Share

4. Pemahaman

Tawa ejek terdengar dari Arlan. “Saya gak minta kamu buat nunggu saya, ya. Sebaiknya sekarang kamu pergi, masih banyak kerjaan yang harus saya selesaikan. Lagipula, ini pemberian mama. Mama yang masak dan siapkan semuanya, lalu untuk apa saya berterima kasih sama kamu?”

“Tapi, Mas, itu ....”

“Pak Arlan, ini laporan yang sudah saya perbaiki.”

Seseorang yang datang tiba-tiba membuat Shena menghentikan kalimatnya. Keduanya menoleh ke sumber suara dengan kompak. Sedangkan, karyawan yang datang tadi sontak terdiam di tempat ketika melihat sosok Shena yang juga berada di ruang kerja Arlan.

Shena yang merasa tidak enak hati dengan Arlan pun sontak membuka suaranya. “Maaf, tolong jangan salah paham dulu, ya. Saya Shena, ART baru di rumah pak Arlan. Saya ditugaskan oleh ibu Kinara untuk mengantarkan bekal makanan pak Arlan, itu saja.”

Sang karyawan sontak menganggukkan kepalanya dan tersenyum. “Iya, saya tau, kok. Di depan tadi kan kita ketemu,” ucapnya membuat Shena menepuk keningnya karena lupa. “Oh, iya, Pak, ini laporan yang sudah saya perbaiki.”

Arlan menerima hasil laporan yang karyawannya berikan tadi. “Nanti saya cek lagi. Sudah, kamu keluar sana. Lain kali ketuk pintu dulu kalau mau masuk.”

“Baik, Pak, maafkan saya yang sudah tidak sopan kepada Pak Arlan,” ucap sang karyawan seraya membungkukkan badannya sedikit, lalu keluar dari ruang kerja Arlan.

Setelah pintu kembali ditutup, Arlan meletakkan hasil laporan tadi di atas meja kerjanya dan kembali menoleh ke arah Shena.

“Kenapa kamu bilang kalau kamu itu ART baru di rumah saya?” tanya Arlan.

“Kalau saya memperkenalkan diri sebagai ‘calon istri’ Mas Arlan, emangnya Mas Arlan gak papa?” ucap Shena balik bertanya seraya menekan kata ‘calon istri’ dalam kalimatnya. Arlan hanya diam tidak menjawab. “Sudah jelas kalau Mas Arlan tidak mau hal itu terjadi. Saya melakukan ini agar citra Mas Arlan tidak menurun karena memiliki calon istri seorang gadis kampung yang tidak berpendidikan seperti saya. Jadi, Mas Arlan akan tetap dihormati oleh karyawan-karyawan Mas Arlan.”

“Terus, kenapa kamu masih di sini?”

“Saya menunggu ucapan terima kasih dari Mas Arlan,” jawab Shena dengan cepat. Lagi-lagi Arlan diam, tidak merespons ucapan Shena yang terus meminta kata ‘terima kasih’ darinya. “Baiklah, Mas Arlan memang sulit sekali untuk mengucapkan terima kasih, ya?”

“Tau apa kamu tentang saya?”

“Seharusnya Mas Arlan mengerti, kalau ingin lebih dihormati, maka hormatilah orang lain. Dari yang saya lihat, Mas Arlan bahkan tidak berterima kasih kepada karyawan tadi. Mas Arlan harus sadar, kalau tanpa adanya mereka, perusahaan tidak akan bisa sebesar ini.

“Saya tidak bermaksud menggurui Mas Arlan, maaf kalau ada salah kata. Saya izin pamit untuk pulang, permisi,” lanjut Shena, kemudian berjalan melewati Arlan yang masih diam di tempat.

Setelah Shena benar-benar pergi dari ruangannya, Arlan mengembuskan napas beratnya dan duduk di kursi kerja miliknya. Dia mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas dan membukanya. Dia juga mengeluarkan botol air minum miliknya yang Shena bawakan untuknya.

Tanpa menunggu lama, Arlan segera menyantap makanan tersebut. Satu suapan telah dia rasakan, wajahnya seakan menunjukkan raut terkejut. “Telur semur buatan mama kenapa rasanya beda?” gumamnya.

Shena telah sampai di depan rumah Arlan. Dia turun dari mobil dan tidak lupa untuk mengucapkan terima kasih kepada pak Eno yang sudah mau mengantarnya.

“Anak mama udah pulang!”

Seruan Kinara membuat Shena sontak menoleh ke sumber suara dengan cepat. Dia menunjukkan senyumnya kembali dan membalas pelukan dari Kinara.

“Gimana? Arlan terima bekalnya gak?” tanya Kinara kemudian setelah melepas pelukannya.

Shena mengangguk. “Mas Arlan terima, kok, Ma.”

“Syukur, deh, kalau gitu. Yaudah, masuk lagi, yuk!” ajak Kinara. Shena mengangguk dan ikut berjalan di samping Kinara. 

Waktu kembali berlalu dengan cepat, hari sudah berganti malam. Arlan berjalan ke arah meja makan dengan langkah lunglai. Dia melepas jasnya dan duduk, lalu mulai mengambil piring serta beberapa lauk di atas meja makan dan langsung melahapnya.

“Makanannya enak?” 

Suara Kinara yang datang tiba-tiba membuat Arlan sontak menoleh dan menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. “Mama belajar masak di mana? Kok, makin enak masakannya?’

Tidak langsung menjawab, Kinara justru hanya terkekeh kecil dan ikut duduk di depan Arlan. “Itu bukan mama yang masak.”

Melihat raut bingung Arlan, Kinara pun menunjuk ke arah Shena yang sedang mencuci piring di belakang. Tahu siapa yang memasak, Arlan menghentikan aktivitas makannya.

“Kenapa berhenti? Makan aja, Arlan. Enak, ‘kan? Sayang kalau gak dihabiskan,” ucap Kinara. Arlan hanya menatap makanan di depannya dengan diam. “Udah, gak usah gengsi gitu.”

“Oh, Mas Arlan sudah pulang?” Suara Shena membuat Kinara dan Arlan sontak menoleh dengan kompak.

“Tunggu, kenapa dia di sini, Ma?” tanya Arlan.

“Loh, kamu lupa? Shena kan udah tinggal di sini sejak kemarin malam,” jawab Kinara. Jawaban Kinara membuat Arlan lagi-lagi terdiam, benar, dia lupa soal itu. “Yaudah, mama ke kamar dulu, ya.”

Arlan dan Shena sontak mengangguk dengan kompak. Setelah kepergian Kinara, Arlan beralih menoleh ke arah Shena.

Shena yang terus ditatap oleh Arlan pun sontak memasang raut bingungnya. “Ada apa, Mas?”

“Ini semua kamu yang masak?” tanya Arlan. Mendengar nada bicara Arlan yang berubah menjadi sedikit lembut, Shena seketika tersenyum dan mengangguk. “Kenapa?”

“Kenapa? Itu karena ...,” ucap Shena menggantung kalimatnya. “Aku kan ART baru di sini,” lanjut Shena masih menunjukkan senyumnya. “Makan yang banyak, ya, Mas. Biar tenaga Mas Arlan bisa kembali pulih dan bersemangat lagi. Saya permisi, ya, Mas.”

Karena tidak kunjung mendapat jawaban dari Arlan, Shena pun kembali tersenyum dan memutuskan untuk pergi dari tempat. Namun, langkahnya terhenti ketika mendengar suara Arlan yang memintanya untuk tidak pergi. Shena memutar badannya dan kembali menatap Arlan dengan tanya.

“Apakah kamu mencintai saya?”

Pertanyaan yang terlontar dari mulut Arlan membuat Shena terdiam sejenak, tetapi tidak lama kemudian dia kembali tersenyum. Arlan yang tidak mengerti dengan arti senyuman Shena itu hanya bisa diam, menunggu agar Shena menjelaskan.

“Memangnya apa alasan utamaku menerima perjodohan ini?” ucap Shena membalikkan pertanyaan.

Arlan yang mendapatkan pertanyaan seperti itu pun sontak terdiam dan berpikir sejenak, kemudian menjawab, “Karena keinginan ayahmu, ‘kan?”

Shena mengangguk dengan cepat, membenarkan apa yang dikatakan oleh Arlan. “Begitulah.”

“Tidak mungkin, pasti ada alasan lain.” Arlan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Shena pun hanya bisa terus tersenyum seraya menunggu apa lagi yang akan dikatakan oleh Arlan. “Kamu benar-benar jatuh cinta sama saya, ‘kan?”

“Kalau Mas Arlan berpikir begitu, maka itulah yang terjadi,” jawab Shena dengan cepat, kemudian pergi.

Arlan terus menatap kepergian Shena dengan bingung. Dia pun menggelengkan kepalanya dengan cepat. “Cukup. Dia hanyalah gadis kampung, mau diajak bicara gimanapun pasti gak akan pernah nyambung.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status