Share

Cinta Untuk Rumah Terakhir
Cinta Untuk Rumah Terakhir
Author: The Secret

Bab 1 Nazar

1996, Pasar Kebumen.

Peluh kian mengucur. Liar melumat pelipis hingga ke pipi yang sedikit berisi dan berhasil meninggalkan jejak bulatan basah di kemeja lengan pendek bermotif garis-garis vertikal. Selaras dengan kembang kempis diafragmanya, cukup kasar, sekali-dua kali mengibaskan tangan berniat memberi sedikit kesegaran. Seperti tengah berusaha menemukan sesuatu atau seseorang lewat ekor matanya. Dari balik punggung para pengunjung pasar, seorang pria menunggangi sepeda membelah keramaian. Tercekat, saat tak sengaja matanya saling beradu dengan pria bersepeda itu. Butuh sepersekian detik untuk memastikan apakah dia adalah pria yang sedang diumpatnya habis-habisan, setelah melewatkan dua puluh delapan detiknya hanya untuk menunggu jemputan yang sebenarnya tidak ada dalam rencana kepulangannya ke kampung halaman. Benar saja, kini pria dengan perawakan tidak terlalu tinggi dan tidak juga pendek, kulit kuning langsat, gigi rata, yang paling spesial adalah potongan rambutnya, tengah berjuang keras menampilkan senyum terbaik lagi memikat pada wanita pemilik sepasang mata berkilat dan siap menyambar siapapun yang berada dihadapannya. Berharap kilatan itu sedikit memudar. Salah dugaan, Sambaran matanya tak selalu mengisyaratkan bahwa dia ingin memangsa korban. Seorang gadis yang kecantikannya diakui oleh Yoga, anak pak lurah yang brandalan, Supri, kakak kelas yang langganan menjadi pemimpin upacara bendera, Budi, siswa paling pintar dikelasnya, pak Muhsin, guru bahasa Indonesia yang cabul dan beberapa pria lain yang sering mengirim surat cinta semasa SMA dua tahun lalu. Eka Wiyasha, melenggang menuju sepeda yang bertengger tepat dibelakang Afdhila Maher, melempar kasar tasnya ke keranjang setelah berhasil mengabaikan senyum maut Afi.

"Kita jalan sekarang atau aku sendiri yang bawa sepedanya".

"Hm..seharusnya kamu tidak ketus sama laki-laki yang rela berpanas-panasan ria hanya untuk menyambut kedatanganmu, Asha".

Belum sempat Asha menyembur, buru-buru Afi menyodorkan telunjuknya tepat dibibir merah ranum milik Asha.

"Kita jalan sekarang". Tegas Afi.

Tidak terlalu cepat Afi mengayuh sepedanya, sengaja mengulur waktu. Atau membiarkan kesegaran udara pedesaan membayar atas ketidaknyamanan yang terjadi beberapa menit lalu. Dari belakang, diam-diam Asha terus memperhatikan setiap lekuk tubuh Afi yang kini sudah semakin kekar. Sepertinya dia bekerja keras di desa. Dengan dugaannya itu , Asha semakin lega karena Afi bisa bertanggung jawab atas diri sendiri, seperti yang pernah dia janjikan kepada Asha saat meminta izin menjadi temannya.

"Kira-kira butuh berapa hari untuk menghilangkan semua hawa capek, Sha?". Sambil menengok sedikit supaya suaranya tidak hilang terenggut angin, Afi memulai percakapan, rasanya aneh. Canggung.

"Sudah hilang. Sejak kali pertama aku melihatmu tadi".                             

"Syukur kamu jadi pulang bulan ini, komunitas pemuda berencana mengadakan wisata ke pulau Menganti".

"Tapi itu bukan pernyataan yang aku mau". setelah merasa gombalannya diabaikan oleh Afi.

Afi hanya terlihat menggelengkan kepala, dan tidak tau bagaimana tepatnya yang tergambar diwajahnya

"Kapan?".

"Besok!".

"Oh..kalau begitu aku tidak ikut".

"Tidak apa-apa kalau masih capek, acaranya bisa diundur besok lusa, atau besoknya lagi.

"Haaa...sejak kapan kehadiranku begitu diharapkan oleh pemuda manggala"

"Aku pikir karena aku ketuanya jadi bisa mengatur kapan saja waktunya".

"Kamu? Bagaimana bisa pria cabul dijadikan ketua?".

"Pria Cabul?".

"Hm..Yumni, kakak kelas yang punya segudang pacar, dulu bilang kalau kamu pernah dengan sengaja menyentuh payudaranya".

"Hahaha, apa se-menyenangkan itu bisa disentuh oleh tanganku yang suci. Ck.. berharap sekali. Dia yang sengaja mengambil buku kamu yang aku pinjam, aku hanya berusaha bertanggung jawab dengan merebutnya kembali, siapa suruh badannya menggeliat".

"Oo.."

"Yaaaa tidak tahu si kalau dengan pak Muhsin". Ledek Afi.

Reflek Asha mendaratkan pukulan di punggung Afi. Sepanjang perjalanan, tak luput untuk menceritakan kembali masa lalu yang amat seru. Lebih tepatnya sebagai serangan satu sama lain.

Mereka memang akrab, bahkan terhitung sejak mereka masih suka mandi di sungai. Asha dulu dikenal anak perempuan yang banyak tingkah, atau bahasa gaulnya "petakilan". Permainannya melawan maut, mandi saat sungai sedang banjir bandang, hingga pernah sekali waktu dia terbawa arus dan berhasil menggemparkan warga pesisir sungai. Namun sepertinya memang belum saatnya ajal datang, dia tersangkut diantara pohon bambu yang menjuntai ke sungai. Memanjat pohon asem, dan sekali lagi menggemparkan orang tuanya yang harus mencari tangga karena kesulitan turun. Terakhir, hampir terserempet kereta api. Kali ini bukan atas kesengajaan, raganya seperti diisi makhluk lain yang hendak mencelakai. Sehingga dirinya dibawa berjalan dengan tatapan kosong tepat di samping rel kereta api. Untungnya ada kakek-kakek penjaga palang pintu kereta api yang sigap menarik lengan Asha. Keindahan rupa tidak mencerminkan keindahan kelakuan. Begitulah tanggapan Afi ketika pertama kali mendengar cerita Asha. Namun setelahnya mereka memutuskan untuk berteman. Afi sering membiarkan Asha membonceng sepedanya ketika berangkat dan pulang sekolah. Menurut pengakuan Afi, Asha adalah satu-satunya gadis yang menjadi teman kepercayaan, termasuk untuk mengetahui sisi buruknya. Bukannya pergi, Asha justru semakin dekat dan ingin menuntun Afi. Mungkin baru sekarang dia melihat perubahannya. Meskipun tidak tahu banyak perihal sejauh mana perubahan Afi, tapi mengetahui dia dipercayai komunitas untuk mengemban jabatan ketua, Asha semakin lega. Dia sudah cukup percaya diri untuk menunjukkan sisi baiknya. Yang dulu hanya dirasakan oleh Asha. Tak sadar senyumnya mengembang sambil terus memandangi punggung Afi. Ada bulir bening yang menggenang di pelupuk mata, dan hanya dibiarkan berada di sana, buru-buru Asha menyekanya.

Plukkk.... sekali lagi tangan Asha menerkam punggung Afi.

"Sepertinya kamu tidak lupa dengan janji kita". Asha dengan suara yang seolah-olah tegas untuk menutupi sejatinya yang terjadi dengan hatinya.

"Haaa.. janji yang mana? aku pernah janji apa sama kamu, jangan mengada-ada yaaa". kilah Afi.

Asha menggeleng, dia tahu betul dengan sifat Afi yang satu ini. Tidak tidak akan membiarkan orang lain menilai dia sebagai pribadi yang baik. Karena bukan begitu hakikatnya.

"Turun".

"Haaa?".

"Kamu mau ikut ke rumahku? Ya sudah ayok lanjut".

Mendengus. Dengan paksa mengambil tas di keranjang dan berlalu tanpa sepatah kata pun. Termasuk untuk mengucap terima kasih. Tidak tahu, kali ini lupa atau sengaja. Afi abai, dan melenggang pergi. Dalam sekejap punggungnya kian hilang di telan jarak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status