Share

4. Hidup Dengan Nama Baru

Dengan mengendarai motornya Elvan masih di liputi perasaan kesal, semua itu karena permintaan Andrew.

‘Sebagai teman dan wakil seharusnya dia bisa ngerti!’ dengus Elvan dalam hari seraya memacu motornya.

Elvan sudah berada di tengah-tengah kebun teh. Cukup jauh memang jarak dari villa untuk sampai di pemukiman yang lain terutama pasar meski menggunakan motor.

Elvan memacu motornya cukup cepat, begitu sampai di sebuah belokan dengan pohon besar tepat di sisi jalan sebelah kirinya dan sudah jauh dari villanya. Elvan bisa melihat seseorang yang dikenalinya sedang duduk di sana bersama koper besarnya di sampingnya.

Namun, Elvan tampak acuh meski mata mereka saling bertemu meski sesaat. Elvan yakin, wanita yang di temukannya pingsan semalam tidak mengenalinya, karen ia menggunakan helmnya. Hingga ia pergi begitu saja meninggalkan tempat tersebut.

Selama beberapa bulan ini, Elvan memang sedikit mulai bisa mengontrol emosinya. Hanya saja ia memang masih enggan untuk kembali ke Jakarta. Meski Andrew mengatakan hal yang penting agar ia kembali.

Elvan akan melampiaskan rasa kesalnya dengan berkeliling. Menyegarkan mata dan pikirannya untuk sesaat.

***

Dalam lamunannya Aya mendengar suara mesin motor yang menderu, dengan spontan ia menoleh pada arah sumber suara itu berasal. Dan benar saja, ia melihat sebuah motor dari kejauhan yang mendekat ke arahnya.

Sebuah senyum kecil terbersit di bibirnya, berharap ia bisa meminta tolong pengemudi tersebut untuk membawanya keluar dari tempat ini. Menuju jalan besar agar ia mudah untuk mencari kendaraan umum dan menemukan tempat penginapan untuknya tinggal beberapa saat.

Tapi, sayangnya Aya harus menelan kekecewaan saat motor tersebut melaju melewatinya begitu saja dengan cepat. Aya sempat menatap pengendara tersebut, dan mata mereka sempat bertemu. Tapi orang tersebut sepertinya enggan untuk membantu, meski ia sudah memasang wajah meminta pertolongan.

“Yah…” Aya mendengus pelan.

“Sepertinya aku memang harus meneruskan perjalananku dengan berjalan kaki,” gumamnya pelan.

Aya melirik jam di tangannya, rupanya sudah pukul 10 pagi. Dan matahari sudah meninggi, udara dingin sudah mulai menguar sedikit demi sedikit digantikan suhu yang hangat karena cahaya matahari yang langsung menerpa kulitnya.

Aya kembali bangkit dari duduknya, dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya kembali. Jika semakin siang pasti akan semakin terasa panas.

“Ini saja sudah membuatku cukup berkeringat…” gumamnya pelan, tangannya kembali meraih kopernya dan mulai berjalan kembali.

***

Elvan menyodorkan segelas air putih di depan tamunya tersebut terlihat wajah tamunya tampak masih begitu shock.

“Kau tenanglah, kau sudah aman,” Elvan mencoba menenang wanita tersebut.

Wanita itu menenggadahkan wajahnya untuk menatap Elvan, keraguan jelas terlihat di wajahnya yang masih tampak pucat.

“T-terima kasih…” ucapnya dengan bibir gemetar, tangannya yang terlihat gemetar mulai meraih gelas tersebut dan meminumnya.

Elvan yakin, apa yang terjadi beberapa menit yang lalu masih membuat wanita inti shock dan ketakutan.

Elvan menarik napas, “Kau lapar?”

“Lapar?” tanya Aya, tapi mulutnya seakan ingin mengatakan sesuatu tapi ia tampak ragu. Apa yang menimpanya barusan benar-benar mengerikan. Untung saja ada seseorang yang menolongnya, sama seperti tadi malam, orang yang sama yang sudah menolongnya dua kali.

Elvan mengangguk.

Aya dengan cepat menggeleng, “Tidak, ini sudah cukup bagiku, terima kasih…”

Elvan berpikir sejenak, tapi kemudian ia segera bangkit dari duduknya dan berjalan menuju dapur. Membuka lemari es nya mencari makanan yang bisa disuguhkan pada tamunya tersebut.

Ada camilan di dalam lemari esnya dan Elvan mengambil beberapa cemilan tersebut kemudian ia kembali menghampiri wanita itu, dan langsung menaruh nya di atas meja.

Elvan harus melakukannya sendiri, karena Bi Enah sudah pergi meninggalkan villa tadi sesaat sebelum ia pergi. Bi Enah ada urusan mendadak hingga harus pulang lebih cepat hari ini.

“Akhir-akhir ini di daerah ini cukup rawan, ku pikir hanya terjadi pada malam hari saja, tidak dengan siang hari seperti ini,” ujar Elvan mengawali percakapan setelah duduk kembali.

Tampak bahu wanita itu sedikit bergetar dan hanya menundukkan kepalanya. Elvan bisa menyadarinya, dan mengerti dengan perasaan yang di rasakannnya saat ini, setelah apa yang menimpanya tadi.

Saat Elvan hendak kembali ke villa, begitu keluar dari jalan besar dan masuk ke jalan setapak ia menemukan wanita yang di tolongnya semalam sedang berusaha melawan dua orang pria muda yang hendak mengambil barang-barang dengan paksa.

Awalnya Elvan ingin mengacuhkannya, tapi ia tak bisa membiarkannya begitu saja. Hingga ia langsung turun dari motornya dan berusaha menolongnya.

“Ah, begitu rupanya,” cicit Aya pelan hampir tidak terdengar.

“Apa kau ingin ku antar ke kantor polisi untuk melaporkan kejadian yang sudah menimpamu?” tanya Elvan.

Tapi dengan cepat Aya menggeleng, dan ini menimbulkan sedikit kecurigaan di dalam diri Elvan. Aya menyadarinya.

“Maksudku, Tuan…” suara Aya terdengar ragu, “Hmm, terima kasih sebelumnya, tapi ku rasa itu tidak perlu, aku tidak terluka dan tidak ada barang-barang yang hilang, ku rasa itu tidak perlu.”

Hanya itu saja yang bisa Aya katakan, karena tak mungkin ia bisa mengatakan alasan yang sesungguhnya.

Aya yakin kini suami dan keluarga sudah menyadari dirinya yang sudah tidak ada di sana. Besar kemungkinan mereka sudah melaporkan dirinya yang menghilang pada polisi. Karena sudah lebih dari 24 jam dia pergi dari rumahnya.

Jika melaporkan kejadian tadi, pasti Aya harus menggunakan kartu identitasnya untuk melapor. Jika sampai identitasnya di ketahui maka pelariannya akan sia-sia.

“Oh… baiklah…” sahut Elvan kemudian.

“Kau nikmati saja makanan dan minummu, jika sudah tenang aku akan mengantarkanmu ke kota,” ujar Elvan kemudian.

“Hmm, terima kasih,” sahut Aya pelan seraya mengangguk.

“Ngomong-ngomong siapa namamu? Aku tidak enak hanya memanggilmu ‘kau’ saja padamu,” tanya Elvan sesaat sebelum meninggalkan wanita itu sendirian.

Wanita itu tampak menatap padanya dengan ragu sesaat sebelum membuka mulutnya, “Zanitha, Kana Zanitha!” jawab Aya cepat. Dan hanya itu namanya yang terlintas di benaknya.

“Baiklah, Kana, Aku Elvan.” Tanpa menyebut nama panjangnya, “Aku akan kembali ke ruang kerjaku dan menyelesaikan pekerjaanku. Setelah itu aku akan mengantarmu ke kota.”

Aya mengangguk pelan. Ia cukup lega karena pria bernama Elvan itu tidak mencurigai nama palsu yang diberikannya. Aya tidak mau mengambil resiko, jika sampai pria itu tahu siapa dirinya. Maka dari itu, mulai saat ini ia akan mencoba untuk hidup dengan nama barunya.

Aya mengamati punggung Elvan yang mulai menjauh darinya dan tak lama kemudian menghilang di tangga.

‘Dua hari sangat berat untukku!’ gumam Aya dalam hati.

Setelah kemarin dengan susah payah ia melarikan diri dari rumah keluarga besarnya, dan tadi ia hampir saja menjadi korban perampokan dengan kekerasan. Jika tidak ada pria itu, Aya sendiri tidak mau membayangkan apa yang saat ini terjadi padanya.

Aya memegang pergelangan tangan kirinya yang terasa sakit. Pergelangannya sakit setelah ia mencoba mempertahankan tas miliknya, di mana di dalam tasnya terdapat uang dan kartu identitas miliknya beserta beberapa barang berharga lainnya yang sempat ia bawa dari rumah.

Belum sembuh luka-luka di tubuhnya, kini harus di tambah dengan rasa sakit di pergelangan tangannya.

‘Tidak, Aya. Kau harus kuat, kau sudah membulatkan tekadmu untuk kabur, dan kau tidak bisa kembali lagi ke rumah yang terasa seperti neraka itu!’ serunya dalam hati.

Kemudian Aya menghela napas panjangnya, ia kemudian meraih gelas yang sudah berisi air minum yang tadi disuguhkan oleh pria itu. Dengan perlahan ia mengambilnya, tapi sebelum meminumnya Aya terlebih dahulu mengendusnya, berharap tidak ada racun atau apapun di dalamnya.

Aya tersenyum miring, “Bodoh, tidak mungkin ada racunnya. Dia sudah menolongku dua kali…” ujar Aya sangat pelan kemudian meminum minuman tersebut.

Di lantai 2 Elvan mencoba memperhatikan gerak-gerik dari wanita tersebut.

Elvan baru menyadari, jika wanita itu mungkin tidak mempercayai dirinya. Tapi ia sadar setelah apa yang menimpa padanya, mungkin semua orang akan melakukan hal yang sama. Termasuk dirinya.

- To be Continue -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status