Share

Bab 5 Sandal yang Terbuang

Menyadari akan malam yang semakin larut, Asha mendorong kepala afi dari dekapannya tiba-tiba. Khawatir kalau saja ada orang yang menduga buruk setelah melihat mereka berdua. Sontak membuat Afi yang sudah sempat mengatupkan matanya terbelalak.

"Orang-orang sudah tertidur, Sha. Mana sempat mereka memergoki kita, untuk buang air saja mereka enggan bangun." Suaranya parau, khas orang mengantuk. Tepat setelah Asha berhasil mencapai posisi berdiri, masih menghadap pria yang kini terlihat kelimpungan. Jika bukan kepergok warga, maka angin malam menjadi hal kedua yang juga membahayakan. Untuk itu, Asha masih tetap pada pendiriannya. Bergegas pulang. 

"Tidakkah kamu merasa kalau ini waktu yang tepat untuk melepas rindu?" Afi berlagak ingin di melas. 

"Kita sudah bertemu selama tujuh hari, Afi. Bagaimana bisa kamu bicara seperti baru bertemu saja."

"Aku akan masuk dan istirahat. Aku harap kamu pun begitu. Melihatmu seperti ini, tidak kalah menyakitkannya dengan rasa sepiku kehilangan ibu. Besok, kamu bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi." Tuturnya lagi, sambil memandangi lamat-lamat tubuh afi yang masih gontai. Tidakkah pria itu menyadari betapa berarti dirinya di hidup Asha saat ini. Jika sosok ibu adalah oksigen, maka dia menjadi air yang sama pentingnya dengan oksigen. Asha tidak menengok lagi setelah kakinya memutuskan untuk melangkah pulang. Tidak ada yang perlu dilakukan lagi selain tidur dan mencoba menyingkirkan sejenak hujan badai yang terus menghujam hidupnya beberapa hari terakhir. 

**

Asha duduk termangu di hadapan Afi. Di samping Afi ada seorang wanita yang usianya kira-kira lima tahun lebih tua dari Anisah, sambil mengunyah kacang goreng. Bibi Asha juga ada di sana, satu lagi seorang nenek duduk di ujung meja menghadap ke empat orang tadi - tengah berkomat-kamit dan memainkan jemarinya, seperti menghitung sesuatu yang serius. Mereka sedang berkumpul di ruang tamu Afi, setelah pagi-pagi Sani mengundang mereka untuk membahas hal mendesak. 

"Apa benar dek Afi dan dek Asha ini punya hubungan?" tanya nenek itu spontan, membuat keduanya hanya saling pandang tanpa memberi jawaban. 

"Baiklah, di usia kalian, perihal asmara memang suatu hal yang tidak bisa dielakkan." Sambung nenek, yang kini mendekati Asha, menyentuh telapak tangan gadis itu, mengusap rambut. Asha mengenal nenek itu, namun tidak tahu dengan maksud kedatangannya di pagi hari. Beliau adalah Nenek Jamiyah, tetua di Desa Bojongsari yang menganut paham kejawen. Keberadaannya sangat dihormati dan sering dimintai nasehat, bahkan para pejabat pun sering berkonsultasi untuk urusan politik. Ini kali pertama Asha bertatap muka secara langsung setelah sebelumnya hanya mengetahui lewat cerita tetangga saja. Aura wajahnya gelap, Meskipun rambut sempurna berwarna putih, namun suaranya masih terdengar tegas. Pakaian khas jawa, setelan kebaya dengan kain jarik sebagai bawahan, usianya 70-an.

"Kita ini orang jawa yang kental dengan adat dan kepercayaannya yang harus diikuti agar selamat".

Asha memperhatikan, sambil mencerna setiap kalimat Nenek Jami.

"Punten, apa ada yang salah dari kami? saya bahkan tidak tahu maksud dari pertemuan dan pembahasan ini untuk apa." Setelah pertarungan sengit di kepala akhirnya Asha memberanikan diri mengeluarkan salah satu pedang yang ikut memerangi pikirannya. Namun sigap Aminah menarik pelan tangannya, bermaksud untuk tidak memotong pembicaraan Nenek Jamiyah. 

"Sani mendatangiku kemarin, mengatakan kalau anaknya menjalin hubungan dengan tetangga depan rumah. Memang anak muda jaman sekarang hanya memikirkan kesenangannya saja. Padahal segala sesuatu harus pakai ilmu." Suaranya meninggi seperti tengah menghadapi masalah serius, sementara Asha semakin dibuat bingung tidak karuan. Entah dengan Afi yang hanya menunduk. Padahal pengalaman ini juga yang pertama kali untuknya, tapi rasa penasaran seperti tak secebis pun bergelayut pada dirinya. 

"Gotong karang." Tegas nenek Jamiyah. 

"Pantang bagi sedulur (saudara/tetangga) yang tinggal dalam satu halaman yang sama untuk menjalin hubungan apalagi sampai menikah." Matanya mengedar antara Afi dan Asha yang menyambut dengan tatapan nanar. Ingatannya memutar pada kejadian semalam, dimana Afi terus menyebutkan istilah asing dalam keadaan mabuk, istilah yang baru saja ditegaskan kembali oleh Nenek Jamiyah. 

"Kalian tahu yang terjadi pada bapaknya Afi dan ibumu?"

"Memang sudah menjadi takdirnya seperti itu. Allah yang menentukan" Asha menimpali, matanya berkaca-kaca. 

"Itu karena kecerobohan kalian!!"

"Bagaimana bisa?" suaranya terdengar terbata-bata, Afi yang menyaksikan ikut teriris, ingin sekali berada di sampingnya untuk menenangkan.

"Kalian sudah melanggar kepercayaan orang jawa. Makanya keluarga kalian celaka. Kalau masih diteruskan, kemungkinan salah satu dari kalian akan ikut celaka."

"Bahkan kami belum menikah. Apakah karena rasa saling mencintai bisa menghilangkan nyawa seseorang. Itu kepercayaan yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa kalian memegang teguh kepercayaan yang Allah sendiri tidak memerintahkan. Musyrik!"

"Dasar anak muda keras kepala. Tidak bisa di nasehati orang tua. Jangan sampai karena keegoisanmu membuat orang lain celaka." Terlihat matanya berkilat, kembang kempis dadanya yang begitu cepat. Diraih segelas air putih yang dihidangkan dan menghabiskan hingga tetes terakhir. Berusaha meredam emosinya. 

"Jadi inti dari pembahasan ini adalah agar saya tidak menjalin hubungan apa-apa lagi dengan Afi. Pun tidak diizinkan untuk menyimpan perasaan apapun ke Afi." Asha menyimpulkan pada dirinya. Air mata tak terbendung lagi. Ditatapnya Afi penuh perasaan, sekarang dia paham yang dilakukan Afi semalam. Di sela tangis, Asha menyeringai lebar. Tangannya kasar menghempas air mata yang melintas di pipi. 

"Terimakasih atas nasihatnya, Nek Jami. Saya paham. Kalau tidak ada yang dibicarakan lagi, saya pamit pulang."

"Dan yaa, saya pastikan kalian tidak akan pernah mendapat kabar pernikahan antara saya dengan Afi." Secepatnya Asha melenggang meninggalkan ke empatnya yang masih sama-sama termenung. 

Kalimat tegas yang begitu menyayat hati. Teramat kecewa, patah berserak, hancur berkeping, lebam membiru. Belum sempat mengungkap rasa -- setelah bertahun-tahun lamanya, terpaksa disudahi dengan alasan yang tidak masuk akal. Ibarat malam, dia sudah kehilangan bulan setelah perginya Anisah, ternyata disusul hilangnya angin yang mendamaikan dalam kesendirian. Kini, pelariannya tak ada lagi yang mengejar. Tiada peluk yang meredam kesedihan. Tiada wajah berseri yang mengusir kegundahan. Di Kamarnya, Asha menumpahkan segalanya, rasa sedih, marah, kecewa, sepi. Berharap tak ada lagi yang tersisa, hingga besok dia siap menuangkan rasa yang baru yang lebih baik. Toh belum sepenuhnya hilang, masih ada bintang-bintang yang menghiasi langitnya, Ayah, bibi, dan orang-orang yang mencintainya.

**

Dua hari setelah pertemuan itu, sebagai obatnya Asha berniat mengikuti acara komunitas pemuda Bojongsari ke Pantai menganti yang sempat tertunda karena beberapa alasan, salah satunya menghormati Asha yang baru saja berduka -- tentu karena si ketua komunitas harus mengantarkan sepupunya yang menikah di hari yang sama sehingga membatalkan rencana untuk bergabung bersama komunitas adalah pilihannya. Itu yang membuat Asha tak menolak ajakan temannya yang juga tergabung dalam komunitas tersebut. Sekitar 35 orang berangkat menaiki bus sewaan. 

Tak butuh waktu lama, rombongan sampai di tempat tujuan. Setiap mata dibuat takjub dengan pemandangan yang disuguhkan. Ombak dengan lembut mengulum karang. Hembusan angin yang ramah, membuat siapa saja terlena dengan sentuhannya. Rombongan asyik membuat lingkaran, memainkan tarik tambang. Asha tengah menunggu giliran. Simpul lengkung berhasil tergambar kembali diwajahnya, setelah beberapa hari lenyap ditelan kabut hitam. 

Sekali-dua menyibak anak rambut yang menutupi pandangan. Tertegun, ketika kedapatan seseorang menyusup ke dalam lingkaran, disusul gadis cantik, langsing, masih lebih tinggi dirinya dibanding gadis itu. Afi bersama Sheli, anaknya juragan, yang semasa SMA dikabarkan pernah dekat dengan Afi. Secepat itu bisa menggandeng gadis lain? ucapnya dalam batin. Tatapannya tak berpaling dari dua orang itu, padahal namanya lantang disebut-sebut oleh tim tarik tambang. Sudah tiba giliran Asha bersama tim bermain. Menyadarinya, dia bergegas, menempati posisi ketiga, tepat ditengah, diapit dua orang di depan dan belakang.

 Fokusnya terbagi, entah akan menjadi penolong untuk timnya atau justru beban semata. Tidak. Ini adalah kesempatan untuk melampiaskan rasa kesal. Dia mengerahkan segenap tenaganya, ketika hampir menang, ujung sandalnya terinjak kaki Eri yang berada di depannya. Putus seketika. Namun kabar gembiranya adalah tim Asha menang. Walaupun tidak ada hadiah, setidaknya mereka membela kehormatan. Tim Asha menjadi yang terakhir Bermain, sehingga usainya mereka terpecah menjadi beberapa gerombol, acak, sesuai frekuensi. Eri yang merasa bersalah langsung mendekati Asha yang sudah menepi, Dilihatnya kondisi sandal Asha yang sudah putus tak tertolong. 

"Santai saja, Er. Cuma sandal."

"Tetap saja aku merasa tidak enak, aku akan belikan yang baru sebagai gantinya." Setelah percakapan singkat itu, punggungnya lenyap di telan kerumunan. Tanpa disadari, Afi mengamati dari kejauhan. Tak sengaja matanya saling beradu dengan Asha, Afi sontak memalingkan wajahnya. Beralih menyusul kawannya. Masih diikuti Sheli yang sudah seperti ikan remora, selalu membuntut pada ikan hiu. 

Matahari menyiram pasir pantai dengan panas yang sempurna, sehingga Asha yang telanjang kaki, gelagapan karena panas yang tak bisa ditawar. Dia buru-buru mencari tempat teduh untuk menyelamatkan telapak kakinya. Sepuluh meter dari tempat dia berdiri, ada pohon kelapa yang tidak terlalu tinggi, bayangan daun-daunnya menjadi tempat bersembunyi paling dekat dan sepi dari kejaran sinar matahari. Orang-orang lebih banyak memenuhi Gasebo yang dekat dengan aneka makanan dan minuman dingin. Tanpa ba-bi-bu dia berlari menujunya, alih-alih ada orang yang juga mengincar tempat itu. 

"Maaf, dugaanku salah. Aku pikir Afi memang tidak ikut." Suara Meta mengejutkan Asha yang tengah meratapi nasib sandalnya.

"Ah.. bukan masalah. Lagian dia juga ketuanya, sekaligus yang punya ide. Kasian kalau tidak bisa menikmati hasil buah pikirnya sendiri." Kini tatapannya terlempar pada sebuah garis yang membatasi antara langit dan laut. Jauh diujung sana. 

"Tapi kamu terlihat kurang menikmati liburan ini, Sha."

"Iyaa kah? Aku sungguh menikmatinya, Meta. Kesegaran udara di pantai ini, sedikitnya menyingkap awan kelabu yang terus menggelayuti aku." Asha menepuk pundak Meta, meyakinkan.

"Bagaimana dengan sandalmu?"

"Sandal ini seperti aku, Met. Tinggal menunggu waktu saja ia akan terbuang." Meta menatap Asha prihatin. Sayangnya, ketika dia masih mau berlama-lama dengan Asha, Aldan, yang mengaku sebagai seksi konsumsi memanggilnya untuk urusan keuangan. Kebetulan Meta yang menjadi Bendahara di komunitas. Asha yang menyadari bahwa kesendirian amat bahaya untuknya, terlebih setelah Meta mengingatkan satu nama, dia beranjak, kemana saja asalkan tidak sepi. Baru sempat membalikkan badan, sudah ada Afi yang menyambut dengan dua botol air soda. Saling tatap. Asha menelan ludah, layaknya bertemu orang yang di sukai untuk pertama kali, derap jantungnya tak beraturan. Sandal putus yang di pegangnya, terjatuh tanpa sadar.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status