja kau tidak pernah menyadarinya."Reno yang berdiri di samping Laura menatap pria itu dengan sorot tajam. "Siapa dia, Laura?"Laura menggeleng, seakan mencoba mengusir kebingungan di kepalanya. "Aku... aku tidak tahu. Aku pernah mengenalnya, tapi aku tidak mengerti kenapa dia muncul sekarang."Pria itu tertawa kecil, suara rendahnya penuh misteri. "Laura, aku tidak muncul tiba-tiba. Aku datang karena waktunya sudah tepat. Ada sesuatu yang harus kamu ketahui."Ketegangan semakin meningkat. Reno maju selangkah, posisinya protektif di depan Laura. "Aku tidak peduli siapa kamu. Kalau niatmu buruk, sebaiknya p
Malam itu, hujan turun deras, menciptakan suasana tegang di dalam ruangan yang dipenuhi oleh ketegangan yang menggantung. Laura menatap pria di depannya, napasnya tercekat saat kata-kata yang baru saja diucapkan pria itu menggema di kepalanya."Aku sudah tahu semuanya, Laura," kata pria itu dengan suara berat dan tajam.Jantung Laura berdebar kencang. "Maksudmu apa?" tanyanya, mencoba tetap tenang.Pria itu mengeluarkan sebuah amplop coklat dan meletakkannya di atas meja. Dengan tangan gemetar, Laura mengambilnya dan membuka isinya. Matanya melebar saat melihat foto-foto di dalamnya. Itu adalah foto dirinya bersama seseorang dari masa lalunya—seseorang yang seharusnya sudah tidak ada dalam hidupnya."Bagaimana kau mendapatkan ini?" suaranya bergetar, campuran antara marah dan ketakutan.Pria itu tersenyum tipis. "Aku punya sumberku sendiri. Dan aku yakin, kau tahu bahwa seseorang sedang mengincarmu."Laura menelan ludah. Dia tahu persis siapa yang dimaksud pria itu. Sosok yang seharus
Laura merasa jantungnya berdetak kencang saat melihat seseorang dari masa lalunya muncul tiba-tiba di depan pintu apartemennya. Pria itu berdiri dengan wajah serius, seolah membawa kabar buruk yang akan mengubah segalanya. "Kita perlu bicara," katanya dengan nada mendesak.Sementara itu, di tempat lain, Arya dan Reza sedang mencoba menghubungi Laura setelah menyadari ada sesuatu yang aneh dengan pesan yang dikirimkannya sebelumnya. Liam yang biasanya ceria juga terlihat lebih serius. "Aku nggak suka firasat ini," gumamnya sambil menggenggam ponselnya erat.Di dalam apartemen, Laura menatap pria itu dengan perasaan campur aduk. "Kenapa kamu di sini? Aku pikir kita sudah selesai bertahun-tahun lalu," katanya dengan suara bergetar.Pria itu, yang ternyata adalah mantan kekasih Laura yang menghilang tanpa jejak, menghela napas panjang. "Aku tahu aku banyak salah, tapi aku kembali karena ada sesuatu yang harus kau tahu. Ini tentang keluargamu… tentang ayahmu."Kata-katanya langsung membuat
Malam semakin larut, tetapi suasana justru semakin tegang. Napasku memburu, pikiranku berputar cepat. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengannya lagi—seseorang yang seharusnya sudah lama menghilang dari kehidupanku.Dia berdiri di sana, bersandar santai di pintu belakang ruangan ini, seakan kedatangannya adalah hal yang wajar. Senyumnya tipis, nyaris seperti ejekan.“Lama tidak bertemu, Laura,” suaranya tenang, tapi dingin.Aku menelan ludah. “Kenapa kau di sini?”Dia tidak langsung menjawab. Malah, dia melangkah maju dengan perlahan, membuat jantungku berdebar lebih kencang. Reno dan Arya sudah bersiap siaga di sampingku, siap melakukan apa pun jika keadaan memburuk.“Kau tahu, aku selalu tertarik melihat bagaimana kau berkembang setelah semua yang terjadi,” katanya sambil menatapku tajam. “Aku hanya ingin melihat sendiri apakah kau masih sekuat dulu… atau justru lebih lemah.”Aku mengepalkan tangan. “Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.”Dia tertawa kecil. “Permainan? Ah,
Malam itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Langit hitam pekat tanpa bintang, seakan menyembunyikan sesuatu yang tak ingin terlihat. Di dalam ruangan yang remang, suasana penuh ketegangan.Laura menatap seseorang di depannya dengan napas memburu. Sosok itu tersenyum samar, tatapannya sulit ditebak."Kau pasti tak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?" suara baritonnya terdengar begitu akrab, tapi ada sesuatu yang janggal di baliknya.Laura menelan ludah. "Kenapa kau ada di sini? Apa maumu?"Sosok itu hanya menghela napas, lalu berjalan mendekat dengan langkah perlahan. Setiap langkahnya bergema di ruangan yang sepi.Di saat bersamaan, di tempat lain, Reno berlari menerobos lorong sempit, mencoba mencari Laura. Ada firasat buruk yang mengusiknya sejak tadi. Jantungnya berdebar kencang, dan tanpa sadar, tangannya mengepal erat.Sementara itu, di dalam ruangan, Laura berusaha tetap tenang meskipun pikirannya berkecamuk. Sosok itu kini berdiri di hadapannya, menyodorkan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen