"Apa kamu sadar? Tindakanmu itu bisa membuat dirimu celaka? Bagaimana kalo tidak ada aku? Kamu pasti akan terjatuh ke bawah. Mentang-mentang kamu bisa manjat, seenaknya kamu melakukan hal yang sangat berbahaya?" gerutu Saka mengomel tiada henti.
Arini menyeringai dan dengan santainya menopangkan satu tangan di dada saka untuk menyangga dagunya.
Saka mengernyit dan menahan sakit akan tumpulan siku tangan yang mengenai dadanya.
"Argh, aku pasti sangat rindu dengan omelan dokter ini?" tanya Arini menatap Saka dengan penuh arti.
Saka tersenyum menatap wajah manis yang berada di depannya. Rambut hitam panjang yang terurai membuat Saka tak berhenti membenarkan rambut indah yang dimiliki asistennya tersebut.
"Aku juga akan rindu sama perawat bawel dan sok jago ini!" ucap Saka tersenyum tipis.
Arini mengernyit dan spontan memukul bahu Saka yang tertutup dengan seragam dokter.
"Kenapa memukulku?"
Saka memprotes dan ter
Arini tersenyum dan meraih kedua tangan besar yang di miliki ibunya."Hari ini, Arini tidak ke rumah sakit, Bu!" tutur Arini yang membuat sang ibu bingung dengan apa yang terlontar dari mulutnya."Kamu ini bicara apa sih? Jangan bercanda deh!" tukas ibu memukul bahu putrinya."Aw, ibu ... kenapa ibu memukul Arini?"Bibir Arini memanyun. Dengan manjanya , ia mengusap bahu yang tertutup dengan kemeja putih yang ia kenakan."Makanya jangan bicara yang bukan-bukan. Kalo kamu tidak kerja di rumah sakit, bagaimana dengan masa depan kamu, Arini?"Arini menghela nafas panjang. Ia mulai berdiri dan memegang tangan sang ibu dengan belaian yang lembut.Perlahan, ia mulai menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya dengan pekerjaannya."Bu, mulai hari ini Arini bertugas menjaga dan merawat salah satu anak konglomerat di kota ini. Pihak rumah sakit juga sudah menyetujuinya," jelas Arini dengan senyum manisnya."Maksud kamu, kamu me
"Ehm, alangkah baiknya jika dokter yang membeli semua keperluan Alya," ucap Arini menyodorkan kembali uang tersebut.Saka mengernyit dan bingung dengan apa yang di maksud Arini."Kenapa? Apa kamu tak bisa melakukan hal kecil seperti ini?" tanya Saka.Arini menghela nafas panjang. Ia sudah tau jika pertanyaan itu aka terlontar dari mulut dokter yang bekerja bersamanya selama 7 tahun itu."Dokter saka yang tampan dan baik hati. Dokter apa lupa dengan keadaan keponakan dokter? Masa' iya, aku meninggalkan dia seorang diri di apartemen ini?" tanya Arini mengingatkan saka.Seketika, Saka menoleh ke arah Alya yang masih tertidur pulas di atas tempat tidur. Tubuhnya yang gendut terkulai lemas dengan sakit yang di derita."Dokter lupa?" tanya Arini membuyarkan lamunan Saka.Saka menyeringai. Meskipun saat ini mereka tidak bekerja sama lagi, tapi lagi dan lagi saka selalu kena semprot oleh mantan asistennya itu."Iya, aku lupa akan hal i
Dokter Saka calling ..."Akhirnya ...," kata Arini tersenyum lega seraya mengangkat vidio call dari Saka."Halo, Dok!" jawab Arini dengan lirih.Saka mengernyit melihat Arini mengendap-endap pergi meninggalkan keponakannya."Arini, ada apa? Kenapa kamu mengendap-endap seperti maling?" tanya Saka penasaran.Wajah manis Arini begitu menggemaskan saat mengkodenya untuk diam. Tingkah lakunya yang lucu membuat saka tak bisa menghentikan senyum yang tertoreh."Aku benar-benar capek, Dok! Nanti, kalo dokter pulang, tolong belikan obatnya Alya, ya! Nanti aku kirim fotonya!" lirih Arini seraya menopangkan kedua kakinya di atas bahu sofa."Iya!" jawab Saka menopangkan tangan kanannya tepat di dagunya. Kedua matanya tak berhenti menatap wanita yang selalu ada buatnya. Meskipun bawelnya minta ampun tapi perhatiannya begitu luar biasa.Ting tongSuara bel pintu berbunyi mengejutkan Arini. Arini menoleh dan mengernyit heran siapa oran
Saka terdiam. Tangan kanannya tak berhenti melepas tangan Aura yang terus melilit di dirinya. Rasa malas dan kesal mulai menghampiri dirinya saat Aura mengungkit kenangan pahit yang ia alami.Aura dan Saka terkejut ketika Arini tiba-tiba menarik tangan Aura agar menjauh dari Saka."Jangan coba-coba menyentuh apa yang bukan menjadi milikmu, ibu Aura yang terhormat!" ketus Arini dengan wajah yang sangat marah.Alya yang berada di gendongannya pun mengernyit melihatnya.Aura seakan tak mampu menegak salivanya sendiri. Ia bingung harus berbuat apa saat berhadapan dengan Arini di depan anak sambungnya itu.Gawat! Bagaimana ini? Apa Alya akan memberitahu pada ayahnya? batin Aura bertanya.Senyum manisnya tertoreh menatap ke arah wajah imut Alya yang cemberut melihatnya."Sayang, ikut mama, yuk!" ajak Aura menengadahkan kedua tangannya dan berharap bisa meluluhkan hati kecil anak tirinya itu.Alya berpaling. Kepalanya dengan man
Seperti biasanya, setiap kali Arini membelanjakan saka, Saka selalu menunggu Arini di mobil.Drt ... Drt ...Kedua alis tebal yang saka miliki seakan menjadi satu saat melihat Arini hanya membawa satu kantong kresek, itupun juga yang paling kecil."Tak biasanya dia belanja sedikit itu?" tanya Saka penasaran dengan perubahan sikap Arini.CeklekSaka keluar mobil dan melangkah menghampiri Arini yang tersenyum ke arahnya."Tumben, segini?" tanya Saka menunjuk kantong kresek putih yang di pegang oleh Arini."Semua pesanan dokter sudah ada di situ. Dan kebetulan, hari ini aku tidak membutuhkan apa-apa!" ucap Arini menyodorkan kartu kredit dan barang pesanan milik Saka.Saka terdiam dan bingung melihat Arini yang tak seperti biasanya.Aneh! Biasanya setiap tanggal 27, ia selalu meminjam uang untuk membeli kebutuhannya? Kenapa .... gumam batin Saka berpikir."Dok!" Lambaian tangan Arini membuyarkan lamunannya. 
"Aku masih penasaran dengan pembicaraan kakek semalam. Siapa orang yang kakek maksud? Kenapa kakek ingin sekali menyelidikinya?" Bibir Aura melipat seraya menopangkan kedua tangan di dada. Rasa ingin tahu dan rasa penasaran mulai menghampiri dirinya.Dengan langkah bak seorang model, Aura pergi meninggalkan kamarnya. Senyumnya selalu tertoreh saat berada di hadapan kakek Rendra."Kakek, sudah makan?" tanya Aura menghampiri sang kakek yang makan lebih dulu tanpa menunggu dirinya.Terdiam, tanpa menoleh itulah yang dilakukan kakek Rendra saat menikmati makanan yang ada di depannya.Senyum Aura memudar secara perlahan. Dahinya mengernyit saat ia merasa kalo dia salah dalam berucap.Aduh! Apa ucapanku ada yang salah? tanya batin Aura melirik raut wajah sang kakek yang fokus pada makanannya. Perlahan, jari jemari tangannya yang mulus mulai mengambil makanan untuk dirinya sendiri.Selesai makan, kakek Rendra mulai menjawab pertanyaan dari Aura.
"Alhamdulillah, baik! Bagaimana dengan kamu? Berapa anak kamu?" tanya Ayah yang begitu penasaran dengan kehidupan sahabatnya itu.Sesaat, raut wajah yang tadinya bahagia perlahan memudar ketika pertanyaan itu terlontar dari mulut ayah."Ada apa?" tanya Ayah mengusap bahu sahabatnya itu.Ayah memberikan minuman untuk sahabatnya itu."Minumlah! Maafkan aku jika telah menyinggung tentang kehidupanmu," kata Ayah merasa bersalah."Tidak apa!" jawab Dimaz mengamati usaha sahabatnya yang terbilang sangat kecil.Ayah tersenyum menatap sahabatnya yang berpenampilan bak seorang pengusaha yang sukses seperti mantan bossnya dulu."Kenapa melihatku seperti itu? Apa aku sudah terlihat sangat tua?" tanya Dimaz memegang dagunya yang halus tanpa jenggot.Ayah terkekeh dengan apa yang terlontar dari mulut sahabatnya itu."Tidak. Justru kamu terlihat masih sangat muda," puji Ayah yang membuat tawa mereka pecah seketika.Ibu me
"Jika iya! Bisa mati aku di hadapan Arini!" gumam Saka menghela nafas panjang.Sesaat, kedua matanya mengerling saat melihat arah jarum jam yang melingkar di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 4 sore."Apa dia sudah membeli gaun?" tanya Saka sembari mengetuk jari jemarinya tepat di atas meja. "Ah ... aku tak sabar melihatnya memakai gaun. Pasti terlihat sangat aneh," kata Saka menyeringai.Di apartemenArini mengerling saat membaca sms dari saka."Acara makan malamnya di apartemen, kakek ingin mencoba makanan yang kamu masak!" Pesan Saka yang membuat Arini berpikir."Makanan yang aku masak? Kenapa kakek Rendra ingin aku memasak untuknya? Aduh, kenapa harus sekarang, sih? Aku kan capek!" gerutu Arini memanyunkan bibirnya. Dengan wajah yang tak bersemangat, Arini menscroll kembali layar pipihnya. Lentik indah bulu matanya seakan tak berhenti mengerjap melihat beberapa pesan berikutnya yang belum ia baca