Home / Romansa / Cinta Untuk Sang Pendosa / BAB 3 Ketakutan dan Tanggung Jawab

Share

BAB 3 Ketakutan dan Tanggung Jawab

Author: Nurmelyaa_
last update Last Updated: 2023-01-17 16:22:45

Suara tangisan mulai jelas terdengar. Gadis itu melangkah pelan dengan mata yang berkaca-kaca. Gilang menarik tangannya menuju UGD di rumah sakit itu. Semakin mereka masuk, semakin terdengar juga suara tangisan yang menyayat hati bagi siapapun yang mendengarnya.

Nicha melihat seorang wanita tua sedang memeluk jasad Adnan yang tertutup oleh kain putih. Meski tidak ada yang memberitahunya, Nicha tahu itu adalah ibu Adnan. Sedangkan ayahnya, kini terduduk menjongkok dengan punggung yang bersandar di tembok rumah sakit. Terlihat sekali, betapa terpukulnya dia mengetahui anaknya telah meninggal.

Gilang melepaskan tangan Nicha. Laki-laki yang dekat dengan Adnan tersebut kini melangkah menuju di mana Adnan dibaringkan.

Mereka belum pernah melihat wajah Adnan. Meski ini sungguh menyedihkan namun Gilang rasa ia harus melihat wajah temannya itu. Tangan gemetarnya dengan perlahan membuka kain yang menutupi wajah Adnan. Hingga, wajah pucat itu mulai tampak perlahan.

Meski wajah pria itu datar namun ada sebutir air mata yang jatuh membasahi pipinya. Dia menangis untuk kedua kalinya.

Nicha yang berdiri di belakang hanya bisa menunduk karena tidak sanggup melihat. Gilang menoleh pada Nicha dan berkata "Lihatlah laki-laki yang kau tolak untuk yang terakhir kalinya. Sungguh, dia tidak akan pernah kembali dan mengusikmu lagi."

Ucapan itu sungguh membuat Nicha seperti ditampar. Tangan gadis itu mengepal, air matanya jatuh begitu saja. Meski begitu, Nicha tidak bisa berbuat apa-apa selain pasrah dengan keadaan.

"Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kenapa anakku harus mati menggenaskan seperti ini?"

Gilang kini ikut menunduk. "Maaf tante, mungkin ini adalah kesalahan kami. Nicha menolak cinta Adnan sedangkan aku tidak bisa mengejar Adnan yang saat itu berlari ke jalanan," jelas Gilang.

"Jadi hanya karena masalah cinta anakku harus mati?" Ibu Adnan tidak percaya dengan apa yang ia dengar sendiri.

"Kalian bahkan masih berusia 14 tahun." Tangisan ibunya kembali pecah. Rasanya ini seperti masalah konyol ketika anak berusia 14 tahun patah hati karena ditolak cintanya lalu lari ke jalanan untuk mengakhiri hidupnya.

Masih banyak yang harus dipikirkan, masih banyak yang harus dicapai, tidak seharusnya Adnan melakukan itu semua. Namun, nasi telah menjadi bubur dan keluarga harus bisa menerima jika Adnan memang sudah meninggal.

"Kami juga tidak menyangka jika Adnan akan senekat ini," lanjut Gilang.

"Sudahlah, mungkin sudah jalannya Adnan seperti ini. Kita harus mengikhlaskannya agar anak kita bisa tenang," ucap ayah Adnan yang mencoba menenangkan istrinya.

Di tengah kekacauan itu polisi datang menjemput Gilang dan Nicha. "Kalian teman Adnan yang ada di lokasi kejadian tadi bukan? Mari ikut dengan saya."

"Baik pak," patuh Gilang.

Nicha tidak bergerak dari tempatnya. Ia sangat ketakutan menghadapi polisi. Wajar saja, ia bahkan belum dewasa. Apalagi Nicha tahu jika penyebab Adnan menabrakkan dirinya karena ditolak olehnya.

Apakah ia akan dipenjara bersama pelaku yang telah menabrak Adnan? Entahlah, Nicha tidak tahu dan otaknya kini tak mampu lagi untuk berpikir. Yang ia inginkan hanyalah pulang ke rumah untuk istirahat.

***

Gilang melepaskan tangan Nicha saat sampai di kantor polisi. Sepertinya laki-laki itu tidak akan pernah berhenti sampai Nicha membuka mulut.

Kedua anak remaja itu mengikuti polisi tersebut hingga mereka sampai di ruang penyelidikan. Dari sana, Nicha bisa melihat pria tua yang berumur sekitar 40 tahun sedang berbicara dengan polisi.

Pria itu pucat saat sedang menjelaskan. Tentu dia punya ketakutan yang sama dengan Nicha.

"Aku melihat anak itu di tengah jalan. Aku tidak menyangka jika dia akan berlari ke arah mobilku. Karena kejadian itu sangat cepat, aku tidak bisa menghentikan mobilku begitu saja," jelas pria itu.

"Jadi maksud anda anak itu sengaja menabrakkan dirinya?" tanya polisi itu.

"Mungkin saja," jawab pria itu juga tidak paham.

Gilang baru saja ingin berbicara namun lengannya ditarik oleh Nicha. Gilang menoleh, sementara gadis itu menatap Gilang dengan wajah memelas seakan menyuruhnya untuk tidak ikut campur dalam masalah itu.

Namun tujuan Gilang mengajak Nicha ke kantor polisi memang untuk menjadi saksi dan menjelaskan kronologi kejadian tersebut. Sama seperti yang Gilang katakan, bahwa ia tidak akan membiarkan Nicha lari dari masalah ini.

Laki-laki itu melepaskan tangannya dari Nicha. Sebelum berbicara, Gilang berusaha meyakinkan Nicha bahwa kasus ini harus segera jelas dan dituntaskan. Ia datang hanya untuk menjelaskan apa yang sudah ia lihat. Sedangkan Nicha kini kembali bersembunyi di belakang punggungnya.

Tangan Nicha kembali dingin. Gadis dengan rambut sepinggang itu hanya bisa menarik napas dan mencoba menenangkan dirinya sendiri.

"Ini terjadi karena kesalahan Nicha, dan juga—"

Mata Nicha membulat. Ia tidak percaya jika Gilang akan mengatakan itu pada polisi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 100 Terima Kasih

    “Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 99 Seseorang Yang Menyatukan

    Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 98 Restu Orang Tua

    Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 97 Aku Hanya Mau Dengannya

    Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 96 Kamar

    “Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 95 Cinta Yang Tak Bisa Diungkap

    “Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status