Home / Romansa / Cinta Usai Berpisah / Setelah Pertemuan Pertama

Share

Setelah Pertemuan Pertama

Author: Kardinah
last update Last Updated: 2025-03-07 13:20:59

Cinta menoleh dan menggeleng pelan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Ciara ke dalam pelukannya. Aroma shampoo rasa buah masih menempel di rambut si kecil, menyusup ke dalam napasnya yang mulai tak teratur.

“Tidak, Sayang. Mama tidak sedih karena kamu. Kamu adalah anugerah terindah Mama,” ucap Cinta dengan suara bergetar, mencoba mengendapkan badai yang mengamuk di dalam dadanya.

Namun Ciara tetap memeluk lebih erat. “Tapi Mama menangis...”

Ya, Cinta memang menangis. Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir tanpa suara. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat tatapan polos itu menembus sisi terdalam dirinya. Cinta bisa membohongi dunia, menyembunyikan luka, berpura-pura kuat. Tapi tidak pada Ciara. Ciara, bagian dari jiwanya yang dulu diselamatkan dari dunia yang kelam.

Sinar lampu temaram masih menyisakan siluet Abrisam yang berdiri kaku di dekat jendela. Ada keheningan yang tak biasa, seperti gemuruh petir yang menggantung di ujung langit, menunggu waktu untuk meledak.

Cinta tahu bahwa waktu yang selama ini dia coba tunda, perlahan akan menyeretnya pada kebenaran yang tak bisa terus disangkal. Abrisam bukan hanya bagian dari masa lalu, ia adalah poros dari rahasia yang selama ini dia kuburkan dalam-dalam. Lelaki itu—tanpa pernah tahu—adalah ayah dari anak yang kini menggenggam erat jari-jarinya.

“Mama. Apa perlu aku menelepon Ayah untuk datang dan menghibur Mama?”

“Tidak, Cia. Ayah pasti sedang bekerja.”

“Tapi kita belum mencoba meneleponnya, Ma. Cia yakin, Ayah pasti datang kalau kita meneleponnya. Hari ini Minggu. Cia mau telepon Ayah Alex. Boleh, ya?” pintanya lirih.

Cinta mengalah, dia mengangguk, meski hatinya sempat tercekat. Nama itu—Alex—selalu membawa rasa terima kasih dan pengingat akan kebaikan laki-laki yang selalu datang membawa keteduhan saat dunia serasa menelantarkan.

Dengan jemari mungil, Ciara menekan angka demi angka. Suaranya begitu lembut saat berbicara di ujung telepon, menyampaikan undangan kecil dengan antusiasme yang polos.

“Ayah Alex, Cia kangen. Cia mau Ayah datang hari ini. Sekarang.”

Di luar, di balik tirai tipis yang bergerak pelan tertiup angin, Abrisam masih berdiri. Sejak malam sebelumnya, ia belum benar-benar pergi. Ada sesuatu dalam dirinya yang belum rela memutuskan jarak secepat itu. Tatapannya tertuju pada langit, seolah mencari isyarat dalam awan pagi. Tapi pikirannya masih tertambat pada bayangan Ciara—mata itu, suara itu, dan cara ia menyebut “Om” dengan begitu tulus, dan ringan.

“Bagaimana? Apa Ayah akan datang?” tanya Cinta sembari mengeluarkan bahan makanan dari kulkas.

Cia mengangguk, “Tentu saja Ayah akan datang. Ayah bilang rindu Mama.”

Alex tiba tak lama kemudian, seperti panggilan hati yang selalu ia patuhi setiap kali Ciara membutuhkannya. Namun begitu kakinya menapaki halaman, pandangannya bertabrakan dengan sosok asing.

Mata mereka saling menatap, sejenak dunia seolah berhenti. Ada pertanyaan yang tak terucap, ada sejarah yang tak mereka miliki bersama, tapi seolah menyatu dalam satu ruang yang sama.

Alex mematung. Tatapannya memantul pada sikap Abrisam yang tenang, namun menyiratkan badai yang belum reda. Ia tahu laki-laki itu bukan sekadar tamu biasa. Ada sesuatu dalam aura kehadirannya yang menggetarkan. Sebuah peran yang tak terucap, namun terasa menggema di setiap detik yang membeku.

“Selamat pagi,” sapa Abrisam lebih dulu, suaranya datar namun tak bermusuhan. “Kamu suami Cinta?.”

Alex kebingungan, lalu mengangguk ragu. “Dan Anda…?”

Terdengar derit pintu yang di buka. Cinta muncul di ambang pintu, menatap dua laki-laki dalam hidupnya. Yang satu adalah masa lalu yang tak bisa dia ubah. Yang satu lagi lelaki yang selama ini menjadi pelindung baginya dan anaknya.

Hati Cinta bergetar hebat. Ada pergolakan yang tak bisa dijelaskan oleh logika atau waktu. Tapi ia tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Barangkali inilah babak baru yang harus mereka jalani. Bukan untuk memilih, tapi untuk menemukan cara berjalan berdampingan, tanpa saling menyakiti.

“Sayang, kenapa nggak masuk?”

Belum sempat Alex menjawab, Ciara tertawa kecil lalu berlari memeluk kakinya.

“Hore...Ayah datang. Cia panggil dan beneran Ayah langsung datang. Cia mau makan sama Ayah. Hari ini nggak ada orang sakit, kan, Yah?”

“Nggak ada, Cia.”

Alex gemas dengan Ciara, dia mengangkatnya tinggi-tinggi, mencium pipinya yang merona. Tapi dari sudut matanya, ia sempat melirik ke arah Abrisam yang mulai berjalan menjauh.

Abrisam memilih pergi dari sana. Melihat kebahagiaan mereka membuat Abrisam merasa sesak.

Usai meletakkan Ciara di sofa dengan boneka kesayangannya, Alex menyusul Cinta. Dia berdiri di ambang pintu dapur. Matanya menatap ke luar, menembus kaca jendela yang berembun tipis.

“Dia sudah lama berdiri di sana?” suara Alex terdengar pelan, tapi tegas.

Cinta yang sedang menuang air ke gelas bening, diam sesaat. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tidak menjawab dengan cepat. Keheningan jadi jawaban awal.

Alex melangkah mendekat, berdiri di hadapan Cinta. Pandangannya tajam, tapi bukan marah. Ia hanya ingin tahu, ingin pasti.

“Itu dia, kan?”

Cinta menunduk. Setetes air jatuh ke punggung tangannya. Bukan air dari gelas, tapi buliran yang bening yang sejak tadi menggantung di sudut matanya.

“Ya,” jawabnya akhirnya. “Dia… ayah kandung Ciara.”

Alex menarik napas panjang. Jawaban itu bukan kejutan, hanya penegasan dari firasat yang hadir sejak melihat sorot mata laki-laki itu. Mata yang serupa, terlalu mirip dengan Ciara.

“Aku tahu hari ini akan datang,” ucap Alex lirih. “Aku hanya berharap… kamu siap.”

Cinta menatapnya dengan luka yang terselip dalam tatapan lembut. “Dia belum tahu Ciara putrinya. Dan aku tak mau dia tahu.”

“Jadi sebab itu kamu mengatakan padanya kalau aku suamimu? Dan memanggilku semesra tadi?” tanya Alex tersenyum.

“Maafkan aku, Alex. Aku tak mau dia curiga. Sebab di hari ketiga setelah pertemuan pertama kami, dia sudah berani datang kemari.”

Hening turun kembali. Tapi kali ini, bukan sebagai dinding, melainkan jembatan antara mereka berdua.

“Tenanglah aku akan berdiri di sini… di sisimu dan Ciara. Seperti yang selalu kulakukan sebelumnya.”

Alex merengkuh Cinta dalam pelukannya, mengusap punggungnya perlahan. Memberi jeda padanya melepas beban hanya sejenak. Sejak awal kepulangannya dia sudah bersiap jika suatu hari dia akan bertemu Abrisam. Namun, Cinta tak menyangka jika dia harus bertemu dengannya secepat itu.

“Bukankah waktu terus berputar? Jangan hanya berdiri di tempat, tapi berjalan lah ke depan tanpa menoleh ke belakang, maka semuanya akan terasa lebih ringan. Seperti dulu saat kita selalu bertiga tanpa ada masa lalu yang mengejar.”

Cinta mengangguk, dia melepaskan diri dari rengkuhan Alex. Dengan lembut tangan hangat itu menghapus sisa-sisa air mata di pipi Cinta.

“Tak apa sesekali lemah, tapi besok kamu harus lebih kuat dari hari ini. Tak apa hari ini kamu berlari, tapi datangi aku kalau kamu lelah.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Cinta Usai Berpisah   Pembunuh?!

    Sebuah panggilan yang sejak tadi Cinta tunggu-tunggu. Alex muncul dengan senyuman termanisnya, masih mengenakan jas dokternya dengan kancing bagian atas terbuka dan nametag-nya yang bertuliskan Dr. Alex tergantung sedikit miring di saku dada. Ciara bangkit dari duduknya menyongsong dan memeluk Alex. “Maaf… Aku terlambat,” ucapnya pelan ketika tiba di meja mereka. Suaranya serak, mungkin karena lelah, atau mungkin karena penuh penyesalan.“Cia, biarkan ayah Alex duduk dulu.”Ciara menurut, setelah Alex duduk. Dia menggenggam tangan Alex erat. Baru saja dia hendak membuka mulut Cinta menatapnya sembari menggelengkan kepala.“Ayah, Cia mau cerita sesuatu…” ujarnya serius.“Cia-.” Cinta berusaha mencegah Ciara mengatakan banyak hal. Namun gadis kecil yang tak terima dengan perlakuan Rania pada mamanya mengabaikan ucapan Cinta.Cinta hanya bisa menghela nafas sembari menatap Alex yang gemas dengan tingkah Ciara. Baru kali ini Ciara tak bisa dicegahnya.Alex melepas jas dokternya d

  • Cinta Usai Berpisah   Perempuan Bergelar Istri

    “Tapi, aku hanya ingin mengenalnya, tak lebih, dia lucu dan menggemaskan . Memang apa salahnya? Atau memang benar dia anakku?” Cinta menghela nafas, rasanya percuma berdebat dengan lelaki di depannya. Lebih baik dia pulang bersama Ciara yang sepertinya sudah bosan menunggunya. Cinta kembali menatapnya tajam, sorot matanya penuh luka lama yang belum pernah benar-benar sembuh. “Kalau kamu benar-benar peduli denganku” lanjutnya dengan suara bergetar menahan emosi, “Biarkan aku hidup damai, tanpa perlu dekat denganmu. Kamu cuma masa lalu yang sudah aku hapus.” “Mulutmu mungkin bisa membohongiku, tapi sorot matamu tak bisa membohongiku begitu saja.” Abrisam mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. Setiap kata yang terlontar dari mulut Cinta seperti pisau yang mengguratkan penyesalan baru di hatinya. Cinta memutar tubuhnya, berbalik dan berjalan menjauh menuju putrinya. Ciara, dengan kepolosan yang tak ternoda oleh masa lalu kedua orang dewasa itu, melambaikan tangan kecilnya pada Ab

  • Cinta Usai Berpisah   Ketakutan Cinta

    Sore hari sekembalinya Alex ke rumah sakit, Ciara yang mulai merasa bosan mengajak mamanya pergi ke taman bermain. “Mama, bolehkah Cia pergi ke taman bermain sebentar?” Cinta tak menjawab, dia tampak berpikir. Sejujurnya, setelah pertemuannya dengan Abrisam, dia merasa lebih aman berada di rumahnya ketimbang berkeliaran di luar. “Sebentar saja, Ma,” rajuk Ciara. “Baiklah,” kata Cinta pada akhirnya sembari tersenyum tipis. “Tapi hanya sebentar, ya? Dan Ciara harus hati-hati.” Ciara mengangguk cepat, wajahnya seketika langsung cerah. Ia meraih tangan mamanya dan menariknya keluar dari rumah seraya bersenandung kecil. Berjalan beriringan menuju taman yang tak jauh dari rumah. Ada beberapa ayunan, perosotan kecil, dan satu arena pasir tempat anak-anak membuat istana. Udara sore yang terasa sejuk, dan angin sepoi membawa aroma rerumputan basah. Begitu sampai, Ciara langsung berlari kecil ke arah ayunan. Cinta mengikuti dari belakang dan memilih duduk di bangku panjang sambil m

  • Cinta Usai Berpisah   Setelah Pertemuan Pertama

    Cinta menoleh dan menggeleng pelan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Ciara ke dalam pelukannya. Aroma shampoo rasa buah masih menempel di rambut si kecil, menyusup ke dalam napasnya yang mulai tak teratur.“Tidak, Sayang. Mama tidak sedih karena kamu. Kamu adalah anugerah terindah Mama,” ucap Cinta dengan suara bergetar, mencoba mengendapkan badai yang mengamuk di dalam dadanya.Namun Ciara tetap memeluk lebih erat. “Tapi Mama menangis...”Ya, Cinta memang menangis. Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir tanpa suara. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat tatapan polos itu menembus sisi terdalam dirinya. Cinta bisa membohongi dunia, menyembunyikan luka, berpura-pura kuat. Tapi tidak pada Ciara. Ciara, bagian dari jiwanya yang dulu diselamatkan dari dunia yang kelam.Sinar lampu temaram masih menyisakan siluet Abrisam yang berdiri kaku di dekat jendela. Ada keheningan yang tak biasa, seperti gemuruh petir yang menggantung di ujung langit, menunggu waktu untuk meledak.Cinta ta

  • Cinta Usai Berpisah   Bukan Anakmu

    Aneh... Itu satu-satunya kata yang bisa Abrisam bisikkan dalam benaknya ketika tubuh Ciara dan Cinta lenyap dari pandangan. Tapi bukan keanehan yang biasa. Bukan sekadar kebetulan. Ini adalah jenis keanehan yang menghantui. Abrisam mencoba mencari sisa napas yang tertinggal setelah badai emosi barusan. “Dia bukan anakmu,” kata-kata itu menggema seperti gema dalam lorong kosong di kepalanya. Tapi benarkah? Langkahnya berat saat ia mulai berjalan menjauh, namun pikirannya tetap tertambat di sana—pada Ciara, pada Cinta, pada semua yang dilepaskannya bertahun-tahun lalu. “Apa yang telah aku tinggalkan?” Hari-hari setelah pertemuan itu jadi kabur. Abrisam tak bisa tidur. Wajah Ciara muncul di setiap bayang kaca, setiap suara tawa anak-anak di jalan seolah milik gadis itu. Matanya. Lesung pipinya. Cara dia menggenggam tangan Abrisam dengan percaya. Itu bukan hal yang bisa dibuat-buat. Itu... darahnya, dia yakin itu. Namun, Cinta—wanita yang dulu begitu lemah lembut dala

  • Cinta Usai Berpisah   Tersesat

    “Aduh!” seruan lirih seorang gadis kecil menggema, bersamaan dengan tubuh mungilnya yang terhuyung dan jatuh ke tanah. Abrisam, yang tengah terburu-buru, mendadak tersentak. Ia menunduk dengan cemas, mengulurkan tangan dengan penuh penyesalan. “Maaf... Aku tak sengaja. Kamu baik-baik saja?” Saat gadis kecil itu mendongak, sepasang mata mereka saling bersitatap. Abrisam terhenyak. Wajah mungil itu... begitu serupa dengannya. Terlalu mirip. Rambut hitam lurus menjuntai lembut, kulit seputih pualam, dan lesung pipi di sisi kiri—semua itu bagai refleksi dirinya dalam wujud yang lebih kecil. Gadis kecil itu berkedip beberapa kali, lalu dengan ragu menerima tangan Abrisam. “Aku tidak apa-apa, Om. Hanya sedikit kaget.” Abrisam membantunya berdiri, masih diselimuti keterkejutan yang menggumpal di dadanya. Abrisam seperti mesin pemindai, menatap gadis itu dari atas ke bawah berulang. “Siapa namamu? Apa kamu sendirian di sini?” tanya Abrisam penasaran. Abrisam menoleh ke kanan dan ke k

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status