Cinta menoleh dan menggeleng pelan. Ia segera merengkuh tubuh mungil Ciara ke dalam pelukannya. Aroma shampoo rasa buah masih menempel di rambut si kecil, menyusup ke dalam napasnya yang mulai tak teratur.
“Tidak, Sayang. Mama tidak sedih karena kamu. Kamu adalah anugerah terindah Mama,” ucap Cinta dengan suara bergetar, mencoba mengendapkan badai yang mengamuk di dalam dadanya. Namun Ciara tetap memeluk lebih erat. “Tapi Mama menangis...” Ya, Cinta memang menangis. Entah sejak kapan air matanya mulai mengalir tanpa suara. Ia tidak tahu harus menjawab apa saat tatapan polos itu menembus sisi terdalam dirinya. Cinta bisa membohongi dunia, menyembunyikan luka, berpura-pura kuat. Tapi tidak pada Ciara. Ciara, bagian dari jiwanya yang dulu diselamatkan dari dunia yang kelam. Sinar lampu temaram masih menyisakan siluet Abrisam yang berdiri kaku di dekat jendela. Ada keheningan yang tak biasa, seperti gemuruh petir yang menggantung di ujung langit, menunggu waktu untuk meledak. Cinta tahu bahwa waktu yang selama ini dia coba tunda, perlahan akan menyeretnya pada kebenaran yang tak bisa terus disangkal. Abrisam bukan hanya bagian dari masa lalu, ia adalah poros dari rahasia yang selama ini dia kuburkan dalam-dalam. Lelaki itu—tanpa pernah tahu—adalah ayah dari anak yang kini menggenggam erat jari-jarinya. “Mama. Apa perlu aku menelepon Ayah untuk datang dan menghibur Mama?” “Tidak, Cia. Ayah pasti sedang bekerja.” “Tapi kita belum mencoba meneleponnya, Ma. Cia yakin, Ayah pasti datang kalau kita meneleponnya. Hari ini Minggu. Cia mau telepon Ayah Alex. Boleh, ya?” pintanya lirih. Cinta mengalah, dia mengangguk, meski hatinya sempat tercekat. Nama itu—Alex—selalu membawa rasa terima kasih dan pengingat akan kebaikan laki-laki yang selalu datang membawa keteduhan saat dunia serasa menelantarkan. Dengan jemari mungil, Ciara menekan angka demi angka. Suaranya begitu lembut saat berbicara di ujung telepon, menyampaikan undangan kecil dengan antusiasme yang polos. “Ayah Alex, Cia kangen. Cia mau Ayah datang hari ini. Sekarang.” Di luar, di balik tirai tipis yang bergerak pelan tertiup angin, Abrisam masih berdiri. Sejak malam sebelumnya, ia belum benar-benar pergi. Ada sesuatu dalam dirinya yang belum rela memutuskan jarak secepat itu. Tatapannya tertuju pada langit, seolah mencari isyarat dalam awan pagi. Tapi pikirannya masih tertambat pada bayangan Ciara—mata itu, suara itu, dan cara ia menyebut “Om” dengan begitu tulus, dan ringan. “Bagaimana? Apa Ayah akan datang?” tanya Cinta sembari mengeluarkan bahan makanan dari kulkas. Cia mengangguk, “Tentu saja Ayah akan datang. Ayah bilang rindu Mama.” Alex tiba tak lama kemudian, seperti panggilan hati yang selalu ia patuhi setiap kali Ciara membutuhkannya. Namun begitu kakinya menapaki halaman, pandangannya bertabrakan dengan sosok asing. Mata mereka saling menatap, sejenak dunia seolah berhenti. Ada pertanyaan yang tak terucap, ada sejarah yang tak mereka miliki bersama, tapi seolah menyatu dalam satu ruang yang sama. Alex mematung. Tatapannya memantul pada sikap Abrisam yang tenang, namun menyiratkan badai yang belum reda. Ia tahu laki-laki itu bukan sekadar tamu biasa. Ada sesuatu dalam aura kehadirannya yang menggetarkan. Sebuah peran yang tak terucap, namun terasa menggema di setiap detik yang membeku. “Selamat pagi,” sapa Abrisam lebih dulu, suaranya datar namun tak bermusuhan. “Kamu suami Cinta?.” Alex kebingungan, lalu mengangguk ragu. “Dan Anda…?” Terdengar derit pintu yang di buka. Cinta muncul di ambang pintu, menatap dua laki-laki dalam hidupnya. Yang satu adalah masa lalu yang tak bisa dia ubah. Yang satu lagi lelaki yang selama ini menjadi pelindung baginya dan anaknya. Hati Cinta bergetar hebat. Ada pergolakan yang tak bisa dijelaskan oleh logika atau waktu. Tapi ia tahu, pertemuan ini tak bisa dihindari. Barangkali inilah babak baru yang harus mereka jalani. Bukan untuk memilih, tapi untuk menemukan cara berjalan berdampingan, tanpa saling menyakiti. “Sayang, kenapa nggak masuk?” Belum sempat Alex menjawab, Ciara tertawa kecil lalu berlari memeluk kakinya. “Hore...Ayah datang. Cia panggil dan beneran Ayah langsung datang. Cia mau makan sama Ayah. Hari ini nggak ada orang sakit, kan, Yah?” “Nggak ada, Cia.” Alex gemas dengan Ciara, dia mengangkatnya tinggi-tinggi, mencium pipinya yang merona. Tapi dari sudut matanya, ia sempat melirik ke arah Abrisam yang mulai berjalan menjauh. Abrisam memilih pergi dari sana. Melihat kebahagiaan mereka membuat Abrisam merasa sesak. Usai meletakkan Ciara di sofa dengan boneka kesayangannya, Alex menyusul Cinta. Dia berdiri di ambang pintu dapur. Matanya menatap ke luar, menembus kaca jendela yang berembun tipis. “Dia sudah lama berdiri di sana?” suara Alex terdengar pelan, tapi tegas. Cinta yang sedang menuang air ke gelas bening, diam sesaat. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tidak menjawab dengan cepat. Keheningan jadi jawaban awal. Alex melangkah mendekat, berdiri di hadapan Cinta. Pandangannya tajam, tapi bukan marah. Ia hanya ingin tahu, ingin pasti. “Itu dia, kan?” Cinta menunduk. Setetes air jatuh ke punggung tangannya. Bukan air dari gelas, tapi buliran yang bening yang sejak tadi menggantung di sudut matanya. “Ya,” jawabnya akhirnya. “Dia… ayah kandung Ciara.” Alex menarik napas panjang. Jawaban itu bukan kejutan, hanya penegasan dari firasat yang hadir sejak melihat sorot mata laki-laki itu. Mata yang serupa, terlalu mirip dengan Ciara. “Aku tahu hari ini akan datang,” ucap Alex lirih. “Aku hanya berharap… kamu siap.” Cinta menatapnya dengan luka yang terselip dalam tatapan lembut. “Dia belum tahu Ciara putrinya. Dan aku tak mau dia tahu.” “Jadi sebab itu kamu mengatakan padanya kalau aku suamimu? Dan memanggilku semesra tadi?” tanya Alex tersenyum. “Maafkan aku, Alex. Aku tak mau dia curiga. Sebab di hari ketiga setelah pertemuan pertama kami, dia sudah berani datang kemari.” Hening turun kembali. Tapi kali ini, bukan sebagai dinding, melainkan jembatan antara mereka berdua. “Tenanglah aku akan berdiri di sini… di sisimu dan Ciara. Seperti yang selalu kulakukan sebelumnya.” Alex merengkuh Cinta dalam pelukannya, mengusap punggungnya perlahan. Memberi jeda padanya melepas beban hanya sejenak. Sejak awal kepulangannya dia sudah bersiap jika suatu hari dia akan bertemu Abrisam. Namun, Cinta tak menyangka jika dia harus bertemu dengannya secepat itu. “Bukankah waktu terus berputar? Jangan hanya berdiri di tempat, tapi berjalan lah ke depan tanpa menoleh ke belakang, maka semuanya akan terasa lebih ringan. Seperti dulu saat kita selalu bertiga tanpa ada masa lalu yang mengejar.” Cinta mengangguk, dia melepaskan diri dari rengkuhan Alex. Dengan lembut tangan hangat itu menghapus sisa-sisa air mata di pipi Cinta. “Tak apa sesekali lemah, tapi besok kamu harus lebih kuat dari hari ini. Tak apa hari ini kamu berlari, tapi datangi aku kalau kamu lelah.”Alex menatap layar ponselnya yang gelap. Sudah hampir satu jam dia membolak-balik ponsel dengan logo apel digigit itu, membuka kontak, menatap nama “Cinta” yang terpampang jelas di layar, tapi jari-jarinya selalu berhenti sebelum menekan tombol hijau. Ada sesuatu yang menahan—sebuah rasa takut, rasa malu, dan segunung penyesalan.Alex tahu, dia salah.Bukan salah kecil, tapi kesalahan yang bisa saja membuat segalanya hancur. Alex kehilangan kendali saat melihat Abrisam berada di rumah Cinta. Rasa cemburu membutakan logikanya. Hanya karena melihat Cinta berbicara dan duduk berdua dengan Abrisam, dia langsung meledak. Kata-kata yang seharusnya tak pernah keluar dari mulutnya, terucap dengan kasar. Tatapan marahnya menorehkan luka yang bahkan bisa dia bayangkan sendiri betapa perihnya di hati Cinta.Dan kini, saat malam hendak berganti pagi, Alex duduk sendirian di balkon apartemennya. Malam ini dia tak perlu datang ke rumah sakit. Ditemani lampu kota yang berkelip di kejauhan, tapi hat
Abrisam senang, secara tak sengaja kalimat yang diucapkan Cinta mengisyaratkan bahwa wanita itu masih memiliki cinta untuknya. Abrisam menatap Cinta dengan sorot mata yang tak mampu dia sembunyikan lagi. Hangat, rindu, dan menyesal. Sementara Cinta, walau diam dan mencoba mengalihkan pandang, tak mampu menyembunyikan getaran di ujung bibirnya. Ada satu helaan napas panjang dari bibirnya yang membuat bahu Abrisam mengendur sedikit, seolah dia tahu, sesuatu dalam diri Cinta akhirnya menyerah pada perasaan itu juga.“Kamu nggak bisa bohong padaku, walaupun mulutmu membenciku bahkan mengutukku, tapi tatapan matamu dan tubuhmu tak mampu membohongi ku, Cinta.”Cinta mengernyit lembut. “Omong kosong!”“Aku sudah berhenti mencintaimu,” jawab Cinta lantang, berusaha melawan perasaannya.Ucapan itu membuat Abrisam membeku sejenak. Matanya berkaca. Jemarinya yang tadinya hanya bersandar di sisi sofa kini perlahan bergerak, menyentuh tangan Cinta yang sejak tadi gemetar di atas lututnya.
Abrisam, lelaki itu berlutut di depan Ciara. Mata pria itu, tajam seperti biasanya, tapi dengan Ciara tatapannya lembut dan hangat. Walaupun begitu dia tidak kehilangan tekad yang membara di baliknya. “Kalau kamu mau, Om bisa kasih semuanya ke kamu. Apa pun yang kamu suka. Boneka, taman bermain, rumah dengan anjing peliharaan, bahkan tas sekolah yang paling bagus.” Ciara hanya menatapnya. Datar. Diam. Tidak seperti biasanya. “...asal kamu mau dekat sama Om. Asal kamu percaya.” Cinta menahan napas. Kata-kata itu menusuk, tidak hanya karena maknanya, tetapi karena Abrisam mengatakannya seperti pria yang punya kuasa penuh—padahal kenyataannya, dia baru muncul setelah lima tahun membuang mereka. Ciara mengernyit. “Tapi aku bukan anak kecil yang bisa dibeli, Om.” Abrisam terdiam. Kaget, lalu tertawa pelan. “Kamu benar, Cia.” Ciara menunduk. “Kalau kamu benar-benar peduli dengan Ciara, Om tak akan menawarkan uang pada Ciara. Mama juga punya banyak uang. Iya, kan , Ma?
Cinta berdiri terpaku di samping mobilnya, tangan gemetar menggenggam tali tas kecil putrinya yang berwarna ungu. Wajahnya muram, pikirannya berantakan.Semuanya terjadi terlalu cepat. Cinta menoleh dan tersenyum begitu melihat Ciara berlari ke arahnya. Namun, senyuman itu cepat pudar ketika Ciara berbelok dan melihat Ciara justru berlari ke arah Abrisam, yang berdiri tak jauh dari gerbang sekolah dengan jaket gelap dan tatapan tajam yang sulit ditebak.Tanpa ragu, Ciara menggenggam tangan Abrisam. Matanya berbinar. "Om Abi, ayo kita pulang bareng! Aku udah janji sama temanku loh, kita mau makan di tempat yang enak. Om ikut, kan?"Cinta menahan napas. Hatinya terasa seperti diremas. Kedua tangannya mengepal tanpa sadar. Dia tahu saat-saat seperti ini akan datang, namun dia tak siap menghadapinya, melihat bagaimana Ciara memilih pria itu tanpa ragu.Abrisam menatap Cinta, lalu menunduk pada Ciara. "Kalau Bunda kamu mengizinkan, Ayah akan ikut.""Ayah." Kata itu keluar begitu saj
Hujan tak berhenti sejak sore, langit kelabu menggantung di atas Jakarta seakan ikut menyimpan rahasia yang sudah terlalu lama tertutup rapat. Abrisam menyetir perlahan di jalanan yang cukup licin, wajahnya kaku, matanya tajam menyusuri lalu lintas yang padat.Di jok sebelah, sebuah foto kecil tergeletak—bukan miliknya, bukan pula milik Cinta, tapi milik anak kecil yang mendadak menjadi poros kegelisahannya, Ciara.Bukan karena nama gadis kecil itu seperti nama yang pernah dia dan Cinta inginkan. Bukan karena sikapnya terlalu dewasa untuk usianya. Bukan juga karena mereka dekat akhir-akhir ini.Namun, karena setiap kali menatap mata Ciara, Abrisam merasa seperti sedang menatap bayangannya sendiri dari masa kecil. Ada sesuatu dalam sorot mata itu—kejernihan yang penuh tanya. Dan setiap senyuman Ciara, menggerogoti batas logika yang selama ini Abrisam jaga.Dia bukan pria yang percaya firasat.Tapi setiap kali dia bersama Ciara sesuatu di dalam dirinya berontak. Menolak diam.Ciara b
Cinta melirik jam tangannya untuk kesekian kali. Jarum jam menunjukkan pukul 11.20, waktu seolah lebih cepat dari biasanya. Hari ini sekolah Ciara memang pulang lebih awal karena miss ada rapat internal. Cinta sempat ragu bisa menjemput, mengingat pekerjaan cukup padat. Tapi rasa bersalah karena semalam dia tak sempat menemani putrinya tidur, membuatnya buru-buru menyelesaikan pekerjaannya dan meluncur ke sekolah.Mobil SUV miliknya berhenti di parkiran luas depan gerbang sekolah. Dia bergegas turun dan berdiri di bawah pohon flamboyan, tempat biasa orang tua menunggu anak-anak mereka keluar.Tak lama, gerombolan anak-anak mulai berhamburan keluar. Suara riuh rendah mereka bercampur tawa dan panggilan miss mereka.Cinta menatap dengan saksama hingga matanya menangkap sosok kecil yang dia tunggu kepulangannya.“Mamaaaaaa!” Ciara melambaikan tangan sambil berlari kecil. Tas ungu bergambar karakter kartun kesayangannya bergoyang ke kanan dan ke kiri di punggung mungilnya.Cinta terseny