Share

Cinta Yang Sesungguhnya
Cinta Yang Sesungguhnya
Author: S.Rustandi

1. Apa Kalian Tidak Kasian Padaku?

Elvan menutup mematikan laptopnya, cukup untuk hari ini ia bekerja dan mengamati perkembangan perusahaannya yang ada di Jakarta. Ia memijat keningnya dengan pelan seraya beranjak dari kursinya dan berjalan menuju beranda ruang kerjanya.

Dari tempatnya kini terlihat hamparan luas kebun teh yang begitu hijau dan asri. Pemandangan yang di dominasi warna hijau ini cukup menyegarkan untuk penglihatannya, dan mampu membuat dirinya merasa tenang.

Sudah hampir 5 bulan ia meninggalkan Jakarta dan menetap di Bandung. Lebih tepatnya Rancabali, Ciwidey. Kurang lebih sekitar 40 km meter dari kota Bandung ke arah selatan.

Elvan sengaja meninggalkan hiruk pikuk Jakarta demi pemulihan jiwanya. Baginya ini tempat ideal untuk menenangkan dirinya. Sekitar 8 bulan yang lalu adalah masa kelam bagi dirinya. Di mana ia harus kehilangan istri tercintanya beserta buah hati yang ada di dalam kandungan Davina--istri tercintanya. Mereka meregang nyawa saat mobil yang ditumpangi Davina tertabrak sebuah truk dengan rem yang blong di jalan tol.

Elvan merasa bersalah, karena siang itu ia tidak sempat untuk menjemput Davina yang baru saja pulang dari rumah sakit untuk mengecek kandungannya yang sudah menginjak 7 bulan.

Ditinggalkan oleh dua orang yang dicintainya membuat Elvan merasa shock dan sangat sedih. Berminggu-minggu lamanya ia mengalami gangguan makan. Hingga bobot tubuhnya banyak berkurang. Hampir setiap malam ia menangis dan meraung meratapi kepergian istri dan putranya.

“Sialll!” geramnya seraya mengeratkan pegangan tanggannya di pagar kayu beranda dan memejamkan matanya dengan kuat saat bayang 8 bulan yang lalu kembali muncul begitu saja di pikirannya.

Elvan sudah mendatangi seorang psikiater, sayangnya kenangan buruk itu selalu menghantuinya dan seakan enggan untuk menjauh darinya. Hingga akhirnya ia memutuskan pergi untuk meninggalkan rumah yang di tempatinya bersama Davina. Di mana banyak kenangan manis bersama istrinya di sana. Bukan hanya itu, kamar bayi yang sudah terisi lengkap dengan perabotan bayi mampu membuat air matanya kembali berderai.

Bukan hanya meninggalkan rumah, tapi Elvan meninggalkan kota di mana dia dan Davina sempat mengukir kehidupan indah mereka. Terlalu banyak tempat yang pernah mereka datangi bersama, hingga membuat Elvan membuat keputusan besar untuk meninggalkan Jakarta dan hidup dalam pengasingan.

Langit sudah berwarna jingga, sebentar lagi matahari akan terbenam. Dari pukul empat sore temperatur udara akan cepat menurun. Udara dingin mulai menusuk kulitnya. Awal dia tinggal di sini, Elvan sangat tersiksa oleh suhu yang begitu dingin berbanding terbalik dengan suhu di Jakarta.

Elvan kembali menghela napas, sebelum akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam sebelum ia membeku di luar.

Setelah menutup semua jendela rapat-rapat, Elvan memutuskan akan membuat teh panas di dapur. Teh dari hasil kebun yang berada di sisi Villa-nya.

Tak ada siapapun di villa ini kecuali dirinya. Hanya ada Bi Enah yang akan datang di pagi hari dan pergi menjelang sore untuk membersihkan villa dan mencuci pakaiannya. Sesekali memasak, namun Elvan sering lebih senang memasak makanannya sendiri. Dan Bi Enah akan membeli dan mengisi lemari es dengan bahan makanan yang dibutuhkannya.

Ada juga Mang Deden yang biasa mengurus tanaman dan rumput yang ada di sekitar villa. Atau memperbaiki jika ada kerusakan di villa. Rumah keduanya tidak terlalu jauh, dengan berjalan kaki akan memakan waktu sekitar 20 hingga 25 menit. Ada sebuah perkampungan yang berada di ujung perkebunan teh.

Sambil membawa teh panasnya, Elvan berjalan menuju ruang tengah. Di mana televisi berada, ia memutuskan untuk menonton berita. Sudah dua hari ia tidak menyalakan televisi miliknya.

Hari semakin gelap, udara sangat dingin di malam hari meski di cuaca panas. Bahkan mulutnya sudah mengeluarkan asap putih jika ia membuka mulutnya apalagi berbicara.

Saat melihat jam, waktu menunjukkan pukul 8 malam, biasanya ia akan keluar villa dan menatap langit yang begitu luas. Meski udara dingin menusuk kulitnya, itu bukan halangan. Ia akan mengenakan jaketnya dan menatap langit yang bertaburan bintang. Ini lah yang tak akan ditemuinya di Jakarta, asap polusi yang di hasilkan di siang hari akan menutupi keindahan malam.

Elvan mengambil jaketnya yang ia gantung tak jauh dari tempatnya, memakainya kemudian berjalan ke arah pintu belakang villa. Ada sebuah kolam kecil dengan air yang hangat di sana. Di sini ada beberapa sumber mata air hangat alami, dan air dari kolamnya berasal dari sana.

Villanya di dominasi oleh kayu, hanya kolamnya saja yang terlihat sedikit modern. Sedangkan kamar mandi di dalam didominasi oleh bebatuan alami dengan air hangat yang berasal dari sumbernya.

Elvan menenggadahkan kepalanya ke atas langit, tampak bintang sudah bertaburan dengan begitu indahnya. Berkelap-kelip seakan tak akan pernah padam.

“Bagaimana kabar kalian di sana? Apa kalian baik-baik saja?” serunya seakan ia berbicara dengan istri dan anaknya.

“Aku sendirian, apa kalian tidak kasian padaku meninggalkanku seperti ini? Kapan kalian akan menjemputku?”

Hatinya terasa pilu, andai saja mereka masih ada. Pasti saat ini Elvan akan mendengar celoteh-celotehan khas bayi dari mulut anak laki-lakinya. Atau omelan Davina yang selalu ia rindukan.

Tak terasa matanya mulai terasa panas. Rasa sesak mulai menguasai dadanya, relungnya begitu menyakitkan.

Elvan sedikit mengeram dan mengepalkan tangannya di dalam saku jaketnya. Air matanya hampir keluar sesaat ia mendengar suara benda jatuh dari arah kirinya. Dengan spontan Elvan menatap ke arah sana.

“Siapa itu?” tanyanya dengan nada serius dan sedikit menyeramkan.

“Sialan!! Pasti ada yang mencoba masuk lagi!” gerutu Elvan kemudian, dengan cepat ia masuk ke dalam villa dan mengambil senapan angin miliknya yang ia simpan untuk berjaga-jaga.

Beberapa hari yang lalu ada yang mencoba masuk paksa ke dalam villanya di tengah malam. Ia mencoba mengejar pencuri itu, hanya saja pencuri itu lari dengan cepat menuju kebun teh, dan Elvan harus kehilangan jejaknya.

Elvan memiliki tubuh yang tinggi dengan badan yang atletis, hanya saja kini ia sedikit lebih kurus meskipun lebih baik dari beberapa bulan sebelumnya. Berat badannya kembali naik, tapi tidak seperti sedia kala saat Davina masih berada di sisinya.

Untuk bertarung tangan kosong, Elvan tidak takut sama sekali. Karena ia menguasai bela diri.

Dengan langkah lebarnya dengan senapan di tangannya Elvan berjalan menuju kebun yang di penuhi oleh tanaman sayuran yang di tanam oleh Mang Deden.

Langkahnya terhenti saat matanya menangkap seseorang yang terbaring begitu saja di tanah di dekat tanaman tomat yang sebagian sudah berbuah.

Ia mengarahkan senapannya pada orang tersebut.

“Heii, kau pencuri! Jangan pura-pura pingsan! Jika tidak bangun aku akan menembakmu!” ancam Elvan.

Meski sudah mengancamnya tapi orang itu tidak bangun juga. Pencahayaan di sini sedikit temaram, karena sinar yang berasal hanya dari lampu teras villa. Hingga Elvan tidak terlalu melihatnya dengan begitu jelas.

“Heii!!” Elvan kini setengah berteriak. Tapi tetap saja orang itu tidak memberikan respon apapun.

Hingga akhirnya Elvan mendekat dengan sikap waspadanya masih mengarah senjata pada orang itu.

Lagi-lagi ia harus terkesiap kaget, saat mengetahui jika seorang wanitalah yang terbaring di tanah itu. Kening berkerut tapi tidak mengurangi kewaspadaannya. Ia menelisik keadaan sekitar, takut-takut jika ini adalah jebakan dari para pencuri.

Tapi tak ada apapun, hingga Elvan semakin mendekat dan kini sudah berdiri di samping wanita itu.

“Hei…” seru Elvan kini sedikit menurunkan suaranya. Tapi tetap tak ada respon.

Elvan berjongkok, dan menyentuh lehernya untuk memastikan apakah wanita itu bernyawa atau tidak.

“Masih hidup…” gumamnya pelan seraya menghembukan napas lega.

Jika sampai wanita itu sudah tak bernyawa maka dirinya harus menghubungi pihak kepolisian.

“Sedang apa dia di sini? Pingsan?” gumamnya lagi. Kemudian Elvan mencoba untuk menepuk-nepuk pipi wanita tersebut.

“Dia pingsan sungguhan!” decak Elvan.

“Ini merepotkanku saja!” keluhnya.

- To be Continue -

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status