Elvan kembali ke dalam ruang kerjanya dan kembali memeriksa emailnya, ada beberapa percakapan singkat yang ia terima di emailnya yang berasal dari Andrew. Andrew tetap memintanya untuk kembali ke Jakarta meski hanya sesaat, ia juga menjabarkan alasan-alasan kuat atas keinginannya tersebut.
Elvan hanya bisa berdecak malas. “Lo ngirim banyak email karena Lo gak bisa hubungi hape gue, kan?”
Setelah menerima panggilan Andrew, Elvan langsung menonaktifkan ponselnya. Sampai saat ini, dan ia belum ada niat untuk menyalakannya kembali.
Elvan menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya, seraya menatap keluar jendela besar yang menghadap kebun teh yang tampak terang, karena matahari yang sudah sangat terik. Sesekali ia menghela napasnya.Ia menatap jauh hingga ke ujung kebun teh dengan tatapan tak terbacanya. Dalam hatinya ia bertanya-tanya tentang siapa wanita yang berada di dalam rumahnya kini. Tapi, dari gerak-geriknya Elvan sedikit yakin jika wanita itu tidak berkaitan dengan kedua orang tuanya. Meski kedatangannya bersamaan dengan permintaan Andrew yang memintanya untuk kembali ke Jakarta.
“Memang sedikit mencurigakan…”
Beberapa kali Elvan memperhatikan wanita itu, wanita itu tampak takut-takut, dan seakan tak berani menatap langsung matanya. Padahal meski tidak menerima tamu di rumahnya, tapi Elvan tidak memiliki niat yang jahat sama sekali. Tapi, tetap saja wanita itu memasang sikap waspada padanya, gerak tubuhnya memancarkan jika ia sedang ketakutan.
“Mungkin wajar, karena tadi dia hendak menjadi korban kejahatan,” gumamnya pelan.
Tapi, jika diingat-ingat lagi. Wanita itu sama ketakutannya seperti tadi pagi.
“Ck! Sudahlah itu gak penting…”
Kemudian Elvan kembali berkutat dengan laptopnya lagi untuk beberapa saat, hingga sekitar setengah jam kemudian semua urusannya selesai. Elvan memutuskan untuk kembali ke bawah dan menemui wanita bernama Kana itu, kemudian mengantarnya ke kota dan mencarikannya penginapan.
Setelah mengganti pakaiannya, Elvan segera turun. Namun, ia benar-benar terkejut. Posisi duduk Kana yang tadi duduk dengan biasa di atas sofa kini sudah melorot. Kana tampak meringkuk di atas sofa dengan mata yang terpejam, dengan tangan yang di jadikan sandaran kepalanya seolah itu adalah bantal.
‘Apa dia tertidur?’ tanya Elvan dalam hatinya terheran-heran. Tapi setelah diperhatikan dengan seksama, Elvan yakin jika wanita itu benar-benar tertidur.
Dari matanya Elvan bisa melihat jika wajah wanita itu menampakkan keletihan, bisa saja ia tertidur ketika menunggu dirinya.
Tapi Elvan berniat untuk membangunkannya, dan segera mengantarnya pergi dari sini. Elvan melangkah mendekati wanita yang terbaring tersebut, namun baru dua langkah. Tiba-tiba saja wanita itu membuka matanya, dan langsung menatapnya hingga mata mereka beradu. Dengan cepat Kana membangunkan dirinya dan kembali pada posisi duduk.
“M-maafkan aku…” ujar Kana takut-takut seraya menggeser duduknya agar lebih menjauhi Elvan yang masih berdiri dan menatapnya. Kemudian ia menundukkan wajahnya. Kana merasa malu sekaligus takut.
Kana tampak diam tak mengatakan apa-apa lagi, ia sempat memainkan tangannya untuk melerai kecanggungan yang sedang ia rasakan. Tapi kemudian ia sedikit meringis saat tanpa sengaja menyentuh pergelangan tangannya yang terkilir.
“Kau belum mengobatinya?” tanya Elvan kemudian, karena dari matanya ia bisa melihat jika pergelangan tangan wanita itu sebelah kiri tampak sedikit merah dan bengkak. Ia ingat jika tadi ia sempat melihat jika kedua pria yang berniat jahat itu menarik paksa tangan kirinya.
Kana sedikit mendongak dan menatap Elvan tapi dengan cepat ia kembali menunduk seraya menggeleng. “B-belum, aku tidak membawa obat apapun,” sahutnya.
Elvan tidak menjawab, tapi ia segera memutar tubuhnya dan melangkah menuju dapur. Elvan meraih kotak obat yang tersimpan di kotak obat yang menempel di dinding dapurnya. Kemudian kembali mendatangi wanita itu.
“Pakai saja, ku rasa ada salep atau cream untuk luka terkilir,” ucap Elvan seraya menyodorkan kotak tersebut pada Kana.
Dengan ragu-ragu Kana meraihnya dengan tangan kanannya, “Terima kasih.”
“Hmm…” sahut Elvan singkat kemudian ia duduk di sofa yang berseberangan dengan wanita itu.
Wanita itu tampak semakin canggung di bawah tatapan Elvan, tapi Kana merasa tangannya yang terasa semakin sakit hingga ia tidak memperdulikan tatapan itu untuk sesaat. Ia segera membuka kotak obat tersebut dan mencari salepnya.
Setelah menemukannya ia langsung mengoleskannya pada pergelangan tangannya yang terkilir dan memijat-mijatnya lembut agar salep tersebut lebih cepat terserap.
“Terima kasih, Tuan…” ujar wanita itu seraya menyimpan kotak obat itu di atas meja.
“Bukan masalah,” sahut Elvan.
“Di mana Bi Enah?” tanya Kana basa-basi. Ia bertanya hanya untuk menghilangkan ketegangan yang ia rasakan saat ini di bawah tatapan tajam pria yang ada di hadapannya.
“Sudah pulang,” jawab Elvan singkat.
“Oh…” sahut Kana singkat, “Hmm, apa boleh aku meminjam telepon rumahmu? Ku rasa aku akan memanggil taksi saja dari sini, maafkan aku ponselku kehabisan daya…” sesal Kana.
Elvan mengerutkan keningnya, ia ingat jika ia sudah menawarkan diri untuk mengantar wanita ini ke kota. Tapi wanita ini seakan enggan menerimanya, bahkan ia terlihat begitu menghindari tatapannya.
“Pakai saja, tapi aku tidak menjamin jika kau akan mendapatkan taksi dengan cepat di tempat seperti ini,” balas Elvan.
Kana mengangguk, “Terima kasih, tapi aku akan mencobanya,” sahut Kana seraya menatap Elvan untuk meminta persetujuannya menggunakan telepon rumah miliknya sekarang.
Setelah Elvan mengangguk, Kana langsung berdiri dan berjalan menuju telepon rumah itu berada.
Kana langsung menghubungi nomor penerangan yang tertera di kertas kecil di dekat telepon untuk mendapatkan nomor dari perusahaan taksi.
Kana kembali menoleh pada Elvan, “Ini di mana?” tanya Kana ragu, karena ia lupa jika ia tidak tahu tepatnya kini dirinya berada.
Elvan menjawab dan memberikan detail lokasi mereka saat ini pada Kana. Setelah terhubung dengan perusahaan taksi, Kana langsung menyebutkan lokasi sesuai yang diberitahukan oleh Elvan.
Perusahaan taksi tersebut memberitahu jika mereka akan mengirimkan taksi paling lambat dalam waktu 40 menit ke tempatnya.
“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih karena sudah banyak menolong saya,” ujar Kana dengan tulus.
Elvan hanya mengangguk. Dan setelah itu kembali terjadi keheningan di antara mereka. Hingga 20 menit berlalu, tidak ada tanda-tanda kedatangan taksi yang di pesannya. Kana sedikit khawatir mengenai hal tersebut.
Tapi ia tetap optimis jika taksi tersebut akan datang.
Dan kini 40 menit sudah berlalu, taksi itu tak kunjung datang juga.
“Sudah ku katakan, sulit untuk mendapatkan taksi dari sini. Kau tidak tahu sejauh apa tempat ini dari kota,” ujar Elvan.
“M-maaf, aku memang tidak tahu. Tapi mungkin sebentar lagi taksi akan datang,” Kana berusaha tetap optimis.
“Ya,” Elvan tersenyum datar. “Tunggu saja sampai taksi itu datang,” lanjutnya seraya berdiri, dan kemudian meninggalkan Kana sendirian.
Elvan kembali ke lantai atas menuju kamarnya. Elvan merasa wanita itu sedikit keras kepala, meski ia sudah memberitahunya jika tidak mungkin taksi mau datang ke tempat terpencil seperti ini. Ia sudah lama tinggal di sini dan ia sudah sangat tahu dengan hal tersebut.
Elvan pergi meninggalkan wanita itu sendirian lagi, karena ia merasa canggung berada terlalu lama dengan orang asing. Ia sudah terbiasa hidup sendirian selama beberapa bulan ini. Kecuali kedua orang yang membantunya mengurus villa miliknya ini.
- To be Continue -
“Sudah ku katakan padamu, taksi itu tidak akan datang!” seru Elvan tiba-tiba yang rupanya cukup mengagetkan bagi Kana.Sejak tadi ia sudah menunggu taksi yang di pesannya datang, tapi sudah hampir 1 setengah jam berlalu taksi tersebut tetap saja tidak muncul.Kana merasa malu pada Elvan yang sudah memberitahunya tapi ia tidak percaya.“Maafkan aku…” sesal Kana. Wajahnya tampak muram, tapi bukan hanya itu. Ia juga merasa jika tubuhnya tidak enak. Ia sedikit lemas dan mulai terasa pusing.Elvan tampak memperhatikan Kana, terlihat wajah wanita itu tampak pucat. Dengan cepat ia melirik jam di tangannya. Rupanya waktu makan siang sudah lewat beberapa jam.“Kau terlihat tidak sehat?” tanya Elvan kemudian. Kana hanya mendongak sedikit kemudian menggeleng.“Aku baik-baik saja,” jawabnya pelan.Kana bergerak menjauh ketika Elvan duduk, seolah kedekatan atau keberadaannya membuat wanita itu takut.Hingga sebuah pikiran terbersit di kepalanya, ‘Apa mungkin seseorang sudah menyakiti dan melukainy
Hampir 2 jam berlalu, tapi Kana tetap saja tidak bisa memejamkan matanya. Selain suhu udara yang sangat dingin, beberapa kali kenangan buruk yang sudah menimpanya muncul kembali diingatannya. Kana menghembuskan napas panjang, kemudian ia menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Rasanya matanya langsung saja terasa panas. 'Kenapa nasibku seperti ini...' lirihnya dalam hati. Kana hampir saja meneteskan air matanya, tapi dengan sekuat tenaganya ia berusaha menahannya. "Aku tidak mau lagi menangisi semua itu, aku harus kuat, aku pasti bisa," gumamnya pelan. Kana menggulirkan tubuhnya ke arah kanan kemudian memeluk bantal guling. Ia berusaha kembali mencoba untuk terlelap. Tapi masih saja sulit, sesekali ia menoleh ke arah pintu. Masih ada perasaan was-was dalam dirinya. Ia takut jika pria yang sudah menolongnya dan memberikan tempat untuk tidur malam ini memiliki niat yang jahat. Tapi, kursi yang di simpan untuk menghalangi pintu masih pada tempatnya. Dan tak ada upaya dari luar unt
Kana membuka matanya dengan perlahan, dan melihat langit-langit yang berwarna cokelat kayu. Kini ia ingat sepenuhnya berada di mana, karena sudah 2 malam ia tidur di kamar ini.Saat membangunkan tubuhnya untuk duduk, lagi-lagi rasa sakit di sekujur tubuhnya kembali terasa.Tiba-tiba saja ia kembali teringat pada kejadian dua hari yang lalu, saat mereka semua pergi ke rumah sakit, di saat hanya ada pelayan saja di dalam rumah. Di bantu oleh orang yang dia percaya, Kana melarikan diri dari rumah yang seperti neraka itu hanya dengan bermodalkan pakaian yang mampu ia bawa dalam koper yang besar itu.Tidak berapa lama, ia kabur dari rumah itu. Kana langsung menuju bank untuk mengambil semua uang tabungan dalam rekeningnya yang tidak seberapa. Dalam pelariannya diusahakan untuk tidak menggunakan kartu ATM nya, atau keberadaannya akan mudah di temukan dari transaksi kartu yang ia gunakan.Jika sampai kebera
Kini Kana sudah duduk berhadapan dengan pria bernama Elvan itu, sesekali Kana mengangkat dagunya tapi saat tahu pria itu tengah menatapnya ia segera menundukkan kembali wajahnya.Makanan yang sudah di masak olehnya sudah tersedia di atas meja makan, tapi tak ada dari salah satunya untuk mulai memakan makanan tersebut.Napasnya jadi tidak teratur, meski Elvan memiliki tampang yang rupawan tapi entah mengapa Kana selalu merasa takut dengan tatapannya.‘Aku mulai lapar…’ lirih Kana dalam hati.Kemudian setelah ia mengumpulkan keberaniannya, Kana kembali mengangkat wajahnya. “Aku akan menyiapkan makanan untukmu,” serunya pelan dengan tangan yang mulai mengambil piring untuk menyiapkan makanan bagi Elvan.Tapi, dengan cepat Elvan melarangnya. “Aku masih punya tangan, dan kau hanyalah tamu di sini.”Dengan spontan Kana men
Kana tidak mengerti, mengapa pria ini bisa berpikiran seperti itu padanya, bahkan ia tidak tahu nama belakang Elvan. Bagaimana dia bisa mengenal kedua orang tuanya. Kana benar-benar tidak habis pikir.‘Dan apa aku salah minta pekerjaan padanya? Meski hanya sementara?’ pikir Kana tidak tenang.Tapi mungkin bisa saja pria ini menganggapnya memiliki niat jahat, tidak sering wanita asing tiba-tiba saja datang begitu saja lantas meminta pekerjaan padanya. Pria itu tidak mengenalnya, dan Kana sendiri tidak akan bisa menunjukkan tanda pengenal padanya, karena dia pasti akan tahu, jika tanda pengenal itu tidak tertulis atas nama ‘Kana Zanitha’ nama yang ia karang kemarin, tapi Dayana Ekavira.Saat ini dirinya hanya bisa menyesal karena sudah menawarkan diri sebagai pengganti Bi Enah untuk sementara waktu.Begitu Elvan menghilang dari pandangannya karena pergi begitu saja meninggalkan Kana, tanpa terasa air matanya mengalir begitu saja.Entah karena perasaan menyesalnya atau karena pria itu t
Kana mendudukkan tubuhnya di sisi tempat tidur seraya menghembuskan napas panjangnya.“Dan aku kembali ke kamar ini lagi…” gumamnya pelan.’Masih ada perasaan malu yang menyelimuti dirinya, saat ia ketahuan berbohong. Pada dasarnya dia memang tidak pandai untuk berbohong.Kana membaringkan tubuhnya, dan memejamkan matanya. Ia akan beristirahat sebentar sebelum kembali menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang akan Elvan lontarkan kembali padanya nanti.Kana yakin, pria itu akan tidak lupa bahwa ia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya darinya. Saat berjalan kembali ke vila, Elvan sempat melontar beberapa pertanyaan lagi padanya.Meski enggan, tapi Kana menjawabnya dan sedikit membubuhkan kebohongan di dalam jawabannya dan berharap Elvan tidak sadar dengan itu.Kana kembali membuka matanya, ia tahu pasti saat ini suami dan keluargan
Elvan memperhatikan Kana yang sedang makan dengan suapan-suapan kecilnya. Dan tak lama kemudian Kana tampak tersedak dengan makanannya dan terbatuk-batuk. Dengan reflek Elvan mendekatkan gelas minum milik Kana.“Minumlah…”Kana segera meraih gelas tersebut dan segera meneguknya.“T-terima kasih…” ujar Kana dengan tulus.Elvan tampak memperhatikan setiap gerak-gerik yang Kana lakukan. Hingga Kana sadar akan tindakan Elvan tersebut, saat menatapnya sekilas.Dan dengan cepat kembali menundukkan wajahnya kemudian memakan kembali makanannya yang masih bersisa.“Apa kau tinggal sendirian?” tanya Kana karena merasa canggung jika hanya diam dan makan saja. “Bi Enah hanya datang pagi dan pulang sore saja, kan?”“Hmm…” Elvan mengangguk.“Di mana istrimu? Apa dia tinggal di sini? Aku harus meminta izin padanya karenatinggal di
Elvan terkejut sekaligus lega, saat melihat wanita itu sudah berdiri di depan pintu. Seakan menunggu kedatangannya. Dan tidak mengerti mengapa ia harus merasa lega saat mengetahui jika wanita itu tidak pergi dari rumahnya saat ia sedang pergi untuk berbelanja.Dengan sigap Kana menghampiri Elvan ketika ia baru saja memarkir mobilnya. Elvan keluar dari dalam mobilnya kemudian membuka pintu bagian belakang dan mulai mengeluarkan kantong belanjaan.“Aku akan membantumu,” seru Kana seraya mengambil alih salah satu kantong belanjaan di tangannya.Meski sedikit risih karena terlalu dekat dengan wanita itu, tapi Elvan langsung menyerahkan kantong belajaan itu, berharap agar mereka kembali berjarak dengan cepat.Setelah dua kantong belanjaan di tangannya, Kana segera masuk ke dalam rumah. Di susul oleh Elvan yang sudah membawa kantong yang lainnya setelah sebelumnya mengunci kembali mobilnya. Dan