Share

BAB 2 Tragedi Naas 

Gilang berhenti berlari setelah melihat mobil itu menabrak tubuh Adnan hingga terlempar ke udara. Tubuh laki-laki malang itu sukses jatuh tepat di kaca depan mobil tersebut hingga retak.

Dan kini Adnan lemas tak berdaya di atas aspal. Seragam putih birunya jelas sekali dipenuhi dengan darah yang masih segar. Darah dari kepalanya terus mengalir seperti air membasahi aspal. Nicha yang mendengar suara keras akibat kecelakaan itu langsung berlari, dan ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.

Nicha kaget bukan main. Ia hanya bisa menutup mulutnya sembari mengatur napasnya yang entah kenapa tiba-tiba saja sesak, setelah melihat laki-laki yang baru saja menyatakan cinta padanya beberapa menit yang lalu kini telah meninggal di tempat.

Beberapa orang melewati Nicha untuk melihat Adnan yang mungkin saja bisa dikatakan bunuh diri itu. Sedangkan Gilang hanya bisa menangis, tak sanggup lagi melihat Adnan yang menggenaskan.

"Ini bukan salahku kan?" gumam Nicha tanpa sadar.

Tiba-tiba saja ketakutan menyelimuti dirinya. Air matanya keluar tanpa permisi, tangannya berkeringat dingin dan bergetar hebat. Ia takut jika ia akan dilibatkan di kasus ini.

Entah di mana hati nurani gadis itu. Bukannya ia iba dengan Adnan, ia malah takut terlibat apapun. Nicha berbalik, ia berpikir dirinya harus pergi secepatnya dari sana.

Namun tidak segampang itu ketika Gilang datang menghadang dirinya lagi. Laki-laki itu mencengkeram kedua lengan Nicha. "Kau mau ke mana? Kau lihat Adnan telah mati itu semua karena kau!" teriak Gilang dengan air mata yang membasahi pipinya.

"Aku! Kau gila!" teriak Nicha tak ingin kalah. Nicha menghempaskan tangannya lagi "Lepaskan aku!" bentaknya setelah itu berbalik lagi meninggalkan Gilang.

"Bagaimana pun kau tidak akan bisa lari dari masalah ini Nicha!" Gilang begitu gigih untuk menahan Nicha agar tidak pergi.

Nicha ketakutan. Sungguh jika saja ia bisa menghilang saat itu, ia akan melakukannya saking takutnya ia bertanggung jawab dan melihat mayat Adnan yang penuh darah.

Namun ia kalah dengan kekuatan laki-laki ketika tangannya ditarik oleh Gilang untuk mendekat menuju lokasi kejadian itu.

Suara ambulance terdengar memenuhi telinga gadis itu. Semakin dekat dirinya pada Adnan, semakin tinggi ketakutan yang muncul. Itu sungguh wajar ketika ia mulai merasa bersalah atas sikapnya pada laki-laki malang tersebut.

"Lepaskan aku Gilang!"

"Tidak! Sampai kasus ini berakhir, aku tidak akan melepaskanmu."

Sembari ditarik oleh Gilang. Nicha mengusap air matanya yang turun dengan satu tangannya. Nicha melihat jelas jasad Adnan yang kini ditutupi oleh kain berwarna putih, namun darah di sekitar aspal itu masih terlihat begitu jelas.

Napas Nicha tak karuan. Ia sangat takut melihat darah di aspal tersebut. Apalagi jika mengingat kejadian tadi, saat Adnan nyata-nyatanya masih hidup dan berbicara dengannya.

Hanya untuk mengetahui bahwa Adnan telah mati saja, Nicha sudah tak sanggup.

Anehnya. Tubuh Nicha terasa panas dingin, penglihatannya mendadak kabur. Nicha mulai pusing hingga ia terjatuh pingsan.

Gilang berbalik. Laki-laki itu malah makin panik setelah melihat Nicha pingsan dan jatuh di aspal.

"Nicha!" panik Gilang.

Orang-orang yang berada di lokasi kejadian langsung menolong Nicha. Begitu pun Gilang, laki-laki itu kini menepuk-nepuk pipi gadis tersebut agar segera bangun dan tidak memperparah keadaan.

"Sebaiknya kita ikutkan dia ke ambulance," suruh salah satu warga.

Gilang mengerutkan alisnya. Bukankah itu terlalu berlebihan, Nicha hanya pingsan tidak perlu ada penanganan medis untuknya.

Laki-laki itu mencoba memanggil Nicha beberapa kali, ia ingin tahu apakah gadis itu merespon panggilannya. Bukan hanya itu, ia juga memeriksa pernapasan dan juga denyut nadi di leher gadis tersebut.

"Semuanya baik-baik saja, tidak usah bawa dia!" cegah Gilang saat orang tersebut hampir saja menggendong Nicha.

Dia mungkin hanya anak remaja yang masih duduk di bangku SMP, namun ia pernah mempelajari pertolongan pertama seperti ini dengan ayahnya yang memang seorang Dokter.

Gilang menarik napasnya lalu menghembuskannya perlahan. Setelah ia tidak terlalu panik lagi, laki-laki itu membaringkan Nicha di aspal secara terlentang.

Kemudian Gilang menaikkan kaki gadis itu lebih tinggi agar aliran darah Nicha kembali ke otak. Ia tidak akan pernah menyangka jika apa yang ayahnya ajarkan bisa ia praktekkan di situasi seperti ini.

"Nicha?" panggilnya lagi.

Seorang perawat datang menghampirinya. Perawat itu membawa air mineral dan langsung membantu Nicha minum saat gadis itu terbangun.

Gilang kembali bernapas lega sembari menurunkan kaki Nicha. Rasanya seperti ia baru selesai menyelamatkan nyawa orang lain saja.

"Baru saja aku ingin menolongnya, ternyata kau lumayan berbakat bocah," ujar perawat wanita itu memuji Gilang.

Setelah Nicha sadar. Gilang masih bersikeras agar mereka segera menuju rumah sakit. Namun Gilang baru ingat sesuatu, bagaimana dengan orang tua Adnan.

Laki-laki itu mematung. Perasaannya bercampur kacau, matanya kini melirik Nicha yang juga menatapnya heran.

Gilang mengambil handphone di saku celana birunya, lalu ia mulai mencari kontak seseorang. Seolah tahu apa yang akan Gilang hubungi. Nicha segera mencegahnya "Jangan! Jangan lakukan itu!"

"Bagaimana pun orang tuanya harus tahu! Aku harus menelepon wali kelas agar segera menghubungi orang tua Adnan."

"Kau mau menyebarkan semua ini!"

"Bukan menyebar. Aku hanya melaksanakan kewajiban untuk memberitahu mereka," jelas Gilang.

"Kumohon jangan Gilang," ucap Nicha sembari menggoyang-goyangkan lengan Gilang.

Gilang menghela napasnya "Aku tahu ketakutanmu. Tapi jika kau tak mau disalahkan maka dengarlah perkataanku! Ikuti aku dan jangan lari!"

Mereka terlalu asyik berdebat hingga lupa jika sambungan telepon itu sudah terhubung.

"Halo?"

Gilang kaku setelah mendengar suara dari telepon tersebut. Sedangkan Nicha kaget dan ketakutan kembali menghantuinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status