Masih ingat dulu saat kami bertemu untuk kesekian kalinya, Mas Anton sering menyambangi rumahku semenjak kami bertemu di resepsi pernikahan kak Novi waktu itu, lalu kami di kenalkan oleh Mama Sofia, memang sejak awal aku tak mencintai dia sepenuhnya, tetap di hati ini hanya ada Mas Arkan seorang.
Malam itu, aku kedatangan tamu yang tak aku harapkan, dia adalah sosok lelaki tampan. Namun, ketampanannya satu tingkat di bawah Mas Arkan kakak ipar yang selalu aku kagumi. Tamu yang tak kuharapkan dan tak diundang itu tak lain adalah Mas Anton, yang kini sudah menjadi mantan suamiku.
Kala itu aku dan Mas Anton duduk berdua, masing-masing dengan perasaan canggung, duduk di teras depan ditemani remang cahaya rembulan malam, yang menghiasi taman kecil di hadapan kami.
"Intan, semenjak kita bertemu, ada rasa yang aneh di hati ini. Mas selalu memikirkanmu," ungkapnya kemudian tangannya menggapai jemari tanganku, aku hanya balas tersenyum simpul.
"Meskipun Mas be
"Ingat Mas! Ini bukan rumah kita, ataupun hotel, ini rumah kontrakan, dan di kanan kiri rumah ini banyak penghuninya, nanti kita bisa ketahuan," peringatku menepis tangannya, menghindari dia agar tak memelukku, dan aku mundur beberapa langkah kebelakang. "Mas tahu Intan, ini bukan hotel, tapi Mas mohon ... kau jangan menolak, Mas! Mas sangat merindukanmu, dan hampir gila di buatmu, kita sudah lama tak bertemu kan. Mas ingin berduaan denganmu, walaupun sebentar saja," ucap Mas Arkan merajuk dengan suara rendah khas orang mabuk. "Aku minta, kamu segera pergi dari sini! Bagaimana jika ada tetangga yang mengetahui kita berdua di dalam sini?" usirku pada Mas Arkan, ia berjalan sempoyongan lebih mendekatiku. "Jangan usir Mas, Intan! Susah payah Mas mencari alamatmu, karena Mas sudah tak tahan lagi ingin bertemu denganmu, dan sekarang kamu malah mengusir Mas, begitu teganya kamu. Andai kamu tahu, Mas selalu memimpikanmu, di setiap malam. Selalu mengingatmu d
"Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Mas takkan memaksamu, tapi ... jika kau berubah pikiran, dan butuh sesuatu, hubungi Mas tak usah sungkan!" pintanya, sambil bangkit dengan memegangi pahanya yang aku tendang tadi. "Iya, itu gampang, Mas, jika aku butuh sesuatu, pasti aku akan menghubungimu," balasku menggeser tubuh, memberi jalan untuk Mas Arkan lewat. "Mas pulang ya, Intan," pamit Mas Arkan dan mengusap rambutku kilas, "Jaga dirimu baik-baik. Mas akan menunggumu, sampai kau mau menerima tawaran dari Mas, dan ... akan menunggu jawabanmu, apa kau bersedia menjadi istri Mas, jika sudah selesai ikrar talak," imbuhnya. Aku mengangguk pelan, tanpa bicara, entah harus menjawab apa dengan pertanyaannya? Aku memang masih mencintai dia, tapi aku tak tahu harus bagaimana, dan masih memikirkan kata yang di ucapkan Diandra kemarin. Jangan kembali dengan Mas Arkan, hubungan yang di awali dari kebohongan dan perselingkuhan takkan pernah menemukan kebahagiaan ya
"Hm, tak ada pilihan lain, selain pulang dulu ke rumah, untuk mengambil semua uang, dan barang berharga milikku," ucapku bergumam sendiri sambil berdiri di depan gerbang. Mengedarkan pandangan ke sekeliling halaman rumah yang terhalang pagar besi setinggi dua meter. Pintu pagar di bukakan oleh sang penjaga rumah ini, pak Amir namanya, pria paruh baya yang setia bekerja semenjak aku masih SD hingga saat ini. Ia mengabdikan dirinya bekerja sebagai security pada keluargaku, meskipun papa dan mama sudah tiada. Aku masuk ke rumah orang tuaku, dengan perasaan ragu, melangkah pelan melewati ruang tamu. Rasa hati ini sungguh tak menentu, setelah aku membuat kekacauan di rumah ini, hingga semua orang pergi meninggalkan aku. Semoga saja kak Novi tak ada di rumah, aku takut dan malu kalau sampai bertemu dia. Rumah ini tampak sepi, membuat hati ini lega, mungkin kak Novi sedang bekerja, pikirku, tak ada tanda-tanda bahwa ada orang di dalam rumah. Sampai aku di depan tang
"Intan, aku tak habis pikir, kukira kau sudah berubah dengan kejadian kemarin. Tapi, nyatanya tidak. Tidak sama sekali," ucap kak Novi lirih seraya memejamkan matanya, ia terduduk meleseh di lantai. Bahkan sekarang kak Novi enggan menyebutkan kata kakak, untuk kusebut, melainkan 'Aku, Kamu,' yang terucap dari bibirnya, tak seperti hari-hari yang lalu. "Kak, maafkan aku, tadi aku hanya asal bicara, tak bermaksud menyakiti perasaanmu lagi. Aku sayang sama kamu, kak," ungkapku seraya mendekatinya. "Sudah cukup Intan, sekarang juga kamu pergi dari hadapanku! Aku sudah muak dengan semua sandiwaramu, selama ini kau dan suamiku pura-pura baik, di hadapanku, padahal nyatanya. Kau main belakang. Apalagi sekarang setelah semuanya terungkap, dan kalian sudah terbebas dari kami, pasti kalian lebih leluasa lagi untuk saling memuaskan. Kuakui aku ini banyak kekurangannya, dari segi kecantikan, aku jauh lebih dibawah kamu, aku perempuan jelek. Dan tak sempurna, tidak sepert
Mas Anton tak menggubris panggilan dari Mas Arkan, dia keluar gerbang dan melajukan kendaraannya menuju rumah sakit. "Mas, aku ikut," pintaku sembari mengejar mobil Mas Anton. "Tidak usah! Kau. Perempuan tak punya hati!" umpat Mas Anton sambil melaju. Aku menghentikan langkahku setelah mendengar penolakan darinya, dan berdiri di jalan konblok menuju pintu gerbang, hanya bisa memandangi kepergian Mas Anton, karena dia melarangku untuk ikut menemani kakakku sendiri. Mungkin dia menyangka bahwa akulah, yang sudah membuat kakakku seperti itu. Sungguh tak pernah terbesit sama sekali di dalam benakku untuk menyakiti kak Novi, aku hanya bisa menarik napas panjang mengingat Mas Anton yang begitu benci padaku, dan menyalahkanku. "Maafkan aku, Kak. Aku tak bisa menemanimu," gumamku menatap mobil Mas Anton yang hilang di balik gerbang. Mas Arkan menggelengkan kepalanya melihat sikap Mas Anton yang tak sama sekali mempedulikan aku, dan malah menga
"Mas, sebenarnya aku mau di bawa kemana, sih?" tanyaku cepat, seraya mengguncang tangannya. Pria berpakaian formal ini malah tersenyum tanpa menatapku dan terus fokus mengemudi. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini? yang pastinya aku khawatir dan takut padanya, dari gerak geriknya yang sangat mencurigakan. "Sudah Mas katakan sejak tadi, kita istirahat sebentar, nanti baru menjenguk Novi," ujarnya santai. Aku yang merasa dibohongi olehnya, dengan cepat membuka sabuk pengaman, dan menarik tuas pintu mobil, "Sial!" umpatku, sambil memukul kaca jendela mobil yang terkunci. "Kamu kenapa sih, Tan, takut amat sama kekasihmu ini? Mas gak bakalan nyakitin kamu, apalagi sampai berbuat sesuatu yang tidak kamu inginkan," ujarnya masih dengan sikapnya yang tak dapat ku tebak. "Mas, turunkan aku sekarang juga! Aku mau ke rumah sakit," pintaku sedikit emosi. "Hm." Dia hanya mengangkat kedua bahunya menanggapi ucapanku. Rasanya aku
Jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul dua belas tepat waktu setempat. Lima belas menit aku duduk di ruangan berdua dengan Mas Arkan, tanpa bicara apapun, hanya diam membisu, dia malah tidur pulas di ranjang kamar hotel ini. Aku pun menyisir rambut dengan sisir kecil yang selalu tersedia di dalam tas selempang, dan mengikatnya dengan tali warna hitam yang melingkar di pergelangan tangan, suasana di kamar ini membuatku merasa gerah meski dengan pendingin ruangan, karena tak jelas rasanya duduk sambil menunggui orang tidur. Aku pun bangkit seraya merapikan penampilanku yang agak kusut hendak meninggalkan Mas Arkan. "Kamu mau kemana, Intan?" Suara Mas Arkan mengagetkanku. Kukira dia benar-benar tertidur, ternyata hanya merem saja. Aku terkesiap dan menoleh ke arahnya, "Ya aku mau pulang," jawabku datar. Ia bangkit dan berjalan menuju aku yang berdiri di dekat sofa, "Untuk apa, pulang? Makan dulu! Nanti Mas akan mengantarmu, jangan terburu-buru kit
"Mas, kamu tega! Di saat istrimu sedang dalam keadaan sakit, dan aku juga belum sepenuhnya pulih, kamu melakukan itu di saat aku sedang tak sadarkan diri," gurutuku kesal pada Mas Arkan. Ia menarik napas seraya mengacak rambutnya kasar, "Mas terpaksa Intan, tak kuat menahan gejolak di hati ini, menahan rasa rindu ini padamu membuat batin Mas tersiksa. Lagi pula, Novi sudah bukan istri Mas, lagi," ujar Mas Arkan, kedua tangannya terulur hendak menggapai bahuku. Dengan segera aku menghindarinya, tak ingin lagi disentuh olehnya. "Tidak bisa begitu, Mas! Kak Novi masih berstatus istrimu, secara negara. Meskipun secara agama kalian sudah bercerai, dan kau juga masih punya tanggung jawab terhadapnya. Jika memang Mas Arkan sudah tak kuat, dan ingin menyalurkan hasrat gilamu. Cari saja perempuan lain! Perempuan bayaran, Mas bisa memilih perempuan manapun yang cantik, yang kau suka!" ucapku menahan rasa sesak di dada, aku melangkah mundur kebelakang, ada r