Share

3. Perhatian

Hari kembali berganti, Arlan berjalan menuruni anak tangga lantai atas dengan setelan jas berwarna abu-abunya yang sudah melekat dengan rapi.

Kinara yang sudah lebih dulu duduk di meja makan pun sontak memanggilnya. “Arlan, makan dulu, yuk!” ajak Kinara. Arlan refleks menolehkan kepalanya, kemudian mendekat. “Ayo makan, ini masakan spesial, loh.”

“Aku buru-buru, Ma. Pagi ini ada meeting, jadi aku harus cepat-cepat ke kantor. Gak ada waktu buat makan pagi, gampang nanti aku makan di sana aja.”

Mendengar jawaban dari Arlan membuat Kinara seketika melemas dan mengembuskan napasnya pelan. “Sayang banget. Yaudah, kalau gitu kamu makan roti aja, ya. Setidaknya perut kamu harus keisi.”

Arlan mengangguk. “Yaudah, Ma.”

“Sebentar, mama buatkan dulu, ya.” Arlan mengangguk pelan dan menunggu Kinara membuatkan roti untuknya seraya sesekali melihat ke jam tangannya.

Drrtt!

Getaran ponsel terasa dari saku celana Arlan. Dia pun segera mengambil dan menerima panggilan tersebut.

“Sudah datang?!” tanyanya dengan nada terkejut. “Baik, saya akan segera ke sana.”

Panggilan telah terputus, Arlan menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Dia melihat ke arah Kinara yang masih memanggang roti untuknya.

“Ma, aku perlu dulu, ya!” ucap Arlan berpamitan, “udah gak ada waktu, mereka udah nunggu aku di kantor. Aku berangkat dulu, Ma!” lanjutnya dan segera pergi dengan berjalan cepat.

Melihat kepergian Arlan, Kinara hanya bisa pasrah. Roti panggang yang dia buatkan untuk Arlan tadi dia angkat dan diletakkan di atas piring.

“Loh, Mama buat apa?” 

Suara seseorang yang datang tiba-tiba membuat Kinara sontak menoleh dengan raut terkejutnya, kemudian kembali menunjukkan senyumnya.

“Shena, kamu ngagetin aja, ah. Ini, mama buat roti panggang buat Arlan,” jawab Kinara.

Mendengar jawaban dari Kinara membuat Shena memasang raut bingungnya. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu ke depan dan ke belakang, tidak ada. Dia tidak menemukan sosok Arlan di rumah tersebut.

“Mas Arlannya mana, Ma? Kok, gak ada,” tanya Shena dengan raut bingungnya.

Kinara mengangkat piring berisi roti panggangnya. “Dia sudah pergi. Sepertinya kantor sedang sibuk sekarang. Udah, ayo makan!”

Shena menganggukkan kepalanya sebagai jawaban dari ajakan Kinara. Dia mengikuti langkah Kinara yang berjalan menuju meja makan dari belakang. 

Setelah melihat Kinara duduk di kursinya dan memberikan izin kepada Shena untuk ikut duduk di dekatnya, Shena pun mengangguk menurut. 

“Mama mau makan apa? Biar aku yang ambilkan,” ucap Shena seraya mengambil satu piring dan mulai mengambil beberapa centong nasi ke dalam piringnya.

“Sudah, biar mama ambil sendiri saja, ya.”

Shena seketika menggelengkan kepalanya. “Biar aku aja, Ma. Aku udah biasa ambilkan makanan buat ayah, ini udah jadi kebiasaan aku. Biar aku yang ambilkan, ya, Ma.” Kinara pun mengalah dan menganggukkan kepalanya. “Mama mau yang mana?”

“Mama mau ... oh, itu aja, semur telur dan ikan,” jawab Kinara dengan senyum cerianya.

Shena mengambil lauk yang Kinara sebutkan dengan cepat, kemudian memberikannya untuk Kinara. Setelah menyiapkan untuk Kinara, Shena mengambil satu piring lagi untuknya.

Kinara memakan lebih dulu makanannya. Satu suapan telah Kinara rasakan. Raut wajahnya berubah menjadi terkejut, kemudian tersenyum. “Enak. Emang gak salah mama pilih kamu buat jadi mantu mama.”

Mendapat pujian dari sang calon mertua, Shena sontak tersenyum malu. “Jangan berlebihan seperti itu, Ma. Mama juga tadi ikut bantu aku masak.”

“Mama cuma bantu kamu motong-motong bahan masakan dan aduk-aduk aja, sedangkan semua bumbunya kamu sendiri yang takar. Jelas ini bukan masakan mama.”

“Mama bisa aja. Makasih, ya, Ma. Aku bersyukur karena Mama suka sama masakan aku.” 

“Ini enak, jelas mama suka,” balas Kinara. Dia kembali memakannya dengan lahap. “Oh, iya, Shena, kamu kan masih sangat muda, apa kamu tidak ada keinginan untuk lanjut kuliah?”

Shena menghentikan aktivitas makannya untuk sejenak. Dia mengembuskan napas beratnya dan kembali tersenyum. “Kalau keinginan untuk lanjut kuliah, tentu ada, Ma. Namun, karena kondisi ekonomi ayah yang kurang memungkinkan, aku putuskan untuk tidak lanjut. Mendapat ijasah SMA aja aku udah bersyukur banget.”

“Mau mama bantu buat masuk ke salah satu kampus?” tanya Kinara. Shena sontak memasang raut bingungnya. “Mama ada kenalan di kampus Arlan pernah belajar. Mama dapat kabar darinya kalau di sana sedang ada program beasiswa, full sampai lulus.”

“Serius, Ma?” Shena menatap Kinara dengan berbinar. Tidak sedikitpun senyumnya luntur setelah mendengar kabar dari Kinara tentang beasiswa full tadi.

“Serius. Kamu mau ikut daftar?” tanya Kinara dan diangguki oleh Shena dengan cepat. “Yaudah, nanti mama bantu daftarkan, ya. Oh, iya, jangan lupa izin dulu sama ayah kamu.”

Shena lagi-lagi mengangguk dengan cepat. “Pasti, Ma. Oh, ngomong-ngomong soal mas Arlan ... sebelum berangkat tadi mas Arlan udah makan belum, ya, Ma?”

“Belum. Tadi mama udah panggang roti buat Arlan, tapi tetap gak sempat. Dia pergi ke kantor dengan perut kosong,” jawab Kinara, “oh, gimana kalau kamu antarkan makanan ini buat Arlan? Nanti kamu pergi ke kantornya diantar pak Eno, ya.”

“Emangnya gak papa, Ma? Gimana kalau mas Arlan marah sama aku? Mas Arlan kan gak suka sama aku.”

“Jangan pesimis gitu dong. Bilang aja kalau makanan itu masakan mama dan kamu ke sana juga karena mama yang suruh,” ucap Kinara. Meskipun masih ragu, tetapi Shena tetap mengangguk untuk mengiyakan keinginan Kinara. “Yaudah, biar mama siapkan dulu, ya.”

Shena menganggukkan kepalanya. “Iya, Ma.”

Waktu terus berjalan tanpa henti. Jam menunjukkan pukul 09.46 pagi hari. Arlan memberikan jabat tangannya kepada para klien sebagai tanda kesepakatan antara kedua belah pihak sekaligus tanda berakhirnya pertemuan mereka.

Setelah para klien pergi dari kantornya, Arlan kembali masuk ke dalam kantor dan berjalan menuju ruangannya kembali seraya sesekali melihat ke arah jam tangannya.

Langkahnya terhenti setelah membuka pintu ruangannya. Sosok perempuan yang duduk di sofa ruangannya seraya membawa tas kecil di tangannya membuatnya sontak kembali menutup pintu dengan cepat.

“Ada apa kamu ke sini?” tanya Arlan dengan tatapan tidak sukanya.

Perempuan itu tersenyum untuknya, dia segera berdiri dan menyodorkan tas kecil di tangannya kepada Arlan. “Saya diamanahkan oleh mama buat bawa bekal makanan dan minuman ini. Ini untuk Mas Arlan, mama bilang kalau Mas Arlan belum sarapan pagi tadi.”

Arlan menerima bekal dari Shena dengan cepat. Tidak mungkin dia menolak, karena dia juga sudah sangat lapar sejak meeting tadi dimulai.

Mendapat respons kalau Arlan menerimanya, senyum Shena kembali melebar. “Terima kasihnya mana, Mas? Saya udah nunggu Mas di sini dari satu jam yang lalu, loh.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status