Elvan duduk di kursi tepat di hadapan wanita itu.
“Oh---” wanita itu tampak terkejut dengan tindakan Elvan yang tiba-tiba duduk di hadapannya, seraya mengangkat sedikit wajahnya.
Kesempatan itu tidak Elvan sia-siakan untuk menelisik penampilan wanita itu dengan lebih seksama. Wajah wanita ini tampak cantik, meski ia melihat ada luka kecil di wajahnya yang tidak ia lihat semalam.
‘Mungkin luka karena tersungkur ke tanah semalam, saat ia pingsan,’ tebak Elvan dalam hatinya.
‘Dia terlihat seperti wanita terpelajar, bukan wanita penggoda yang akan sengaja dikirimkan oleh kedua orang tuaku! Ck! Tapi apa peduliku!’ dengus Elvan kemudian.
Tatapan Elvan tetap dengan penuh selidik, tapi masih terlihat ramah, “Apa urusanmu datang ke sini?” tanyanya kemudian.
Wanita itu tampak terkejut dan sedikit kikuk, “Saya--ya…” jawab wanita itu terbata terhadap pertanyaan Elvan.
Kemudian wanita tampak tersenyum ragu, “Semalam saya… hmm… mencari penginapan…”
“Dan ini bukan penginapan!” ketus Elvan.
“Hmm, saya tahu. T-tapi semalam saya berpikir begitu…” jawabnya terlihat merasa bersalah.
Aya merasa malu dan tampak terlihat bodoh di depan pria dengan wajah yang terlihat tegang dan tegas ini, bahkan ia sama sekali tak berani untuk menatap matanya.
“Penginapan berada beberapa kilo meter dari sini, bagaimana kau bisa terdampar begitu jauh sampai ke sini?” Elvan masih penasaran, dan merasa tetap percaya jika wanita ini berbohong dan hanya suruhan dari orang tuanya saja.
Kening Aya tampak berkerut, mencoba mengingat-ingat bagaimana ia bisa tersesat hingga sejauh ini.
Tapi kemudian ia menggeleng, “Pengemudi ojek itu yang mengantarku…” jawabnya menggantung.
Elvan bingung dengan jawaban wanita itu, kedua alisnya menaut.
Bersamaan dengan itu, kopi miliknya sudah jadi dan di sajikan oleh Bi Enah di hadapannya. Elvan berdiri dari duduknya dan meraih cangkir kopi tersebut.
“Setelah kau menghabiskan makananmu kau boleh pergi, aku tidak menerima tamu untuk saat ini,” ucap Elvan dengan dingin.
Wanita itu tampak berdiri dari duduknya, kemudian sedikit membungkukkan tubuhnya.
“Saya akan segera pergi, terima kasih atas kebaikan Anda,” sahut wanita itu dengan sopan dan bibirnya agak sedikit bergetar. Antara takut atau merasa kedinginan, karena suhu di daerah ini begitu sangat dingin di pagi hari.
Elvan hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh lagi ke belakang, sambil terus melangkahkan kakinya meninggalkan dapur.
Setelah pria itu hilang dari pandangannya, Aya hanya bisa menghembuskan napasnya lega. Ia tidak tahu siapa pria itu, tapi berhadapan dengannya membuat ia merasa tegang.
“Maaf Non, Tuan memang seperti itu…” tiba-tiba terdengar suara Bi Enah membuyarkan lamunannya.
Aya menoleh pada Bi Enah kemudian tersenyum, “Enggak Bi, saya ngerti kok, saya kan hanya orang asing yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah miliknya. Kalau saya di posisi dia-pun pasti saya akan melakukan hal yang sama,” sahut Aya dengan ramah.
“Non mau ke mana? Nanti saya tunjukkan jalannya,” ujar Bi Enah lagi.
“Penginapan yang dekat di mana, Bi? Saya mau ke sana saja,” sahut Aya.
Bi Enah mengangguk.
***
“Dekat??” tanya Aya pada dirinya sendiri, “Apa nya yang dekat?? Ini sih jauh bangett!!” gurutunya pelan seraya terus berjalan menyeret koper besarnya.
Sejauh matanya memandang hanya hamparan kebun teh dan pepohonan saja. Jalan yang di laluinya juga hanyalah jalan setapak yang tidak di aspal sama sekali, dan hanya muat untuk di lewati satu mobil.
Dari kejauhan tampak beberapa pemetik daun teh yang sedang bekerja memetik teh.
Padahal baru jalan tidak seberapa jauh, tapi kakinya mulai terasa pegal. Di belakangnya tampak villa yang tadi di tinggalkannya terlihat sudah kecil. Entah berapa jarak dari villa ke tempatnya berdiri saat ini. Dan di sekitar villa tidak ada bangunan yang lainnya lagi.
“Benar-benar terpencil…” gumamnya pelan.
Keringat mulai bercucuran di tubuhnya, bahkan keningnya tampak sudah basah dengan keringat yang mulai mengalir di pelipisnya.
Berjalan sejauh ini dengan menyeret koper yang besar dan berat bukanlah pekerjaan yang mudah.
“Ini karena aku jarang berolah raga, tapi bagaimana aku punya waktu untuk berolah raga di rumah, jika banyak pekerjaan yang harus ku kerjakan,” gumamnya lagi.
“Dan bagaimana bisa semalam aku berjalan sejauh itu di kegelapan?!” ucapnya lagi seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.
Bahkan ia sendiri tidak mengerti mengapa bisa terdampar sejauh ini.
“Aku lelah…” serunya kemudian. Aya membaringkan koper besarnya sembarangan di tengah jalan, bahkan ia tak peduli jika kini ia berada di tengah-tengah jalan. Lagipula sejak tadi tak ada kendaraan yang lewat satupun.
“Haaa…” Aya mendesah pelan saat ia mendudukkan dirinya di atas koper miliknya.
“Kakiku pegal, ya ampunn…”
***
Elvan hanya berdiri di lantai atas, tepat di ruang kerjanya. Dari balik jendela ia bisa melihat wanita itu tampak berpamitan dengan Bi Enah. Kemudian berjalan meninggalkan tempatnya dengan menyeret koper miliknya yang besar.
Wanita itu tampak berjalan semakin menjauh, ia terus berjalan kaki dengan menyeret kopernya. Melewati jalan yang membelah kebun teh yang terhampar luas di depannya.
Akhirnya Elvan menatapnya acuh tak acuh dan tak peduli dengan wanita itu lagi, ia membalik tubuhnya dan kembali duduk di kursi kerjanya, mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda.
Elvan tidak suka ada orang asing yang masuk ke tempatnya, ia tidak mau mengambil resiko. Bisa saja wanita itu memiliki niat jahat atau dia memang suruhan kedua orang tuanya untuk mengajaknya kembali ke Jakarta.
Karena sikap tidak pedulinya, bahkan Elvan tidak memperkenalkan dirinya dan bertanya siapa namanya pada wanita itu.
Elvan kembali memeriksa laporan yang dikirimkan oleh Andrew--asistennya di Jakarta yang kini tengah menggantikan dirinya. Laporan itu baru sampai di emailnya beberapa menit yang lalu.
Meski ia dalam pengasingan tapi ia tak lepas untuk memantau perusahaannya.
Sekitar 2 jam kemudian akhirnya Elvan bisa bernapas lega, semua pekerjaan telah selesai, bahkan matahari di luar sana sudah semakin tinggi, dan dari kejauhan beberapa pekerja di kebun tampak sudah tersisa segelintir orang saja.
Masih ada waktu sekitar 2 jam lagi hingga waktu makan siang tiba. Tapi perutnya masih terasa penuh karena sarapan yang ia makan pagi tadi.
Ponselnya berdering, sepintas ia menatap layar ponselnya tersebut untuk melihat siapa yang menghubunginya.
“Ck!” decaknya ketika nama Andrew terpampang di layar ponselnya tersebut.
Dengan cepat Elvan meraihnya kemudian mengangkat panggilan tersebut. “Bukannya laporan udah Gue kirim barusan?” decak Elvan terdengar tak suka begitu terdengar suara Andrew dari seberang sana.
“...”
“Gak, Ndrew! Lo aja yang tanda tangan dan temui mereka, Lo itu wakil Gue, harusnya cukup Lo aja yang datang!”
“...”
“Gak ada bantahan, cukup!” seru Elvan kemudian langsung menutup panggilan tersebut.
Terlihat wajahnya tidak suka, apalagi saat ponselnya kembali berdering. Dengan cepat Elvan menolak panggilan dari Andrew dan mematikan ponselnya. Ia sama sekali tak ingin terganggu oleh siapapun.
Apalagi pekerjaan di Jakarta yang mengharuskannya datang untuk langsung berhadapan dengan klien baru mereka.
Andrew mengatakan jika ia berhasil mendapatkan kerja sama dengan perusahaan besar dari luar negeri. Tapi, wakil perusahaan tersebut ingin bertemu langsung dengan Elvan.
Tentu saja Elvan menolaknya, karena ia masih enggan untuk kembali ke Jakarta dalam waktu dekat ini.
Elvan turun ke lantai satu, kemudian meraih kunci motornya. Ia berniat untuk berkeliling dia area sekitar villa untuk menghilangkan rasa jenuh dan kesalnya. Dan mungkin ia akan membeli sesuatu di pasar sana yang jaraknya cukup jauh dari villa.
-To Be Continue-
Andrew menitikkan air mata untuk pertama kalinya dalam hidupnya yang bisa ia ingat, saat ia mendengar suara tangisan putrinya yang baru saja lahir ke dunia ini.Kini ia resmi menyandang status sebagai seorang ayah.Ya, anaknya adalah seorang perempuan, sesuai dengan hasil pemeriksaan USG beberapa bulan yang lalu. Hingga dirinya dan Metta menyiapkan segala kebutuhan untuk putri mereka.Baik Andrew ataupun Metta tidak mempermasalahkan apakah mereka akan memiliki seorang putra ataupun putri. Semua anak sama saja, dan mereka akan mencintainya dengan setulus hati. Saat mereka memberitahu hasil USG pada Peter beberapa bulan yang lalu, ia menyambut dengan sangat gembira. Peter dulu sangat menginginkan anak perempuan yang menurutnya sangat menggemaskan jika memakai baju anak yang lucu-lucu tapi istrinya tidak bisa hamil lagi karena ada kanker di rahimnya hingga akhirnya merenggut nyawanya. Peter juga sudah diberitahu perkiraan hari kelahiran cucu perempuannya dan ia akan mengajukan cuti jauh
Selama seminggu ini Andrew berusaha untuk menjadi suami siaga, karena menurut perkiraan Metta akan melahirkan minggu ini. Elvan sendiri memberikan keringanan untuknya agar tidak terlalu lama berada di kantor ataupun datang ke kantor. Andrew hanya datang ke kantor sesekali saja, ia lebih banyak bekerja di apartement dan mengirimkan laporan via email pada Elvan.Bahkan pekerjaan keluar kota ataupun yang agak jauh dari Jakarta, semua di handle oleh Elvan.Seperti biasanya, Andrew saat ini berada di ruang keluarga. Ia menyalakan laptop miliknya dan bekerja di sana. Sesekali ia melakukan panggilan video dengan Elvan atau sekretarisnya, membicarakan pekerjaan mereka.Sedangkan Metta menemani Andrew dengan duduk di sofa, ia menselonjorkan kakinya ke atas sofa yang mulai terasa pegal. Bahkan kakinya tampak sedikit membengkak. Metta sudah tidak bisa banyak bergerak dengan perutnya yang besar, seakan hendak meledak.Metta sedikit meringis, saat ia bergerak untuk mencari posisi yang nyaman untu
Andrew langsung meraih tangan Metta dan menghadangnya, “Mau kemana? Udah duduk aja di sini, kenapa?” seru Andrew pada istrinya.“Aku mau turun, Kak!” seru Metta.Kening Andrew berkerut, “Ke lintasan?” tanyanya hampir tak percaya. Saat ini mereka berdua sedang berada di sirkuit. Karena Metta yang memaksa Andrew untuk menonton balapan yang ada di sirkuit hari ini. Dari pada membuat istrinya kembali sedih seperti beberapa bulan yang lalu, Andrew memilih untuk mengabulkan permintaan istrinya ini.Metta mengangguk antusias, “Iya dong, biar aku bisa liat dengan jelas motor mereka!” ujar Metta seraya menunjuk ke arah seorang pembalap yang masih berdiri di samping motornya dengan seorang mekanik. Pembalap itu tampak membicarakan sesuatu.“Aduhhhh! Itu terlalu dekat, kalau Sayangnya aku keserempet gimana? Aduhhh…” seru Andrew. “Ya gak dong, Kak. Aku kan di pinggir bukan ke tengah lintasan!” ujar Metta.“Gak boleh pokoknya gak boleh! Udah duduk manis aja di sini ya, ini udah keliatan jelas lo
Saat Andrew pulang ke apartement, ia merasa ada yang berbeda dengan istrinya tersebut. Metta menyambut kepulangannya dengan lembut dan seperti biasanya. Tapi, Andrew merasa jika senyuman Metta tampak hambar, bahkan tatapannya tampak kosong.Awalnya Andrew mengira mungkin Metta hanya kelelahan saja. Sejak Metta hamil, Andrew memang terbiasa membawa makan malam dari luar jika ibu mertuanya tidak datang menemani Metta. Karena Mama Hilda yang akan menyiapkan makanan, ia hanya tinggal menghangatkannya saja.Saat makan malampun, Metta masih menjawab setiap pertanyaannya dengan baik. Berbincang seperti biasanya, hanya saja Andrew masih merasa sedikit aneh dengan istrinya tersebut.Hingga sebelum waktu tidur, Andrew membuatkan susu untuk Metta. “Mau tidur sekarang?” tanya Andrew setelah menyimpan gelas bekas minum susu di meja.Metta mengangguk, “Iya, Kak. Aku mau tidur aja, agak ngantuk,” jawab Metta.Andrew mengangguki ucapan Metta, kemudian membantu menyelimuti tubuh Metta. Agar istri dan
Satu bulan berlalu, seharusnya di mana Metta sudah masuk kuliah di semester yang baru. Kini ia hanya bisa diam di dalam apartement. Bahkan hanya untuk keluar apartement dengan berjalan kaki menikmati fasilitas yang ada di gedung ini atau ke pertokoan dan mini market yang ada di sekitar apartement, ia harus lebih dahulu memberitahukan pada Andrew yang berada di kantor. Jika sudah sampai apartement lagi, Andrew pasti akan menghubunginya.Sejak hamil, Andrew juga melarang Metta untuk datang ke cafe Aya kecuali bersama dirinya. Ia tidak mau Metta kelelahan atau terpeleset saat membantu kesibukan di cafe. Andrew memang lebih protektif pada Metta demi kebaikan Metta dan kandungannya.Metta membaringkan tubuhnya di sofa sambil menatap ke arah jendela, ia menghembuskan napas panjangnya dengan tangan yang mulai membelai lembut perutnya. Perutnya masih terlihat rata, tapi beberapa celana mulai terasa sesak ketika di gunakan. Metta sendiri sudah tidak menggunakan celana jeans karena sudah mulai
“Gue hebat, kan? Tiga minggu-an udah jadi!” bangga Andrew pada Elvan, kini mereka berdua berada di taman belakang. Sedangkan yang lainnya menemani Metta di dalam dan mengobrol mengenai kehamilannya. Metta masih sangat muda dan tomboy sehingga Aya, Hilda dan Soraya memberikan ekstra perhatian dan wejangannya. Sementara Aji dan Mahanta ngobrol di ruangan kerja.“Bangga Lu? Gue juga gak lama kali!” dengus Elvan.“Iya emang gak lama, tapi cepetan gue kan?” Andrew masih begitu bangga, “Tokcer banget kan?”“Dih dasar, bukan itu yang harus Lu perhatiin sekarang, tapi kondisi istri Lu sama calon anak Lu!” seru Elvan mengingatkan.“Iyalahh, kalau itu gue dah paham bangettt! Tadi aja abis dari rumah sakit gue udah borong susu hamil banyak-banyak!” seru Andrew.“Bukan cuma itu! Tapi mulai sekarang Lu perhatiin Metta baik-baik, kebutuhan dia juga perhatian dia, biar anak kalian tumbuh dengan baik. Selalu anter Metta juga kalau mau periksa ke dokter,” ujar Elvan.“Gua paham!” seru Andrew.Elvan j