Tubuhnya terasa lelah dan begitu sakit, Aya masih merasakan rasa perih di luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya. Ia meringis pelan, dan dengan perlahan ia mulai membuka matanya yang sejak beberapa menit yang lalu terkena cahaya.
Namun sedetik kemudian ia langsung membulatkan matanya.
“Aku di mana?” serunya dan langsung mendudukkan tubuhnya.
“Aww… pusing…” gumamnya kemudian seraya langsung menyentuh kepalanya. Ia duduk dengan tiba-tiba, dan kondisi ini menurunkan tekanan darah yang lebih sedikit ke jantung hingga membuatnya pusing.
Aya masih duduk dalam semenit ke depan, hingga dirinya sudah pulih sepenuhnya. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke tempat di mana kini dirinya berada.
Matanya mampu menangkap jika saat ini ia sedang berada di sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter, dengan nuansa coklat dan putih. Di mana lantai di lapisi oleh kayu berpermis hingga mengkilap. Tembok yang di dominasi oleh warna putih terlihat begitu bersih. Begitu juga dengan tempat tidur yang ia tempati saat ini, dan tak jauh dari tempat tidurnya tergeletak koper miliknya yang ia seret dengan susah payah semalam.
Matanya semakin membulat, seakan ia kini tersadar sepenuhnya.
‘Semalam aku mencari tempat menginap, tapi karena sudah telalu gelap aku terus berjalan dan tak tahu kini berada di mana,’ gumamnya dalam hati.
Namun alangkah terkejutnya saat ia mendapati jika pakaiannya sudah berubah, bukan pakaian yang semalam ia gunakan.
“S-siapa yang mengganti pakaianku?”
***
“Apa dia sudah bangun?” tanya Elvan pada Bi Enah yang kini tampak sedang membuat sarapan untuknya.
“Belum, Den!” sahut Bi Enah.
“Oh…” Kemudian Elvan duduk di meja makan untuk bersiap sarapan, setelah ini ia ada meeting secara virtual yang akan di lakukannya di ruang kerjanya.
Semalam ia menemukan seorang wanita pingsan tak jauh dari Villa yang di tempatinya. Saat membawanya ke dalam vila, ia melihat pakaian wanita itu kotor. Hingga akhirnya ia memanggil Bi Enah untuk mengurusnya, dan memindahkannya ke dalam kamar tamu. Wanita itu sedikit demam.
Elvan mulai menikmati sarapan yang sudah dibuatkan oleh Bi Enah. Dalam waktu singkat ia sudah menghabiskannya.
“Bi, kalau dia sudah bangun, suruh saja dia pergi!” titah Elvan pada Bi Enah seraya berdiri dari kursinya.
“Baik, Den!”
Elvan meninggalkan Bi Enah dan kembali ke lantai atas, di mana ruang kerjanya berada tak jauh dari kamar tidurnya.
***
Dengan sangat perlahan Aya memutar handle dan membuka pintu kamar di mana dirinya berada saat ini. Ia sedikit mengendap-endap untuk keluar dari kamar, agar suara langkahnya tidak terlalu nyaring di lantai kayu yang kini di pijaknya.
Saat keluar dari kamar ia langsung di suguhkan oleh sebuah koridor yang tidak telalu panjang, dan terdapat beberapa pintu.
“Kanan atau kiri ya?” tanyanya pada diri sendiri.
Namun, hidungnya mulai mencium aroma makanan yang membuat perutnya merasa lapar seketika. Seraya memang perutnya Aya bergumam, “Terakhir aku makan pagi kemarin, saat aku masih berada di rumah.”
“Pantas saja aku merasa lapar,” lanjutnya.
Aroma makanan tersebut berasal dari sisi sebelah kanannya, hingga dia kemudian melangkahkan kakinya menuju saja. Begitu sampai di ujung koridor, ia menemukan ruangan yang sedikit lebih besar, terdapat sofa yang cukup besar, dan ia yakini jika itu mungkin adalah ruang tamu.
Aya mendongakkan kepalanya untuk menelisik, rupanya atap di bagian ruang tamu tersebut sangat tinggi dan terlihat beranda di dalam rumah yang ia yakini itu adalah lantai dua rumah ini. Hingga jika ia berada di lantai dua maka ia bisa melihat seluruh ruang tamu ini.
‘Cukup luas…’ gumam Aya dalam hati.
Aya berniat untuk mencari pemilik tempat ini dan berterima kasih karena sudah menolongnya semalam. Semua kejadian semalam sudah teringat jelas di kepalanya. Ia merasa kelelahan dan sudah terlalu larut malam untuk mencari penginapan, kakinya begitu pegal dan lelah serta harus menyeret koper besar yang di bawanya. Saat melihat sebuah rumah dengan lampu yang menyala, Aya berniat untuk bertanya memastikan di mana dirinya berada.
Namun saat jaraknya tak jauh lagi dengan rumah tersebut, matanya tiba-tiba berkunang-kunang, yang terakhir diingatnya adalah semuanya mulai menggelap dan kesadarannya hilang.
“Non…” sebuah suara terdengar di telinga Aya saat ia masih asyik memperhatikan isi rumah ini dan cukup mengagetkan dirinya.
Aya hendak menolak saat sosok wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama ‘Bi Enah’ menawarkan makanan untuk mengisi perutnya. Tapi, perutnya seakan mengkhianati dirinya, dia berbunyi dengan tidak tahu dirinya dan suara yang cukup lantang, membuat semburat malu di tersirat di pipinya.
Mau tak mau, Aya tak bisa menolak tawaran Bi Enah lagi.
Elvan yang melupakan secangkir kopinya kembali turun ke bawah untuk mengambilnya sendiri, tapi ia menghentikan langkahnya tepat saat ia akan sampai ke pintu dapur. Ia mendengar suara Bi Enah sedang bercakap-cakap dengan seseorang di dalam dapur, dan suara itu terdengar dengan jelas suara seorang wanita.
Dengan tepat Elvan bisa menebak jika itu adalah suara wanita yang semalam pingsan di kebunnya.
Elvan tak ingin berpapasan dengannya, hingga ia hanya sedikit mengintip saja dari pintu.
Dia wanita dengan rambut hitam, rambutnya sedikit bergelombang dan terurai. Panjangnya melebihi bahu sekitar 10 centimeter. Semalam ia tidak begitu jelas memperhatikannya, tapi wanita ini memiliki kulit yang putih dan mulus.
‘Kecuali beberapa luka di tubuhnya, dan itupun hanya Bi Enah yang tahu...’ gumam Elvan dalam hati.
Elvan kembali memperhatikannya, yang saat ini sedang menikmati makanannya. Wanita itu tampak lahap menikmati makanannya, seakan setelah beberapa hari kelaparan dan baru menemukan makanan.
‘Dan wanita itu terlihat masih sangat muda,’ gumamnya lagi. Jika di pastikan wanita itu berusia pertengahan 20 tahun, mungkin sekitar 25 tahun.
Elvan heran, mengapa ia bisa berkeliaran di tanah orang lain dan malam hari seperti itu. Serta koper yang dibawanya cukup besar.
‘Ck! Apa dia tidak tahu jika di daerah sini pada malam hari akan begitu rawan oleh kawanan penjahat!’ hardiknya di dalam hati.
Elvan masih tidak bisa menebaknya mengapa wanita muda itu ada di tempat ini, tempat yang cukup terpencil.
Hingga ia sudah berpikir hal yang buruk, jika wanita itu adalah orang suruhan orang tuanya agar bisa merayunya untuk kembali ke Jakarta.
Cukup mudah menebaknya, karena pakaian yang dikenakan oleh wanita ini semalam bukan pakaian biasa. Tapi, pakaian dengan brand yang ternama.
‘Aku tahu karena Davina dulu membeli beberapa pakaian dengan brand tersebut,’ gumam Elvan lagi.
Bukan kali ini saja orang tuanya mencoba untuk merayunya kembali pulang, bahkan mereka sempat mengirim beberapa teman dekatnya untuk mencoba mengajaknya kembali ke Jakarta. Tapi tentu saja Elvan menolaknya mentah-mentah.
Tersadar dari lamunannya, Elvan tak sengaja membuat suara dengan kakinya. Hingga Bi Enah dan wanita itu langsung menoleh ke arahnya.
“Den…” sapa Bi Enah dengan ramah.
Tapi wanita itu hanya terdiam dan langsung menghentikan makannya, dengan matanya yang sempat bertatapannya dengannya selama beberapa detik, hingga akhirnya ia tertunduk takut-takut.
Karena sudah terlanjur ketahuan, Elvan melangkahkan kakinya masuk ke dalam dapur.
“Kopi, Bi!” pinta Elvan.
”Baik, Den!”
Wanita itu tampak semakin menunduk, bahunya terlihat bergetar ketakutan.
-To Be Continue-
Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j