Suara tangisan mulai jelas terdengar. Gadis itu melangkah pelan dengan mata yang berkaca-kaca. Gilang menarik tangannya menuju UGD di rumah sakit itu. Semakin mereka masuk, semakin terdengar juga suara tangisan yang menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.
Nicha melihat seorang wanita tua sedang memeluk jasad Adnan yang tertutup oleh kain putih. Meski tidak ada yang memberitahunya, Nicha tahu itu adalah ibu Adnan. Sedangkan ayahnya, kini terduduk menjongkok dengan punggung yang bersandar di tembok rumah sakit. Terlihat sekali, betapa terpukulnya dia mengetahui anaknya telah meninggal.Gilang melepaskan tangan Nicha. Laki-laki yang dekat dengan Adnan tersebut kini melangkah menuju di mana Adnan dibaringkan.Mereka belum pernah melihat wajah Adnan. Meski ini sungguh menyedihkan namun Gilang rasa ia harus melihat wajah temannya itu. Tangan gemetarnya dengan perlahan membuka kain yang menutupi wajah Adnan. Hingga, wajah pucat itu mulai tampak perlahan.Meski wajah pria itu datar namun ada sebutir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dia menangis untuk kedua kalinya.Nicha yang berdiri di belakang hanya bisa menunduk karena tidak sanggup melihat. Gilang menoleh pada Nicha dan berkata "Lihatlah laki-laki yang kau tolak untuk yang terakhir kalinya. Sungguh, dia tidak akan pernah kembali dan mengusikmu lagi."Ucapan itu sungguh membuat Nicha seperti ditampar. Tangan gadis itu mengepal, air matanya jatuh begitu saja. Meski begitu, Nicha tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dengan keadaan."Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa anakku harus mati menggenaskan seperti ini?"Gilang kini ikut menunduk. "Maaf tante, mungkin ini adalah kesalahan kami. Nicha menolak cinta Adnan sedangkan aku tidak bisa mengejar Adnan yang saat itu berlari ke jalanan," jelas Gilang."Jadi hanya karena masalah cinta anakku harus mati?" Ibu Adnan tidak percaya dengan apa yang ia dengar sendiri."Kalian bahkan masih berusia 14 tahun." Tangisan ibunya kembali pecah. Rasanya ini seperti masalah konyol ketika anak berusia 14 tahun patah hati karena ditolak cintanya lalu lari ke jalanan untuk mengakhiri hidupnya.Masih banyak yang harus dipikirkan, masih banyak yang harus dicapai, tidak seharusnya Adnan melakukan itu semua. Namun, nasi telah menjadi bubur dan keluarga harus bisa menerima jika Adnan memang sudah meninggal."Kami juga tidak menyangka jika Adnan akan senekat ini," lanjut Gilang."Sudahlah, mungkin sudah jalannya Adnan seperti ini. Kita harus mengikhlaskannya agar anak kita bisa tenang," ucap ayah Adnan yang mencoba menenangkan istrinya.Di tengah kekacauan itu polisi datang menjemput Gilang dan Nicha. "Kalian teman Adnan yang ada di lokasi kejadian tadi bukan? Mari ikut dengan saya.""Baik pak," patuh Gilang.Nicha tidak bergerak dari tempatnya. Ia sangat ketakutan menghadapi polisi. Wajar saja, ia bahkan belum dewasa. Apalagi Nicha tahu jika penyebab Adnan menabrakkan dirinya karena ditolak olehnya.Apakah ia akan dipenjara bersama pelaku yang telah menabrak Adnan? Entahlah, Nicha tidak tahu dan otaknya kini tak mampu lagi untuk berpikir. Yang ia inginkan hanyalah pulang ke rumah untuk istirahat.***Gilang melepaskan tangan Nicha saat sampai di kantor polisi. Sepertinya laki-laki itu tidak akan pernah berhenti sampai Nicha membuka mulut.Kedua anak remaja itu mengikuti polisi tersebut hingga mereka sampai di ruang penyelidikan. Dari sana, Nicha bisa melihat pria tua yang berumur sekitar 40 tahun sedang berbicara dengan polisi.Pria itu pucat saat sedang menjelaskan. Tentu dia punya ketakutan yang sama dengan Nicha."Aku melihat anak itu di tengah jalan. Aku tidak menyangka jika dia akan berlari ke arah mobilku. Karena kejadian itu sangat cepat, aku tidak bisa menghentikan mobilku begitu saja," jelas pria itu."Jadi maksud anda anak itu sengaja menabrakkan dirinya?" tanya polisi itu."Mungkin saja," jawab pria itu juga tidak paham.Gilang baru saja ingin berbicara namun lengannya ditarik oleh Nicha. Gilang menoleh, sementara gadis itu menatap Gilang dengan wajah memelas seakan menyuruhnya untuk tidak ikut campur dalam masalah itu.Namun tujuan Gilang mengajak Nicha ke kantor polisi memang untuk menjadi saksi dan menjelaskan kronologi kejadian tersebut. Sama seperti yang Gilang katakan, bahwa ia tidak akan membiarkan Nicha lari dari masalah ini.Laki-laki itu melepaskan tangannya dari Nicha. Sebelum berbicara, Gilang berusaha meyakinkan Nicha bahwa kasus ini harus segera jelas dan dituntaskan. Ia datang hanya untuk menjelaskan apa yang sudah ia lihat. Sedangkan Nicha kini kembali bersembunyi di belakang punggungnya.Tangan Nicha kembali dingin. Gadis dengan rambut sepinggang itu hanya bisa menarik napas dan mencoba menenangkan dirinya sendiri."Ini terjadi karena kesalahan Nicha, dan juga—"Mata Nicha membulat. Ia tidak percaya jika Gilang akan mengatakan itu pada polisi.“Ini terjadi karena kesalahan Nicha, dan juga –“ Mata Nicha membulat. Ini tidak sesuai dengan ucapan Gilang tadi sebelum sampai di kantor polisi. Apakah ia dijebak? Nicha memang tidak terlalu mengenal Gilang. Bahkan, mereka hanya tahu nama. Jika firasatnya memang benar, tamatlah riwayat Nicha.Gilang terdiam sebentar. Ia menarik napas sebelum melanjutkan. “Dan juga, semuanya terjadi begitu saja, aku tidak bisa mengejar Adnan, kami mungkin bersalah di kasus ini pak.” Terlihat sekali jika dia gugup. Hampir saja Nicha jantungan. Ia pikir Gilang akan sepenuhnya menuduh dirinya sebagai dalang, sedangkan yang sebenarnya terjadi adalah tidak ada yang harus disalahkan pada kasus ini termasuk sang penabrak menurut Nicha.“Bicaralah dengan jelas nak, coba jelaskan ulang apa yang sebenarnya terjadi, jangan takut?” ujar sang polisi.Entah kenapa menghadapi polisi menguras energi Gilang. Laki-laki dengan hoodie hitam yang menutupi seragam sekolahnya itu pun mencoba menceritakan kronologinya. Apa
“Rasakan itu pembunuh!”Gilang berhenti. Di depan matanya seorang gadis terduduk di tanah penuh dengan cairan kental yang sangat busuk. “Kenapa dia tega sekali?” ucap seseorang yang berbisik di belakang Gilang.Nicha terlihat sangat malang. Dulu bukan dia yang ada di posisi itu, namun sebaliknya. Mungkin ini adalah karma baginya ketika ia mulai terjatuh. “Kau pantas mendapatkannya wanita berengsek!” bentak salah satu gadis itu.Nicha memerhatikan orang-orang yang mengelilingi dirinya termasuk Gilang. Mungkin beginilah rasanya jika ditindas, mungkin beginilah perasaan para korbannya. Tanpa ia sadari air matanya mengalir.“Dia yang menyebabkan kematian Adnan.”“Katanya, dia adalah gadis pembully.”“Dia memang kejam, dia pantas mendapatkannya.”Demikianlah bisik orang-orang di sekitar Nicha. Gadis itu menunduk dan mencoba menekan dadanya karena ia merasa sesak mendengarnya, namun sayangnya ia baru menyadari cairan kental busuk apa yang diberikan oleh orang-orang itu. Tadi Nicha tidak mel
12 Tahun kemudian.Seorang wanita masih terduduk di bangku dengan kepala yang sengaja ia sandarkan di meja. Matanya terus memerhatikan kalender yang tergantung di dinding, pikirannya berfokus pada tahun di kalender tersebut.“2021 tidak terasa begitu cepatnya ya.”Di bulan Oktober nanti, umurnya akan bertambah lagi. Namun, pencapaian di hidupnya belum ada sama sekali.Sudah 4 tahun ia menganggur karena takut bertemu dengan banyak orang di luaran sana.Suara ketukan pintu tiba-tiba saja mengagetkannya. Ia dengan cepat berlari ke kasur dan menutup tubuhnya dengan selimut sebelum ibunya membuka pintu dengan seenaknya.“Nicha?” panggil wanita tua itu setelah membuka pintu.Ibunya memerhatikan Nicha di balik selimut tersebut. “Kau tidur lagi ya?”“Bagaimana caranya kau punya masa depan jika tidur terus Nicha! Bahkan ayah ragu menikahkanmu kalau sikapmu seperti itu,” ketus ayahnya yang ternyata ikut masuk kedalam kamar Nicha.Akhirnya setelah merantau, keluarga itu pulang ke kota asal merek
“Gilang.” Mata gadis itu berbinar. Sepertinya doanya 12 tahun lalu telah dikabulkan hari ini, dia tidak menyangka akan bertemu dengan Gilang lagi. “Nicha. Jadi itu benar kau?” Suara itu agak beda dari beberapa tahun lalu. Itu karena Gilang telah tumbuh dewasa, suaranya terdengar agak berat. Apakah benar, di depannya itu adalah Gilang teman SMP-nya dahulu.Secara perlahan, Nicha mencoba memastikan apakah ia tidak sedang mengkhayal. Dilihatnya lagi, iris mata laki-laki itu berwarna cokelat, rambutnya pendek hitam dan dahinya dibiarkan terlihat. Wajah laki-laki itu masih sama meski sekarang terlihat lebih dewasa.Sedangkan Gilang yang juga sebenarnya kaget mencoba untuk menutupi hal itu. Dia kaget bukan karena bertemu dengan Nicha secara tiba-tiba. Namun, itu semua karena ia tidak menyangka jika Nicha terlihat sangat menyedihkan. Rambut panjang yang berantakan, wajah pucat dan juga badan yang sangat kurus.Nicha jujur. Ini bukan waktu yang tepat bertemu dengan Gilang jika melihat keadaa
“Apa yang membuat bapak ingin berubah?”Pria dengan rambut panjang yang diikat ke belakang tersebut sontak menatap Gilang. Bapak itu terdiam namun matanya berkaca-kaca, dengan wajah penuh penyesalan ia menjawab. “Keluarga. seperti yang dokter ketahui, aku adalah pria yang bodoh, aku sudah terlalu banyak menyusahkan istri dan anakku. Aku ingin bebas dari obat-obatan terlarang. Aku ingin taubat pada Tuhan.”Gilang tersenyum tipis. “Aku suka semangatmu pak.”“Terima kasih. Lalu bagaimana selanjutnya dok?” Gilang menyandarkan punggungnya di kursi andalannya. “Karena bapak sudah konsultasi, langkah selanjutnya adalah Detoksifikasi. Sebenarnya banyak langkah yang harus dilakukan jadi kita harus pelan dan melakukannya secara bertahap.” jelas Gilang dan diangguki oleh bapak tersebut.“Di sini pengguna harus 100% berhenti menggunakan obat-obatan berbahaya tersebut. Reaksi yang akan dirasakan cukup menyiksa mulai dari rasa mual hingga badan terasa sakit. Disamping itu bapak akan merasa tertek
“Nicha ku pikir kau tahu bagaimana sebenarnya aku. Apakah aku harus mengulang perkataanku 12 tahun lalu?”Nicha terdiam lama setelah ucapan Gilang yang terasa mengintimidasinya. Memang mereka hanya bersama beberapa hari waktu itu. Namun, Nicha sudah menyimpulkan bahwa Gilang adalah seorang pria yang akan menyelesaikan semuanya meski menempuh jalan apapun. Ya, itulah Gilang menurut Nicha pribadi.Meski samar-samar. Namun, Nicha tetap bisa mendengarkan suara kecil Gilang yang mengatakan bahwa dia tidak akan melepaskan Nicha hingga masalah ini selesai. “Kenapa kau terdiam?” Suara dari telepon itu membuyarkan lamunannya.“Sudahlah Gilang. Seharusnya kau tak usah mencampuri urusanku lagi, aku pikir semuanya sudah selesai saat itu. Bukan?”“Ya. Aku juga menganggapnya begitu. Tapi, tampak setelah kita bertemu kemarin aku rasa masalah itu belum selesai,” ucap Gilang seperti menekankan sesuatu.“Apa maksudmu? Nyatanya itu semua sudah selesai Gilang!” Nicha agak membesarkan suaranya.“Nicha! S
“Bisakah aku memilikimu?”Setangkai bunga Lilac tidak akan pernah dilirik oleh seorang pria yang menyukai bunga Daisy. Sebesar apapun Lilac yang tumbuh akan tetap kalah dengan bunga Daisy yang hanya tumbuh kecil seukuran rumput di padang.Bagaimana pun mencoloknya warna Lilac ungu itu, akan tetap tak terlihat di tengah hamparan Daisy yang menyebar seperti ombak.Sama seperti seorang wanita. Secantik apapun dirinya, dia akan tetap kalah dengan yang membuat pria itu jatuh cinta duluan.“Aku sangat mengenal Gilang, Zia! Dia itu orang yang sangat jujur dan serius, jika dia mengatakan sesuatu padamu. Dia tidak akan pernah mengubahnya lagi, kau harus tahu itu!Zia ingat sekali apa yang sahabat Gilang katakan padanya tempo hari.Wanita berambut ikal itu segera melepaskan tangan Gilang yang masih menahan dirinya agar tidak jatuh. Mata besarnya juga langsung menghindari tatapan Gilang.“Kalau begitu, aku permisi ya.”“Kenapa cepat sekali?” Zia berdiri. “Aku harus mengurus sesuatu di butik,” u
Nicha meletakkan kartu nama yang baru saja diberikan Gilang padanya di atas meja bagian ruang tamu.“Sudah kuduga ini tidak akan mudah,” gumamnya. Sekian banyaknya dokter di kota ini, mengapa ia harus berobat dengan Gilang. Sejauh ini, ia belum bertemu lagi dengan teman sekolah lainnya. Nicha berharap, semoga tidak ada lagi orang yang mengenal dirinya.Melihat teman-temannya sukses membuatnya iri. Padahal dulu, ia termasuk yang disegani oleh mereka, meski kenyataannya hari ini telah berubah total.Ibu Hesti segera mengambil kartu nama tersebut dan membacanya. “Ternyata tempat kerja dokter Gilang dekat dengan perusahaan ayahmu. Ibu baru menyadarinya.”Nicha melirik ibunya sebentar. “Apa pentingnya?” ketus Nicha.“Pentinglah! Setelah selesai berobat di Klinik, kita bisa langsung ke perusahaan ayahmu,” jelas Ibu Hesti.Nicha berkacak pinggang menghadap ibunya. “Lagian, dari mana sih ibu bisa menghubungi orang keras kepala itu? Ibu tidak tahu betapa tertekannya aku menghadapinya!” ketus N