Share

2. Aku Di Mana?

Tubuhnya terasa lelah dan begitu sakit, Aya masih merasakan rasa perih di luka-luka yang ada di sekujur tubuhnya. Ia meringis pelan, dan dengan perlahan ia mulai membuka matanya yang sejak beberapa menit yang lalu terkena cahaya.

Namun sedetik kemudian ia langsung membulatkan matanya.

“Aku di mana?” serunya dan langsung mendudukkan tubuhnya.

“Aww… pusing…” gumamnya kemudian seraya langsung menyentuh kepalanya. Ia duduk dengan tiba-tiba, dan kondisi ini menurunkan tekanan darah yang lebih sedikit ke jantung hingga membuatnya pusing.

Aya masih duduk dalam semenit ke depan, hingga dirinya sudah pulih sepenuhnya. Ia mulai mengedarkan pandangannya ke tempat di mana kini dirinya berada.

Matanya mampu menangkap jika saat ini ia sedang berada di sebuah ruangan berukuran sekitar 4x5 meter, dengan nuansa coklat dan putih. Di mana lantai di lapisi oleh kayu berpermis hingga mengkilap. Tembok yang di dominasi oleh warna putih terlihat begitu bersih. Begitu juga dengan tempat tidur yang ia tempati saat ini, dan tak jauh dari tempat tidurnya tergeletak koper miliknya yang ia seret dengan susah payah semalam.

Matanya semakin membulat, seakan ia kini tersadar sepenuhnya.

‘Semalam aku mencari tempat menginap, tapi karena sudah telalu gelap aku terus berjalan dan tak tahu kini berada di mana,’ gumamnya dalam hati.

Namun alangkah terkejutnya saat ia mendapati jika pakaiannya sudah berubah, bukan pakaian yang semalam ia gunakan.

“S-siapa yang mengganti pakaianku?”

***

“Apa dia sudah bangun?” tanya Elvan pada Bi Enah yang kini tampak sedang membuat sarapan untuknya.

“Belum, Den!” sahut Bi Enah.

“Oh…” Kemudian Elvan duduk di meja makan untuk bersiap sarapan, setelah ini ia ada meeting secara virtual yang akan di lakukannya di ruang kerjanya.

Semalam ia menemukan seorang wanita pingsan tak jauh dari Villa yang di tempatinya. Saat membawanya ke dalam vila, ia melihat pakaian wanita itu kotor. Hingga akhirnya ia memanggil Bi Enah untuk mengurusnya, dan memindahkannya ke dalam kamar tamu. Wanita itu sedikit demam.

Elvan mulai menikmati sarapan yang sudah dibuatkan oleh Bi Enah. Dalam waktu singkat ia sudah menghabiskannya.

“Bi, kalau dia sudah bangun, suruh saja dia pergi!” titah Elvan pada Bi Enah seraya berdiri dari kursinya.

“Baik, Den!”

Elvan meninggalkan Bi Enah dan kembali ke lantai atas, di mana ruang kerjanya berada tak jauh dari kamar tidurnya.

***

Dengan sangat perlahan Aya memutar handle dan membuka pintu kamar di mana dirinya berada saat ini. Ia sedikit mengendap-endap untuk keluar dari kamar, agar suara langkahnya tidak terlalu nyaring di lantai kayu yang kini di pijaknya.

Saat keluar dari kamar ia langsung di suguhkan oleh sebuah koridor yang tidak telalu panjang, dan terdapat beberapa pintu.

“Kanan atau kiri ya?” tanyanya pada diri sendiri.

Namun, hidungnya mulai mencium aroma makanan yang membuat perutnya merasa lapar seketika. Seraya memang perutnya Aya bergumam, “Terakhir aku makan pagi kemarin, saat aku masih berada di rumah.”

“Pantas saja aku merasa lapar,” lanjutnya.

Aroma makanan tersebut berasal dari sisi sebelah kanannya, hingga dia kemudian melangkahkan kakinya menuju saja. Begitu sampai di ujung koridor, ia menemukan ruangan yang sedikit lebih besar, terdapat sofa yang cukup besar, dan ia yakini jika itu mungkin adalah ruang tamu.

Aya mendongakkan kepalanya untuk menelisik, rupanya atap di bagian ruang tamu tersebut sangat tinggi dan terlihat beranda di dalam rumah yang ia yakini itu adalah lantai dua rumah ini. Hingga jika ia berada di lantai dua maka ia bisa melihat seluruh ruang tamu ini.

‘Cukup luas…’ gumam Aya dalam hati.

Aya berniat untuk mencari pemilik tempat ini dan berterima kasih karena sudah menolongnya semalam. Semua kejadian semalam sudah teringat jelas di kepalanya. Ia merasa kelelahan dan sudah terlalu larut malam untuk mencari penginapan, kakinya begitu pegal dan lelah serta harus menyeret koper besar yang di bawanya. Saat melihat sebuah rumah dengan lampu yang menyala, Aya berniat untuk bertanya memastikan di mana dirinya berada.

Namun saat jaraknya tak jauh lagi dengan rumah tersebut, matanya tiba-tiba berkunang-kunang, yang terakhir diingatnya adalah semuanya mulai menggelap dan kesadarannya hilang.

“Non…” sebuah suara terdengar di telinga Aya saat ia masih asyik memperhatikan isi rumah ini dan cukup mengagetkan dirinya.

Aya hendak menolak saat sosok wanita paruh baya yang memperkenalkan dirinya dengan nama ‘Bi Enah’ menawarkan makanan untuk mengisi perutnya. Tapi, perutnya seakan mengkhianati dirinya, dia berbunyi dengan tidak tahu dirinya dan suara yang cukup lantang, membuat semburat malu di tersirat di pipinya.

Mau tak mau, Aya tak bisa menolak tawaran Bi Enah lagi.

Elvan yang melupakan secangkir kopinya kembali turun ke bawah untuk mengambilnya sendiri, tapi ia menghentikan langkahnya tepat saat ia akan sampai ke pintu dapur. Ia mendengar suara Bi Enah sedang bercakap-cakap dengan seseorang di dalam dapur, dan suara itu terdengar dengan jelas suara seorang wanita.

Dengan tepat Elvan bisa menebak jika itu adalah suara wanita yang semalam pingsan di kebunnya.

Elvan tak ingin berpapasan dengannya, hingga ia hanya sedikit mengintip saja dari pintu.

Dia wanita dengan rambut hitam, rambutnya sedikit bergelombang dan terurai. Panjangnya melebihi bahu sekitar 10 centimeter. Semalam ia tidak begitu jelas memperhatikannya, tapi wanita ini memiliki kulit yang putih dan mulus.

‘Kecuali beberapa luka di tubuhnya, dan itupun hanya Bi Enah yang tahu...’ gumam Elvan dalam hati.

Elvan kembali memperhatikannya, yang saat ini sedang menikmati makanannya. Wanita itu tampak lahap menikmati makanannya, seakan setelah beberapa hari kelaparan dan baru menemukan makanan.

‘Dan wanita itu terlihat masih sangat muda,’ gumamnya lagi. Jika di pastikan wanita itu berusia pertengahan 20 tahun, mungkin sekitar 25 tahun.

Elvan heran, mengapa ia bisa berkeliaran di tanah orang lain dan malam hari seperti itu. Serta koper yang dibawanya cukup besar.

‘Ck! Apa dia tidak tahu jika di daerah sini pada malam hari akan begitu rawan oleh kawanan penjahat!’ hardiknya di dalam hati.

Elvan masih tidak bisa menebaknya mengapa wanita muda itu ada di tempat ini, tempat yang cukup terpencil.

Hingga ia sudah berpikir hal yang buruk, jika wanita itu adalah orang suruhan orang tuanya agar bisa merayunya untuk kembali ke Jakarta.

Cukup mudah menebaknya, karena pakaian yang dikenakan oleh wanita ini semalam bukan pakaian biasa. Tapi, pakaian dengan brand yang ternama.

‘Aku tahu karena Davina dulu membeli beberapa pakaian dengan brand tersebut,’ gumam Elvan lagi.

Bukan kali ini saja orang tuanya mencoba untuk merayunya kembali pulang, bahkan mereka sempat mengirim beberapa teman dekatnya untuk mencoba mengajaknya kembali ke Jakarta. Tapi tentu saja Elvan menolaknya mentah-mentah.

Tersadar dari lamunannya, Elvan tak sengaja membuat suara dengan kakinya. Hingga Bi Enah dan wanita itu langsung menoleh ke arahnya.

“Den…” sapa Bi Enah dengan ramah.

Tapi wanita itu hanya terdiam dan langsung menghentikan makannya, dengan matanya yang sempat bertatapannya dengannya selama beberapa detik, hingga akhirnya ia tertunduk takut-takut.

Karena sudah terlanjur ketahuan, Elvan melangkahkan kakinya masuk ke dalam dapur.

“Kopi, Bi!” pinta Elvan.

”Baik, Den!”

Wanita itu tampak semakin menunduk, bahunya terlihat bergetar ketakutan.

-To Be Continue-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status