Aneh...
Itu satu-satunya kata yang bisa Abrisam bisikkan dalam benaknya ketika tubuh Ciara dan Cinta lenyap dari pandangan. Tapi bukan keanehan yang biasa. Bukan sekadar kebetulan. Ini adalah jenis keanehan yang menghantui. Abrisam mencoba mencari sisa napas yang tertinggal setelah badai emosi barusan. “Dia bukan anakmu,” kata-kata itu menggema seperti gema dalam lorong kosong di kepalanya. Tapi benarkah? Langkahnya berat saat ia mulai berjalan menjauh, namun pikirannya tetap tertambat di sana—pada Ciara, pada Cinta, pada semua yang dilepaskannya bertahun-tahun lalu. “Apa yang telah aku tinggalkan?” Hari-hari setelah pertemuan itu jadi kabur. Abrisam tak bisa tidur. Wajah Ciara muncul di setiap bayang kaca, setiap suara tawa anak-anak di jalan seolah milik gadis itu. Matanya. Lesung pipinya. Cara dia menggenggam tangan Abrisam dengan percaya. Itu bukan hal yang bisa dibuat-buat. Itu... darahnya, dia yakin itu. Namun, Cinta—wanita yang dulu begitu lemah lembut dalam pelukannya—kini menjadi tembok dingin yang tak bisa ditembus. Bahkan hanya menatapnya saja dia enggan melakukannya. Tiga hari kemudian. Abrisam berdiri di depan rumah kecil bercat putih. Pohon besar menaungi halaman. Seekor kucing oranye duduk di bawahnya, menatap Abrisam seolah tahu apa yang akan terjadi. Milo… Dengan punggung tangannya dia mengetuk pintu. Tak lama kemudian, Cinta membukanya. Ia tampak lelah. Wajahnya tak memakai riasan, tapi tetap menawan sama ketika mereka masih bersama. Mata itu masih tajam, masih penuh luka yang belum sembuh. “Kamu lagi?!” nadanya seperti peluru, tajam dan menghujam. “Aku tidak datang untuk bertengkar,” kata Abrisam, tenang. “Aku hanya ingin bicara. Lima menit saja.” Cinta menatapnya dengan dingin. Tak mau membuat keributan yang membuat Ciara curiga ia pun membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuk.” Di dalam, rumah itu sederhana, penuh dengan mainan, gambar krayon, dan aroma teh. Tempat yang hidup. Penuh cinta. “Mana suamimu?” tanya Abrisam, tanpa bisa menahan diri. “Pergi kerja. Pagi sampai malam,” jawab Cinta, menyusun cangkir dengan tangan gemetar yang coba disembunyikannya. “Kenapa kamu masih berbohong, Cinta?” Cinta berhenti. “Maksudmu?” “Kamu belum menikah, bukan? Dan Ciara. Aku merasa dia anakku.” Cinta tertawa, pendek dan getir. “Lucu. Baru sekali bertemu, kau langsung merasa jadi ayah.” “Karena dia mirip aku, Cinta. Aku tahu wajahku sendiri.” “Aku pun tahu wajahmu,” balas Cinta tajam. “Dan aku juga tahu bagaimana kamu memilih pergi saat aku paling membutuhkan kamu.” “Aku menyesal,” bisik Abrisam. “Tapi aku tidak bisa menyesali sesuatu yang aku bahkan tak tahu pernah kumiliki.” Cinta berbalik, menatapnya penuh amarah. “Tahu kenapa aku memilih membuangnya? Karena aku tahu kamu akan datang dengan wajah ini suatu hari nanti. Penuh penyesalan, minta kesempatan kedua, seolah waktu bisa diputar ulang!” “Lalu kenapa kamu beri nama dia Ciara?” tanya Abrisam. “Kamu tahu itu nama yang dulu kita sepakati kalau punya anak.” Cinta terdiam sejenak. Tangannya mencengkeram cangkir terlalu erat hingga buku-bukunya memerah. “Itu hanya nama. Jangan bawa perasaan ke mana-mana.” “Dia lahir lima tahun lalu. Waktu itu kita bertengkar, dan kamu pergi. Tapi kamu... kamu hamil, kamu tak mungkin menuruti perintah papa!” Buliran bening tanpa suara mengalir di pipi Cinta, tapi ia tak menghapusnya. Ia membiarkan air mata itu mengering sendiri di kulitnya yang mulai pucat. Mungkin dengan begitu luka-lukanya akan semakin menghilang. “Kamu pikir aku ingin membesarkan anak yang tidak diinginkan ayahnya? Yang pada akhirnya dia akan tahu bahwa ayahnya adalah laki-laki yang dengan tega meninggalkan ibunya? Yang bahkan tak punya nyali untuk membelanya sekedar menyelamatkan nyawa anaknya?” “Aku ingin memperbaiki semuanya...” “Tidak semua bisa diperbaiki, Abrisam!” seru Cinta menahan diri. Suaranya pecah, menggema di seluruh ruangan. “Kamu pikir ini hanya tentang penyesalan dan permintaan maaf?” Abrisam menunduk. Tapi dadanya tetap berdegup keras dan kian sesak. “Aku tidak mau mengganggu hidupmu. Aku hanya ingin tahu siapa Ciara.” “Tidak!” potong Cinta. “Untuk apa kamu mencari tahu tentangnya. Dia bukan urusanmu!” “Kamu tak bisa menghapusku dari hidupmu, Cinta.” “Sudah aku lakukan lima tahun yang lalu. Aku hapus nama dan jejak-jejak mu,” desis Cinta. “Dan itu salah satu keputusan terbaikku.” Dari dalam rumah terdengar suara langkah kecil. Ciara muncul di ambang pintu, memeluk boneka kelincinya. Matanya masih mengantuk. “Mama, aku haus. Cia mau minum.” Cinta langsung berubah mode kalem. Ia berjalan cepat, menunduk, meraih Ciara dengan lembut. “Sayang, ke kamar lagi ya, Mama ambilkan air,” katanya sambil membelai rambut putrinya. Ciara menguap, tak memberi jawaban. Pupil matanya menangkap sosok Abrisam. Mata itu... penuh rasa ingin tahu. Seolah ada sesuatu yang belum bisa dijelaskan, tapi ingin sekali dia berada di sana, sangat dekat. “Om yang di taman tadi, kan?” tanya Ciara pelan. Cinta membeku. “Iya, Sayang. Tapi sekarang kamu harus kembali tidur. Kembalilah ke kamarmu. Sebentar lagi Mama akan menyusulmu.” Ciara tak menjawab, dia menatap Abrisam. “Om, ngapain datang kemari? Kok, Om tahu rumah Ciara. Pasti Om ingat kalau di depan rumah Ciara ada pohon besarnya.” Abrisam tersenyum. “Iya. Kebetulan Om tadi lewat. Terus ingat Ciara. Om, jadi pengen ketemu Ciara. Ngomong-ngomong siapa nama bonekanya?” “Luna.” “Nama yang bagus, sama seperti pemiliknya.” Cinta berdiri, mengangkat Ciara ke dalam gendongannya. “Cukup,” katanya dingin. “Pulanglah. Jangan muncul lagi, Abrisam. Kalau kau masih punya sedikit rasa hormat... pergilah.” Abrisam bangkit. “Kamu bisa menyangkalnya seribu kali, Cinta. Tapi mata anakmu tak bisa berbohong. Dia suka denganku.” “Aku lebih percaya kebohongan daripada membiarkanmu dekat dengan Ciara dan menghancurkan apa yang kupunya.” Ia menutup pintu. Suara gembok terdengar setelahnya. Di luar, hujan mulai turun perlahan. Abrisam berdiri di bawah pohon besar, memandangi jendela kamar Ciara yang kini mulai remang oleh cahaya lampu. Dia ingin tahu siapa lelaki yang berhasil mengambil miliknya. Walaupun Cinta menyangkal berulang kali tapi jauh di relung hatinya yang terdalam dia merasa memiliki ikatan dengan Ciara. Cinta yang tak sengaja mematikan lampu melihat Abrisam. Dia meremas kedua tangannya. Ada kegelisahan yang melandanya. Dia tahu ikatan darah memang tidak mudah dihapuskan begitu saja. Walaupun mereka tak saling mengenal sebelumnya. Namun Cinta tak dapat mengelak, Ciara tampak nyaman berada di dekat Abrisam. Kilasan-kilasan masa lalu begitu menggema di pikirannya. Banyak ketakutan yang mendadak menyerang. Bagaimana jika Abrisam tahu bahwa Cinta memang benar putrinya. Bagaimana jika orang tua Abrisam tahu bahwa cucu mereka masih hidup. Masihkah mereka berdua berpikir untuk menyingkirkannya? “Mama, kenapa Mama sedih? Apa Ciara membuat Mama sedih? Apa Mama takut dengan Om tadi? Maafkan, Cia.”Alex menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah hampir satu jam dia membolak-balik ponsel dengan logo apel digigit itu, membuka kontak, menatap nama “Cinta” yang terpampang jelas di layar, tapi jari-jarinya selalu berhenti sebelum menekan tombol hijau. Ada sesuatu yang menahan—sebuah rasa takut, rasa malu, dan segunung penyesalan.Alex tahu, dia salah.Bukan salah kecil, tapi kesalahan yang bisa saja membuat segalanya hancur. Alex kehilangan kendali saat melihat Abrisam berada di rumah Cinta. Rasa cemburu membutakan logikanya. Hanya karena melihat Cinta berbicara dan duduk berdua dengan Abrisam, dia langsung meledak. Kata-kata yang seharusnya tak pernah keluar dari mulutnya, terucap dengan kasar. Tatapan marahnya menorehkan luka yang bahkan bisa dia bayangkan sendiri betapa perihnya di hati Cinta.Dan kini, saat malam hendak berganti pagi, Alex duduk sendirian di balkon apartemennya. Malam ini dia tak perlu datang ke rumah sakit. Ditemani lampu kota yang berkelip di kejauhan, tapi hat
Abrisam senang, secara tak sengaja kalimat yang diucapkan Cinta mengisyaratkan bahwa wanita itu masih memiliki cinta untuknya. Abrisam menatap Cinta dengan sorot mata yang tak mampu dia sembunyikan lagi. Hangat, rindu, dan menyesal. Sementara Cinta, walau diam dan mencoba mengalihkan pandang, tak mampu menyembunyikan getaran di ujung bibirnya. Ada satu helaan napas panjang dari bibirnya yang membuat bahu Abrisam mengendur sedikit, seolah dia tahu, sesuatu dalam diri Cinta akhirnya menyerah pada perasaan itu juga.“Kamu nggak bisa bohong padaku, walaupun mulutmu membenciku bahkan mengutukku, tapi tatapan matamu dan tubuhmu tak mampu membohongi ku, Cinta.”Cinta mengernyit lembut. “Omong kosong!”“Aku sudah berhenti mencintaimu,” jawab Cinta lantang, berusaha melawan perasaannya.Ucapan itu membuat Abrisam membeku sejenak. Matanya berkaca. Jemarinya yang tadinya hanya bersandar di sisi sofa kini perlahan bergerak, menyentuh tangan Cinta yang sejak tadi gemetar di atas lututnya.
Abrisam, lelaki itu berlutut di depan Ciara. Mata pria itu, tajam seperti biasanya, tapi dengan Ciara tatapannya lembut dan hangat. Walaupun begitu dia tidak kehilangan tekad yang membara di baliknya. “Kalau kamu mau, Om bisa kasih semuanya ke kamu. Apa pun yang kamu suka. Boneka, taman bermain, rumah dengan anjing peliharaan, bahkan tas sekolah yang paling bagus.” Ciara hanya menatapnya. Datar. Diam. Tidak seperti biasanya. “...asal kamu mau dekat sama Om. Asal kamu percaya.” Cinta menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tidak hanya karena maknanya, tetapi karena Abrisam mengatakannya seperti pria yang punya kuasa penuh—padahal kenyataannya, dia baru muncul setelah lima tahun membuang mereka. Ciara mengernyit. “Tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibeli, Om.” Abrisam terdiam. Kaget, lalu tertawa pelan. “Kamu benar, Cia.” Ciara menunduk. “Kalau kamu benar-benar peduli dengan Ciara, Om tak akan menawarkan uang pada Ciara. Mama juga punya banyak uang. Iya, kan , Ma?
Cinta berdiri terpaku di samping mobilnya, tangan gemetar menggenggam tali tas kecil putrinya yang berwarna ungu. Wajahnya muram, pikirannya berantakan.Semuanya terjadi terlalu cepat. Cinta menoleh dan tersenyum begitu melihat Ciara berlari ke arahnya. Namun, senyuman itu cepat pudar ketika Ciara berbelok dan melihat Ciara justru berlari ke arah Abrisam, yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah dengan jaket gelap dan tatapan tajam yang sulit ditebak.Tanpa ragu, Ciara menggenggam tangan Abrisam. Matanya berbinar. "Om Abi, ayo kita pulang bareng! Aku udah janji sama temanku loh, kita mau makan di tempat yang enak. Om ikut, kan?"Cinta menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Dia tahu saat-saat seperti ini akan datang, namun dia tak siap menghadapinya, melihat bagaimana Ciara memilih pria itu tanpa ragu.Abrisam menatap Cinta, lalu menunduk pada Ciara. "Kalau Bunda kamu mengizinkan, Ayah akan ikut.""Ayah." Kata itu keluar begitu saj
Hujan tak berhenti sejak sore, langit kelabu menggantung di atas Jakarta seakan ikut menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama tertutup rapat. Abrisam menyetir perlahan di jalanan yang cukup licin, wajahnya kaku, matanya tajam menyusuri lalu lintas yang padat.Di jok sebelah, sebuah foto kecil tergeletak—bukan miliknya, bukan pula milik Cinta, tapi milik anak kecil yang mendadak menjadi poros kegelisahannya, Ciara.Bukan karena nama gadis kecil itu seperti nama yang pernah dia dan Cinta inginkan. Bukan karena sikapnya terlalu dewasa untuk usianya. Bukan juga karena mereka dekat akhir-akhir ini.Namun, karena setiap kali menatap mata Ciara, Abrisam merasa seperti sedang menatap bayangannya sendiri dari masa kecil. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—kejernihan yang penuh tanya. Dan setiap senyuman Ciara, menggerogoti batas logika yang selama ini Abrisam jaga.Dia bukan pria yang percaya firasat.Tapi setiap kali dia bersama Ciara sesuatu di dalam dirinya berontak. Menolak diam.Ciara b
Cinta melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul 11.20, waktu seolah lebih cepat dari biasanya. Hari ini sekolah Ciara memang pulang lebih awal karena miss ada rapat internal. Cinta sempat ragu bisa menjemput, mengingat pekerjaan cukup padat. Tapi rasa bersalah karena semalam dia tak sempat menemani putrinya tidur, membuatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan meluncur ke sekolah.Mobil SUV miliknya berhenti di parkiran luas depan gerbang sekolah. Dia bergegas turun dan berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat biasa orang tua menunggu anak-anak mereka keluar.Tak lama, gerombolan anak-anak mulai berhamburan keluar. Suara riuh rendah mereka bercampur tawa dan panggilan miss mereka.Cinta menatap dengan saksama hingga matanya menangkap sosok kecil yang dia tunggu kepulangannya.“Mamaaaaaa!” Ciara melambaikan tangan sambil berlari kecil. Tas ungu bergambar karakter kartun kesayangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di punggung mungilnya.Cinta terseny