Aku duduk sambil menekuk kaki di pinggiran tempat tidur, menjadikan lututku sebagai sandaran daguku. Huh, masih pagi-pagi begini dia sudah marah-marah seperti itu, lagipula aku tidak salahkan kalau mengatainya om-om tua. Aku menangis tadi itu hanya akting agar dia tidak bersikap kasar seperti itu lagi. Dasar tua.
Baru tinggal sebentar dengannya aku sudah tau kalau dia itu memiliki tempramen yang buruk. Dan lagi yang membuatku sangat kesal dengannya ialah wajah datarnya dan sikap anehnya itu.
Tok tok tok.
Aku melihat ke arah pintu yang di ketuk. Mau apa dia? Apa dia akan memarahiku lagi? Apa tidak puas tadi dia melihatku ketakutan?
Tok tok tok
Ketukan itu tidak berhenti, malah terdengar semakin brutal. Aku berjalan gontai menuju pintu. Menyiapkan diri untuk hal buruk yang akan terjadi.
Cklek. Dengan sangat pelan aku membuka pintu, menatapnya takut-takut.
Dia langsung nyelonong masuk begitu pintu kubuka. Mataku mengikutinya yang kini sudah berjalan menuju ruang ganti baju. "Kau!" panggilnya datar tanpa melihatku.
"Iya om." Aku mencicit pelan.
"Maaf yang tadi!" Aku melongo mendengar ucapannya, serius dia bilang maaf tadi? Aku langsung berjalan cepat menghampirinya.
"Aku juga minta maaf!" Aku tersenyum manis di depannya, mencari pencitraan. "Kalau bukan karena aku-"
"Kau benar, aku ini hanya pria tua yang ke geeran, iya kau benar. Jadi tidak perlu meminta maaf padaku," dia langsung masuk ke kamar mandi.
Apa ini? Dadaku terasa sesak, dan kenapa aku jadi merasa sangat bersalah padanya. Ya tuhan, apa perkataanku tadi sangat menyinggung hatinya?
Pikiranku jadi galau sekarang, bagaimana ini. Aku mondar-mandir gak jelas di dalam kamar. Sesekali merutuki mulutku yang asal ceplas-ceplos ini. Bagaimana kalau nanti dia melaporkannya pada mama dan papa, bisa habis aku.
Aku melihatnya yang baru keluar dari kamar mandi, dia hanya memakai sebuah handuk yang melilit di pinggang. Dan lagi mataku kenapa mengarah ke perut nya yang kotak-kotak itu, ya ampun kenapa dia kelihatan hot sekali sekarang. Pikiranku langsung berkeliaran entah kemana-mana.
Enyahlah kau pikiran kotor!
"Kenapa kau melihatku seperti itu?" tanya dingin.
"Eh?" Aku langsung menutup mataku dengan kedua tanganku. "Aku tidak lihat apapun, sumpah aku tidak lihat," bisa malu setengah mati kalau dia tahu apa yang aku pikirkan tadi.
"Ck," dia langsung masuk ke ruang ganti.
Aku berjalan cepat ke arah tempat tidur, dan menenggelamkan wajahku di bantal. Kenapa pikiran-pikiran kotor ini tidak mau pergi juga, aku terus membayangkan tubuhnya dan hal-hal aneh. Ini pasti karena aku sering menonton film-film tidak senonoh itu. Hais, aku bisa gila sekarang.
"Kau tidur?" Aku bisa mendengar kalau ia sedang berjalan ke arahku. Dan aku langsung memejamkan mataku, pura-pura tidur.
"Hey kau tidur lagi?" dia mengguncang pelan tubuhku. Kenapa dia sok perhatian seperti ini? Mau mencari perhatianku ya? Hehehe aku tahu itu, dia pasti sudah menaruh rasa padaku.
"Hey!" langgilnya lagi. "Aku tahu kau pura-pura tidur," yah, kok tau sih.
Aku langsung membuka mata, menatapnya sambil tersenyum sumringah. Dia membalasku dengan wajah datar nya, tidak tersenyum sama sekali.
"Mandilah! Kau sangat bau," dia menutup hidungnya. Aku langsung berdiri menghadapnya.
"Enak sekali kau mengataiku bau." Aku menatapnya sinis, sementang dia sudah mandi jadi bisa seenaknya menghinaku.
Dia mengedikkan bahunya, mungkin malas mendengarku mengoceh tidak jelas. Lalu dia berjalan santai menuju balkon kamar dengan handuk kecil yang masih melingkar di lehernya.
"Aku ingin mandi, tapi tidak ada baju." Aku berteriak kesal padanya.
Dia diam, tidak berkata apa-apa lagi setelah itu. Tapi tiba-tiba dia kembali mendekatiku. Aku sangat gugup sekarang, jujur aku tidak bisa mengalihkan pandangan ku dari mata hitamnya itu. Astaga, kenapa sekarang dia semakin mendekati, aku jadi gugup. Aku mendongak agar bisa melihat wajahnya.
Dia mengalihkan pandangan dariku dan mengambil sesuatu di meja dekat samping tempat tidur, aku tidak tahu apa yang di ambilnya, karena sekarang fokusku hanya pada wajahnya. Aku seperti terhipnotis melihat janggutnya yang terlihat menawan?
Apa yang kau pikirkan Yar, Bukankah kau tidak suka dengan janggutnya itu? Kenapa sekarang kau jadi mengaguminya.
"Hey," dia berteriak sedikit kuat.
"Tidak usah teriak-teriak!" balasku, aku sempat terkejut tadi.
"Aku memanggilmu dari tadi, tapi kau malah bengong begitu," cibirnya. Kenapa sekarang aku merasa kalau dia jadi cerewet?
Dia menyodorkan sebuah kunci padaku. Aku hanya melihatnya, malas ngambilnya. Untuk apa dia memberiku kunci?
"Kalau kau tidak mau pakai bajumu ya sudah," dia memasukkan kunci itu ke dalam kantung celananya.
"Hah? Bajuku? Maksudnya?" ayolah otak, berfikir lebih keras.
"Ibu baru menelponku, dan ya ibu memang menyembunyikan bajumu di kamar depan," jawabnya sambil menunjuk ke arah pintu, aku tahu maksudnya, yang dia tunjuk itu ialah kamar yang satu lagi? Aku sudah yakin akan perbuatan ibu yang seenaknya sendiri itu.
"Yaudah sini! Aku mau ambil baju." Aku mengadahkan tangan, meminta kunci kamar sebelah.
"Tadi kau tidak mau," jawabnya angkuh, hey tadi aku kan tidak tahu.
"Aku gak tau tadi." Aku tersenyum manis padanya, berharap kalau dia akan luluh dan segera memberikan kunci itu padaku.
Lagi-lagi dia hanya mengedikkan bahu, sok sekali dia ini.
"Aku mohon om!" dengan cepat tanganku meraih kantung celananya. Tapi, dia langsung menahannya.
"Aku akan laporkan pada mama Dela kalau kau itu sangat menyebalkan." Aku mengusir rasa takutnya dan langsung mencubit pahanya pelan.
"Hey apa yang kau lakukan padaku!" dia berteriak kuat saat aku memaksa mengambil kunci itu. Ya jujur aku memang meraba-raba pahanya. Hahahaha, dasar cari kesempatan dalam kesempitan.
"Dapat." Aku tersenyum puas sambil menunjukkan kunci di depan wajahnya yang sudah merah padam.
"Kau," dia mencengkram bahuku, tidak kuat tapi tetap saja terasa sakit.
"Apa?"
Dia hanya diam. "Mandi! Hidungku sakit mencium bau ilermu," dengan entengnya dia langsung pergi setelah mengatakan itu. Dasar tidak sopan, aku ingin sekali menarik rambutnya.
"Aku tidak ileran," dia tidak mengubrisku.
Sudahlah, lebih baik aku mandi. Setelah mengambil baju yang di sembunyikan oleh mama di kamar sebelah, aku langsung cus mandi. Awas aja kalau nanti udah sipa mandi, dia tetap ngatain aku bau iler.
***
"Om!" dengan sedikit berlari aku menghampirinya yang tengah membereskan hiasan-hiasan kamar yang dia copot semalam.
Dia tidak menjawab ataupun menoleh padaku, dan masih sibuk dengan kegiatannya. "Om!" panggilku lagi.
"Mmmm," dia bergumam pelan.
"Lihat sekarang aku udah mandi, udah gak bau lagi dan udah cantik," dengan percaya diri aku mengibaskan rambutku yang masih sedikit basah.
"Terus?" dia memandangku heran.
Aku langsung diam, iya juga, kenapa aku harus mengatakan itu padanya. Aku kenapa sih?
"Aneh," dia mengalihkan pandangan dariku.
"Aku tidak aneh," baru kali ini ada orang yang mengataiku aneh, aku tidak terima itu.
"Pegang ini!" dia menyodorkan keranjang sampah padaku.
"Gak mau."
"Pegang!" tatapannya itu, ingin sekali aku mencoloknya dengan pulpen. Dengan malas aku menerima keranjang sampah berisi bunga-bunga mawar itu.
Diam, aku diam dan dia juga diam. Tidak ada yang berbicara sama sekali, bahkan aku bisa mendengar suara nafasnya sekarang. Aku benci suasana diam seperti ini. Tadi dia sok-sok perhatian padaku, tapi kenapa kembali jadi mengesalkan begini. Kalau memang tidak suka jangan di nampakan kali dong! Membuatku semakin canggung saja padanya.
"Apa yang kau pikirkan?" pertanyaan nya membuyarkan lamunanku.
"Gak usah sok ramah," apa yang kau ucapkan Yar, tadi kan kau yang meminta agar dia tidak diam. Mulut ini, selalu saja mengatakan hal-hal yang buruk.
"Oh," kan dia jadi dingin lagi.
Dinginnya malam seakan menusuk jauh ke dalam tubuhku, menjalar cepat seperti aliran darah ke seluruh tubuh. Membawa tanganku yang tadinya berpegang erat pada pinggiran pagar balkon ke arah perutku, memeluknya dengan erat.Jalanan kompleks yang biasanya tidak terlalu ramai, kini di padati para pengendara motor yang sibuk berlalu lalang. Aku bisa memakluminya karena besok adalah hari minggu.Ku alihkan fokusku ke arah samping kanan rumah dan langsung mendapati pekarangan rumah Bu Ayu yang memang bersebelahan dengan rumah kami. Di sebelah rumahnya bu Ayu ada rumahnya Bu Indri. Kalau di samping kiri ku ada rumah Bu Uci, ah di antara yang lainnya dia memang yang paling cocok untuk di panggil kakak. Umurnya juga belum terlalu tua mungkin baru menginjak ujung dua puluhan atau mungkin awal tiga puluhan kayaknya. Dan dari yang ku dengar-dengar juga, katanya Bu Uci juga belum terlalu lama tinggal di sini. Berbeda jauh dengan Bu Ayu dan Bu Indri yang sudah menempati perumahan ini lebih dari sep
Hawa panas mulai menyerang pertahanan tubuh kami. Bahkan sudah terdengar dari tadi beberapa orang yang mengeluhkan rasa tidak nyamannya.Sama seperti hari kemarin, hari ini setelah perkenalan yang terkesan boring itu Dosen pun keluar, setelah sebelumnya mengatakan bahwa mulai minggu depan kami sudah bisa memulai kuliah dengan normal.Ya baiklah, itu terserah mereka saja.Para pelajar yang baru saja menyandang status sebagai Mahasiswa, sudah bersiap-siap dengan barang-barang bawaan mereka. Begitu di lihat Dosen benar-benar menghilang dari ambang pintu merekapun langsung bangkit dari kursinya. Beberapa terlihat meregangkan tubuh mereka dengan cara memutar-mutar pelan pinggang mereka atau melakukan peregangan ringan pada leher.Terlihat lebay karena pada dasarnya kami tidaklah melakukan kegiatan yang begitu melelahkan dan menguras tenang. Lagak mereka sudah mirip para Petapa yang duduk selama berhari-hari tanpa makan dan minum."Kok gerah banget ya ini ruangan? AC nya hidup gak sih tu? P
Pada akhirnya aku hanya bisa terus berpura-pura tidak terjadi apa-apa antara aku dan dia malam itu. Bukan karena aku sok kuat atau apapun itu, tapi biarlah hal ini berjalan dengan seiringnya waktu. Rasa kantukku semakin menjadi, akibat rasa pusing yang mendadak datang karena terus-menerus memikirkan hal itu. Aku tersentak kuat saat menyadari sesuatu yang sudah berbeda di sekitar ku.Suasana kelas yang tadinya anteng ayem kayak di hutan kini berubah menjadi ribut begitu beberapa orang masuk ke dalam. Terhitung ada tiga orang cewek dan dua orang cowok, salah satu cowok itu adalah yang kemarin tidak sengaja bertatap muka denganku.Hal yang sama juga tidak di rasakan saja olehku, beberapa yang lainnya juga melihat ke arah mereka. Mungkin merasa terganggu karena suara-suara teriakan heboh yang mereka keluarkan. Semangat sekali mereka, maklum sih ini masih pagi. Berbanding terbalik denganku yang merasa sangat tidak bertenaga sama sekali.Mereka yang menjadi pusat perhatian karena beberapa
Tatapanku dan dia saling beradu, suasana di sekitar kami kini menjadi sunyi dan senyap. Hanya nafas kami yang saling bersaut-sautan mengisi rasa ke gugupan yang sudah mendatagiku sejak tadi.Dia memajukan wajahnya, membuatku semakin was-was dan perlahan memundurkan tubuhku. Menjauhinya.Alisnya terangkat sebelah seolah sedang bertanya sekaligus menggodaku. "Apa?" tanyaku sewot mengalihkan rasa gugupku.Dia tertawa pelan, terdengar aneh, membuat wajah tampannya tampak jadi mneyeramkan. Aku tahu ekspresi wajah ini.Aku melihat ke bawah, ke arah kursi yang ku duduki, kalau aku mundur lagi maka aku akan jatuh. Dan aku tidak suka dia menertawaiku nantinya.Saat ku rasakan deru nafasnya sudah menerpa wajahku, hal yang aku lakukan selanjutnya hanyalah memejamkam mataku. Tanganku di genggam olehnya. Aku pasrah kalau dia akan berbuat apapun padaku. Ya, pikiranku sudah mulai di penuhi dengan pikiran kotor lagi.Beberapa detik terlewat tidak terjadi apapun. Karena penasaran aku membuka satu mata
"Siapa ini?" jantungku berpacu cepat begitu terdengar seruan dari arah belakang.Tubuhku bergerak kaku dan terkesan patah-patah saat berbalik tubuh. Ku dongakkan sedikit kepalaku agar bisa melihat dengan jelas orang yang tengah menatap tajam padaku, tatapannya seperti ingin membunuh.Dengan susah payah aku menelan ludah sampai akhirnya aku mulai mengerakkan mulutku."Ah i-itu dia tem-""Malam bang!" belum siap aku berbicara walaupun tergagap, Dion memotong pembicaraanku dan dengan santainya menyapa pria tua di depanku ini dengan senyuman manis dan ia menyempatkan untuk menunduk tanda hormatmatnya.Aku mempelototi Dion tak percaya dengan apa yang ia lakukan barusa. Tidak ada yang salah di sini, kalau yang ia tegur itu bukanlah pria ini. Hei apa yang kau pikirkan Yara? Tidak ada masalah yang terjadi nanti, jadi kenapa kau jadi secemas ini. Bukankah Om Aska selalu ramah pada tamu yang datang ke rumah mereka ini. Lantas apa yang kau takutkan.Ya itu benar. Aku mulai menegakkan tubuhku,
Bi Inah yang tadi bersembunyi ke arah dapur kini sudah kembali lagi saat di dengarnya suara mobil milik Om Aska. Wajahnya di penuhuni dengan tanda tanya saat melihatku yang wajahnya sudah makin manyun dari pada yang tadi.Sekilas ku lihat Bi Inah melirik ke arah kamar di atas, dimana Om Aska baru saja masuk ke dalam kamarnya. Lalu dia berjalan ke arahku dengan sedikit tergesa-gesa. HP nya sudah tidak ada lagi di tangannya, mungkin ia menyembunyikan dariku."Kenapa non?" tanyanya begitu sudah berada di dekatku, dia memilih berdiri dan tidak duduk seperti tadi.Masih dengan wajah yang sama aku melihatnya. "Yara kenapa emangnya? Kok bibik nanyak nya gitu?" "Itu non, saya lihat wajah non kok kayaknya makin murung aja. Padahal kan tuan Aska udah pulang, kok masih cemberut sih?" "Karena dia pulanglah Yara jadi makin gak mood gini. Rasanya tuh pas lihat mukanya pingin banget di cakar-cakar biar jadi gak berbentuk sekalian. Kesel banget ah," cibirku asal-asal. Jelas -jelas tadi aku sempat m