Share

5. Tunggu Saja

Elvan kembali ke dalam ruang kerjanya dan kembali memeriksa emailnya, ada beberapa percakapan singkat yang ia terima di emailnya yang berasal dari Andrew. Andrew tetap memintanya untuk kembali ke Jakarta meski hanya sesaat, ia juga menjabarkan alasan-alasan kuat atas keinginannya tersebut.

Elvan hanya bisa berdecak malas. “Lo ngirim banyak email karena Lo gak bisa hubungi hape gue, kan?”

Setelah menerima panggilan Andrew, Elvan langsung menonaktifkan ponselnya. Sampai saat ini, dan ia belum ada niat untuk menyalakannya kembali.

Elvan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya, seraya menatap keluar jendela besar yang menghadap kebun teh yang tampak terang, karena matahari yang sudah sangat terik. Sesekali ia menghela napasnya.

Ia menatap jauh hingga ke ujung kebun teh dengan tatapan tak terbacanya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya tentang siapa wanita yang berada di dalam rumahnya kini. Tapi, dari gerak-geriknya Elvan sedikit yakin jika wanita itu tidak berkaitan dengan kedua orang tuanya. Meski kedatangannya bersamaan dengan permintaan Andrew yang memintanya untuk kembali ke Jakarta.

“Memang sedikit mencurigakan…”

Beberapa kali Elvan memperhatikan wanita itu, wanita itu tampak takut-takut, dan seakan tak berani menatap langsung matanya. Padahal meski tidak menerima tamu di rumahnya, tapi Elvan tidak memiliki niat yang jahat sama sekali. Tapi, tetap saja wanita itu memasang sikap waspada padanya, gerak tubuhnya memancarkan jika ia sedang ketakutan.

“Mungkin wajar, karena tadi dia hendak menjadi korban kejahatan,” gumamnya pelan.

Tapi, jika diingat-ingat lagi. Wanita itu sama ketakutannya seperti tadi pagi.

“Ck! Sudahlah itu gak penting…”

Kemudian Elvan kembali berkutat dengan laptopnya lagi untuk beberapa saat, hingga sekitar setengah jam kemudian semua urusannya selesai. Elvan memutuskan untuk kembali ke bawah dan menemui wanita bernama Kana itu, kemudian mengantarnya ke kota dan mencarikannya penginapan.

Setelah mengganti pakaiannya, Elvan segera turun. Namun, ia benar-benar terkejut. Posisi duduk Kana yang tadi duduk dengan biasa di atas sofa kini sudah melorot. Kana tampak meringkuk di atas sofa dengan mata yang terpejam, dengan tangan yang di jadikan sandaran kepalanya seolah itu adalah bantal.

‘Apa dia tertidur?’ tanya Elvan dalam hatinya terheran-heran. Tapi setelah diperhatikan dengan seksama, Elvan yakin jika wanita itu benar-benar tertidur.

Dari matanya Elvan bisa melihat jika wajah wanita itu menampakkan keletihan, bisa saja ia tertidur ketika menunggu dirinya.

Tapi Elvan berniat untuk membangunkannya, dan segera mengantarnya pergi dari sini. Elvan melangkah mendekati wanita yang terbaring tersebut, namun baru dua langkah. Tiba-tiba saja wanita itu membuka matanya, dan langsung menatapnya hingga mata mereka beradu. Dengan cepat Kana membangunkan dirinya dan kembali pada posisi duduk.

“M-maafkan aku…” ujar Kana takut-takut seraya menggeser duduknya agar lebih menjauhi Elvan yang masih berdiri dan menatapnya. Kemudian ia menundukkan wajahnya. Kana merasa malu sekaligus takut.

Kana tampak diam tak mengatakan apa-apa lagi, ia sempat memainkan tangannya untuk melerai kecanggungan yang sedang ia rasakan. Tapi kemudian ia sedikit meringis saat tanpa sengaja menyentuh pergelangan tangannya yang terkilir.

“Kau belum mengobatinya?” tanya Elvan kemudian, karena dari matanya ia bisa melihat jika pergelangan tangan wanita itu sebelah kiri tampak sedikit merah dan bengkak. Ia ingat jika tadi ia sempat melihat jika kedua pria yang berniat jahat itu menarik paksa tangan kirinya.

Kana sedikit mendongak dan menatap Elvan tapi dengan cepat ia kembali menunduk seraya menggeleng. “B-belum, aku tidak membawa obat apapun,” sahutnya.

Elvan tidak menjawab, tapi ia segera memutar tubuhnya dan melangkah menuju dapur. Elvan meraih kotak obat yang tersimpan di kotak obat yang menempel di dinding dapurnya. Kemudian kembali mendatangi wanita itu.

“Pakai saja, ku rasa ada salep atau cream untuk luka terkilir,” ucap Elvan seraya menyodorkan kotak tersebut pada Kana.

Dengan ragu-ragu Kana meraihnya dengan tangan kanannya, “Terima kasih.”

“Hmm…” sahut Elvan singkat kemudian ia duduk di sofa yang berseberangan dengan wanita itu.

Wanita itu tampak semakin canggung di bawah tatapan Elvan, tapi Kana merasa tangannya yang terasa semakin sakit hingga ia tidak memperdulikan tatapan itu untuk sesaat. Ia segera membuka kotak obat tersebut dan mencari salepnya.

Setelah menemukannya ia langsung mengoleskannya pada pergelangan tangannya yang terkilir dan memijat-mijatnya lembut agar salep tersebut lebih cepat terserap.

“Terima kasih, Tuan…” ujar wanita itu seraya menyimpan kotak obat itu di atas meja.

“Bukan masalah,” sahut Elvan.

“Di mana Bi Enah?” tanya Kana basa-basi. Ia bertanya hanya untuk menghilangkan ketegangan yang ia rasakan saat ini di bawah tatapan tajam pria yang ada di hadapannya.

“Sudah pulang,” jawab Elvan singkat.

“Oh…” sahut Kana singkat, “Hmm, apa boleh aku meminjam telepon rumahmu? Ku rasa aku akan memanggil taksi saja dari sini, maafkan aku ponselku kehabisan daya…” sesal Kana.

Elvan mengerutkan keningnya, ia ingat jika ia sudah menawarkan diri untuk mengantar wanita ini ke kota. Tapi wanita ini seakan enggan menerimanya, bahkan ia terlihat begitu menghindari tatapannya.

“Pakai saja, tapi aku tidak menjamin jika kau akan mendapatkan taksi dengan cepat di tempat seperti ini,” balas Elvan.

Kana mengangguk, “Terima kasih, tapi aku akan mencobanya,” sahut Kana seraya menatap Elvan untuk meminta persetujuannya menggunakan telepon rumah miliknya sekarang.

Setelah Elvan mengangguk, Kana langsung berdiri dan berjalan menuju telepon rumah itu berada.

Kana langsung menghubungi nomor penerangan yang tertera di kertas kecil di dekat telepon untuk mendapatkan nomor dari perusahaan taksi.

Kana kembali menoleh pada Elvan, “Ini di mana?” tanya Kana ragu, karena ia lupa jika ia tidak tahu tepatnya kini dirinya berada.

Elvan menjawab dan memberikan detail lokasi mereka saat ini pada Kana. Setelah terhubung dengan perusahaan taksi, Kana langsung menyebutkan lokasi sesuai yang diberitahukan oleh Elvan.

Perusahaan taksi tersebut memberitahu jika mereka akan mengirimkan taksi paling lambat dalam waktu 40 menit ke tempatnya.

“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena sudah banyak menolong saya,” ujar Kana dengan tulus.

Elvan hanya mengangguk. Dan setelah itu kembali terjadi keheningan di antara mereka. Hingga 20 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan taksi yang di pesannya. Kana sedikit khawatir mengenai hal tersebut.

Tapi ia tetap optimis jika taksi tersebut akan datang.

Dan kini 40 menit sudah berlalu, taksi itu tak kunjung datang juga.

“Sudah ku katakan, sulit untuk mendapatkan taksi dari sini. Kau tidak tahu sejauh apa tempat ini dari kota,” ujar Elvan.

“M-maaf, aku memang tidak tahu. Tapi mungkin sebentar lagi taksi akan datang,” Kana berusaha tetap optimis.

“Ya,” Elvan tersenyum datar. “Tunggu saja sampai taksi itu datang,” lanjutnya seraya berdiri, dan kemudian meninggalkan Kana sendirian.

Elvan kembali ke lantai atas menuju kamarnya. Elvan merasa wanita itu sedikit keras kepala, meski ia sudah memberitahunya jika tidak mungkin taksi mau datang ke tempat terpencil seperti ini. Ia sudah lama tinggal di sini dan ia sudah sangat tahu dengan hal tersebut.

Elvan pergi meninggalkan wanita itu sendirian  lagi, karena ia merasa canggung berada terlalu lama dengan orang asing. Ia sudah terbiasa hidup sendirian selama beberapa bulan ini. Kecuali kedua orang yang membantunya mengurus villa miliknya ini.

- To be Continue -

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status