Share

3. Aku Tidak Menerima Tamu

Elvan duduk di kursi tepat di hadapan wanita itu.

“Oh---” wanita itu tampak terkejut dengan tindakan Elvan yang tiba-tiba duduk di hadapannya, seraya mengangkat sedikit wajahnya.

Kesempatan itu tidak Elvan sia-siakan untuk menelisik penampilan wanita itu dengan lebih seksama. Wajah wanita ini tampak cantik, meski ia melihat ada luka kecil di wajahnya yang tidak ia lihat semalam.

‘Mungkin luka karena tersungkur ke tanah semalam, saat ia pingsan,’ tebak Elvan dalam hatinya.

‘Dia terlihat seperti wanita terpelajar, bukan wanita penggoda yang akan sengaja dikirimkan oleh kedua orang tuaku! Ck! Tapi apa peduliku!’ dengus Elvan kemudian.

Tatapan Elvan tetap dengan penuh selidik, tapi masih terlihat ramah, “Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya kemudian.

Wanita itu tampak terkejut dan sedikit kikuk, “Saya--ya…” jawab wanita itu terbata terhadap pertanyaan Elvan.

Kemudian wanita tampak tersenyum ragu, “Semalam saya… hmm… mencari penginapan…”

“Dan ini bukan penginapan!” ketus Elvan.

“Hmm, saya tahu. T-tapi semalam saya berpikir begitu…” jawabnya terlihat merasa bersalah.

Aya merasa malu dan tampak terlihat bodoh di depan pria dengan wajah yang terlihat tegang dan tegas ini, bahkan ia sama sekali tak berani untuk menatap matanya.

“Penginapan berada beberapa kilo meter dari sini, bagaimana kau bisa terdampar begitu jauh sampai ke sini?” Elvan masih penasaran, dan merasa tetap percaya jika wanita ini berbohong dan hanya suruhan dari orang tuanya saja.

Kening Aya tampak berkerut, mencoba mengingat-ingat bagaimana ia bisa tersesat hingga sejauh ini.

Tapi kemudian ia menggeleng, “Pengemudi ojek itu yang mengantarku…” jawabnya menggantung.

Elvan bingung dengan jawaban wanita itu, kedua alisnya menaut.

Bersamaan dengan itu, kopi miliknya sudah jadi dan di sajikan oleh Bi Enah di hadapannya. Elvan berdiri dari duduknya dan meraih cangkir kopi tersebut.

“Setelah kau menghabiskan makananmu kau boleh pergi, aku tidak menerima tamu untuk saat ini,” ucap Elvan dengan dingin.

Wanita itu tampak berdiri dari duduknya, kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya.

“Saya akan segera pergi, terima kasih atas kebaikan Anda,” sahut wanita itu dengan sopan dan bibirnya agak sedikit bergetar. Antara takut atau merasa kedinginan, karena suhu di daerah ini begitu sangat dingin di pagi hari.

Elvan hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh lagi ke belakang, sambil terus melangkahkan kakinya meninggalkan dapur.

Setelah pria itu hilang dari pandangannya, Aya hanya bisa menghembuskan napasnya lega. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi berhadapan dengannya membuat ia merasa tegang.

“Maaf Non, Tuan memang seperti itu…” tiba-tiba terdengar suara Bi Enah membuyarkan lamunannya.

Aya menoleh pada Bi Enah kemudian tersenyum, “Enggak Bi, saya ngerti kok, saya kan hanya orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah miliknya. Kalau saya di posisi dia-pun pasti saya akan melakukan hal yang sama,” sahut Aya dengan ramah.

“Non mau ke mana? Nanti saya tunjukkan jalannya,” ujar Bi Enah lagi.

“Penginapan yang dekat di mana, Bi? Saya mau ke sana saja,” sahut Aya.

Bi Enah mengangguk.

***

“Dekat??” tanya Aya pada dirinya sendiri, “Apa nya yang dekat?? Ini sih jauh bangett!!” gurutunya pelan seraya terus berjalan menyeret koper besarnya.

Sejauh matanya memandang hanya hamparan kebun teh dan pepohonan saja. Jalan yang di laluinya juga hanyalah jalan setapak yang tidak di aspal sama sekali, dan hanya muat untuk di lewati satu mobil.

Dari kejauhan tampak beberapa pemetik daun teh yang sedang bekerja memetik teh.

Padahal baru jalan tidak seberapa jauh, tapi kakinya mulai terasa pegal. Di belakangnya tampak villa yang tadi di tinggalkannya terlihat sudah kecil. Entah berapa jarak dari villa ke tempatnya berdiri saat ini. Dan di sekitar villa tidak ada bangunan yang lainnya lagi.

“Benar-benar terpencil…” gumamnya pelan.

Keringat mulai bercucuran di tubuhnya, bahkan keningnya tampak sudah basah dengan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya.

Berjalan sejauh ini dengan menyeret koper yang besar dan berat bukanlah pekerjaan yang mudah.

“Ini karena aku jarang berolah raga, tapi bagaimana aku punya waktu untuk berolah raga di rumah, jika banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan,” gumamnya lagi.

“Dan bagaimana bisa semalam aku berjalan sejauh itu di kegelapan?!” ucapnya lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Bahkan ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa terdampar sejauh ini.

“Aku lelah…” serunya kemudian. Aya membaringkan koper besarnya sembarangan di tengah jalan, bahkan ia tak peduli jika kini ia berada di tengah-tengah jalan. Lagipula sejak tadi tak ada kendaraan yang lewat satupun.

“Haaa…” Aya mendesah pelan saat ia mendudukkan dirinya di atas koper miliknya.

“Kakiku pegal, ya ampunn…”

***

Elvan hanya berdiri di lantai atas, tepat di ruang kerjanya. Dari balik jendela ia bisa melihat wanita itu tampak berpamitan dengan Bi Enah. Kemudian berjalan meninggalkan tempatnya dengan menyeret koper miliknya yang besar.

Wanita itu tampak berjalan semakin menjauh, ia terus berjalan kaki dengan menyeret kopernya. Melewati jalan yang membelah kebun teh yang terhampar luas di depannya.

Akhirnya Elvan menatapnya acuh tak acuh dan tak peduli dengan wanita itu lagi, ia membalik tubuhnya dan kembali duduk di kursi kerjanya, mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda.

Elvan tidak suka ada orang asing yang masuk ke tempatnya, ia tidak mau mengambil resiko. Bisa saja wanita itu memiliki niat jahat atau dia memang suruhan kedua orang tuanya untuk mengajaknya kembali ke Jakarta.

Karena sikap tidak pedulinya, bahkan Elvan tidak memperkenalkan dirinya dan bertanya siapa namanya pada wanita itu.

Elvan kembali memeriksa laporan yang dikirimkan oleh Andrew--asistennya di Jakarta yang kini tengah menggantikan dirinya. Laporan itu baru sampai di emailnya beberapa menit yang lalu.

Meski ia dalam pengasingan tapi ia tak lepas untuk memantau perusahaannya.

Sekitar 2 jam kemudian akhirnya Elvan bisa bernapas lega, semua pekerjaan telah selesai, bahkan matahari di luar sana sudah semakin tinggi, dan dari kejauhan beberapa pekerja di kebun tampak sudah tersisa segelintir orang saja.

Masih ada waktu sekitar 2 jam lagi hingga waktu makan siang tiba. Tapi perutnya masih terasa penuh karena sarapan yang ia makan pagi tadi.

Ponselnya berdering, sepintas ia menatap layar ponselnya tersebut untuk melihat siapa yang menghubunginya.

“Ck!” decaknya ketika nama Andrew terpampang di layar ponselnya tersebut.

Dengan cepat Elvan meraihnya kemudian mengangkat panggilan tersebut. “Bukannya laporan udah Gue kirim barusan?” decak Elvan terdengar tak suka begitu terdengar suara Andrew dari seberang sana.

“...”

“Gak, Ndrew! Lo aja yang tanda tangan dan temui mereka, Lo itu wakil Gue, harusnya cukup Lo aja yang datang!”

“...”

“Gak ada bantahan, cukup!” seru Elvan kemudian langsung menutup panggilan tersebut.

Terlihat wajahnya tidak suka, apalagi saat ponselnya kembali berdering. Dengan cepat Elvan menolak panggilan dari Andrew dan mematikan ponselnya. Ia sama sekali tak ingin terganggu oleh siapapun.

Apalagi pekerjaan di Jakarta yang mengharuskannya datang untuk langsung berhadapan dengan klien baru mereka.

Andrew mengatakan jika ia berhasil mendapatkan kerja sama dengan perusahaan besar dari luar negeri. Tapi, wakil perusahaan tersebut ingin bertemu langsung dengan Elvan.

Tentu saja Elvan menolaknya, karena ia masih enggan untuk kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini.

Elvan turun ke lantai satu, kemudian meraih kunci motornya. Ia berniat untuk berkeliling dia area sekitar villa untuk menghilangkan rasa jenuh dan kesalnya. Dan mungkin ia akan membeli sesuatu di pasar sana yang jaraknya cukup jauh dari villa.

-To Be Continue-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status