Share

2.Pernikahan Tanpa Cinta

Penulis: Salah Adegan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-13 01:33:15

Hari itu, matahari bersinar terang, namun bagi Airin, dunia terasa kelabu. Langit biru seakan mengejeknya, seolah berkata bahwa hari ini adalah hari bahagia—padahal, di hatinya hanya ada sesak dan kehampaan. Pagi pernikahan, yang seharusnya menjadi puncak kebahagiaan seorang perempuan, justru terasa seperti awal dari sebuah penjara.

Sejak subuh, rumahnya sudah ramai. Suara ibu-ibu tetangga yang sibuk mondar-mandir, para saudara yang datang dari jauh, dan kerabat yang sibuk memastikan segala sesuatu berjalan lancar. Wangi bunga melati yang dipasang di setiap sudut bercampur dengan aroma dupa dan wangi-wangian yang menusuk hidung.

Di ruang rias, Airin duduk kaku. Perias bekerja cekatan, jemarinya mengusap bedak, mengoles lipstik, merapikan sanggul.

“Jangan tegang, Nduk,” ucap perias dengan nada lembut, mencoba menghibur. “Hari ini hari paling indah dalam hidupmu. Senyum, ya…”

Airin menatap bayangannya di cermin. Kebaya putih melekat anggun di tubuhnya, wajahnya dirias sempurna, tampak begitu cantik di mata siapa pun. Namun matanya kosong, seperti tak ada cahaya kehidupan di sana. Senyum yang ia coba tarik terasa dipaksa, bahkan membuat perias ikut menunduk, merasakan getir yang tidak terucap.

“Iya, Bu…” jawab Airin pelan, suaranya serak, hampir patah.

Di luar, musik gamelan mengalun lembut, menambah kesyahduan. Tamu-tamu berdatangan dengan wajah penuh senyum. Ucapan selamat, doa, dan tawa terdengar di mana-mana. Semua orang tampak bahagia, kecuali kedua mempelai.

Arlan berdiri di sisi pelaminan, mengenakan jas hitam yang membuatnya tampak gagah dan dewasa. Bagi mata orang banyak, ia adalah calon suami idaman: tampan, mapan, berwibawa. Namun bagi Airin, setiap gerak-geriknya terasa dingin, kaku, seperti boneka tanpa jiwa. Pandangannya tidak pernah benar-benar tertuju padanya.

“Kenapa tatapannya… begitu asing?” batin Airin lirih.

Sesekali Arlan melirik, tapi hanya sekilas, tanpa ekspresi. Seolah pernikahan ini hanyalah sebuah kewajiban, bukan pilihan.

Ketika penghulu memanggil untuk memulai akad, Airin berjalan pelan menuju meja kecil yang dipenuhi bunga melati. Tangannya dingin dan gemetar. Ibunya sempat meraih bahunya.

“Tenang, Nak… semua akan baik-baik saja,” bisik sang ibu dengan senyum dipaksakan.

Airin hanya mengangguk. Hatinya berteriak ingin lari, tapi kakinya terikat oleh restu orang tua dan tradisi yang tak bisa ia lawan.

Arlan duduk di seberangnya. Wajahnya tetap datar, tanpa senyum.

Penghulu mulai membacakan ijab kabul. Semua orang menahan napas.

“Saya terima nikahnya Airin binti Rahmat dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” suara Arlan lantang, tegas, dan jelas.

“SAH!” seru para saksi hampir bersamaan.

Riuh tepuk tangan dan ucapan syukur terdengar dari para tamu. Namun di hati Airin, setiap kata itu terasa seperti palu yang memaku nasibnya.

Saat tangan mereka disatukan, Airin memberanikan diri berbisik lirih.

“Arlan…”

Namun, Arlan hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan. Genggamannya dingin, beku seperti es. Tidak ada kehangatan, tidak ada kasih.

Airin menunduk, menahan gelombang perasaan yang hampir pecah. Ini bukan pernikahan… ini hukuman.

Setelah akad, mereka duduk di pelaminan. Senyum demi senyum harus diberikan pada para tamu yang menyalami mereka.

“Semoga langgeng, ya,” ucap seorang bibi sambil menggenggam tangan Airin erat.

Airin tersenyum tipis. “Aamiin,” jawabnya, meski hatinya terasa hancur.

Di tengah keramaian, matanya mencari sosok Inayah. Kakaknya berdiri agak jauh, mengenakan kebaya biru muda. Senyumnya hambar, matanya berkaca-kaca.

Tatapan mereka bertemu. Hanya sekejap, namun cukup bagi Airin untuk tahu: kakaknya pun terluka.

“Bertahanlah…” bisik Inayah melalui gerakan bibirnya, tanpa suara.

Airin menghela napas panjang. Mengapa harus begini, Kak?

Jam demi jam berlalu. Foto-foto diambil, tawa para tamu terdengar di segala arah, musik mengiringi. Namun hati Airin mati rasa. Ia merasa seperti boneka pengantin yang dipajang, hanya berguna untuk melengkapi pesta.

Sesekali ia mendengar percakapan samar para tamu.

“Cantik sekali pengantinnya, ya.”

“Cocok benar dengan Arlan, gagah dan tampan.”

“Semoga cepat dapat momongan.”

Airin menunduk, mencoba menahan air mata. Mereka tidak tahu…

Menjelang malam, pesta akhirnya usai. Rumah mulai sepi, tamu-tamu pulang satu per satu. Airin dan Arlan dibawa ke kamar pengantin.

Ruangan itu dipenuhi bunga, lilin, dan wewangian. Tapi bagi Airin, semua itu hanya membuat dadanya sesak.

Ia duduk di tepi ranjang, meremas ujung kebayanya. Degup jantungnya tak karuan, bukan karena malu, tapi karena takut.

Pintu kamar terbuka. Arlan masuk, melepas jasnya tanpa berkata apa pun.

Airin memberanikan diri, meski suaranya bergetar. “Arlan… kita… suami istri sekarang.”

Arlan menoleh sebentar, lalu mengalihkan pandangan. “Aku tahu.”

Airin mencoba menarik napas dalam-dalam. “Lalu… bagaimana kita akan menjalaninya?”

Arlan terdiam lama, lalu menjawab pelan. “Aku akan tidur di ruang tamu. Kau istirahatlah di sini.”

Kata-kata itu bagai pisau menancap di dada Airin. “Apa… kau membenciku?” tanyanya lirih.

Arlan menatapnya, matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. “Tidak. Aku hanya… tidak bisa.”

“Tidak bisa… apa?” desak Airin dengan suara serak.

Arlan menghela napas, menunduk. “Tidak bisa berpura-pura. Tidak bisa memaksakan sesuatu yang hatiku sendiri menolak.”

Airin terdiam. Ada ribuan pertanyaan yang ingin ia lontarkan, tapi lidahnya kelu.

“Aku minta maaf,” lanjut Arlan pelan. “Semua ini bukan salahmu. Kau hanya… korban keadaan.”

Airin menunduk, menahan air matanya agar tidak jatuh. “Kalau begitu… aku ini apa bagimu, Arlan? Istri di atas kertas saja?”

Arlan menutup mata sejenak, lalu melangkah keluar. “Aku tidak tahu.”

Pintu kamar tertutup rapat.

Airin menatap kosong ke arah pintu. Tidak ada amarah, tidak ada air mata. Hanya kehampaan yang menggerogoti dadanya.

“Ya Allah…” bisiknya lirih, suaranya pecah. “Apa salahku, hingga aku harus menjalani semua ini?”

Di luar kamar, Arlan berdiri memegang kepalanya. Nafasnya berat. Ia ingin kembali masuk, ingin menjelaskan, tapi hatinya menolak. Sosok Inayah terbayang di benaknya. Senyum Inayah, tatapan matanya—semua itu masih melekat, dan itu membuatnya semakin tersiksa.

Sementara di dalam kamar, Airin menangis dalam diam. Isakannya tertahan, takut terdengar orang lain. Malam pertama yang seharusnya penuh kebahagiaan, berubah menjadi malam paling sunyi dan menyakitkan dalam hidupnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    171.Tamat

    Hujan turun lebih deras.Dan di tengah suara alam yang menenggelamkan segalanya, Arlan menunduk, memeluk tanah yang masih hangat oleh sisa air mata mereka berdua. Bau tanah basah, getir dan suci, memenuhi dadanya—seakan dunia sedang menulis ulang kesedihan mereka dengan tinta langit.Di hadapannya, nisan kecil dari batu tanpa nama berdiri sederhana. Tak ada bunga, tak ada ukiran mewah, hanya satu helai kain putih yang menempel di atasnya—basah, namun tetap bersih, seolah menolak menjadi kotor oleh dunia. Itulah satu-satunya yang tersisa dari Airin, perempuan yang telah mengajarinya arti cinta sekaligus kehilangan.Arlan tak tahu berapa lama ia diam di sana. Waktu berhenti di sekitar tubuhnya yang gemetar. Suara hujan menjadi lagu yang panjang dan tanpa akhir.Setiap tetesnya seolah mengetuk dada, mengingatkan pada setiap kata yang pernah tak sempat diucapkan.“Kalau aku pergi duluan…”Begitu kata Airin dulu, dalam bisikan lembut di malam yang mereka kira biasa-biasa saja.“…jangan tan

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    170.Di Antara Cinta dan Dosa

    Hujan turun tanpa suara.Tidak lagi deras, tapi cukup untuk membuat dunia sekeliling mereka tampak seperti kabut yang bernafas.Lampu polisi sudah dimatikan satu per satu. Petugas pergi meninggalkan tempat itu, hanya menyisakan tenda kecil, dua kursi plastik, dan dua manusia yang tak tahu harus duduk atau berdiri untuk menanggung berat kenyataan.Arlan menatap puing-puing yang kini dingin. Di bawah sana, terkubur kotak yang telah membuka seluruh masa lalu — surat, buku harian, dan pengakuan yang mengubah darah menjadi dinding pemisah.Airin duduk di tanah, tanpa alas. Hujan membasahi rambut dan bahunya. Ia tak mengusap air matanya lagi — karena tidak tahu mana yang air hujan, mana yang tangis.Tak ada yang bicara untuk waktu yang lama.Hanya suara besi yang beradu pelan tertiup angin.Lalu, perlahan, Arlan berkata,“Kau ingat malam pertama aku memelukmu?”Airin menatap kosong ke depan, suaranya serak, hampir tidak terdengar.“Aku ingat… setiap detiknya.”“Aku bilang waktu itu, aku men

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    169.Surat dari Bawah Tanah

    Malam telah berlalu.Namun udara di halaman reruntuhan itu masih terasa berat, seolah puing-puing menyimpan napas orang-orang yang belum selesai berbicara.Arlan duduk di bawah tenda darurat polisi, selimut menutupi bahunya, tapi tangannya tak berhenti menggenggam selembar surat lusuh yang baru saja ditemukan di dalam kotak bertuliskan INAYAH.Di sampingnya, Airin duduk diam, wajahnya kaku — antara takut dan tidak percaya.Kotak kayu itu kini terbuka di depan mereka, berisi tumpukan buku harian, foto, dan surat-surat lama. Kertas-kertas yang seharusnya sudah hancur, tapi masih utuh seolah sengaja dijaga agar kebenaran tak musnah bersama waktu.Arlan membuka surat pertama. Tulisan tangan itu milik ibunya, Bu Ratna — halus, tegas, dan penuh kesedihan yang disembunyikan di antara kalimat.“Untuk Arlan — anakku.Jika surat ini sampai ke tanganmu, berarti sesuatu yang kusembunyikan telah menemukan jalannya sendiri. Aku tidak menulis untuk meminta maaf, tapi untuk menjelaskan mengapa semuan

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    168.Seseorang di Balik Reruntuhan

    Malam itu masih basah oleh hujan dan bau debu yang terbakar.Sirine polisi meraung di kejauhan, memantul di dinding bangunan setengah runtuh.Arlan duduk di tepi jalan, lututnya terluka, napas tersengal.Di sampingnya, Airin bersandar lemah, tubuhnya gemetar dalam selimut yang baru saja diberikan paramedis.Namun di tengah hiruk-pikuk, keduanya saling menatap — tak berkata apa-apa.Semua kata sudah terbakar bersama bangunan tua itu.Hanya tiga ketukan pelan dari reruntuhan yang membuat kepala Arlan spontan menoleh.Pelan, berirama.Tuk… tuk… tuk…Lalu senyap.“Kau dengar itu?” tanya Airin lirih.“Ya,” jawab Arlan, matanya menajam. “Itu bukan gema.”Ia berdiri tertatih, menyingkirkan tangan petugas yang berusaha menahannya. “Di dalam masih ada orang!” katanya keras. “Aku dengar ketukan!”Salah satu polisi menatapnya ragu. “Pak, gedung itu tidak stabil. Kami baru saja—”“Kalau kau menunggu izin, seseorang bisa mati di bawah sana!”Nada suaranya membuat semua orang terdiam. Hujan turun l

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    167.Ketukan dari Dinding yang Bernapas

    Hujan belum berhenti sejak malam itu.Arlan berdiri di tengah ruang gelap gedung tua itu, napasnya terputus-putus, matanya menatap ke arah dinding berlumut yang baru saja bergetar. Ketukan itu terdengar lagi.Satu kali. Dua kali.Pelan… tapi jelas.Tangannya gemetar.Ia mendekat.Suara detak jam di pergelangan tangannya sudah mati sejak ia melangkah masuk ke tempat ini. Tapi detak lain kini menggantikan — detak jantungnya sendiri, berpacu dengan rasa takut dan harapan yang tak mau padam.“Airin…?”suaranya parau, hampir tidak terdengar.“Itu kau?”Tak ada jawaban, hanya satu ketukan lagi.Tiga kali.Jaraknya tak teratur, seperti seseorang yang mencoba memberi tanda — bukan dari dunia lain, tapi dari ruang sempit di balik sana.Arlan meraba permukaan dinding. Lembap. Dingin. Tapi ada sesuatu yang aneh: sebagian terasa hangat. Ia menekan sedikit, dan dinding itu memberi tekanan balik.Bukan batu padat — seperti ada rongga di dalamnya.Ia menyalakan senter dari ponselnya. Cahaya menyorot

  • Cinta Yang Tak Pernah Dipilih    166.Antara Dunia yang Tidak Sepenuhnya Hidup

    Dan di ujung ruang abu-abu itu, di antara dua dunia yang menipis, Airin mulai berjalan lagi — mengikuti cahaya yang menuntun ke arah yang entah di mana ujungnya. Setiap langkah terasa ringan, seolah tanah di bawah kakinya tidak sepenuhnya nyata. Udara di sekitarnya lembut, tapi dingin seperti kabut yang menyimpan rahasia.Suara detak jam samar-samar terdengar. Tik… tok… tik… tok…Namun detaknya tidak berasal dari dunia fisik — melainkan dari dalam dadanya sendiri. Seolah waktu yang ia miliki sedang menipis, dan setiap detak itu bukan lagi milik dunia manusia.“Airin…”Suara itu memanggilnya.Lembut. Lalu jauh.Antara gema dan kenangan.Ia berhenti. Cahaya di depannya bergetar, seolah hidup. Di dalamnya, samar-samar ia melihat siluet Arlan — berdiri di tengah badai hujan, berteriak, memanggil namanya. Tapi setiap kali Airin mencoba berlari ke arah itu, langkahnya terasa seperti menembus air, dan tanah di bawah kakinya bergelombang seperti permukaan danau.Ia mulai menangis. Tapi air ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status