Share

Bukan Anakmu

Penulis: Kardinah
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-07 13:20:22

Aneh...

Itu satu-satunya kata yang bisa Abrisam bisikkan dalam benaknya ketika tubuh Ciara dan Cinta lenyap dari pandangan. Tapi bukan keanehan yang biasa. Bukan sekadar kebetulan. Ini adalah jenis keanehan yang menghantui.

Abrisam mencoba mencari sisa napas yang tertinggal setelah badai emosi barusan.

“Dia bukan anakmu,” kata-kata itu menggema seperti gema dalam lorong kosong di kepalanya.

Tapi benarkah?

Langkahnya berat saat ia mulai berjalan menjauh, namun pikirannya tetap tertambat di sana—pada Ciara, pada Cinta, pada semua yang dilepaskannya bertahun-tahun lalu.

“Apa yang telah aku tinggalkan?”

Hari-hari setelah pertemuan itu jadi kabur. Abrisam tak bisa tidur. Wajah Ciara muncul di setiap bayang kaca, setiap suara tawa anak-anak di jalan seolah milik gadis itu.

Matanya. Lesung pipinya. Cara dia menggenggam tangan Abrisam dengan percaya.

Itu bukan hal yang bisa dibuat-buat.

Itu... darahnya, dia yakin itu.

Namun, Cinta—wanita yang dulu begitu lemah lembut dalam pelukannya—kini menjadi tembok dingin yang tak bisa ditembus. Bahkan hanya menatapnya saja dia enggan melakukannya.

Tiga hari kemudian.

Abrisam berdiri di depan rumah kecil bercat putih. Pohon besar menaungi halaman. Seekor kucing oranye duduk di bawahnya, menatap Abrisam seolah tahu apa yang akan terjadi.

Milo…

Dengan punggung tangannya dia mengetuk pintu.

Tak lama kemudian, Cinta membukanya. Ia tampak lelah. Wajahnya tak memakai riasan, tapi tetap menawan sama ketika mereka masih bersama. Mata itu masih tajam, masih penuh luka yang belum sembuh.

“Kamu lagi?!” nadanya seperti peluru, tajam dan menghujam.

“Aku tidak datang untuk bertengkar,” kata Abrisam, tenang. “Aku hanya ingin bicara. Lima menit saja.”

Cinta menatapnya dengan dingin. Tak mau membuat keributan yang membuat Ciara curiga ia pun membuka pintu sedikit lebih lebar. “Masuk.”

Di dalam, rumah itu sederhana, penuh dengan mainan, gambar krayon, dan aroma teh. Tempat yang hidup. Penuh cinta.

“Mana suamimu?” tanya Abrisam, tanpa bisa menahan diri.

“Pergi kerja. Pagi sampai malam,” jawab Cinta, menyusun cangkir dengan tangan gemetar yang coba disembunyikannya.

“Kenapa kamu masih berbohong, Cinta?”

Cinta berhenti. “Maksudmu?”

“Kamu belum menikah, bukan? Dan Ciara. Aku merasa dia anakku.”

Cinta tertawa, pendek dan getir. “Lucu. Baru sekali bertemu, kau langsung merasa jadi ayah.”

“Karena dia mirip aku, Cinta. Aku tahu wajahku sendiri.”

“Aku pun tahu wajahmu,” balas Cinta tajam. “Dan aku juga tahu bagaimana kamu memilih pergi saat aku paling membutuhkan kamu.”

“Aku menyesal,” bisik Abrisam. “Tapi aku tidak bisa menyesali sesuatu yang aku bahkan tak tahu pernah kumiliki.”

Cinta berbalik, menatapnya penuh amarah. “Tahu kenapa aku memilih membuangnya? Karena aku tahu kamu akan datang dengan wajah ini suatu hari nanti. Penuh penyesalan, minta kesempatan kedua, seolah waktu bisa diputar ulang!”

“Lalu kenapa kamu beri nama dia Ciara?” tanya Abrisam. “Kamu tahu itu nama yang dulu kita sepakati kalau punya anak.”

Cinta terdiam sejenak. Tangannya mencengkeram cangkir terlalu erat hingga buku-bukunya memerah.

“Itu hanya nama. Jangan bawa perasaan ke mana-mana.”

“Dia lahir lima tahun lalu. Waktu itu kita bertengkar, dan kamu pergi. Tapi kamu... kamu hamil, kamu tak mungkin menuruti perintah papa!”

Buliran bening tanpa suara mengalir di pipi Cinta, tapi ia tak menghapusnya. Ia membiarkan air mata itu mengering sendiri di kulitnya yang mulai pucat. Mungkin dengan begitu luka-lukanya akan semakin menghilang.

“Kamu pikir aku ingin membesarkan anak yang tidak diinginkan ayahnya? Yang pada akhirnya dia akan tahu bahwa ayahnya adalah laki-laki yang dengan tega meninggalkan ibunya? Yang bahkan tak punya nyali untuk membelanya sekedar menyelamatkan nyawa anaknya?”

“Aku ingin memperbaiki semuanya...”

“Tidak semua bisa diperbaiki, Abrisam!” seru Cinta menahan diri. Suaranya pecah, menggema di seluruh ruangan. “Kamu pikir ini hanya tentang penyesalan dan permintaan maaf?”

Abrisam menunduk. Tapi dadanya tetap berdegup keras dan kian sesak.

“Aku tidak mau mengganggu hidupmu. Aku hanya ingin tahu siapa Ciara.”

“Tidak!” potong Cinta. “Untuk apa kamu mencari tahu tentangnya. Dia bukan urusanmu!”

“Kamu tak bisa menghapusku dari hidupmu, Cinta.”

“Sudah aku lakukan lima tahun yang lalu. Aku hapus nama dan jejak-jejak mu,” desis Cinta. “Dan itu salah satu keputusan terbaikku.”

Dari dalam rumah terdengar suara langkah kecil. Ciara muncul di ambang pintu, memeluk boneka kelincinya. Matanya masih mengantuk.

“Mama, aku haus. Cia mau minum.”

Cinta langsung berubah mode kalem. Ia berjalan cepat, menunduk, meraih Ciara dengan lembut.

“Sayang, ke kamar lagi ya, Mama ambilkan air,” katanya sambil membelai rambut putrinya.

Ciara menguap, tak memberi jawaban. Pupil matanya menangkap sosok Abrisam. Mata itu... penuh rasa ingin tahu. Seolah ada sesuatu yang belum bisa dijelaskan, tapi ingin sekali dia berada di sana, sangat dekat.

“Om yang di taman tadi, kan?” tanya Ciara pelan.

Cinta membeku. “Iya, Sayang. Tapi sekarang kamu harus kembali tidur. Kembalilah ke kamarmu. Sebentar lagi Mama akan menyusulmu.”

Ciara tak menjawab, dia menatap Abrisam. “Om, ngapain datang kemari? Kok, Om tahu rumah Ciara. Pasti Om ingat kalau di depan rumah Ciara ada pohon besarnya.”

Abrisam tersenyum. “Iya. Kebetulan Om tadi lewat. Terus ingat Ciara. Om, jadi pengen ketemu Ciara. Ngomong-ngomong siapa nama bonekanya?”

“Luna.”

“Nama yang bagus, sama seperti pemiliknya.”

Cinta berdiri, mengangkat Ciara ke dalam gendongannya.

“Cukup,” katanya dingin. “Pulanglah. Jangan muncul lagi, Abrisam. Kalau kau masih punya sedikit rasa hormat... pergilah.”

Abrisam bangkit. “Kamu bisa menyangkalnya seribu kali, Cinta. Tapi mata anakmu tak bisa berbohong. Dia suka denganku.”

“Aku lebih percaya kebohongan daripada membiarkanmu dekat dengan Ciara dan menghancurkan apa yang kupunya.”

Ia menutup pintu. Suara gembok terdengar setelahnya.

Di luar, hujan mulai turun perlahan. Abrisam berdiri di bawah pohon besar, memandangi jendela kamar Ciara yang kini mulai remang oleh cahaya lampu. Dia ingin tahu siapa lelaki yang berhasil mengambil miliknya.

Walaupun Cinta menyangkal berulang kali tapi jauh di relung hatinya yang terdalam dia merasa memiliki ikatan dengan Ciara.

Cinta yang tak sengaja mematikan lampu melihat Abrisam. Dia meremas kedua tangannya. Ada kegelisahan yang melandanya.

Dia tahu ikatan darah memang tidak mudah dihapuskan begitu saja. Walaupun mereka tak saling mengenal sebelumnya. Namun Cinta tak dapat mengelak, Ciara tampak nyaman berada di dekat Abrisam.

Kilasan-kilasan masa lalu begitu menggema di pikirannya. Banyak ketakutan yang mendadak menyerang. Bagaimana jika Abrisam tahu bahwa Cinta memang benar putrinya. Bagaimana jika orang tua Abrisam tahu bahwa cucu mereka masih hidup. Masihkah mereka berdua berpikir untuk menyingkirkannya?

“Mama, kenapa Mama sedih? Apa Ciara membuat Mama sedih? Apa Mama takut dengan Om tadi? Maafkan, Cia.”

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Usai Berpisah   Pembunuh?!

    Sebuah panggilan yang sejak tadi Cinta tunggu-tunggu. Alex muncul dengan senyuman termanisnya, masih mengenakan jas dokternya dengan kancing bagian atas terbuka dan nametag-nya yang bertuliskan Dr. Alex tergantung sedikit miring di saku dada. Ciara bangkit dari duduknya menyongsong dan memeluk Alex. “Maaf… Aku terlambat,” ucapnya pelan ketika tiba di meja mereka. Suaranya serak, mungkin karena lelah, atau mungkin karena penuh penyesalan.“Cia, biarkan ayah Alex duduk dulu.”Ciara menurut, setelah Alex duduk. Dia menggenggam tangan Alex erat. Baru saja dia hendak membuka mulut Cinta menatapnya sembari menggelengkan kepala.“Ayah, Cia mau cerita sesuatu…” ujarnya serius.“Cia-.” Cinta berusaha mencegah Ciara mengatakan banyak hal. Namun gadis kecil yang tak terima dengan perlakuan Rania pada mamanya mengabaikan ucapan Cinta.Cinta hanya bisa menghela nafas sembari menatap Alex yang gemas dengan tingkah Ciara. Baru kali ini Ciara tak bisa dicegahnya.Alex melepas jas dokternya d

  • Cinta Usai Berpisah   Perempuan Bergelar Istri

    “Tapi, aku hanya ingin mengenalnya, tak lebih, dia lucu dan menggemaskan . Memang apa salahnya? Atau memang benar dia anakku?” Cinta menghela nafas, rasanya percuma berdebat dengan lelaki di depannya. Lebih baik dia pulang bersama Ciara yang sepertinya sudah bosan menunggunya. Cinta kembali menatapnya tajam, sorot matanya penuh luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. “Kalau kamu benar-benar peduli denganku” lanjutnya dengan suara bergetar menahan emosi, “Biarkan aku hidup damai, tanpa perlu dekat denganmu. Kamu cuma masa lalu yang sudah aku hapus.” “Mulutmu mungkin bisa membohongiku, tapi sorot matamu tak bisa membohongiku begitu saja.” Abrisam mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Setiap kata yang terlontar dari mulut Cinta seperti pisau yang mengguratkan penyesalan baru di hatinya. Cinta memutar tubuhnya, berbalik dan berjalan menjauh menuju putrinya. Ciara, dengan kepolosan yang tak ternoda oleh masa lalu kedua orang dewasa itu, melambaikan tangan kecilnya pada Ab

  • Cinta Usai Berpisah   Ketakutan Cinta

    Sore hari sekembalinya Alex ke rumah sakit, Ciara yang mulai merasa bosan mengajak mamanya pergi ke taman bermain. “Mama, bolehkah Cia pergi ke taman bermain sebentar?” Cinta tak menjawab, dia tampak berpikir. Sejujurnya, setelah pertemuannya dengan Abrisam, dia merasa lebih aman berada di rumahnya ketimbang berkeliaran di luar. “Sebentar saja, Ma,” rajuk Ciara. “Baiklah,” kata Cinta pada akhirnya sembari tersenyum tipis. “Tapi hanya sebentar, ya? Dan Ciara harus hati-hati.” Ciara mengangguk cepat, wajahnya seketika langsung cerah. Ia meraih tangan mamanya dan menariknya keluar dari rumah seraya bersenandung kecil. Berjalan beriringan menuju taman yang tak jauh dari rumah. Ada beberapa ayunan, perosotan kecil, dan satu arena pasir tempat anak-anak membuat istana. Udara sore yang terasa sejuk, dan angin sepoi membawa aroma rerumputan basah. Begitu sampai, Ciara langsung berlari kecil ke arah ayunan. Cinta mengikuti dari belakang dan memilih duduk di bangku panjang sambil m

  • Cinta Usai Berpisah   Setelah Pertemuan Pertama

    Cinta menoleh dan menggeleng pelan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Ciara ke dalam pelukannya. Aroma shampoo rasa buah masih menempel di rambut si kecil, menyusup ke dalam napasnya yang mulai tak teratur.“Tidak, Sayang. Mama tidak sedih karena kamu. Kamu adalah anugerah terindah Mama,” ucap Cinta dengan suara bergetar, mencoba mengendapkan badai yang mengamuk di dalam dadanya.Namun Ciara tetap memeluk lebih erat. “Tapi Mama menangis...”Ya, Cinta memang menangis. Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir tanpa suara. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat tatapan polos itu menembus sisi terdalam dirinya. Cinta bisa membohongi dunia, menyembunyikan luka, berpura-pura kuat. Tapi tidak pada Ciara. Ciara, bagian dari jiwanya yang dulu diselamatkan dari dunia yang kelam.Sinar lampu temaram masih menyisakan siluet Abrisam yang berdiri kaku di dekat jendela. Ada keheningan yang tak biasa, seperti gemuruh petir yang menggantung di ujung langit, menunggu waktu untuk meledak.Cinta ta

  • Cinta Usai Berpisah   Bukan Anakmu

    Aneh... Itu satu-satunya kata yang bisa Abrisam bisikkan dalam benaknya ketika tubuh Ciara dan Cinta lenyap dari pandangan. Tapi bukan keanehan yang biasa. Bukan sekadar kebetulan. Ini adalah jenis keanehan yang menghantui. Abrisam mencoba mencari sisa napas yang tertinggal setelah badai emosi barusan. “Dia bukan anakmu,” kata-kata itu menggema seperti gema dalam lorong kosong di kepalanya. Tapi benarkah? Langkahnya berat saat ia mulai berjalan menjauh, namun pikirannya tetap tertambat di sana—pada Ciara, pada Cinta, pada semua yang dilepaskannya bertahun-tahun lalu. “Apa yang telah aku tinggalkan?” Hari-hari setelah pertemuan itu jadi kabur. Abrisam tak bisa tidur. Wajah Ciara muncul di setiap bayang kaca, setiap suara tawa anak-anak di jalan seolah milik gadis itu. Matanya. Lesung pipinya. Cara dia menggenggam tangan Abrisam dengan percaya. Itu bukan hal yang bisa dibuat-buat. Itu... darahnya, dia yakin itu. Namun, Cinta—wanita yang dulu begitu lemah lembut dala

  • Cinta Usai Berpisah   Tersesat

    “Aduh!” seruan lirih seorang gadis kecil menggema, bersamaan dengan tubuh mungilnya yang terhuyung dan jatuh ke tanah. Abrisam, yang tengah terburu-buru, mendadak tersentak. Ia menunduk dengan cemas, mengulurkan tangan dengan penuh penyesalan. “Maaf... Aku tak sengaja. Kamu baik-baik saja?” Saat gadis kecil itu mendongak, sepasang mata mereka saling bersitatap. Abrisam terhenyak. Wajah mungil itu... begitu serupa dengannya. Terlalu mirip. Rambut hitam lurus menjuntai lembut, kulit seputih pualam, dan lesung pipi di sisi kiri—semua itu bagai refleksi dirinya dalam wujud yang lebih kecil. Gadis kecil itu berkedip beberapa kali, lalu dengan ragu menerima tangan Abrisam. “Aku tidak apa-apa, Om. Hanya sedikit kaget.” Abrisam membantunya berdiri, masih diselimuti keterkejutan yang menggumpal di dadanya. Abrisam seperti mesin pemindai, menatap gadis itu dari atas ke bawah berulang. “Siapa namamu? Apa kamu sendirian di sini?” tanya Abrisam penasaran. Abrisam menoleh ke kanan dan ke k

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status