Home / Romansa / Cinta Untuk Sang Pendosa / BAB 2 Tragedi Naas 

Share

BAB 2 Tragedi Naas 

Author: Nurmelyaa_
last update Huling Na-update: 2023-01-13 22:00:54

Gilang berhenti berlari setelah melihat mobil itu menabrak tubuh Adnan hingga terlempar ke udara. Tubuh laki-laki malang itu sukses jatuh tepat di kaca depan mobil tersebut hingga retak.

Dan kini Adnan lemas tak berdaya di atas aspal. Seragam putih birunya jelas sekali dipenuhi dengan darah yang masih segar. Darah dari kepalanya terus mengalir seperti air membasahi aspal. Nicha yang mendengar suara keras akibat kecelakaan itu langsung berlari, dan ia tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi.

Nicha kaget bukan main. Ia hanya bisa menutup mulutnya sembari mengatur napasnya yang entah kenapa tiba-tiba saja sesak, setelah melihat laki-laki yang baru saja menyatakan cinta padanya beberapa menit yang lalu kini telah meninggal di tempat.

Beberapa orang melewati Nicha untuk melihat Adnan yang mungkin saja bisa dikatakan bunuh diri itu. Sedangkan Gilang hanya bisa menangis, tak sanggup lagi melihat Adnan yang menggenaskan.

"Ini bukan salahku kan?" gumam Nicha tanpa sadar.

Tiba-tiba saja ketakutan menyelimuti dirinya. Air matanya keluar tanpa permisi, tangannya berkeringat dingin dan bergetar hebat. Ia takut jika ia akan dilibatkan di kasus ini.

Entah di mana hati nurani gadis itu. Bukannya ia iba dengan Adnan, ia malah takut terlibat apapun. Nicha berbalik, ia berpikir dirinya harus pergi secepatnya dari sana.

Namun tidak segampang itu ketika Gilang datang menghadang dirinya lagi. Laki-laki itu mencengkeram kedua lengan Nicha. "Kau mau ke mana? Kau lihat Adnan telah mati itu semua karena kau!" teriak Gilang dengan air mata yang membasahi pipinya.

"Aku! Kau gila!" teriak Nicha tak ingin kalah. Nicha menghempaskan tangannya lagi "Lepaskan aku!" bentaknya setelah itu berbalik lagi meninggalkan Gilang.

"Bagaimana pun kau tidak akan bisa lari dari masalah ini Nicha!" Gilang begitu gigih untuk menahan Nicha agar tidak pergi.

Nicha ketakutan. Sungguh jika saja ia bisa menghilang saat itu, ia akan melakukannya saking takutnya ia bertanggung jawab dan melihat mayat Adnan yang penuh darah.

Namun ia kalah dengan kekuatan laki-laki ketika tangannya ditarik oleh Gilang untuk mendekat menuju lokasi kejadian itu.

Suara ambulance terdengar memenuhi telinga gadis itu. Semakin dekat dirinya pada Adnan, semakin tinggi ketakutan yang muncul. Itu sungguh wajar ketika ia mulai merasa bersalah atas sikapnya pada laki-laki malang tersebut.

"Lepaskan aku Gilang!"

"Tidak! Sampai kasus ini berakhir, aku tidak akan melepaskanmu."

Sembari ditarik oleh Gilang. Nicha mengusap air matanya yang turun dengan satu tangannya. Nicha melihat jelas jasad Adnan yang kini ditutupi oleh kain berwarna putih, namun darah di sekitar aspal itu masih terlihat begitu jelas.

Napas Nicha tak karuan. Ia sangat takut melihat darah di aspal tersebut. Apalagi jika mengingat kejadian tadi, saat Adnan nyata-nyatanya masih hidup dan berbicara dengannya.

Hanya untuk mengetahui bahwa Adnan telah mati saja, Nicha sudah tak sanggup.

Anehnya. Tubuh Nicha terasa panas dingin, penglihatannya mendadak kabur. Nicha mulai pusing hingga ia terjatuh pingsan.

Gilang berbalik. Laki-laki itu malah makin panik setelah melihat Nicha pingsan dan jatuh di aspal.

"Nicha!" panik Gilang.

Orang-orang yang berada di lokasi kejadian langsung menolong Nicha. Begitu pun Gilang, laki-laki itu kini menepuk-nepuk pipi gadis tersebut agar segera bangun dan tidak memperparah keadaan.

"Sebaiknya kita ikutkan dia ke ambulance," suruh salah satu warga.

Gilang mengerutkan alisnya. Bukankah itu terlalu berlebihan, Nicha hanya pingsan tidak perlu ada penanganan medis untuknya.

Laki-laki itu mencoba memanggil Nicha beberapa kali, ia ingin tahu apakah gadis itu merespon panggilannya. Bukan hanya itu, ia juga memeriksa pernapasan dan juga denyut nadi di leher gadis tersebut.

"Semuanya baik-baik saja, tidak usah bawa dia!" cegah Gilang saat orang tersebut hampir saja menggendong Nicha.

Dia mungkin hanya anak remaja yang masih duduk di bangku SMP, namun ia pernah mempelajari pertolongan pertama seperti ini dengan ayahnya yang memang seorang Dokter.

Gilang menarik napasnya lalu menghembuskannya perlahan. Setelah ia tidak terlalu panik lagi, laki-laki itu membaringkan Nicha di aspal secara terlentang.

Kemudian Gilang menaikkan kaki gadis itu lebih tinggi agar aliran darah Nicha kembali ke otak. Ia tidak akan pernah menyangka jika apa yang ayahnya ajarkan bisa ia praktekkan di situasi seperti ini.

"Nicha?" panggilnya lagi.

Seorang perawat datang menghampirinya. Perawat itu membawa air mineral dan langsung membantu Nicha minum saat gadis itu terbangun.

Gilang kembali bernapas lega sembari menurunkan kaki Nicha. Rasanya seperti ia baru selesai menyelamatkan nyawa orang lain saja.

"Baru saja aku ingin menolongnya, ternyata kau lumayan berbakat bocah," ujar perawat wanita itu memuji Gilang.

Setelah Nicha sadar. Gilang masih bersikeras agar mereka segera menuju rumah sakit. Namun Gilang baru ingat sesuatu, bagaimana dengan orang tua Adnan.

Laki-laki itu mematung. Perasaannya bercampur kacau, matanya kini melirik Nicha yang juga menatapnya heran.

Gilang mengambil handphone di saku celana birunya, lalu ia mulai mencari kontak seseorang. Seolah tahu apa yang akan Gilang hubungi. Nicha segera mencegahnya "Jangan! Jangan lakukan itu!"

"Bagaimana pun orang tuanya harus tahu! Aku harus menelepon wali kelas agar segera menghubungi orang tua Adnan."

"Kau mau menyebarkan semua ini!"

"Bukan menyebar. Aku hanya melaksanakan kewajiban untuk memberitahu mereka," jelas Gilang.

"Kumohon jangan Gilang," ucap Nicha sembari menggoyang-goyangkan lengan Gilang.

Gilang menghela napasnya "Aku tahu ketakutanmu. Tapi jika kau tak mau disalahkan maka dengarlah perkataanku! Ikuti aku dan jangan lari!"

Mereka terlalu asyik berdebat hingga lupa jika sambungan telepon itu sudah terhubung.

"Halo?"

Gilang kaku setelah mendengar suara dari telepon tersebut. Sedangkan Nicha kaget dan ketakutan kembali menghantuinya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 100 Terima Kasih

    “Dahlia, mungkin itu bunga yang bisa melambangkan kisah tentang kita…kau tahu apa maknanya? Dia lambang ikatan dan komitmen, dia adalah anugerah dan juga perubahan hidup yang positif. Jika ada kata yang lebih dari terima kasih, aku akan mengucapkannya…”~Ileanna Hanicha ****Pada matahari yang memancarkan sinarnya, ia ingin berterima kasih. Ia membulatkan tekadnya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti kalbunya, melangkah demi melangkah hingga mendapat titik terang dari hidupnya.Semua perubahan itu terbayar sudah, di sini dia sekarang. Nicha, memasang raut wajah tersenyum melihat dua orang yang telah menjadi kekuatannya selama ini.“Papa, susunannya tidak seperti itu!”Mainan lego itu yang awal mulanya berbentuk sebuah robot seketika hancur, Nicha akui suaminya tidak pandai untuk merangkai atau menyusun lego seperti di petunjuk gambar, keributan terus terjadi hingga anak laki-laki yang berumur delapan tahun itu berdiri.“Aku tak mau main sama papa lagi, aku mau main sama Cinta

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 99 Seseorang Yang Menyatukan

    Mata besar wanita itu hanya memandang satu orang dari banyaknya orang disekitar sana, ibarat dari semua kegelapan malam, hanya ada satu objek yang bersinar. Matanya tak bisa berpaling, punggungnya yang tadinya bersandar di tembok kini berdiri tegap. Sedangkan laki-laki itu masih berjalan ke arahnya, membelah lautan manusia, seperti dialah pemeran utamanya.Malam ini, dia memang adalah pemeran utama, bisa dilihat dari tampilannya yang sangat berbeda dari orang-orang. Wanita itu tak pernah melihatnya memakai setelan jas hitam dengan dasi berwarna merah.“Tampan,” gumamnya tanpa sadar.Entah sejak kapan lelaki itu sudah ada di depannya, memberinya segelas minuman.“Kau menunggu siapa?” tanya pria itu.“Orang tuaku, katanya mereka akan datang. Lalu kau, kenapa bisa ada di sini?” tanya wanita itu balik.Pria itu tersenyum. “Aku ada urusan dengan seseorang,” jawabnya.Wanita itu mengangguk. Matanya kembali melihat-lihat orang-orang yang sedang berpesta. “Kata ibu, ini pesta teman ayah, tapi

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 98 Restu Orang Tua

    Waktu demi waktu terus berjalan, Gilang mungkin sudah duduk tiga jam di café tersebut, ia melirik jam dinding besar yang terletak di atas jendela besar menghadap jalan itu, rupanya sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Tidak. Tapi hampir jam sepuluh itu artinya café akan tutup dua jam lagi.Tak ada satupun pikiran bahwa ayah Nicha tidak akan datang atau lupa, tapi Gilang malah berpikir bahwa ayah Nicha sedang mempermainkannya atau mencoba melihat keseriusannya, sampai kapan ia akan bertahan ditengah orang-orang yang mulai meninggalkan tempat itu.Dengan coat berwarna cokelat yang ia kenakan, Gilang menghela napas mencoba sabar untuk menunggu, jika benar ayah Nicha Cuma mempermainkannya, tak apa. Ia akan coba dilain hari.Gilang mengaduk kopi panas yang sudah dingin dan setengah dari gelasnya itu. Sungguh bosan hingga ia rasanya ingin memejamkan mata.Suara rintik hujan terdengar di atasnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau janji ayah Nicha hanyalah kebohongan belaka. Mana ada orang

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 97 Aku Hanya Mau Dengannya

    Wanita dengan baju tidur bermotif kotak-kotak hijau itu menutup segera jendelanya, matanya masih menatap sosok laki-laki yang baru saja pergi setelah diberi nasihat oleh ibunya.Matanya memancarkan kesedihan, ada rasa khawatir yang juga tersinggap dipikirannya, bagaimana kelanjutan hubungan mereka saat ini.Ia menghela napas berat lalu menutup gordennya, dengan lesuh Nicha segera berbaring di kasurnya berusaha memejamkan matanya ditengah lampu yang bersinar terang, pantaslah ia tak bisa tidur, meski ia mencoba memutup mata namun cahaya lampu itu seakan bisa menembus kelopak matanya.Samar – samar, ia dapat melihat hari-hari lama yang telah ia lalui namun ini lebih ke suasana rumah kediaman orang tua Gilang, betapa indahnya hari itu. Apalagi setelah ia menyadari jika perasaannya mulai tumpuh positif menjadi cinta yang sekarang telah menjadi luar biasa.‘Apa aku harus berbicara dengan ayah, besok?’‘Jika aku terus seperti ini maka, aku tidak akan bisa menikah dengan Gilang!’Demikianlah

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 96 Kamar

    “Jika ibu perhatikan, kau belakangan ini sudah mulai memasak di dapur dan masakanmu enak menurut ibu,” puji ibu Hesti.Nicha yang sedang memotong kentang itu tersenyum. “Benarkah bu, itu Gilang yang ajar.”Ibunya mengangguk. “Gilang bisa memasak juga? dia pria hebat.” Nicha mengangkat alisnya lalu kembali tersenyum.“Ya, bu. Dia memang pria serba bisa, dia bisa memasak, bisa melukis, bisa berbicara depan umum, bisa –“ ucapannya terhenti setelah ayahnya lewat dan meliriknya tajam.“Ah.. ya begitulah bu,” lanjutnya kaku dan kembali melanjutkan kegiatannya.Waktu terus berjalan tapi ayahnya masih tidak suka jika nama Gilang disebut di rumah itu, Nicha memanyumkan bibirnya, lagian Gilang tidak melakukan kesalahan apapun tapi kenapa ayahnya begitu sensitif pada pria tersebut.Harusnya ayahnya berterima kasih, tapi Nicha sangat mengenal ayahnya. Pria tua itu memang angkuh, jika sekali ada orang lain yang dia tidak suka akan sangat sulit bagi orang tersebut untuk mengambil hati ayahnya lagi.

  • Cinta Untuk Sang Pendosa    BAB 95 Cinta Yang Tak Bisa Diungkap

    “Kenapa kau sampai melakukan hal sejauh itu, Rangga?”Rangga mengacak rambutnya frustasi. “Aku tidak berniat untuk menembak Zia, percayalah padaku, aku hanya ingin membunuh Gilang!” jujurnya.“Dengan entengnya kau bilang hanya membunuh Gilang?”“Jika tidak ada dia dari awal mungkin semuanya akan berjalan baik.”“Berjalan baik? kau itu sungguh jahat, Rangga!”“Semuanya berawal dari kau, bukan?”Nicha mengangguk pelan, ia masih menatap Rangga dengan kekecewaan. Polisi masih mengawal mereka berdua di belakang sana. Hari ini, Nicha menjenguk Rangga hanya ingin memastikan semuanya.“Sejujurnya target sebenarnya adalah kau namun ditengah jalan rencana tersebut, aku menyadari ada yang tidak beres dengan hatiku, aku dendam namun terus memikirkanmu, aku terlambat menyadarinya kalau perasaanku tumbuh terhadapmu. Sungguh.”Rangga menatap seduh wajah wanita yang ada di depannya tersebut.Nicha membuang mukanya, tak sudi mendengar ucapan menjijikkan dari Rangga.“Kita sudah berakhir,” ketusnya.Ra

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status