Pak Mangun menghampiri Darto yang akan beranjak kembali mencari putrinya. Akan tetapi sebelum itu terjadi, ia menepuk bahu Darto dengan lembut dan mencoba menenangkan pria itu.
"Kang Darto," ujar Pak Mangun dengan suara rendah, "Saya mengerti kau ingin segera menemukan Ayu, tapi keadaan semakin berbahaya. Malam semakin larut. Akan bahaya jika terus melakukan pencarian sekarang." Darto menoleh dengan mata penuh amarah dan kegelisahan. "Apa maksudmu, Mangun? Kau menyuruhku untuk berhenti? Putriku di luar sana, mungkin terluka atau... Ash!" Pak Mangun menghela napas berat, menatap obor yang berkedip-kedip di tangan warga. "Aku tahu ini berat, tapi kita harus berpikir bijak. Hutan ini... bukan hutan biasa. Banyak hal yang tidak kita pahami di sini dan jika kita terus mencari dalam kegelapan seperti ini, kita hanya akan menambah jumlah yang hilang. Hewan buas lebih aktif di malam hari, dan kita tidak punya cukup perlengkapan untuk bertahan jika terjadi sesuatu." Seorang warga yang berdiri di dekat mereka ikut menimpali, "Pak Mangun benar, Kang Darto. Kita semua khawatir dengan keselamatan Ayu, tapi kita juga harus menjaga keselamatan semua warga yang ikut. Pencarian ini akan lebih baik jika dilanjutkan besok." Darto mengepalkan tangannya, merasa terjebak antara ketakutan yang melumpuhkan dan naluri seorang ayah yang ingin menyelamatkan anaknya. Ia menatap hutan yang gelap gulita, seolah-olah menunggu jawaban dari kegelapan itu sendiri. Kepala desa bernama Pak Karta yang sedari tadi diam memperhatikan diskusi tersebut, akhirnya melangkah maju. "Aku mengerti rasa cemasmu, Darto," katanya dengan suara tenang dan bijaksana. "Tapi kita harus mendengarkan Pak Mangun. Pencarian akan lebih baik jika di lakukan siang hari. Malam ini, kita akan kembali ke desa, mengatur strategi, dan berdoa untuk keselamatan Ayu. Begitu matahari terbit, kita akan mulai pencarian lagi dengan peralatan yang lebih baik." Darto menundukkan kepala, hatinya bergulat dengan ketidakpastian. Namun, akhirnya, dia mengangguk pelan. "Baiklah... kita lanjutkan besok pagi," katanya dengan suara serak, meskipun rasa putus asa masih menyelimuti hatinya. Pak Karta segera menginstruksikan warga untuk berkumpul dan bersiap kembali ke desa. "Kita akan mengatur kelompok pencari yang lebih besar besok pagi. Siapkan semua yang kalian butuhkan, dan kita akan berangkat saat matahari mulai terbit." Meskipun kecewa, warga desa patuh pada keputusan itu. Mereka mulai berjalan kembali ke arah desa dengan langkah berat. Pak Mangun berjalan di samping Darto, memberikan dukungan kepada pria itu, sementara kepala desa dan yang lainnya memastikan tidak ada yang tertinggal di belakang. Setibanya di desa, para warga berpisah menuju rumah masing-masing, sementara Darto terus melangkah menuju rumahnya yang berada di ujung jalan kecil. Di depan pintu rumah, dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum membuka pintu. Di dalam rumah, Ratna menunggu kepulangan suaminya dengan penuh kecemasan. Berharap suaminya akan membawa serta putri satu-satunya itu. Ketika pintu terbuka, Ratna langsung berdiri dari tempat duduknya. "Kang… Ayu di mana?" tanyanya dengan suara lirih. Darto menundukkan kepalanya, tak sanggup menatap mata istrinya. "Kami belum menemukannya, Ratna..." ucapnya pelan. Air mata Ratna langsung mengalir tanpa bisa ditahan. "Tidak… Tidak mungkin... Ayu, anak kita… dia... dia baik-baik saja, kan?" suaranya bergetar. Dia berjalan mendekati suaminya, mencari kepastian di balik kalimat-kalimat yang tak terucap. Darto hanya bisa memeluk istrinya erat, mencoba menenangkan meskipun hatinya sendiri penuh dengan ketakutan dan kekhawatiran. "Aku dan warga desa akan mencarinya lagi besok pagi, Ratna. Jangan khawatir, kita pasti akan menemukan Ayu," katanya dengan suara serak. Namun dalam pelukannya, Ratna bisa merasakan tubuh suaminya yang gemetar. Ia tahu bahwa Darto juga sama cemasnya dengan dirinya. Tidak ada kepastian, hanya harapan yang menggantung di udara malam yang dingin itu. Ratna menggenggam erat tangan Darto. "Kita harus percaya… kita harus percaya bahwa Ayu akan baik-baik saja. Dia gadis yang kuat," ujarnya, meski suaranya dipenuhi dengan air mata. Darto mengangguk tanpa berkata apa-apa. Di dalam hatinya, dia hanya bisa berdoa agar Ayu ditemukan dengan selamat esok hari. Di tempat yang berbeda, Kaelan menggendong Ayu menuju sebuah kamar mewah. Entah apa yang telah dia lakukan sehingga membuat gadis itu tak sadarkan diri. “Itu akibatnya jika kau tidak mematuhiku!” Gumamnya pelan sambil membaringkan gadis itu di atas ranjang. Dia menatap Ayu sejenak, gadis itu terbaring di ranjang mewah miliknya. “Kau tidak bisa melawan kehendakku. Semua ini bisa dihindari jika kau mau mendengarkanku.” Ayu yang tak sadarkan diri, hanya bisa terbaring tanpa tahu betapa mengerikannya situasi yang menimpanya. Kaelan meraih gelas berisi air yang terletak di meja samping ranjang dan mencelupkan ujung jari telunjuknya ke dalam cairan itu, kemudian menyentuhnya di bibir Ayu. “Lihatlah, bibirmu sangat kering.” Ucapnya pelan. Tok, tok, tok… Kaelan mengalihkan pandangannya dari Ayu saat terdengar suara ketukan di pintu. Suara Fors yang merupakan sahabat sekaligus penasehatnya, memecah keheningan. “Kaelan! Kau di dalam? Kita perlu bicara,” suara Fors terdengar tegas, disertai ketukan yang lebih keras. Dia beranjak meninggaklan Ayu. Ketika pintu dibuka, Fors berdiri di luar dengan ekspresi serius. “Kau membawa manusia?” tanya Fors tanpa basa-basi. Kaelan mengangguk, “Hmm, ya! Kau bisa merasakannya?” “Tentu saja, mari ikut denganku. Kita perlu bicara.” Ajak Fors. Kaelan mengikuti Fors dengan langkah cepat. Mereka berdua memasuki ruangan tertutup, dinding-dindingnya dilapisi kain hitam yang menyerap cahaya. Di dalamnya, aroma herbal dan kayu wangi memenuhi udara, menciptakan suasana yang serius dan misterius. “Baiklah, Kaelan kita perlu segera membahas ini,” kata Fors sambil menutup pintu dengan hati-hati, memastikan tidak ada yang mendengar mereka. “Kau tahu apa yang harus dilakukan sekarang. Sebagai satu-satunya keturunan terakhir Wolfric?” Kaelan mengangguk santai, “Tentu saja aku tahu. Aku harus segera menghasilkan keturunan.” “Benar sekali, kau harus menghasilkan keturunan. Sangat penting untukmu jika kau segera menikah. Sejarah keluargamu terancam punah. Wolfric telah berjuang selama ribuan tahun untuk menjaga kekuatan dan keberadaan kita dan sekarang, setelah semua yang terjadi, kau adalah harapan terakhir bagi bangsa serigala.” Kaelan berjalan mendekati kotak kaca yang berisi mahkota indah berkilau. Dengan lembut, dia menyentuh permukaan kaca seolah-olah merasakan kekuatan yang terpendam di dalamnya. “Fors,” katanya sambil tersenyum lebar, “aku akan menikahi gadis yang aku bawa hari ini.” Fors tertegun, ekspresinya berubah terkejut dan skeptis. “Menikahi manusia? Kaelan, itu tidak masuk akal! Kau tahu betapa rumitnya hubungan antara kita dan mereka. Manusia tidak akan pernah bisa memahami dunia kita. Jika kau melakukannya, itu bisa menghancurkan semuanya!” Kaelan mengangkat bahu, tampak tidak terpengaruh oleh ketidaksetujuan sahabatnya. “Mungkin itu cara terbaik untuk melindungi bangsa kita. Jika aku mengawininya, dia akan melahirkan keturunan setengah serigala. Bayangkan, Fors! Kita bisa membangun kembali kekuatan kita melalui darahnya.” Fors menggelengkan kepalanya, jelas tidak setuju. “Tetapi kau harus tahu bahwa tidak semua manusia akan menerima kenyataan ini. Mereka bisa melawan dan itu akan membawa bahaya bagi kita semua. Apa kau tidak ingat bagaimana bangsa manusia membantai kita habis-habisan?” Kaelan hanya tersenyum menanggapi ucapan Fors.Malam itu Kaelan melangkah perlahan di bawah cahaya rembulan yang samar, mencoba menghindari setiap bunyi ranting atau dedaunan kering yang bisa membongkar keberadaannya. Di balik jendela kamar, istrinya tampak sedang berbicara dengan ibunya. “Huh, untung saja aku bergerak cepat.” Gumamnya pelan. Dia melesat mengitari rumah mertuanya hingga berhenti tepat di depan pintu. Dengan perlahan dia mengetuk pintu tersebut. Tok, tok, tok! Sementara itu di dalam Ayu dan ibunya menoleh saat mendengar ketukan pintu. “Bu, sepertinya itu Mas Kaelan.” Ucap Ayu. “Kamu sudah berbaikan dengan suamimu yu?” Tanya sang ibu. “Hmm, iya bu. Sebenarnya itu hanya kesalahpahaman.” Ujar Ayu beralasan. “Ya sudah, cepat bukakan pintu yu. Kasian suamimu.” Ucap sang ibu dengan lembut. Ayu bergegas menuju ruang tamu untuk membukakan pintu. Sesampainya di depan pintu, Ayu menarik napas panjang sebelum akhirnya memutar gagang pintu. Begitu pintu terbuka, Kaelan langsung menerobos masuk tanpa berkata sepatah k
Malam itu langit tampak gelap gulita, tidak ada bintang satupun menghiasi langit Jakarta. Kawlan tampak berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke arah kota besar. Setelah pertengkaran dengan Ayu di memutuskan menenangkan diri di Markas bangsa serigala. Di sisi lain Leo tampak sibuk dengan benda pipih yang baru di belikan Fors. “Kae, ini bagaimana menggunkannya?” Tanyanya. Pria tampan itu menghiraukan seruan sahabatnya, tatapannya kosong. “Kae…tolong lah! Aku tidak mengerti menggunakan benda canggih ini.” Gerutunya sambil mengangkat ponsel yang ada di tangannya. Kaelan berbalik, tatapannya tajam seolah Leo telah mengganggunya. “Kau sangat berisik! Aku pergi,” katanya yang langsung nyelonong begitu saja. “Kau mau kemana kae?” Teriaknya lalu kembali fokus pada benda yang di pegangnya. Dia terus menggerutu sambil menatap layar ponselnya. Matanya terpaku pada beberapa ikon warna-warni yang bergerak di layar, merasa sedikit kebingungan dan frustrasi. Dengan ragu-ragu, ia me
"Jadi, maksudmu aku harus meninggalkan hutan dan hidup di antara manusia seperti yang kau lakukan?" Leo menatap Kaelan dengan sorot penuh keraguan. "Aku tidak sekuat itu, Kaelan. Menyaksikan bangsa kita dibantai, lalu hidup berdampingan dengan para pembunuh itu... bukan hal yang mudah." Kaelan mengangguk pelan, memahami keraguan sahabatnya. "Aku tahu, Leo. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Dunia ini telah berubah, dan kita harus menyesuaikan diri atau punah. Aku tidak bisa membiarkan kenangan masa lalu menjadi penghalang. Kita butuh keturunan yang kuat untuk melanjutkan garis keturunan bangsa serigala." Leo terdiam tampak berpikir dejenak sebelum kembali berargumen. "Bagaimana jika mereka tahu kita masih hidup, Kaelan? Jika manusia tahu keberadaan kita… apa yang akan terjadi?" Kaelan menarik napas dalam-dalam, lalu menatap sahabatnya dengan tegas. "Itu risiko yang harus kita ambil. Kita tidak bisa bersembunyi selamanya. Selama kita bisa beradaptasi, tidak ada yang perlu kita
Malam itu Kaelan duduk di ruang keluarga sambil membaca laporan pekerjaan di laptopnya. Sedangkan Ayu di sebelahnya sambil mengelus perutnya yang masih rata. “Mas…” panggil Ayu pelan. Kaelan menoleh, memasang senyum lembut. "Ada apa, Sayang?" Ayu menatapnya dengan wajah polos tapi penuh harap. "Aku kayaknya lagi pengen sesuatu." Kaelan mengangkat alis, lalu menyimpan laptopnya. “Pengen apa? Bilang saja, biar aku carikan.” Ayu menggigit bibirnya menunduk sedikit malu. "Aku pengen makan mangga muda, Mas... yang asam, terus dicocol sama sambal rujak yang pedesnya." Kaelan menahan tawa kecil mengingat kejadian saat ia mencoba sambal ijo untuk pertama kalinya.“Mangga muda ya? Hmm, sebentar aku coba lihat dulu di kulkas. Kalau nggak ada aku akan cari di luar.” Ayu tersenyum lebar, matanya berbinar penuh harapan. “Serius, Mas? Terima kasih ya!” Kaelan mengangguk lalu beranjak menuju dapur untuk memeriksa kulkas. Namun, setelah membuka pintu kulkas dan memeriksa isinya, ia hanya mend
Kaelan kembali membawa piring dengan sepotong roti panggang berisi telur ceplok dan sayuran segar, memang terlihat biasa, tapi setidaknya bisa mengenyangkan istrinya. Ia tersenyum kecil, sedikit merasa bersalah."Maaf ya, sayang. Mungkin ini lebih cocok untukmu," katanya sambil meletakkan piring itu di depan Ayu.Ayu tersenyum tipis. "Nggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok."“Ya sudah cepat di makan.” Kata Kaelan.Kaelan melirik jam di tangannya, lalu dengan perlahan melepas celemek yang ia kenakan. Dia menghela napas sejenak sebelum menatap Ayu yang mulai menikmati roti panggang buatannya."Setelah makan, kamu istirahat saja ya, Sayang," ucap Kaelan sambil meletakkan celemeknya di meja. "Aku akan kembali tengah malam."Ayu menghentikan gerakannya, mengernyitkan alis. "Memangnha kamu mau ke mana?"Kaelan tersenyum paksa. "Aku ada rapat penting di kantor."“Rapat? Memangnya serigala punya kantor ya?” Tanya Ayu polos.Kaelan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.“Bukan, aku rapat bers
Pagi itu suasana rumah terasa berbeda. Ayu sibuk berkemas, memeriksa satu per satu barang yang akan dibawanya ke Jakarta. Hari ini ia akan ikut bersama suaminya, meninggalkan rumah orang tuanya untuk beberapa waktu.Ratna berdiri di ambang pintu kamar Ayu, memperhatikan putrinya dengan tatapan sedih. Sementara Darto duduk di ruang tamu sambil menunduk, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya. Darma adik laki-laki Ayu, mondar-mandir di depan kamar, tampak gelisah."Yakin nggak ada yang ketinggalan, Yu?" tanya Ratna, suaranya terdengar serak.Ayu berhenti sejenak, menatap ibunya dengan senyuman lembut. "Insya Allah nggak ada, Bu. Semua udah aku cek berkali-kali."Ratna menghela napas panjang. "Kamu bakal sering pulang, kan?"Ayu mendekat, menggenggam tangan ibunya. "Pasti, Bu. Lagian, Jakarta nggak jauh kok. Cuma beberapa jam aja."Darto yang sedari tadi diam, tiba-tiba angkat bicara. "Tetap aja, Ayu. Rumah ini bakal sepi tanpa kamu. Kita nggak terbiasa kalau kamu nggak di