Aku mengikutinya sambil membawa beberapa tangkai bunga mawar, sedangkan dia membawa keranjang sampah tadi.
Sesampainya di depan rumah, dia langsung meletakkan keranjang sampah itu di pinggiran pagar rumah, agar nanti petugas pengangkut sampah bisa langsung mengambilnya.
"Nah!" Aku memberikan beberapa tangkai mawar yang kupegang tadi padanya.
"Buang sendiri!" katanya singkat.
"Tanganku bisa kotor nanti om, aku kan sudah mandi." Aku membuat wajah seimut-imut mungkin di hadapanya.
"Wah lihat itu! Bukankah mereka tetangga yang baru pindah kemarin?"
"Mereka pengantin baru ya?"
"Aish, aku jadi baper sendiri melihat wanita itu memberikan mawar pada suaminya."
"Aku jadi teringat saat pertama kali menikah dulu dengan suamiku."
"Manis sekali mereka."
Apa itu? Kenapa mereka berbisik-bisik seperti itu? Tunggu-tunggu! Aku tidak salah dengarkan tadi 'Aku memberi mawar pada suamiku' Aku baru sadar kalau tingkahku sekarang ialah seperti seorang cewek yang sedang menyatakan perasaannya pada cowok yang di sukainya.
Dengan perasan malu, karena jadi bahan tontonan tetangga aku langsung membuang bunga mawar itu dan segera masuk ke rumah.
Masih bisa ku dengar ibu-ibu itu menertawaiku. Dasar, ibu-ibu tukang gosip.
Aku mengintip mereka dari balik jendela, kenapa om itu tidak masuk juga sih? Mau membuatku semakin malu ya.
Dia tersenyum pada ibu-ibu itu, lalu membungkuk sopan, dia ngapain sih? Denganku saja dia tidak pernah tersenyum ataupun bersikap sopan seperti itu. Dia mau cari muka ya dengan ibu-ibu tetangga sebelah, membuatku kesana saja.
Mmm, awas saja dia!
"Kau sangat tidak sopan pada ibu-ibu tadi," dia baru saja masuk, tapi sudah mengomeliku. Tidak sopan darimananya? Aku kan tidak berbuat hal-hal yang aneh tadi.
"Kemarilah!" Dia menarik tanganku dan membawaku duduk di sofa. Bolehkah aku menjerit sekarang, dia menggenggam tanganku apa dia sedang kerasukan? Tangannya ini kenapa begitu halus?
"Ada apa?" tanyaku sewot.
Dia melepaskan genggaman tangannya dariku, lalu menatapku datar. "Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu tadi," ujarnya pelan, masih dengan wajah datar nya itu. Kemana senyum yang ia berikan tadi kepada ibu-ibu itu?
Aku diam, bersikap apa rupanya? Aku masih tidak mengerti maksud darinya.
"Hey jawab aku!" Perintahnya. .
"Kenapa kau jadi banyak bicara om?" Aku menyipitkan mata, menatapnya curiga.
"Kau keberatan?" dia malah bertanya balik.
"Mmm." Aku malas menanggapinya lagi, memilih menghidupkan TV.
Dia juga sama, kembali diam tanpa mengatakan apapun padaku. Sesekali aku meliriknya hanya ingin memastikan kalau dia memperhatikanku juga atau tidak. Huh pantas saja dia diam, dia tidur? Padahal inikan masih pagi, dasar tukang tidur.
Mungkin aku sudah gila sekarang, aku diam-diam mendekati nya, mengikis jarak di antara kami. Dia tidak menyeramkan sama sekali saat tidur seperti ini, malah terkesan imut dan manis.
Yara, kenapa kau jadi suka memuji om-om tua ini? Kau kan tidak suka padanya. Aku seperti mendengar suara hatiku yang lain.
Kalau di pikir-pikir memang benar, kenapa juga aku jadi begitu memperhatikannya, aku kan sangat tidak suka padanya. Seandainya dia juga menolak perjodohan pasti masa mudaku tidak akan berakhir seperti ini. Aku ingat itu, malam itu bahkan dia tersenyum ramah pada mama dan papa. Saat ditanya apakah dia setuju dengan perjodohan dia malah mengangguk setuju. Bodoh sekali dia, kami kan sama-sama saling tidak punya rasa, kenapa juga dia harus menerima perjodohan ini.
Oh aku tau, pasti karena dia jomlo dan tidak punya pacar, pantas dia sangat senang saat tahu akan di nikahkan denganku. Aku ini masih muda dan cantik, iya pasti itu alasannya. Nanti saat ada waktu yang tepat aku akan menanyakan ini padanya.
"Apa yang kau lakukan?" sejak kapan dia bangun? Mataku langsung menangkap netranya yang baru saja terbuka, dari jarak sedekat ini aku baru tahu kalau dia mempunya netra berwarna coklat gelap. Kupikir semalam matanya tajamnya itu berwarna hitam, ternyata aku keliru. Tapi perasaan apa ini? Aku merasa seperti pernah melihat mata ini jauh dulu sebelum perjodohan seminggu yang lalu. Tapi aku tidak terlalu ingat.
"Wah diam-diam sepertinya kau menyukaiku ya?" dia berbisik pelan di telingaku. Aku ingin kabur saja sekarang, tapi entah kenapa tubuhku serasa kaku dan tidak bisa bergerak sekarang. Ya ampun dia sampai-sampai berfikir kalau aku ini menyukainya, bagaimana ini.
"Yara!" ini pertama kalinya dia memanggil namaku. "Kau tidak apa-apa kan?" dia tampak khawatir sekarang, mengguncang-guncang tubuhku membuat adegan agar tampak lebih dramatis.
"Tidak- tidak, aku tidak apa-apa." Aku langsung menjauh darinya.
"Dasar kau ini, kupikir kau kenapa tadi," dia mengacak pelan rambutku sambil tersenyum tipis. Dia kerasukan apa? Kenapa bersikap manis seperti ini., membuatku grogi saja.
"Kenapa kau perduli." Aku berusaha keras agar tidak terlihat gugup di depannya.
"Hah ya sudahlah" dia pergi meninggalkanku.
***
Ting tong
Aku langsung berlari cepat saat mendengar suara bel rumah berbunyi, hais aku sudah menunggunya dari tadi.
Aku tersenyum ramah pada orang yang sedang berdiri di depanku. Dia balas tersenyum manis lalu memelukku.
"Aaa, aku kangen banget sama kamu Nad." Aku berteriak heboh lalu menyuruhnya masuk ke rumah.
"Aku tau itu." Nadia terkikik pelan. "Eh kamu kok baru ngasih tau sih kalau kamu pindah rumah? Kan aku bisa bantu-bantu kalau tahu," dia duduk di sofa, menatapku meminta penjelasan.
Aku kasih tau Nadia gak ya? Kalau sebenernya aku itu udah nikah. Pasti nanti dia jadi heboh terus nyebar-nyebarin ini ke teman yang lain.
"Kok diem sih Yar?" tanyanya.
"Eh kamu tunggu sini dulu ya, aku mau ambilin buat kamu." Aku langsung mengalihkan perhatiannya. "Kamu mau minum apa?" lanjutkan lagi.
"Minuman soda aja."
"Ok, tunggu sebentar!" Aku langsung berlari menuju dapur.
Pikiranku kalut sekarang, bagaimana nanti aku akan menjelaskannya pda Nadia. Jujur aku memang merahasiakan pernikahanku pada teman-temanku. Aku malu, jadi meminta mama agar pernikahan kami di adakan secara tertutup saja.
Bagaimanapun juga sekarang om itu kan sudah jadi suami sahku. Tapi aku masih belum terima kalau sekarang statusku sudah jadi istri orang. Masih banyak hal yang ingin aku lakukan di hidupku ini, dan sekarang aku harus mengabdi dan menghabiskan siapa umurku pada om itu. Dan bagaimana nanti reaksi teman-temanku saat mereka tahu, pasti aku tidaka akn berani menampakkan diri lagi pada mereka kalau mereka suatu hari nanti tau tentang hal ini.
Aku mengambil dua gelas dan sebotol minuman soda berukuran besar, lalu meletakannya di atas nampan.
Aku terkejut bukan main begitu sampai di ruang tamu. Kenapa om itu ikutan duduk di sana dan berbincang hangat pada Nadia. Apa sih maunya? Dia mau memamerkan kalau dia itu suamiku?
"Eh Yara." Nadia menyadari kedatanganku. Aku meletakkan nampan di atas meja lalu meiangkan minuman ke glas dan meberikannya pada Nadia.
Dan sekarang aku ikut duduk dengan mereka. Dan hanya bisa melihat mereka yang sepertinya terlibat percakapan yang begitu mengasyikkan. Kenapa dengan orang lain dia bisa bersikap begitu ramah dan mengasyikkan, sedang denganku dia begitu datar dan terkesan cuek.
"Kenapa kau tidak pernah bercerita tentang om Aska mu ini Yar?" ujar Nadia. Ternyata Nadia sudah berkenalan ya dengan om itu. Oh iya maaf baru mengatakannya sekarang, nama panjang om itu Aransca Devanka Zamir, cukup panjang bukan? Untunglah nama panggilannya hanya terdiri dari empat huruf yaitu "Aska" panggilan yang aneh menurutku. Kenapa dari sekian banyaknya kata di namanya dia lebih memilih di panggil Aska. Dasar.
Aku hanya tersenyum kecut menanggapi perkataan Nadia.
Beberapa menit kemudian.
"Kamu kok diam aja Yar?" Nadia menoleh padaku. "Gak biasanya kamu diem gini, biasakan sukanya nyerocos mulu." Nadia tertawa pelan.
"Lagi gak enak badan," jelas aku berbohong sekarang, badanku sedang tidak apa-apa, tapi aku tiba-tiba tidak mood lagi sekarang. Apalagi om Aska selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang di lemparkan oleh Nadia dengan begitu antusias.
"Tadi kayaknya masih sehat-sehat aja." Nadia menatapku curiga. Aku meliriknya sekilas pada om Aska, dia tampak tak perduli denganku.
"Entahlah," dengan kesal aku naik ke lantai atas. Aku jadi bad mood sendiri sekarang. Aku masih bisa mendnegar Nadia memanggil-manggil namaku, tapi tak ku hiraukan.
Aku berdiri di balkon kamar yang letaknya berhadapan langsung dengan jalan. Tidak berapa lama setelah itu aku melihat mobil Nadia pergi menjauh dari rumah, kenapa dia cepat sekali pulangnya dan lagi dia bahkan tidak berpamitan dulu padaku kalau akan pergi. Tau begini aku tidak mau menyuruhnya datang kemari, bukannya membuat ku jadi senang malah membuat pikiranku jadi memburuk saja.
Aku menoleh ke belakang saat mendengar suara langkah kaki mendekatiku. Dan kudapati om Aska sekarang sudah ikutan berdiri di dekat balkon kamar.
"Nadia udah pulang ya?" tanyaku sekedar basa-basi. Dia hanya bergumam pelan menanggapi ucapanku.
"Ooo." Aku ber-oh pelan lalu melihat ke arah jalan lagi, dari atas sini aku bisa melihat dengan jelas orang-orang yang berlalu lalang.
"Tadi temen kamu bawain kamu makanan, aku taruh di kulkas," dia menjelaskan tanpa kuminta, aku sih sudah tau kalau Nadia bawain makanan, kan aku yang minta padanya tadi sebelum dia kemari.
"Makasih," jawabku tanpa melihatnya.
Sekarang kami saling diam.
Aku teringat sesuatu sekarang, suatu hal yang sangat ingin aku tahu dan tanyakan padanya. Bolehkah aku bertanya sekarang?
Aku meliriknya. "Om!" panggilku pelan hampir berbisik.
Dia menoleh padaku, baru kali ini dia langsung melihatku begitu ku panggil. "Ya?" jawabnya datar. Cih, kenapa denganku kau begitu terlihat cuek.
"Aku boleh tanya sesuatu gak?" lanjutku.
"Mmmm," gumamnya pelan, tampak seperti sangat tak bersemangat menanggapi perkataanku.
"Kenapa om mau nerima perjodohan ini?" tanyaku antusias.
Bukannya menjawab dia malah mengalihkan pandangannya dariku, seperti enggan untuk membahasnya.
"Om juga di paksa ya sama mama Dela?" Aku menebak-nebak, mana tau benar. Kalau ia kan kami bisa melakukan aksi protes, ya walaupun sudah sedikit terlambat tapi tidak masalah. Kami juga tidak saling suka, mungkin kami bisa bercerai.
"Kau ingin tahu?" tanyanya sambil melihat ke arah anak-anak yang sedang bermain di teras rumah sebrang sana.
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m